“Tidak bisakah kau untuk tidak berlaku kasar padaku, Drew?!” seru Adrienne meronta, berusaha melepaskan cekalan tangan Drew. Pria itu mencekal dan menariknya dengan kuat diikuti langkah cepatnya. Adrienne sampai-sampai merasa sakit dan terlihat pergelangan tangannya mulai memerah akibat suami keparatnya tersebut.Drew menulikan pendengarannya. Entah apa yang membuat Drew terlihat sangat kesal setelah tadi berbicara dengan seseorang. Yang pasti kini pria matang tersebut terlihat sangat mengerikan. Bahkan Walter yang turut datang ke pesta tersebut walau hanya menunggu di dalam mobil, turut merasakan atmosfer Drew yang sangat berbeda. Namun, bedanya dengan Adrienne, Walter lebih paham dengan Drew. Lama bekerja dengan presiden direktur Lykos Company membuat Walter paham betul apa hal yang bisa membuat Drew tersulut emosi. “Akh!” Adrienne meringis saat bahu kirinya membentur pintu mobil setelah Drew mendorongnya masuk dengan kasar. “Kau ini kenapa?” teriak Adrienne melotot nyalang. Ke
Adrienne terbangun dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Tubuhnya bergetar hebat, dan seluruh bagian tubuhnya sakit seperti habis ditimpa puluhan balok secara bertubi-tubi. Rasa sakit itu menyebar di sepanjang tulang punggungnya, hingga ke ujung jari-jarinya. Semalaman, Drew benar-benar menghajar Adrienne tanpa ampun, seperti sedang meluapkan amarah yang membuncah di dalam dirinya.Namun, yang lebih membuat Adrienne merasa sangat prihatin dengan dirinya adalah ketika ia menyadari bahwa Drew telah menghilang begitu saja. Tidak ada jejak suaminya di ranjang mereka yang semalam menjadi saksi bisu perjuangan Adrienne melawan keganasan suami keparatnya. Ranjang itu kini tampak kosong dan sunyi, persis seperti keadaan hati Adrienne yang hancur pun hampa."Tuhan, Engkau di mana? Bolehkah aku mengeluh?"Mata Adrienne memerah dan berkaca-kaca, sedang rasa sakit itu semakin menggelayut di seluruh tubuhnya. Wanita itu mencoba bangkit dari ranjang, tapi tubuhnya seolah menolak untuk bergerak
Adrienne belum memiliki keinginan untuk memberitahu kehamilannya pada siapapun. Akan tetapi,pertanyaan Seleste barusan cukup menohok tenggorokkan Adrienne yang terasa kering walau ia telah berkelit dengan ucapan pedasnya. Bergulat dengan keluarga Drew tidak hanya menguras tenaganya, melainkan menguras mental pun harga diri Adrienne. Adrienne melangkah menuju ruang tengah sambil menegakkan tubuh sedangkan Seleste mengekor di belakang. Terlihat riang gembira tanpa beban. Oh! Apakah dua kakak beradik itu lahir dari rahim yang berbeda? Mengapa Seleste nampak seperti orang normal kebanyakan sedangkan Drew adalah seorang Psikopat? “Kau belum menjawab pertanyaanku, kakak ipar. Aku dengar kemarin malam kalian pergi ke pesta bersama. Kurasa ada sebuah kemajuan dalam hubungan kalian,” ucap Seleste. Ia nyengir kuda tanpa tahu bagaimana tragisnya penyiksaan yang dilakukan kakaknya terhadap Adrienne. Adrienne berdecih sinis, ekor matanya menilik tajam Seleste, “Andai yang kau katakan itu menja
Sudah pukul setengah satu siang Adrienne masih berkutat dengan masakan buatannya. Para pelayan sigap membantunya membereskan peralatan masak, sedang Adrienne tetap fokus menata makanan. Uap panas dari kotak makan masih mengudara. Aroma sedap menyeruak hingga menusuk hidung pun menggoda air liur untuk menetes.“Anna, Apa kau sudah menyiapkan barang-barangku? Kita akan berangkat ke kantor keparat itu sekarang,” tanya Adrienne. Anna cekatan meletakkan tas dan membantu Adrienne menutup kotak makan. “Sudah, Nyonya. Apa ada hal lain yang perlu disiapkan?” Adrienne menggeleng sambil melihat arloji di pergelangan tangannya. “Tidak! Ayo berangkat.” Supir pribadi sudah menunggu kehadiran sang nyonya sejak lima belas menit lalu. Jadwal Adrienne sedikit terlambat karena kondisi tubuh dia belum sepenuhnya membaik, ia masih merasa lemas dan pusing, tetapi Adrienne memaksakan diri. Sepanjang perjalanan Adrienne mendekap kotak makan untuk Drew, seolah menaruh harap pria itu akan menyukai hasil kar
“Dengar ini baik-baik. Jangan sekalipun kau mencoba untuk mencurangiku! Telah kubayar mahal dirimu dan kau tau berapa harga yang harus kau bayar andai kau melanggar peraturanku!” Bengis Drew menatap tajam Adrienne. Walau masih ada sisa-sisa nafsu yang berkeliaran liar di kepalanya, Drew masih sanggup mengintimidasi Adrienne. Memutar bola matanya malas dengan tubuh yang terasa sangat lebah seperti kehilangan seluruh daya sebab Drew begitu menguras energinya, Adrienne merasa kesal. Sial memang, niat hati ia kemari untuk melancarkan aksinya, justru ia mendapatkan ancaman seperti ini. “Berhenti mengancamku seperti itu. Aku pun malas dan lelah jika terus bersitegang denganmu setiap hari dan hanya akur ketika bercinta!” Adrienne bangkit dari posisi rebahannya. Duduk di pinggir meja kerja Drew sambil mengatur napas yang tersengal-sengal. Kekehan rendah Drew mengalun di telinga Adrienne. Wanita itu tahu, Drew mengejeknya. Memang wanita keras kepala mana yang sudi manut terhadap pria seper
Adrienne melenggang keluar ruangan dengan kesal. Rasa marah sekaligus malu, bercampur menjadi satu. Raut wajahnya benar-benar menggambarkan kemarahan yang tak mampu lagi dia tahan.“Dasar pria keparat tak punya hati! Sudah kuberikan perhatian, masih juga menjunjung gengsi setinggi langit. Pantas saja dia tak pernah menemukan wanita yang tulus mencintainya!” gerutunya sembari menghentak-hentakan kaki dengan cukup kasar.Sepanjang perjalanan menuju lobi dihabiskan Adrienne dengan menggerutui suami keparatnya itu. Upayanya untuk mengambil hati Drew gagal total. Sungguh menaklukkan lelaki itu benar-benar sulit.Yang lebih menyakitkan lagi, setelah mengajukan pertanyaan menohok pada Adrienne, pria itu lantas mengusirnya secara terang-terangan pun tak peduli dengan perasaan istrinya. Adrienne benar-benar merasa terhina dengan sikap suaminya.Berilah panci gosong pada Adrienne. Dia ingin menutup wajahnya dengan panci! Atau akan ia gunakan untuk menimpuk wajah Drew dengan bokong panci itu.Di
Adrienne menatap datar Allena dengan manik hitamnya. Wajahnya terlihat biasa-biasa saja yang mana hal tersebut tentu saja membuat Allena semakin geram melihatnya. Semua orang terlihat begitu penasaran dengan respon apa yang akan Adrienne berikan. Namun, ternyata perempuan itu memilih diam, lalu memicingkan senyum acuh ke arah Allena. Seolah-olah memang dia tak begitu berminat meladeni perempuan itu.“Kau tersenyum? Masih tidak sadar diri juga?” sinis Allena yang tak suka dengan respon Adrienne.Dua perempuan dengan penampilan yang cukup kontras itu semakin menjadi pusat perhatian karyawan Lykos Company. Allena yang terlihat lebih sexy dan glamour, sedangkan Adrienne terlihat begitu elegan dan anggun dengan rambut tergerainya. Semua terlihat cukup penasaran dengan pertengkaran mereka berdua.“Kita lihat, apa yang akan dilakukan Nyonya Adrienne kepada perempuan itu,” ujar salah satu staf perempuan berambut sebahu pada teman di sampingnya.“Sudahlah Mey, tak seharusnya kita di sini. Ayo
Adrienne melangkah pergi dengan perasaan puas. Setidaknya dia masih bisa membalas hinaan Allena dengan begitu telak. Kini, senyum manis nan sinis merekah menghiasi wajah wanita cantik itu. “Ayo kita kembali, Jay!” ajak Adrienne pada sang supir yang baru saja datang menghampirinya.Selama perjalanan Adrienne hanya memilih diam. Dia duduk bersandar tanpa sedikit pun berselera untuk memulai pembicaraan. Netranya menatap nanar ke luar jendela. Melihat betapa padatnya kendaraan yang berlalu lalang di jam kantor.Anna yang duduk di kursi samping kemudi, hanya bisa menghela napas pelan. Dia menatap sekilas ke arah Adrienne dengan perasaan penuh tanya. Namun, dia memilih untuk tetap diam dan tak bertanya perihal apapun, sampai Adrienne sendiri yang menceritakan semuanya padanya.Adrienne masih terlihat melamun, bahkan hingga mobil memasuki mansion mewah milik Drew. Tidak tidak, itu bukan mansion melainkan paguyuban setan berbalut intan berlian—tempatnya terkurung bersama luka dan derita.“Ny