Adrienne tertegun, kewarasannya berguncang hebat. Mata yang tadinya terpejam, kini terbuka sempurna. Jadi, sejak tadi Drew membayangkan tengah bercinta dengan perempuan lain hingga berakhir mendesahkan nama Allena? Adrienne terkekeh sinis pun miris. Miris terhadap takdirnya
Lalu, sedetik kemudian, Adrienne menendang kuat tubuh bagian bawah Drew yang ambruk di atas dirinya dengan lutut. Pria kontan mengerang kesakitan sebab lutut Adrienne mendarat tepat di kepemilikannya. Penyatuan keduanya pun kian terlepas dan Drew berguling ke sisi kanan. Aksinya tersebut jelas membuat Drew terkejut dan marah. Mata Drew melotot nyalang pada Adrienne, tampak urat kemarahannya mencuat di sekitar pelipis. “Allena! Ya, kau bercinta dengan perempuan bernama Allena! Kau bercinta dengan Allena, bukan Adrienne. Kau gila, kau benar-benar sinting!” teriak Adrienne dengan berapi-api. Sakit di bagian kewanitaannya belum lah hilang, bahkan ia masih merasakan sakit yang teramat akibat permainan Drew. Namun, sakit itu kini berpindah ke relung hatinya setelah sadar jika sejak tadi dirinya dijadikan objek bayang perempuan lain. Walau dia terpaksa menikah dengan Drew, harga dirinya tetap saja terhempas jatuh dalam ke bawah. Drew tertegun, dia terdiam beberapa detik. Amarah yang tadi sempat membakar otak, kini berangsur menghilang. Lalu, dia teringat nama siapa yang tadi dirinya desahkan tanpa sadar. Seketika Drew mengumpat dalam hati, bagaimana bisa dia membayangkan bercinta dengan wanita lain sementara tubuh yang dia inginkan adalah Adrienne. “Ceraikan aku! Aku akan menggantikan uang yang sudah kau berikan pada Bondar! Tak sudi aku memiliki suami sampah seperti kau!” Adrienne kembali berseru dengan nada tinggi. Tatapan Drew mulai menggelap mendengarnya. Lalu hal yang terjadi selanjutnya adalah Drew kembali memakan Adrienne. Melampiaskan emosinya dengan bercinta. Mengabaikan Adrienne yang berteriak memaki, mencaci, mengutuk dan menyumpah serapahinya. Adrienne terhayak, mengerang kesakitan akibat Drew yang bergerak amat laju pun kasar tanpa memikirkan dirinya nan sama sekali tidak menikmati permainan tersebut. Menangis, Adrienne benar-benar menumpahkan tangis saat Drew justru kembali mengerang rendah sembari menikmati dirinya. Malam panjang penuh siksaan bagi Adrienne dia lalui dengan bulir-bulir air mata. Lemah tak berdaya di bawah kendali Drew, tidak sedikitpun dia memiliki ruang untuk mengelak. Kaki yang tadinya terbebas turut Drew borgol hingga Adrienne benar-benar tidak bisa melakukan apapun selain menangis. Dengan napas tersengal, Drew menatap nanar Adrienne. Wanita itu pingsan setelah tak mampu mengimbangi permainan Drew. Menyedihkan, amat menyedihkan kondisi Adrienne saat ini ulah pria bajingan itu. Drew turun, mencium kening Adrienne. “Maaf.” Lalu kembali menatap Adrienne, tatapannya menyimpan makna yang entah. Drew seringkali bertindak dengan tidak terduga. Kemudian, pria itu turun dari ranjang. Membawa langkah lebarnya menuju kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Setelah selesai, ia melepas borgol di tangan dan kaki Adrienne. Selanjutnya, Drew keluar kamar pun memanggil Anna untuk membersihkan tubuh Adrienne. Ia tidak peduli pukul berapa saat ini, perintahnya tetap perintah. Keesokan paginya, Adrienne bangun dengan tubuh yang terasa remuk. Ruangan terasa cukup dingin, tetapi Adrienne merasa ada sedikit kehangatan. Di belakangnya, Drew tidur sambil melingkarkan tangan di pinggang Adrienne. Pikiran Adrienne berputar pada kejadian semalam. Mengingat itu, ia kembali meradang. Dia menyingkirkan tangan Drew dari sana, ketika dia turun dari ranjang dan hendak melangkah, Adrienne meringis merasakan sakit dan perih di bagian bawahnya. “Sshh.” Suara Adrienne masuk ke pendengaran Drew. Pria matang tersebut sontak membuka mata dan ia mendapati Adrienne tengah berjalan tertatih menuju kamar mandi. Dia bangun, tetapi tidak menyusul Adrienne melainkan keluar menuju kamarnya. Adrienne menghela napas kasar melihat penampakan tubuhnya yang amat kacau dari pantulan cermin. Ada banyak pertanyaan dalam benaknya mengenai perempuan yang Drew sebut namanya semalam. “Siapa perempuan itu? Jika lelaki sampai membayangkan perempuan, artinya perempuan itu memiliki posisi penting di hatinya, bukan? Dulu aku mendengar cerita Ibu dan sama seperti yang kualami sekarang. Bondar bercinta dengannya tapi membayangkan selingkuhannya. Astaga, sampai kapan takdirku seperti ini? Jika terus begini, aku sama saja seperti mati tanpa kehilangan denyut nadi,” gumam Adrienne merasa sangat kasihan dengan dirinya. Sembari membasahi diri di bawah guyuran air shower, Adrienne tiba-tiba terpikirkan sesuatu. “Dia hanya menginginkan keturunan kan? Artinya aku bisa terlepas dari dia setelah aku hamil dan melahirkan. Tapi … budaya keluarga konglomerat, setiap penerus adalah lelaki. Artinya aku harus hamil dan melahirkan anak lelaki. Apakah aku bisa?” gumamnya berpikir keras. Mengingat itu, Adrienne merasa ada setitik harapan untuk terlepas dari jerat Drew. Tugasnya hanya untuk hamil dan melahirkan, setelah itu Adrienne akan terbebas dari sangkar emas ini. Ya, benar begitu dan … semoga. “Apakah aku boleh jalan-jalan keluar?” Drew menaikkan sebelah alisnya mendengar pertanyaan Adrienne. Bukankah seharusnya perempuan itu marah padanya, tapi kenapa suaranya terdengar lebih anggun? “Apakah kau kehilangan suaramu dan tidak bisa bicara setelah puas semalam terus mengerang seperti hewan di atasku?” sindir Adrienne menohok. Seleste—adik perempuan Drew memandang takjub pada Adrienne. Setelah pernikahan kemarin, keluarga Drew tidak langsung kembali ke kediaman utama di Boston. “Kakak pertama sepertinya punya lawan yang sepadan, Mam,” kekeh Seleste berbisik pada ibunya, acuh walau paruh baya itu tampak kurang menyukai Adrienne walau rasa takjub itu ada. Lebih dulu Drew meneguk air di gelas hingga surut. “Pergi saja. Bawa Anna dan kau tidak boleh pergi tanpa pengawal!” tegas Drew terdengar tidak ingin dibantah. “Oke.” Adrienne tidak masalah jika harus ada pengawal yang menemaninya. Dia ingin menghirup udara luar dan ingin mengetahui indahnya Toronto. “Setelah selesai, temui aku di kamar! Aku selesai.” Drew menekan tepi meja makan, sedikit mendorong kursi lalu berdiri dan membawa langkah lebarnya naik ke lantai tiga. Adrienne menghela napas berat, sejujurnya dia sangat malas berhadapan dengan Drew. Namun hidupnya saat ini benar-benar berada di tangan pria itu. “Layani aku!” perintah Drew membuat mata Adrienne membulat begitu saja. “Kau—” “Kau sengaja menggodaku dengan pakaianmu seperti ini?!” desis Drew menurunkan tali spaghetti dress yang Adrienne kenakan. “Kau yang menyiapkannya, semua pakaianku seperti ini! Kenapa kau menyalahkanku?!” Adrienne melotot galak, dia menepis tangan Drew, tetapi pria itu langsung mengunci kedua tangan Adrienne di kepalan tangannya hingga Adrienne tersentak ke depan. “Kau membuatku bergairah.” Drew berbisik rendah di perpotongan leher Adrienne. “Layani aku. Sepuluh menit dan kau boleh jalan-jalan keluar, Angel.” “Kau minta saja sama Allena sana!” Adrienne masih sangat kesal dengan kejadian semalam hingga pernyataan itu terlontar begitu saja. Drew geram. Lalu, tanpa aba-aba, ia kembali merengut tubuh perempuan itu. Penyatuan itu kembali terjadi, kali ini gelora itu terasa pekat karena Adrienne sama sekali tidak memberontak. Teringat akan dirinya harus segera hamil maka biarlah Drew memenuhi rahimnya agar janin itu cepat tumbuh. “Kau manis, Angel.” Mata sayu Adrienne menatap Drew yang tengah mengusap bibirnya setelah ia turun ke bawah mereguk manis madu pelepasannya, sambil bergidik ngeri. “Dia seperti bukan manusia,” ucap Adrienne dalam hati. Sekitar pukul sebelas, Adrienne keluar dari sangkar emas tersebut. Jujur, dia sangat takjub dengan indahnya Toronto. Berdiri wanita itu di tepi jembatan Humber Bay Arch yang di bawahnya terdapat aliran sungai nan mengalir ke danau Ontario. Berharap penat dan lelahnya hilang dengan cara seperti ini. Namun, Adrienne justru mendapati pesan yang Anna sampaikan dan itu membuat dia menggulirkan bola matanya jengah. Padahal dia tidak memiliki niat itu sama sekali. “Sampai kutau kau membantunya mendapatkan obat pencegah kehamilan, kutikam mati kau dan Anna!” Begitulah pesan yang Drew kirimkan kepada supir pribadi Adrienne dan diteruskan pada Anna.Adrienne terkekeh sinis melihat pesan singkat tersebut. Ia memutar bola mata dengan malas dan memutuskan membalasnya langsung dari ponsel sopir pribadinya itu. “Aku tidak akan menggugurkan anak di dalam kandunganku jika aku hamil nanti. Kau tak perlu mengancam semua orang di sini, Bedebah! Kurang kerjaan sekali kau rupanya.” Dia tidak peduli jika balasan pesannya itu berhasil membuat si sopir dan Anna semakin gugup ketakutan. Menurut Adrienne, Drew sangat lah berlebihan padahal dia sama sekali tidak memiliki pemikiran seperti itu. “Aku jadi penasaran dengan tingkat parnonya,” celetuk Adrienne bergumam pelan. Kemudian wanita itu menatap laki-laki berseragam serba hitam di samping Anna. “Boleh aku meminjam ponselmu?” tanya Adrienne dengan maksud. Sopir tersebut segera menoleh pada Anna dengan satu tangan memegangi pergelangan tangan lainnya. Dia tampak ragu, tetapi kepalanya segera mengangguk saat Anna mengiyakan. “Tentu, Nyonya. Silahkan, Anda boleh memakainya.” Adrienne m
Waktu berlalu dan semuanya tak ada yang berubah. Drew tetap dengan sikap acuh tak acuhnya, tak memberikan perhatian layaknya suami terhadap istri. Sebaliknya ia justru sering menekan Adrienne. Mengancam untuk tidak melakukan hal yang membuat Adrienne menunda kehamilan, itu dan ini. Lalu setelahnya dia akan sibuk, berkutat dengan berkas-berkas perusahaan, melakukan meeting, meninjau proyek dan lain-lain hingga waktu yang Adrienne dapatkan dari suaminya benar-benar jika hanya di ranjang saja. Kebosanan menggelayuti Adrienne hingga dua pekan lamanya. Terhitung kini satu bulan kurang lebih ia berada di sangkar emas tersebut. Asing, itulah yang Adrienne rasakan. Setiap hari Adrienne melemparkan pertanyaan pada dirinya sendiri, sebenarnya apa gunanya ia di sini? Apakah dirinya betulan hanya sekedar wanita pemuas nan harus melahirkan anak lelaki untuk Drew? Baginya, setiap hari adalah rutinitas yang sama, bangun tidur, menyiapkan sarapan, menunggu Drew pergi bekerja, lalu menghabiskan
“Apakah warna lipstik ini benar cocok untukku, Anna?” Adrienne mematut pantulan dirinya di cermin. Sembari itu ia melemparkan pertanyaan pada Anna yang tengah menyisir rambutnya. Dia baru mencoba lipstik baru, atas rekomendasi Anna. Anna melemparkan senyum manis dan menganggukkan kepala. “Cocok, Nyonya. Warna nude sangat pas dengan tone kulit Anda. Tidak membuat kusam ataupun terlalu bold. Natural,” balasnya. “Tuan pasti akan suka melihat riasan Anda hari ini.”Tidak tahu mendapatkan inisiatif dari mana, Adrienne tiba-tiba ingin memakai riasan. Hingga ia meminta Anna untuk mengeluarkan peralatan kosmetik baru yang dia beli beberapa waktu lalu. Bisa dibilang kebutuhan Adrienne di sini terpenuhi dengan baik. Tak ada satupun yang kurang. Makanannya diperhatikan dengan sangat baik, kesehatan fisiknya pun demikian, ada dokter yang memantau kesehatan Adrienne. Jelas saja karena ia adalah calon ibu dari calon pangeran trah Hidalgo generasi selanjutnya. Namun, bukankah hanya sekedar makana
Mendengar pertanyaan sederhana yang terasa berat dari Adrienne, sontak saja berhasil membuat Seleste tersedak ludahnya sendiri. Gadis berambut blonde itu terdiam, dalam waktu yang cukup lama. Ia terlihat tengah berpikir keras memikirkan jawaban yang pas atas pertanyaan Adrienne.“Hey! Aku bertanya padamu. Kenapa kau mematung?” Adrienne menjentikkan jari di depan wajah Seleste sambil mendengus, kesal dengan ketidakresponsifan adik iparnya.Seleste yang tengah melamun lantas terperanjat kaget. Ia mengerjapkan mata lalu berdehem pelan, berusaha menormalkan mimik wajahnya kembali. “Ah maaf, aku tadi teringat sesuatu,” katanya sambil tersenyum canggung.Sementara itu, Adrienne tak menyurutkan rasa curiganya pada Seleste. Dia merasa bahwa tidak ada orang yang bisa dipercaya di kediaman yang berisikan orang-orang munafik ini. “Jangan mengalihkan pembicaraan, Seleste. Aku butuh jawaban yang jujur darimu. Kau pasti tau bagaimana kakakmu!" tanya Adrienne dengan nada lebih mendesak.“Begini. K
Adrienne berdiri di dapur, mengaduk-aduk panci berisi sup yang sudah hampir matang. Aroma wangi kaldu ayam memenuhi ruangan, tetapi pikiran Adrienne melayang ke tempat lain. Sudah satu bulan ini dia berusaha menjadi istri yang ideal untuk Drew. Semua perkataan Seleste dia lakukan tanpa terlewat sedikitpun. Walau perasaan marah dan kesal itu selalu ada sebab kerap kali Drew masih menunjukkan sikap yang sama, yaitu datang jika dia harus memuaskan birahi pria itu. Namun, Adrienne tidak ingin berhenti walau dengan sangat berat hati ia melakukannya. "Jika aku berhenti dan menyerah maka aku akan mati mengenaskan di tangan bajingan itu!" Begitulah kurang lebih kata-kata yang ia sematkan di otak guna memacu semangatnya. Setiap hari, Adrienne menguatkan mental, memupuk kesabaran lebih ekstra lagi. Dia mengurangi kata-kata sarkasnya pada Drew, berpenampilan dengan lebih anggun, melenyapkan nyaris sepenuhnya sosok Adrienne yang sesungguhnya. "Well, kurang baik apa aku sebagai is
Terperanjat, sontak saja kelopak mata Drew terbuka lebar ketika suara itu mengalun kencang di telinganya. Sementara gerakan perempuan di atas Drew kian terhenti dengan tubuh sedikit menegang. Luruh seketika kesenangan mereka. Jiwa yang tengah terbang ke awang-awang, mendadak terhempas jatuh ke dasar hingga umpatan kasar terlolos begitu saja dari bibir Drew. "Fuck!" Memang siapa orang yang tidak geram jika kesenangannya diganggu seperti ini? Adrienne menatap jijik pada dua orang yang sedang bergumul itu. Apalagi ketika Drew langsung menyambar jas guna menutupi tubuh sintal perempuan tersebut yang segera turun dari tubuh suaminya itu. Di belakang Adrienne, Walter menyusul masuk dengan napas tersengal-sengal. Wajahnya memucat pun tubuhnya terlihat tegang dan kaku ketika Drew melemparkan tatapan menghujam padanya. Segera saja Walter melontarkan kata maaf pada atasannya tersebut sebab ia tak bisa mencegah Adrienne untuk tidak masuk ke dalam. Adrienne tak mempedulikan pria yang
"Jawab aku, siapa jalang itu!?" Adrienne tampak semakin geram.Drew menatap sekilas ke arah Adrienne dan sama sekali tak menggubris pertanyaan yang dilontarkan oleh istrinya. Dia justru lebih memilih menenangkan perempuan yang terus menggelayut dan bersembunyi di balik tubuh kekarnya, sembari merengek manja. Memuakkan sekali, pikir Adrienne."Sudahlah, biarkan saja dia," ujar Drew dengan kata yang terdengar begitu lembut, pada perempuan yang Adrienne sebut jalang itu."Tapi, Honey ... dia mengataiku jalang. Usir saja dia!" pinta perempuan itu dengan ekspresi manja."Ssstt, Darling ... biarkan saja! Bagiku kau tak seperti itu. Bahkan, kau jauh lebih baik dari perempuan sepertinya." Melambung tinggilah perempuan itu.Seketika Adrienne memutar bola mata muak pun jengah bukan kepalang, berusaha sekuat mungkin melihat betapa menjijikannya mereka berdua. Kedua tangannya mengepal erat, seolah ingin meremas keduanya hingga hancur berkeping-keping, seandainya saja bisa."Apa kau tuli?!" seru A
"Dia Allena Sashenka, tunanganku. Kau tidak berhak mengatur apapun di sini. Ingat posisimu. Lebih baik sekarang kau pergi, Rien!"Masih terbesit dengan jelas di ingatan Adrienne, saat Drew membisikan kalimat itu beberapa jam yang lalu, tanpa sedikitpun rasa bersalah. Layaknya iblis yang tak punya hati, dia mengusir bahkan menginjak-injak harga diri istrinya sendiri di depan orang lain.Perempuan itu duduk menyendiri di sudut cafe yang tak terlalu ramai pengunjung. Irama musik mengalun sendu, seolah mengiringi lirih batinnya yang teriris pilu. Dia masih saja bermanja dengan lukanya, tak peduli berapa kali kedua pengawal yang menjaganya memaksa dia untuk kembali. Kembali ke sangkar emas yang tak lebih dari sebuah penjara untuknya.Terjawab sudah kini siapa Allena yang sempat Drew desahkan saat mereka pertama kali menyatu. Terkekeh sinis, Adrienne semakin merasa miris dengan nasibnya. "Jika dia memiliki tunangan, mengapa tak dia nikahi saja perempuan itu? Apakah dia sengaja menjebakku d