Mendengar pertanyaan sederhana yang terasa berat dari Adrienne, sontak saja berhasil membuat Seleste tersedak ludahnya sendiri. Gadis berambut blonde itu terdiam, dalam waktu yang cukup lama. Ia terlihat tengah berpikir keras memikirkan jawaban yang pas atas pertanyaan Adrienne.“Hey! Aku bertanya padamu. Kenapa kau mematung?” Adrienne menjentikkan jari di depan wajah Seleste sambil mendengus, kesal dengan ketidakresponsifan adik iparnya.Seleste yang tengah melamun lantas terperanjat kaget. Ia mengerjapkan mata lalu berdehem pelan, berusaha menormalkan mimik wajahnya kembali. “Ah maaf, aku tadi teringat sesuatu,” katanya sambil tersenyum canggung.Sementara itu, Adrienne tak menyurutkan rasa curiganya pada Seleste. Dia merasa bahwa tidak ada orang yang bisa dipercaya di kediaman yang berisikan orang-orang munafik ini. “Jangan mengalihkan pembicaraan, Seleste. Aku butuh jawaban yang jujur darimu. Kau pasti tau bagaimana kakakmu!" tanya Adrienne dengan nada lebih mendesak.“Begini. K
Adrienne berdiri di dapur, mengaduk-aduk panci berisi sup yang sudah hampir matang. Aroma wangi kaldu ayam memenuhi ruangan, tetapi pikiran Adrienne melayang ke tempat lain. Sudah satu bulan ini dia berusaha menjadi istri yang ideal untuk Drew. Semua perkataan Seleste dia lakukan tanpa terlewat sedikitpun. Walau perasaan marah dan kesal itu selalu ada sebab kerap kali Drew masih menunjukkan sikap yang sama, yaitu datang jika dia harus memuaskan birahi pria itu. Namun, Adrienne tidak ingin berhenti walau dengan sangat berat hati ia melakukannya. "Jika aku berhenti dan menyerah maka aku akan mati mengenaskan di tangan bajingan itu!" Begitulah kurang lebih kata-kata yang ia sematkan di otak guna memacu semangatnya. Setiap hari, Adrienne menguatkan mental, memupuk kesabaran lebih ekstra lagi. Dia mengurangi kata-kata sarkasnya pada Drew, berpenampilan dengan lebih anggun, melenyapkan nyaris sepenuhnya sosok Adrienne yang sesungguhnya. "Well, kurang baik apa aku sebagai is
Terperanjat, sontak saja kelopak mata Drew terbuka lebar ketika suara itu mengalun kencang di telinganya. Sementara gerakan perempuan di atas Drew kian terhenti dengan tubuh sedikit menegang. Luruh seketika kesenangan mereka. Jiwa yang tengah terbang ke awang-awang, mendadak terhempas jatuh ke dasar hingga umpatan kasar terlolos begitu saja dari bibir Drew. "Fuck!" Memang siapa orang yang tidak geram jika kesenangannya diganggu seperti ini? Adrienne menatap jijik pada dua orang yang sedang bergumul itu. Apalagi ketika Drew langsung menyambar jas guna menutupi tubuh sintal perempuan tersebut yang segera turun dari tubuh suaminya itu. Di belakang Adrienne, Walter menyusul masuk dengan napas tersengal-sengal. Wajahnya memucat pun tubuhnya terlihat tegang dan kaku ketika Drew melemparkan tatapan menghujam padanya. Segera saja Walter melontarkan kata maaf pada atasannya tersebut sebab ia tak bisa mencegah Adrienne untuk tidak masuk ke dalam. Adrienne tak mempedulikan pria yang
"Jawab aku, siapa jalang itu!?" Adrienne tampak semakin geram.Drew menatap sekilas ke arah Adrienne dan sama sekali tak menggubris pertanyaan yang dilontarkan oleh istrinya. Dia justru lebih memilih menenangkan perempuan yang terus menggelayut dan bersembunyi di balik tubuh kekarnya, sembari merengek manja. Memuakkan sekali, pikir Adrienne."Sudahlah, biarkan saja dia," ujar Drew dengan kata yang terdengar begitu lembut, pada perempuan yang Adrienne sebut jalang itu."Tapi, Honey ... dia mengataiku jalang. Usir saja dia!" pinta perempuan itu dengan ekspresi manja."Ssstt, Darling ... biarkan saja! Bagiku kau tak seperti itu. Bahkan, kau jauh lebih baik dari perempuan sepertinya." Melambung tinggilah perempuan itu.Seketika Adrienne memutar bola mata muak pun jengah bukan kepalang, berusaha sekuat mungkin melihat betapa menjijikannya mereka berdua. Kedua tangannya mengepal erat, seolah ingin meremas keduanya hingga hancur berkeping-keping, seandainya saja bisa."Apa kau tuli?!" seru A
"Dia Allena Sashenka, tunanganku. Kau tidak berhak mengatur apapun di sini. Ingat posisimu. Lebih baik sekarang kau pergi, Rien!"Masih terbesit dengan jelas di ingatan Adrienne, saat Drew membisikan kalimat itu beberapa jam yang lalu, tanpa sedikitpun rasa bersalah. Layaknya iblis yang tak punya hati, dia mengusir bahkan menginjak-injak harga diri istrinya sendiri di depan orang lain.Perempuan itu duduk menyendiri di sudut cafe yang tak terlalu ramai pengunjung. Irama musik mengalun sendu, seolah mengiringi lirih batinnya yang teriris pilu. Dia masih saja bermanja dengan lukanya, tak peduli berapa kali kedua pengawal yang menjaganya memaksa dia untuk kembali. Kembali ke sangkar emas yang tak lebih dari sebuah penjara untuknya.Terjawab sudah kini siapa Allena yang sempat Drew desahkan saat mereka pertama kali menyatu. Terkekeh sinis, Adrienne semakin merasa miris dengan nasibnya. "Jika dia memiliki tunangan, mengapa tak dia nikahi saja perempuan itu? Apakah dia sengaja menjebakku d
Bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Bagai anjing yang diikat rantai di lehernya. Kata-kata sakral tersebut selalu menjadi alat yang digunakan laki-laki itu untuk membuat Adrienne bungkam. Sampai sekarang Adrienne bingung, dosa apa yang sudah dia lakukan di masa lalu sehingga kini dirinya harus menanggung beban seberat ini. Walau ketika kecil sebelum enggan dia mengenal cinta, wanita itu selalu bermimpi akan menikahi seorang laki-laki tampan dan juga baik hati layaknya pangeran di kisah cinderella. Yang selalu menghujaninya dengan sejuta kasih sayang dan juga cinta yang indah. Yang selalu melindunginya dan tidak akan membiarkan dirinya terluka sedikitpun. Akan tetapi garis nasib berkata lain. Khayalan hanyalah sebuah impian. Nyatanya perjalanan cintanya begitu rumit dan juga menyakitkan. Hamparan pecahan kaca harus dia lewati namun laki-laki yang seharusnya menolong malah tertawa. Bahkan yang lebih membuatnya hancur, justru suaminya sendirilah yang sudah menaburkan benda tajam ter
"Bagaimana rasanya menjadi jalang yang dibayar mahal, Adrienne?" sindir Allena sambil memandang rendah Adrienne. "Kau hanya jalang!" ulang Allena penuh penekanan. "Ya ya terserah dirimu saja. Sebab mau bagaimana pun, aku tetaplah Nyonya di rumahnya. Lagi pula bukankah seharusnya kau yang pantas disebut jalang sebab sudi ditusuk lelaki yang bukan suamimu? Kau perlu tau, Allena. Bahwa tak ada cinta lelaki yang tulus terkecuali dia menginginkan sesuatu di antara kedua paha wanita. Kau tunggu saja waktu di mana kau akan hancur!" Adrienne berusaha menyembunyikan kekalahannya. Dia menatap angkuh ke arah Allena lalu berlalu pergi menjauh begitu saja. Dia memilih duduk di ujung barisan kursi tunggu dan tak berselera lagi berdebat dengan Allena.Adrienne berusaha acuh dengan apa yang Allena ucapkan. Lagipula, hinaan itu juga tak berpengaruh apapun untuk hidupnya. Dia tetaplah menjadi pemegang tahta tertinggi dalam hubungannya dengan Drew. Yah, meskipun hanya dianggap sebagai jalang yang diba
Adrienne melangkah dengan gontai. Menapaki lorong-lorong rumah sakit yang dingin. Hatinya begitu sakit, mengetahui harapannya untuk bisa berpisah dengan Drew perlahan memudar. Awalnya Adrienne berpikir jika dia tidak hamil, mungkin akan lebih mudah untuk mengajukan perpisahan kepada Drew. Walaupun dia tahu jika Drew memiliki senjata yang dapat mematahkan segala permohonannya. Dan sekarang senjata itu akan semakin kuat dengan hadirnya janin di dalam perutnya.Beberapa tetes air sudah mulai keluar dari matanya. Rasa semangat untuk tetap menjalani hidup perlahan patah. Adrienne bukan tidak bersyukur dengan adanya janin di dalam perutnya. Dia tidak juga merasa menyesal karena mengetahui sedang hamil. Bagaimanapun juga calon bayi didalam kandungannya adalah anaknya. Lepas dari dia menolak siapa ayah bayi itu, akan tetapi Adrienne tetap akan menyayanginya.“Nyonya apa Anda baik-baik saja?” tanya salah satu pengawal, melihat sang majikan yang terlihat sangat lemah.Secepat mungkin Adrienne m