"Aku sudah sembuh. Kau harus menepati janjimu." Bulan bicara sambil berusaha mengejar Aro. Aro berjalan cepat menuju ruang makan. Di belakangnya, Bulan tak berhenti mendesak. Perempuan itu memang sudah demikian sejak kemarin. Mentang-mentang perempuan itu sudah sehat, jadi dia terus meminta pulang. Ia tidak mengerti apa yang membuat Bulan tidak betah. Rumah ini lengkap. Pendingin ruangan, ada. Makanan, ada banyak pelayan yang bisa memasak apa saja yang Bulan inginkan. Hiburan? Ada televisi, Aro sudah memasang tv kabel sejak lama. Harusnya Bulan betah, tetapi perempuan itu malah terus mendesak agar dibolehkan pulang. Duduk di kursi makan, Aro mengabaikan Bulan yang terus berdiri di sampingnya. Lelaki itu makan dengan tenang, meski dari ekor mata terus mengamati Bulan. Wajah perempuan itu jelek sekali pagi ini. Ditekuk, dahinya berkerut macam orang tua. Padahal, gaun tidur yang dipakai cantik, Aro membelikannya kemarin. Tadi itu, Aro harusnya bisa memeluk si perempuan. Ia bahkan
"Siapa bajingan ini?" Aro menunjuk seorang pria yang tertangkap dalam foto. Pria itu jelek sekali. Matanya seolah akan melompat keluar di foto itu. Aro membencinya. Gino, orangnya Aro, menjawab, "Saya tidak tahu, Tuan. Sepertinya warga desa." Tatapan tajam Aro mengarah pada Gino. "Karena kau tidak mengenalnya, jadi kau tidak bisa menghabisinya? Mencokel matanya pun kau tidak mampu?" Aro melempar ponsel Gino ke meja. Si anak buah segera mengambil, kemudian kembali berdiri di dekat meja, kali ini dengan kepala tertunduk. "Maaf, Tuan," katanya. Aro merentangkan kedua lengan di sandaran sofa. Wajahnya menengadah, pria itu memejam. "Dengar, aku menyuruhmu berada di sekitarnya, bukan hanya untuk memberitahu dia ke mana dan sedang apa. Lain kali, jika ada pria yang berani menatapnya seperti tadi, lakukan sesuatu. Kau paham?" Gino mengangguk. "Baik, Tuan." Menghela napas, Aro membuka mata. Ia melihat Bulan. Bagaimana perempuan itu tersenyum saat akan pulang kemarin. Juga, Aro terbayang
Langkah Bulan menuju pintu lagi-lagi diadang. Berang, si perempuan mengumpulkan nyali untuk menatap pria yang sejak tadi membuatnya terkurung di gubuk mengerikan ini. Bulan tidak tahu siapa nama pria itu, tetapi ia yakin lelaki itu adalah orangnya Aro. "Di mana Aro?" tanya Bulan dengan dua tangan terkepal. Sumpah demi apa pun, Bulan sama sekali tak ingin berurusan lagi dengan bandit itu. Seminggu ini hidupnya sudah sangat tenang dan nyaman. Namun, apa? Aro tampaknya masih belum ingin membuatnya hidup tenang dan damai. Pria itu mengirim lima orang. Mereka memaksa Bulan ikut dan berakhir terkurung selama enam jam terakhir di sini. Di sebuah gubuk di mana Reza terbaring nyaris mati. Orang suruhan Aro itu berkata bahwa Bulan harus menghabisi Reza dulu, barulah mereka akan membiarkan Bulan pergi. Sungguh sesuatu yang tidak masuk akal, konyol dan mustahil. Bagaimana bisa Bulan melenyapkan Reza? Sekali pun orang suruhan Aro sudah menyediakan senjata api dan sebuah belati di meja. B
"Jadi ... sekarang kau pelayannya Bulan?" Fara mengakhiri pertanyaan dengan tawa mengejek. Perempuan itu perlu waktu beberapa saat untuk bisa berhenti terpingkal. Sungguh ini hiburan di dini hari yang menyenangkan. Cerita soal Bulan yang menjadikan Reza sebagai pelayan sudah tersebar. Di antara para bawahan Aro. Harusnya, hari ini Reza sudah mulai bekerja, tetapi Bulan bersikeras lelaki harus diobati dulu sebelum menjadi pelayan. Aro memerintahkan Reza dirawat di rumahnya saja. Demi mencegah si mantan anak buah kabur. Reza sama sekali tidak menolak, sebab baginya ini semua sungguh diluar perkiraan. "Menurutmu, Bulan akan menyuruhmu melakukan apa?" Fara kembali mengejek. "Memasak? Mencuci? Atau mengambil air ke sumur?" Perempuan itu terbahak sambil menepuk-nepuk tangan. Sudut matanya berair karena terlalu banyak tertawa. Ia puas. "Ah, kurasa dia akan menyuruhmu ke kebun dan mencari buah sawit." Kini tawa Fara menggema kencang. Namun, itu tak lama sebab Reza akhirnya memberi p
"Reza, bisa kau berjalan pelan-pelan saja?" Setengah berteriak, Bulan berlari mengejar Reza yang berjalan di depan. Bulan terengah. Ia tetap tak bisa menyamai langkah Reza, meski sudah berlari. Perempuan itu suarakan protes lagi. "Reza!" panggilnya kencang. Mata Bulan memicing. Bisa ia rasakan peluh mengalir di kening. Ia benar-benar tak habis pikir bagaimana Reza bisa berjalan secepat itu, padahal di bahunya ada satu jerigen air. Mereka dalam perjalanan menuju rumah habis dari sumur. Memutar bola mata, Reza menurunkan jerigen dari bahu. "Jika jalanmu lambat begitu, kita baru akan sampai besok." Bulan menghampiri. "Jangan jalan terlalu cepat, aku tertinggal jauh. Ini sudah sore." Ia mengedarkan pandangan dengan sorot takut. Teringat peristiwa mengerikan dulu. "Aku tidak berjalan cepat." "Tapi kakimu panjang!" Telunjuk Bulan mengarah ke kaki Reza. "Kakiku pendek. Aku tidak bisa menge--" Ucapan Bulan terpotong saat tiba-tiba seorang pria memegangi dua lengan dan memutarnya ke be
Bulan sangat lelah. Hari ini ia mendapat dua karung buah sawit. Mungkin, kalau bukan karena Reza, ia tak akan bisa pulang dan membawa dua karung penuh berondolan sawit. Saat langkahnya makin berat, Bulan terpaku tak jauh dari rumah. Api membumbung tinggi. Menyala terang, bahkan meski Bulan masih jauh ia bisa merasakan hawa panas dari kobaran merah itu. Bulan tercekat ketika sadar jika yang menyala-nyala itu adalah rumahnya. Tempat tinggalnya. Kaki Bulan berlari ke sana. Tatapannya cemas, berubah takut beberapa detik kemudian. Perempuan itu menutup mulut saat tangisnya datang. "Bulan, menjauh dari api." Reza sudah menurunkan karung sawit. Ia memegangi Bulan, menarik perempuan itu menjauh dari api. Namun, Bulan malah berusaha mendekat. Tersedu-sedu, ia mengingat sesuatu. Ia mencoba bicara, tetapi tangisnya mendesak ditumpahkan. "Bulan!" Reza menaikkan nada saat Bulan nyaris berlari menerjang rumah terbakar di depan mereka. Dipeganginya lengan perempuan itu kuat karena terus meronta
"Kau menghabiskan makananmu, bagus sekali." Tari berusaha memberi senyum pada Bulan. Ia angsurkan segelas air pada gadis itu, karena buburnya sudah habis. Sejak kemarin Tari ada di rumah ini. Di kediaman Aro. Wanita itu dijemput oleh anak buah si tuan langsung. Tari sebenarnya tidak sudi menginjak rumah ini, tetapi demi Bulan yang katanya sedang sakit, ibunya Fara itu pun mengalah. Terlebih setelah insiden rumah Bulan yang terbakar. Bulan demam. Seharian kemarin gadis itu hanya bisa terbaring di ranjang. Sampai sore ini bahkan masih makan bubur, sebab mengeluh perutnya juga sakit. Sudah diberi obat, tetapi belum membaik. "Terima kasih, Bik. Aku menyusahkanmu lagi." Bulan menatap Tari dengan sorot mata penuh sesal. Tari menggeleng. "Tidak masalah. Kau sudah merasa baikan? Apa perutmu masih sakit? Kata pria yang berjaga di depan, aku bisa menyuruhnya memanggil dokter jika kau merasa belum baikan." Sebenarnya Tari juga heran dengan keadaan ini. Ia tak menyangka pria kejam yang selam
Bulan ingat apa saja yang Aro lakukan padanya dua hari lalu. Bagaimana Aro sangat memaksa. Bagaimana jemari pria itu menyentuh, membelai dan mengoyaknya. Bagaimana bibirnya mencumbu. Serta seperti apa tubuhnya mendesak Bulan. Sebenarnya benci pada itu semua, tetapi ada satu momen yang membuat Bulan tak begitu jijik atas apa yang sudah ia terima. Aro mendengarkannya. Entahlah apa yang ada di pikiran lelaki itu. Bulan tidak tahu cara pria itu berpikir. Namun, sepertinya Aro masih mengasihani Bulan. Aro masih belum mengambil apa pun. Pria itu memang menyentuh, memberi tanda di beberapa bagian tubuh. Namun, dia masih belum benar-benar merampas status perawan dari Bulan. Sesuatu yang membuat Bulan terus berpikir, mencari sebab. Padahal, malam itu Bulan melihat dan merasakan sendiri bagaimana Aro begitu liar dan seperti tak bisa dikendalikan. Lantas, apa alasan pria itu masih melepaskan Bulan? Lelah menerka, Bulan sebenarnya ingin sekali bertanya langsung. Namun, pria itu tak kunjung m
"Kekanakan."Meski disuarakan dengan pelan, tetapi telinga Bulan masih mampu menangkap kalimat itu. Tentu saja yang mengatakannya adalah Aro. Pria yang duduk di sebelahnya itu.Siapa yang Aro sebut kekanakan? Bulan? Hah, si wanita dengan yakin menyebut bahwa pria itulah yang kekanakan. Jika Aro memang sudah dewasa, punya pemikiran khasnya pria matang, jelas dia tak akan menolak usulan Bulan untuk menikah.Memang, apa susahnya menikah? Itu adalah hal normal yang dilakukan orang-orang dewasa. Namun, si preman satu itu malah menolaknya mentah-mentah.Aro memberi alasan. Katanya, pernikahan itu tidak terlalu penting. Juga, mengadakan pernikahan akan membuat mereka lelah. Pesta dan segala macam halnya hanya akan membuat sakit kepala.Sungguh, Bulan tak paham mengapa bisa Aro memiliki pemikiran demikian. Menikah itu tidak rumit. Bulan juga tak membutuhkan pesta besar yang mewah dan mengundang banyak orang. Memang, mereka punya kerabat? Tidak.Bulan hanya ingin ada pernikahan. Yang sederhana
Aro menggebrak meja hingga menghasilkan bunyi debuman yang kencang. Barang-barang di atas meja itu bergetar, syukurnya tak sampai jatuh ke lantai. Beberapa pelayan yang menunggui pria itu di dapur serentak berjengit dan memegangi dada akibat terkejut. Bahkan, ada beberapa yang sudah pucat wajahnya. Pelayan di dapur itu kebanyakan memang orang lama. Pelayan-pelayan yang sempat diberhentikan Aro usai memutuskan mengasingkan Bulan ke rumah yang berada di tengah hutan. Sejak seminggu lalu mereka dipanggil kembali. Mereka orang lama, tahu betul watak Aro. Namun, tetap saja masih merasa takut tiap kali melihat majikan mereka marah-marah seperti sekarang. Aro memang sudah begini sejak dua hari lalu. Uring-uringan, begitu cepat tersulut emosi pada hal-hal kecil yang berjalan tak sesuai maunya. Dan pagi ini hal tersebut terjadi lagi, penyebabnya adalah Bulan yang menolak sarapan. Sekarang sudah pukul sembilan. Biasanya, sang nona sudah turun pukul tujuh. Namun, sampai sekarang Gino belum ju
Sungguh. Bulan sama sekali tak ingin mengganggu rencana siapa pun. Entah itu rencana Aro yang nekat sekali datang sendirian bertemu Fara. Atau rencana tiga anak buah Aro yang baik hati sekali mau menyelundupkannya dalam rencana ini.Bulan tak ingin ikut campur. Apalagi, sampai mengacau. Inginnya, ia hanya melihat dari jauh, seperti perintah Reza. Namun, sebuah hal yang tak diduga atau diharap baru saja terjadi. Dan Bulan tak mampu menahan diri untuk tetap berada di dalam mobil, seperti yang Reza suruh.Maka perempuan itu turun. Dengan langkah cepat, bahkan setengah berlari ia menghampiri teras rumah Fara. Si pemilik rumah jelas terkejut melihat kehadirannya. Dan Aro barusan sudah berdecak kesal. Pria itu marah, sudah jelas. Barusan Bulan menganggu, pun kehadirannya di sini pasti tak diharapkan. Namun, lagi-lagi Bulan tidak peduli. Yang ia inginkan adalah harus menjauhkan Fara dari prianya.Didorongnya Fara hingga berjarak dengan Aro. Ia sendiri berdiri di depan si pria. Matanya yang
"Tuan, aku tahu di mana Doni."Fara yang tiba-tiba menghubunginya langsung memberi kabar yang memang Aro butuhkan. Aro harus mengakui jika anaknya Toni itu mewarisi sifat licik ayahnya. Daris dan Gino gagal menangkapnya kemarin. Pun, hingga saat ini Aro masih belum tahu di mana Doni bersembunyi.Sudah ia sisir semua sudut di desa. Bahkan, Aro menugaskan sekelompok anak buahnya memeriksa kebun dan hutan. Namun, Doni tetap tak ditemukan. Dan tentu saja informasi dari Fara ini langsung menarik seluruh atensinya.Fara berjanji akan memberitahu di mana Doni. Asal, Aro mau datang dan menemuinya. Syarat lain, Aro harus datang seorang sendiri."Aku takut Daris dan Gino akan menuduhku berbohong, Tuan. Mereka bisa saja membunuhku."Begitu alasan yang Fara katakan saat Aro bertanya mengapa dirinya harus datang sendiri. Karena situasinya sedang terdesak, Aro pun menyetujui tawaran Fara. Ia akan menemui si perempuan sendirian. Sesuatu yang langsung ditentang Daris atau pun GIno."Dia itu perempuan
Pagi ini Aro harusnya pergi ke kebun. Ada lahan yang mesti ditanam ulang. Namun, sebelum ke sana, pria itu ingin menemui Bulan dulu. Tak ada agenda penting. Si lelaki hanya ingin melihat wajah Bulan.Saat tiba, Bulan sedang duduk di halaman depan. Kegiatan rutinnya setelah hamil, Bulan suka berjemur. Katanya, sinar matahari pagi terasa hangat dan membuat suasana hatinya baik.Bukan sesuatu yang sulit mengabulkan permintaan itu. Jadi, Aro membiarkan Bulan melakukannya. Bulan boleh keluar, berada di halaman depan selama setengah jam untuk menikmati matahari paginya."Gino bilang kau tidak menghabiskan supmu pagi ini." Aro duduk di sebelah Bulan setelah tiba. Ia langsung suarakan laporan yang didapat dari Gino."Aku kenyang. Aku menghabiskan bubur jagung." Perempuan itu tersenyum penuh permintaan."Sup daging itu baik untukmu. Kau bisa makan bubur jagung kapan saja." Aro mati-matian menahan diri untuk tak melakukan sesuatu pada bibir yang melengkung lucu itu.Bulan sungguh tahu cara mera
Fara mengerang kencang. Dua tangannya mencengkram seprei dengan kuat. Sehebat sensasi sakit sekaligus nikmat yang kini menerpa seluruh tubuh. Wanita itu mengejang, sebelum kemudian tubuhnya bergetar.Pria di belakang Fara menarik diri. Ikut rebah di samping si wanita, senyumnya mengembang."Kau hebat. Pantas Aro memakaimu bertahun-tahun," puji lelaki itu.Namanya Doni. Berusia empat puluh tahun, dia anak sulung Toni yang selama ini menghilang bak ditelan bumi. Sengaja ia menyembunyikan keberadaan karena dulu malas diperintah-perintah sang ayah.Fara bertemu dengannya seminggu lalu. Ia mendapati Doni tengah berada di depan kediaman Aro alias bekas rumah ayahnya. Kalau bukan dibujuk Fara untuk membuat rencana yang lebih masuk akal, mungkin malam itu Doni sudah nekat masuk ke rumah Aro dan membunuh orang yang sudah menghabisi ayahnya.Doni memang benci pada ayahnya. Pria itu tak mau menyerahkan tampuk kepemimpinan semua usaha bisnis secara cuma-cuma. Doni harus mulai dari bawah, sesuatu
Aro menaikkan satu bongkah besar buah sawit terakhir ke truk. Pria itu tancapkan tongkatnya ke tanah. Menyeka wajah yang berpeluh dengan kaus, pria itu melihat Daris menghampiri. Anak buahnya itu pasti membawa kabar soal Bulan.Hari ini seperti biasa Aro ikut memanen sawit. Sejak pagi ia di sini. Sudah lewat tengah hari sekarang. Pekerjaan harusnya selesai tepat waktu meski dia tak membantu nantinya. Aro merasa perlu ikut kegiatan bodoh yang Daris usulkan.Daris meminta kemarin. Sampai memohon. Katanya, memberikan apa yang Bulan inginkan sangat penting sekarang ini. Sebab wanita itu sedang hamil. Jadi, Daris mengabulkan salah satu keinginan Bulan, yakni mengutip berondolan sawit.Gila kalau kata Aro. Namun, sebab dirinya telanjur menjelaskan apa itu mengidam kemarin, maka pria itu pun terpaksa membiarkan Daris mewujudkan permintaan Bulan. Sore ini perempuan itu dibolehkan meninggalkan rumah dan datang ke kebun."Tuan, Nona sudah sampai," beritahu Daris usai mencapai tempat Aro berdiri
Seminggu setelah ia pulang dari rumah sakit, Bulan kembali melihat Aro. Pria itu datang ke rumahnya. Sudah datang dari siang, tetapi hingga sore mereka belum terlibat pembicaraan apa-apa.Terakhir kali berjumpa di rumah sakit, Bulan dan Aro tak menemukan kesepakatan apa pun sebab ia pingsan. Aro beberapa kali datang lagi, itu pun tak bicara. Menemui Bulan saja jarang, kalau pun pria itu datang ke ruangan rawat, hanya akan melirik sekilas dan lebih banyak bicara pada Gino atau Reza.Meski bingung, tetapi Bulan bisa sedikit lega. Setidaknya, ia dan sang janin masih diberi kesempatan hidup sampai sekarang. Sampai hari ini mungkin, karena akhirnya Aro muncul, mendatanginya. Tak mungkin lelaki itu datang tanpa tujuan.Saat Aro datang tadi, Bulan sedang di ruang tengah. Perempuan itu duduk dan melamun. Sama seperti yang selalu ia lakukan selama dikurung di sini. Sekarang, si perempuan jelas tak bisa melakukan itu. Ia tak bisa duduk tanpa gelisah sebab sedari tadi Aro terus menatapi.Berulan
Cuaca hari itu tak jelek. Matahari cerah, tetapi tidak terik. Terlebih, di kiri dan kanan jalanan yang Reza lewati adalah pohon. Harusnya perjalanan mereka bisa sedikit terbantu, kalau saja nasib sedang bagus.Padahal ini jalan perkebunan, harusnya satu-satunya yang membuat tak nyaman hanya medan yang tak rata. Kadang pasir, kadang bebatuan. Namun, dasarnya hari ini bukan hari yang baik.Bulan masih kesakitan. Reza dibuat makin cemas saat melihat gaun rumah Bulan di bagian belakang sudah basah dan mencetak noda merah yang mengerikan. Reza tak mau membayangkan semenderita apa wanita itu kini.Selain harus menahan sakit, Bulan pasti sangat cemas akan kondisi janin di rahimnya. Karena itulah sejak tadi wanita itu tak berhenti menangis. Jika sedari tadi Reza masih berusaha menenangkan, kini pria itu tak bisa mengatakan apa-apa, selain umpatan.Hari ini kesialan bertubi-tubi datang. Setelah harus mengendarai pick up tua dan menempuh perjalanan jauh hanya untuk mencapai jalanan desa, sekara