Share

Jerat Gairah Pewaris Arogan
Jerat Gairah Pewaris Arogan
Penulis: Klandestin

01. Gadis Malang

“Kau akan pergi ke Toronto dan hidup di sana.”

Bola mata Adrienne terbelalak. “Maksud Ayah? Apakah aku akan sekolah di sana? Benarkah Ayah mengizinkanku untuk sekolah dan belajar? Sungguh?” tanyanya nyaris memekik karena belajar dan sekolah adalah salah satu mimpi Adrienne.

“Percaya diri sekali kau!” Bondar menoyor kepala Adrienne. “Orang miskin tidak pantas untuk bersekolah, kau tau itu! Kau akan hidup di Toronto dengan pria yang sudah membeli kau!”

Begitu Bondar mengucapkan kalimat itu, wajah Adrienne seketika memucat. Matanya terbuka lebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dadanya terasa sesak dan jantungnya berdetak semakin cepat kini.

“A-ayah menjualku? Bagaimana bisa Ayah melakukan ini? Aku bukan barang yang bisa dijual!” Mempertahankan haknya sebagai seorang anak dan manusia, Adrienne berusaha menentang keputusan Bondar yang sangat tidak manusiawi.

“Kau tau, hidup ini keras. Dan ini adalah keputusan yang terbaik!” tampik Bondar menyilangkan tangan di depan dada. Wajahnya tampak bengis dan arogan juga sombong.

“Terbaik untuk siapa? Untuk Ayah? Karena ini jelas bukan untukku!” seru Adrienne melototkan mata.

“Kau tidak memiliki pilihan, Adrienne! Ini sudah diputuskan. Kau akan pergi ke Toronto!”

Perasaan marah dan dikhianati kian menyelimuti hati Adrienne. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata, tapi ia berusaha untuk menahan walau kini Adrienne merasa bahwa dunianya telah runtuh dan benar-benar runtuh.

“Ayah tidak berhak membuat keputusan ini untukku! Tidak cukup Ayah melarangku untuk hidup seperti gadis lainnya, sekolah, belajar, bermain dan memiliki teman? Kenapa Ayah melakukan ini?” teriak Adrienne langsung dihadiahi tamparan telak di wajahnya.

Bondar membenci perlawanan terhadapnya.

“Berani kau berteriak di depanku?” bentak Bondar dengan mata melotot galak. “Kau selalu menjadi tanggung jawabku dan aku tau apa yang terbaik. Kau hanya perlu patuh terhadap orang tuamu, itu adalah tugas seorang anak!”

Adrienne tidak tahu harus bereaksi apa terhadap kenyataan pahit yang kembali dia hadapi. Dengan mata merah berkaca-kaca, Adrienne menatap Bondar dengan sinar mata menghiba sambil memegangi pipinya yang terasa panas.

“Tidak! Ayah tidak tau itu! Ayah tidak pernah peduli dengan apa yang aku inginkan bahkan kebutuhanku pun Ayah tidak pernah tau. Ini bukan tentangku, ini tentang ego Ayah yang haus akan uang!” Kedua tangan Adrienne terkepal kencang hingga buku-bukunya memutih. “Aku tidak akan pergi. Aku akan mencari cara untuk tetap di sini, apapun yang terjadi!”

Bondar tersenyum sinis melihat tekad Adrienne. Ia akui bahwa dengan keras ia bersikap pada Adrienne, mampu memupuk keberanian anak itu, dan hal tersebut cukup mengagumkan. “Kau takkan pernah bisa lari dariku! Daripada membuang-buang energi, lebih baik kau patuh terhadapku!”

“Kau tau ....” Adrienne memberanikan diri berdiri di depan Bondar dan balik membalas tatapan bengis Ayah tirinya itu. “Kali ini aku akan melawanmu. Aku tidak akan membiarkan Ayah menghancurkan hidupku lagi, sudah cukup selama ini aku hidup menderita di bawah tekanan darimu!”

Kali ini, Bondar membiarkan Adrienne keluar dari rumah. Ia tak mencegahnya, memangnya apakah Adrienne bisa lari ketika di depan sana sudah ada seseorang yang menunggunya? “Hanya dia yang bisa melunasi hutang-hutangku kepada pria itu,” gumam Bondar sambil membakar rokok.

Di sana, Adrienne melangkah dengan perasaan hancur berderai. Ia benar-benar tak terima diperlakukan seperti ini oleh Bondar. “Ayah seperti apa yang sudi menjual anaknya. Kutau jika orang tua tiri pasti tidak akan menyayangi anak tirinya, tapi apa harus sejahat dia?” gerutu Adrienne sambil memakai sandal jepit.

“Ibu ... dengan pria seperti ini kah kau meninggalkanku? Aku–hmpt!” Adrienne tak menyelesaikan kalimatnya begitu ia membalikkan tubuh hendak melangkah meninggalkan teras rumah, tiba-tiba mulutnya dibekap oleh seseorang berpakaian serba hitam. Kontan Adrienne kehilangan kesadarannya akibat bius.

Melihat itu, Bondar yang baru saja keluar dari dalam langsung terkekeh-kekeh bak iblis tak berhati. Apalagi melihat salah satu dari mereka memberikan satu koper kecil berisi lembaran uang dalam jumlah banyak padanya. Matanya seketika menghijau. Dia suka yang hijau-hijau.

“Jika tidak sesuai dengan kesepakatan, nyawamu dan putrimu yang akan jadi taruhan!” desis pria tersebut pada Bondar.

Bondar tertawa kecil sambil menghisap kuat batang rokok. “Kupastikan Mr. Hidalgo akan mendapatkan kemurniannya!” balas Bondar menerima koper tersebut lalu membiarkan dua lelaki berbadan besar itu membawa Adrienne.

***

Adrienne bangun di sebuah ruangan yang gelap dan dingin. Kepalanya masih berdenyut dan penglihatannya buram. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi, tetapi kesadarannya masih belum pulih sepenuhnya.

Saat matanya mulai menyesuaikan diri dengan kegelapan, dia menyadari bahwa kini dirinya berada di dalam ruangan asing. Seluruh interior yang ada di ruangan tersebut berwarna merah termasuk pembaringan yang kini ia ada di atasnya.

Adrienne menggeliat, mencoba bergerak, tetapi ia merasa terikat. "Di mana aku?" Ia berucap lirih. "Apa yang terjadi?"

Dia menarik tangannya, tetapi justru menemukan dirinya diikat erat di tempat tidur. Ketakutan mulai menyusup ke dalam diri saat pintu ruangan terbuka perlahan, seorang pria masuk.

Pria itu tinggi, dengan aura yang sangat kuat dan dominan. Wajahnya terpahat tajam, matanya penuh dengan obsesi nan mengintimidasi. Pria tersebut menatap Adrienne dengan intens, membuat Adrienne semakin merasa terpojok.

"Mimpi indah di tidurmu, Angel?" Ia melangkah mendekat, suaranya tenang tapi terdengar sangat tegas.

"S-siapa kau? Kenapa aku di sini?" tanya Adrienne berusaha melawan ketakutan dalam dirinya. Ia tidak pernah merasakan tekanan dari aura sepekat ini. Adrienne merasa risih. "A-apa? Kenapa menatapku seperti itu?!"

Sudut bibir pria itu melengkung sinis ke atas. "Aku ingin kau, Adrienne Maizahira." Matanya menelusuri tubuh Adrienne tanpa terlewatkan barang secuil pun.

Adrienne merasa sangat ngeri melihat bola mata pria itu yang bergerak-gerak seperti sensor pemindai. Ia berusaha menghindar seutuhnya tatkala pria tersebut semakin mendekat. Namun apalah daya, adalah sia-sia usaha yang Adrienne lakukan. Terikat kedua tangan dan kakinya, ia tak bisa apa-apa selain memberontak dengan berteriak.

"Jangan sentuh aku!" teriak Adrienne. "Tolong! Tolong aku!"

Tawa berat menggema di red room tersebut. Bahu pria itu terlonjak singkat, menertawai Adrienne. "Kau keras kepala, dan aku menyukai gadis keras kepala sepertimu!" Menarik kursi, ia duduk di dekat tempat tidur, menatap Adrienne dengan tatapan intens sembari menyilangkan tangan dengan kedua kaki terbuka lebar. "Aku akan memberimu waktu untuk merenungkan posisimu. Ah, mungkin kau belum sadar. Baik, biar kuberi tahu. Saat ini kau adalah milikku. Ayahmu yang bajingan itu telah menukarmu dengan uang yang sangat banyak!"

Dia adalah Drew Richard Hidalgo, pangeran sulung trah Hidalgo yang memberikan bantuan dengan begitu murah hati pada Bondar yang membutuhkan uang dalam jumlah banyak untuk membayarkan hutangnya pada pebisnis nan terkenal arogan di Montana. Namun, Drew tentu tidak akan membantu orang tanpa imbalan. Sebagai gantinya, ia meminta Adrienne. Dengan begitu hutang Bondar lunas dan keinginan Drew terhadap gadis itu kian tercapai.

Adrienne membelalak lebar. Seketika ia berusaha untuk mengingat sesuatu yang terjadi sebelumnya. Jantungnya kontan memompa dua kali lebih cepat. Dia ingat perdebatan terakhirnya dengan Bondar, lalu setelah mendebat ia keluar dari rumah dan seseorang membius dirinya sebelum ia tak sadarkan diri hingga terjaga kini ia di tempat menyeramkan ini.

Kembali terkekeh rendah, pria dengan mata setajam elang itu mencondongkan tubuhnya ke depan, menumpu kedua siku di atas paha dan kian bertopang dagu.

"Jadilah milikku malam ini dan malam-malam yang akan datang. Denganku atau kau tidak akan bahagia sama sekali, Angel."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status