"Jawab aku, siapa jalang itu!?" Adrienne tampak semakin geram.Drew menatap sekilas ke arah Adrienne dan sama sekali tak menggubris pertanyaan yang dilontarkan oleh istrinya. Dia justru lebih memilih menenangkan perempuan yang terus menggelayut dan bersembunyi di balik tubuh kekarnya, sembari merengek manja. Memuakkan sekali, pikir Adrienne."Sudahlah, biarkan saja dia," ujar Drew dengan kata yang terdengar begitu lembut, pada perempuan yang Adrienne sebut jalang itu."Tapi, Honey ... dia mengataiku jalang. Usir saja dia!" pinta perempuan itu dengan ekspresi manja."Ssstt, Darling ... biarkan saja! Bagiku kau tak seperti itu. Bahkan, kau jauh lebih baik dari perempuan sepertinya." Melambung tinggilah perempuan itu.Seketika Adrienne memutar bola mata muak pun jengah bukan kepalang, berusaha sekuat mungkin melihat betapa menjijikannya mereka berdua. Kedua tangannya mengepal erat, seolah ingin meremas keduanya hingga hancur berkeping-keping, seandainya saja bisa."Apa kau tuli?!" seru A
"Dia Allena Sashenka, tunanganku. Kau tidak berhak mengatur apapun di sini. Ingat posisimu. Lebih baik sekarang kau pergi, Rien!"Masih terbesit dengan jelas di ingatan Adrienne, saat Drew membisikan kalimat itu beberapa jam yang lalu, tanpa sedikitpun rasa bersalah. Layaknya iblis yang tak punya hati, dia mengusir bahkan menginjak-injak harga diri istrinya sendiri di depan orang lain.Perempuan itu duduk menyendiri di sudut cafe yang tak terlalu ramai pengunjung. Irama musik mengalun sendu, seolah mengiringi lirih batinnya yang teriris pilu. Dia masih saja bermanja dengan lukanya, tak peduli berapa kali kedua pengawal yang menjaganya memaksa dia untuk kembali. Kembali ke sangkar emas yang tak lebih dari sebuah penjara untuknya.Terjawab sudah kini siapa Allena yang sempat Drew desahkan saat mereka pertama kali menyatu. Terkekeh sinis, Adrienne semakin merasa miris dengan nasibnya. "Jika dia memiliki tunangan, mengapa tak dia nikahi saja perempuan itu? Apakah dia sengaja menjebakku d
Bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Bagai anjing yang diikat rantai di lehernya. Kata-kata sakral tersebut selalu menjadi alat yang digunakan laki-laki itu untuk membuat Adrienne bungkam. Sampai sekarang Adrienne bingung, dosa apa yang sudah dia lakukan di masa lalu sehingga kini dirinya harus menanggung beban seberat ini. Walau ketika kecil sebelum enggan dia mengenal cinta, wanita itu selalu bermimpi akan menikahi seorang laki-laki tampan dan juga baik hati layaknya pangeran di kisah cinderella. Yang selalu menghujaninya dengan sejuta kasih sayang dan juga cinta yang indah. Yang selalu melindunginya dan tidak akan membiarkan dirinya terluka sedikitpun. Akan tetapi garis nasib berkata lain. Khayalan hanyalah sebuah impian. Nyatanya perjalanan cintanya begitu rumit dan juga menyakitkan. Hamparan pecahan kaca harus dia lewati namun laki-laki yang seharusnya menolong malah tertawa. Bahkan yang lebih membuatnya hancur, justru suaminya sendirilah yang sudah menaburkan benda tajam ter
"Bagaimana rasanya menjadi jalang yang dibayar mahal, Adrienne?" sindir Allena sambil memandang rendah Adrienne. "Kau hanya jalang!" ulang Allena penuh penekanan. "Ya ya terserah dirimu saja. Sebab mau bagaimana pun, aku tetaplah Nyonya di rumahnya. Lagi pula bukankah seharusnya kau yang pantas disebut jalang sebab sudi ditusuk lelaki yang bukan suamimu? Kau perlu tau, Allena. Bahwa tak ada cinta lelaki yang tulus terkecuali dia menginginkan sesuatu di antara kedua paha wanita. Kau tunggu saja waktu di mana kau akan hancur!" Adrienne berusaha menyembunyikan kekalahannya. Dia menatap angkuh ke arah Allena lalu berlalu pergi menjauh begitu saja. Dia memilih duduk di ujung barisan kursi tunggu dan tak berselera lagi berdebat dengan Allena.Adrienne berusaha acuh dengan apa yang Allena ucapkan. Lagipula, hinaan itu juga tak berpengaruh apapun untuk hidupnya. Dia tetaplah menjadi pemegang tahta tertinggi dalam hubungannya dengan Drew. Yah, meskipun hanya dianggap sebagai jalang yang diba
Adrienne melangkah dengan gontai. Menapaki lorong-lorong rumah sakit yang dingin. Hatinya begitu sakit, mengetahui harapannya untuk bisa berpisah dengan Drew perlahan memudar. Awalnya Adrienne berpikir jika dia tidak hamil, mungkin akan lebih mudah untuk mengajukan perpisahan kepada Drew. Walaupun dia tahu jika Drew memiliki senjata yang dapat mematahkan segala permohonannya. Dan sekarang senjata itu akan semakin kuat dengan hadirnya janin di dalam perutnya.Beberapa tetes air sudah mulai keluar dari matanya. Rasa semangat untuk tetap menjalani hidup perlahan patah. Adrienne bukan tidak bersyukur dengan adanya janin di dalam perutnya. Dia tidak juga merasa menyesal karena mengetahui sedang hamil. Bagaimanapun juga calon bayi didalam kandungannya adalah anaknya. Lepas dari dia menolak siapa ayah bayi itu, akan tetapi Adrienne tetap akan menyayanginya.“Nyonya apa Anda baik-baik saja?” tanya salah satu pengawal, melihat sang majikan yang terlihat sangat lemah.Secepat mungkin Adrienne m
“Tidak bisakah kau untuk tidak berlaku kasar padaku, Drew?!” seru Adrienne meronta, berusaha melepaskan cekalan tangan Drew. Pria itu mencekal dan menariknya dengan kuat diikuti langkah cepatnya. Adrienne sampai-sampai merasa sakit dan terlihat pergelangan tangannya mulai memerah akibat suami keparatnya tersebut.Drew menulikan pendengarannya. Entah apa yang membuat Drew terlihat sangat kesal setelah tadi berbicara dengan seseorang. Yang pasti kini pria matang tersebut terlihat sangat mengerikan. Bahkan Walter yang turut datang ke pesta tersebut walau hanya menunggu di dalam mobil, turut merasakan atmosfer Drew yang sangat berbeda. Namun, bedanya dengan Adrienne, Walter lebih paham dengan Drew. Lama bekerja dengan presiden direktur Lykos Company membuat Walter paham betul apa hal yang bisa membuat Drew tersulut emosi. “Akh!” Adrienne meringis saat bahu kirinya membentur pintu mobil setelah Drew mendorongnya masuk dengan kasar. “Kau ini kenapa?” teriak Adrienne melotot nyalang. Ke
Adrienne terbangun dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Tubuhnya bergetar hebat, dan seluruh bagian tubuhnya sakit seperti habis ditimpa puluhan balok secara bertubi-tubi. Rasa sakit itu menyebar di sepanjang tulang punggungnya, hingga ke ujung jari-jarinya. Semalaman, Drew benar-benar menghajar Adrienne tanpa ampun, seperti sedang meluapkan amarah yang membuncah di dalam dirinya.Namun, yang lebih membuat Adrienne merasa sangat prihatin dengan dirinya adalah ketika ia menyadari bahwa Drew telah menghilang begitu saja. Tidak ada jejak suaminya di ranjang mereka yang semalam menjadi saksi bisu perjuangan Adrienne melawan keganasan suami keparatnya. Ranjang itu kini tampak kosong dan sunyi, persis seperti keadaan hati Adrienne yang hancur pun hampa."Tuhan, Engkau di mana? Bolehkah aku mengeluh?"Mata Adrienne memerah dan berkaca-kaca, sedang rasa sakit itu semakin menggelayut di seluruh tubuhnya. Wanita itu mencoba bangkit dari ranjang, tapi tubuhnya seolah menolak untuk bergerak
Adrienne belum memiliki keinginan untuk memberitahu kehamilannya pada siapapun. Akan tetapi,pertanyaan Seleste barusan cukup menohok tenggorokkan Adrienne yang terasa kering walau ia telah berkelit dengan ucapan pedasnya. Bergulat dengan keluarga Drew tidak hanya menguras tenaganya, melainkan menguras mental pun harga diri Adrienne. Adrienne melangkah menuju ruang tengah sambil menegakkan tubuh sedangkan Seleste mengekor di belakang. Terlihat riang gembira tanpa beban. Oh! Apakah dua kakak beradik itu lahir dari rahim yang berbeda? Mengapa Seleste nampak seperti orang normal kebanyakan sedangkan Drew adalah seorang Psikopat? “Kau belum menjawab pertanyaanku, kakak ipar. Aku dengar kemarin malam kalian pergi ke pesta bersama. Kurasa ada sebuah kemajuan dalam hubungan kalian,” ucap Seleste. Ia nyengir kuda tanpa tahu bagaimana tragisnya penyiksaan yang dilakukan kakaknya terhadap Adrienne. Adrienne berdecih sinis, ekor matanya menilik tajam Seleste, “Andai yang kau katakan itu menja