“Kau akan pergi ke Toronto dan hidup di sana.”
Bola mata Adrienne terbelalak. “Maksud Ayah? Apakah aku akan sekolah di sana? Benarkah Ayah mengizinkanku untuk sekolah dan belajar? Sungguh?” tanyanya nyaris memekik karena belajar dan sekolah adalah salah satu mimpi Adrienne. “Percaya diri sekali kau!” Bondar menoyor kepala Adrienne. “Orang miskin tidak pantas untuk bersekolah, kau tau itu! Kau akan hidup di Toronto dengan pria yang sudah membeli kau!” Begitu Bondar mengucapkan kalimat itu, wajah Adrienne seketika memucat. Matanya terbuka lebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dadanya terasa sesak dan jantungnya berdetak semakin cepat kini. “A-ayah menjualku? Bagaimana bisa Ayah melakukan ini? Aku bukan barang yang bisa dijual!” Mempertahankan haknya sebagai seorang anak dan manusia, Adrienne berusaha menentang keputusan Bondar yang sangat tidak manusiawi. “Kau tau, hidup ini keras. Dan ini adalah keputusan yang terbaik!” tampik Bondar menyilangkan tangan di depan dada. Wajahnya tampak bengis dan arogan juga sombong. “Terbaik untuk siapa? Untuk Ayah? Karena ini jelas bukan untukku!” seru Adrienne melototkan mata. “Kau tidak memiliki pilihan, Adrienne! Ini sudah diputuskan. Kau akan pergi ke Toronto!” Perasaan marah dan dikhianati kian menyelimuti hati Adrienne. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata, tapi ia berusaha untuk menahan walau kini Adrienne merasa bahwa dunianya telah runtuh dan benar-benar runtuh. “Ayah tidak berhak membuat keputusan ini untukku! Tidak cukup Ayah melarangku untuk hidup seperti gadis lainnya, sekolah, belajar, bermain dan memiliki teman? Kenapa Ayah melakukan ini?” teriak Adrienne langsung dihadiahi tamparan telak di wajahnya. Bondar membenci perlawanan terhadapnya. “Berani kau berteriak di depanku?” bentak Bondar dengan mata melotot galak. “Kau selalu menjadi tanggung jawabku dan aku tau apa yang terbaik. Kau hanya perlu patuh terhadap orang tuamu, itu adalah tugas seorang anak!” Adrienne tidak tahu harus bereaksi apa terhadap kenyataan pahit yang kembali dia hadapi. Dengan mata merah berkaca-kaca, Adrienne menatap Bondar dengan sinar mata menghiba sambil memegangi pipinya yang terasa panas. “Tidak! Ayah tidak tau itu! Ayah tidak pernah peduli dengan apa yang aku inginkan bahkan kebutuhanku pun Ayah tidak pernah tau. Ini bukan tentangku, ini tentang ego Ayah yang haus akan uang!” Kedua tangan Adrienne terkepal kencang hingga buku-bukunya memutih. “Aku tidak akan pergi. Aku akan mencari cara untuk tetap di sini, apapun yang terjadi!” Bondar tersenyum sinis melihat tekad Adrienne. Ia akui bahwa dengan keras ia bersikap pada Adrienne, mampu memupuk keberanian anak itu, dan hal tersebut cukup mengagumkan. “Kau takkan pernah bisa lari dariku! Daripada membuang-buang energi, lebih baik kau patuh terhadapku!” “Kau tau ....” Adrienne memberanikan diri berdiri di depan Bondar dan balik membalas tatapan bengis Ayah tirinya itu. “Kali ini aku akan melawanmu. Aku tidak akan membiarkan Ayah menghancurkan hidupku lagi, sudah cukup selama ini aku hidup menderita di bawah tekanan darimu!” Kali ini, Bondar membiarkan Adrienne keluar dari rumah. Ia tak mencegahnya, memangnya apakah Adrienne bisa lari ketika di depan sana sudah ada seseorang yang menunggunya? “Hanya dia yang bisa melunasi hutang-hutangku kepada pria itu,” gumam Bondar sambil membakar rokok. Di sana, Adrienne melangkah dengan perasaan hancur berderai. Ia benar-benar tak terima diperlakukan seperti ini oleh Bondar. “Ayah seperti apa yang sudi menjual anaknya. Kutau jika orang tua tiri pasti tidak akan menyayangi anak tirinya, tapi apa harus sejahat dia?” gerutu Adrienne sambil memakai sandal jepit. “Ibu ... dengan pria seperti ini kah kau meninggalkanku? Aku–hmpt!” Adrienne tak menyelesaikan kalimatnya begitu ia membalikkan tubuh hendak melangkah meninggalkan teras rumah, tiba-tiba mulutnya dibekap oleh seseorang berpakaian serba hitam. Kontan Adrienne kehilangan kesadarannya akibat bius. Melihat itu, Bondar yang baru saja keluar dari dalam langsung terkekeh-kekeh bak iblis tak berhati. Apalagi melihat salah satu dari mereka memberikan satu koper kecil berisi lembaran uang dalam jumlah banyak padanya. Matanya seketika menghijau. Dia suka yang hijau-hijau. “Jika tidak sesuai dengan kesepakatan, nyawamu dan putrimu yang akan jadi taruhan!” desis pria tersebut pada Bondar. Bondar tertawa kecil sambil menghisap kuat batang rokok. “Kupastikan Mr. Hidalgo akan mendapatkan kemurniannya!” balas Bondar menerima koper tersebut lalu membiarkan dua lelaki berbadan besar itu membawa Adrienne. *** Adrienne bangun di sebuah ruangan yang gelap dan dingin. Kepalanya masih berdenyut dan penglihatannya buram. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi, tetapi kesadarannya masih belum pulih sepenuhnya. Saat matanya mulai menyesuaikan diri dengan kegelapan, dia menyadari bahwa kini dirinya berada di dalam ruangan asing. Seluruh interior yang ada di ruangan tersebut berwarna merah termasuk pembaringan yang kini ia ada di atasnya. Adrienne menggeliat, mencoba bergerak, tetapi ia merasa terikat. "Di mana aku?" Ia berucap lirih. "Apa yang terjadi?" Dia menarik tangannya, tetapi justru menemukan dirinya diikat erat di tempat tidur. Ketakutan mulai menyusup ke dalam diri saat pintu ruangan terbuka perlahan, seorang pria masuk. Pria itu tinggi, dengan aura yang sangat kuat dan dominan. Wajahnya terpahat tajam, matanya penuh dengan obsesi nan mengintimidasi. Pria tersebut menatap Adrienne dengan intens, membuat Adrienne semakin merasa terpojok. "Mimpi indah di tidurmu, Angel?" Ia melangkah mendekat, suaranya tenang tapi terdengar sangat tegas. "S-siapa kau? Kenapa aku di sini?" tanya Adrienne berusaha melawan ketakutan dalam dirinya. Ia tidak pernah merasakan tekanan dari aura sepekat ini. Adrienne merasa risih. "A-apa? Kenapa menatapku seperti itu?!" Sudut bibir pria itu melengkung sinis ke atas. "Aku ingin kau, Adrienne Maizahira." Matanya menelusuri tubuh Adrienne tanpa terlewatkan barang secuil pun. Adrienne merasa sangat ngeri melihat bola mata pria itu yang bergerak-gerak seperti sensor pemindai. Ia berusaha menghindar seutuhnya tatkala pria tersebut semakin mendekat. Namun apalah daya, adalah sia-sia usaha yang Adrienne lakukan. Terikat kedua tangan dan kakinya, ia tak bisa apa-apa selain memberontak dengan berteriak. "Jangan sentuh aku!" teriak Adrienne. "Tolong! Tolong aku!" Tawa berat menggema di red room tersebut. Bahu pria itu terlonjak singkat, menertawai Adrienne. "Kau keras kepala, dan aku menyukai gadis keras kepala sepertimu!" Menarik kursi, ia duduk di dekat tempat tidur, menatap Adrienne dengan tatapan intens sembari menyilangkan tangan dengan kedua kaki terbuka lebar. "Aku akan memberimu waktu untuk merenungkan posisimu. Ah, mungkin kau belum sadar. Baik, biar kuberi tahu. Saat ini kau adalah milikku. Ayahmu yang bajingan itu telah menukarmu dengan uang yang sangat banyak!"Dia adalah Drew Richard Hidalgo, pangeran sulung trah Hidalgo yang memberikan bantuan dengan begitu murah hati pada Bondar yang membutuhkan uang dalam jumlah banyak untuk membayarkan hutangnya pada pebisnis nan terkenal arogan di Montana. Namun, Drew tentu tidak akan membantu orang tanpa imbalan. Sebagai gantinya, ia meminta Adrienne. Dengan begitu hutang Bondar lunas dan keinginan Drew terhadap gadis itu kian tercapai.
Adrienne membelalak lebar. Seketika ia berusaha untuk mengingat sesuatu yang terjadi sebelumnya. Jantungnya kontan memompa dua kali lebih cepat. Dia ingat perdebatan terakhirnya dengan Bondar, lalu setelah mendebat ia keluar dari rumah dan seseorang membius dirinya sebelum ia tak sadarkan diri hingga terjaga kini ia di tempat menyeramkan ini. Kembali terkekeh rendah, pria dengan mata setajam elang itu mencondongkan tubuhnya ke depan, menumpu kedua siku di atas paha dan kian bertopang dagu. "Jadilah milikku malam ini dan malam-malam yang akan datang. Denganku atau kau tidak akan bahagia sama sekali, Angel."Keesokan paginya, Adrienne bangun dengan keadaan suhu tubuh yang meninggi. Semalam, Drew nyaris merenggut kesuciannya setelah pria itu mencumbu setiap inci tubuhnya dengan posisi ia yang masih terikat rantai. Tersiksa berat Adrienne, meronta, menjerit, berteriak dan meraung, memohon sedikit belas kasihan pada Drew agar tidak melakukannya. Beruntunglah bantuan datang melalui dering telepon yang membuat Drew langsung meninggalkan Adrienne tanpa sepatah kata pun. Matanya yang dulu masih memancarkan kilau kini redup sempurna, penuh dengan luka yang tak terlihat. Hatinya hancur berkeping-keping, setiap bagian dari dirinya menjerit dalam kesedihan yang tak terperi. Dia merasa seolah-olah dunia telah berpaling darinya, meninggalkannya dalam kegelapan yang tak berujung. “Kenapa selalu aku?” Adrienne menjerit dalam hati, kepalanya tertunduk, bahunya berguncang, ia mulai menangis. Adrienne merasa sangat lemah saat ini. Tak memiliki semangat barang secuil pun. Takdir seakan selalu mengeja
Sedari hari di mana Drew mengajak Adrienne menikah, gadis itu tak pernah lagi melihat batang hidung pangeran sulung trah Hidalgo tersebut. Entah kemana perginya Drew, seluruh pelayan di mansion pribadi pria matang itu turut mencarinya. Kini terhitung empat belas hari sudah Adrienne terkurung di dalam sangkar emas Drew. Segala kebutuhannya memang terpenuhi, tetapi Adrienne tidak memiliki akses keluar barang satu langkah pun dari tempat ini. Bahkan Adrienne tidak tahu keadaan di luar sana seperti apa. Apakah rumah mewah ini terletak di tepi jalan kah di tengah hutan atau bahkan di puncak pegunungan. Senang terbebas dari Bondar yang selalu menuntutnya untuk menghasilkan uang setiap hari? Tentu saja Adrienne senang, tetapi bukan kesenangan seperti ini yang dia inginkan. Ini sama saja seperti dia keluar kandang singa masuk kandang macan. “Anna, sampai kapan aku tidak diizinkan keluar?” Adrienne melemparkan pertanyaan pada pelayan yang ditugaskan untuk selalu menemaninya, Anna. “Sam
“Kau berani bernegosiasi denganku?” Drew terkekeh rendah mendengar permintaan Adrienne yang sangat berani. Pria matang itu duduk menegakkan tubuh, matanya membidik tajam pada lawan bicara di depannya. Sudah berdiri anggun Adrienne menggunakan gaun pengantin, mereka siap melakukan pemberkatan. “Masa bodoh!” desis Adrienne. “Kau pikir aku tidak bisa gila menghadapi orang gila sepertimu? Kau bisa mengencani wanita yang setara denganmu, lalu menikahinya. Bukan justru memanfaatkan kelemahan orang miskin sepertiku dengan embel-embel hutang. Kau tau, alasanmu terlalu klasik! Sebutan apa yang pantas untuk pria sepertimu? Bajingan kah bedebah?” “Kau adalah gadis paling kurang ajar yang pernah kutemui.” Drew berdiri, melangkah menghampiri Adrienne dengan kedua tangan masuk ke dalam sak celana. Berdiri, matanya menajam laksana mata elang yang tengah mengintai buruan. “Well ... sebab aku bajingan, aku memilih gadis keparat sepertimu. Kita akan menjadi pasangan gila yang menghancurkan dunia. Be
Adrienne tertegun, kewarasannya berguncang hebat. Mata yang tadinya terpejam, kini terbuka sempurna. Jadi, sejak tadi Drew membayangkan tengah bercinta dengan perempuan lain hingga berakhir mendesahkan nama Allena? Adrienne terkekeh sinis pun miris. Miris terhadap takdirnya Lalu, sedetik kemudian, Adrienne menendang kuat tubuh bagian bawah Drew yang ambruk di atas dirinya dengan lutut. Pria kontan mengerang kesakitan sebab lutut Adrienne mendarat tepat di kepemilikannya. Penyatuan keduanya pun kian terlepas dan Drew berguling ke sisi kanan. Aksinya tersebut jelas membuat Drew terkejut dan marah. Mata Drew melotot nyalang pada Adrienne, tampak urat kemarahannya mencuat di sekitar pelipis. “Allena! Ya, kau bercinta dengan perempuan bernama Allena! Kau bercinta dengan Allena, bukan Adrienne. Kau gila, kau benar-benar sinting!” teriak Adrienne dengan berapi-api. Sakit di bagian kewanitaannya belum lah hilang, bahkan ia masih merasakan sakit yang teramat akibat permainan Drew. Na
Adrienne terkekeh sinis melihat pesan singkat tersebut. Ia memutar bola mata dengan malas dan memutuskan membalasnya langsung dari ponsel sopir pribadinya itu. “Aku tidak akan menggugurkan anak di dalam kandunganku jika aku hamil nanti. Kau tak perlu mengancam semua orang di sini, Bedebah! Kurang kerjaan sekali kau rupanya.” Dia tidak peduli jika balasan pesannya itu berhasil membuat si sopir dan Anna semakin gugup ketakutan. Menurut Adrienne, Drew sangat lah berlebihan padahal dia sama sekali tidak memiliki pemikiran seperti itu. “Aku jadi penasaran dengan tingkat parnonya,” celetuk Adrienne bergumam pelan. Kemudian wanita itu menatap laki-laki berseragam serba hitam di samping Anna. “Boleh aku meminjam ponselmu?” tanya Adrienne dengan maksud. Sopir tersebut segera menoleh pada Anna dengan satu tangan memegangi pergelangan tangan lainnya. Dia tampak ragu, tetapi kepalanya segera mengangguk saat Anna mengiyakan. “Tentu, Nyonya. Silahkan, Anda boleh memakainya.” Adrienne m
Waktu berlalu dan semuanya tak ada yang berubah. Drew tetap dengan sikap acuh tak acuhnya, tak memberikan perhatian layaknya suami terhadap istri. Sebaliknya ia justru sering menekan Adrienne. Mengancam untuk tidak melakukan hal yang membuat Adrienne menunda kehamilan, itu dan ini. Lalu setelahnya dia akan sibuk, berkutat dengan berkas-berkas perusahaan, melakukan meeting, meninjau proyek dan lain-lain hingga waktu yang Adrienne dapatkan dari suaminya benar-benar jika hanya di ranjang saja. Kebosanan menggelayuti Adrienne hingga dua pekan lamanya. Terhitung kini satu bulan kurang lebih ia berada di sangkar emas tersebut. Asing, itulah yang Adrienne rasakan. Setiap hari Adrienne melemparkan pertanyaan pada dirinya sendiri, sebenarnya apa gunanya ia di sini? Apakah dirinya betulan hanya sekedar wanita pemuas nan harus melahirkan anak lelaki untuk Drew? Baginya, setiap hari adalah rutinitas yang sama, bangun tidur, menyiapkan sarapan, menunggu Drew pergi bekerja, lalu menghabiskan
“Apakah warna lipstik ini benar cocok untukku, Anna?” Adrienne mematut pantulan dirinya di cermin. Sembari itu ia melemparkan pertanyaan pada Anna yang tengah menyisir rambutnya. Dia baru mencoba lipstik baru, atas rekomendasi Anna. Anna melemparkan senyum manis dan menganggukkan kepala. “Cocok, Nyonya. Warna nude sangat pas dengan tone kulit Anda. Tidak membuat kusam ataupun terlalu bold. Natural,” balasnya. “Tuan pasti akan suka melihat riasan Anda hari ini.”Tidak tahu mendapatkan inisiatif dari mana, Adrienne tiba-tiba ingin memakai riasan. Hingga ia meminta Anna untuk mengeluarkan peralatan kosmetik baru yang dia beli beberapa waktu lalu. Bisa dibilang kebutuhan Adrienne di sini terpenuhi dengan baik. Tak ada satupun yang kurang. Makanannya diperhatikan dengan sangat baik, kesehatan fisiknya pun demikian, ada dokter yang memantau kesehatan Adrienne. Jelas saja karena ia adalah calon ibu dari calon pangeran trah Hidalgo generasi selanjutnya. Namun, bukankah hanya sekedar makana
Mendengar pertanyaan sederhana yang terasa berat dari Adrienne, sontak saja berhasil membuat Seleste tersedak ludahnya sendiri. Gadis berambut blonde itu terdiam, dalam waktu yang cukup lama. Ia terlihat tengah berpikir keras memikirkan jawaban yang pas atas pertanyaan Adrienne.“Hey! Aku bertanya padamu. Kenapa kau mematung?” Adrienne menjentikkan jari di depan wajah Seleste sambil mendengus, kesal dengan ketidakresponsifan adik iparnya.Seleste yang tengah melamun lantas terperanjat kaget. Ia mengerjapkan mata lalu berdehem pelan, berusaha menormalkan mimik wajahnya kembali. “Ah maaf, aku tadi teringat sesuatu,” katanya sambil tersenyum canggung.Sementara itu, Adrienne tak menyurutkan rasa curiganya pada Seleste. Dia merasa bahwa tidak ada orang yang bisa dipercaya di kediaman yang berisikan orang-orang munafik ini. “Jangan mengalihkan pembicaraan, Seleste. Aku butuh jawaban yang jujur darimu. Kau pasti tau bagaimana kakakmu!" tanya Adrienne dengan nada lebih mendesak.“Begini. K