Aro menggebrak meja hingga menghasilkan bunyi debuman yang kencang. Barang-barang di atas meja itu bergetar, syukurnya tak sampai jatuh ke lantai. Beberapa pelayan yang menunggui pria itu di dapur serentak berjengit dan memegangi dada akibat terkejut. Bahkan, ada beberapa yang sudah pucat wajahnya. Pelayan di dapur itu kebanyakan memang orang lama. Pelayan-pelayan yang sempat diberhentikan Aro usai memutuskan mengasingkan Bulan ke rumah yang berada di tengah hutan. Sejak seminggu lalu mereka dipanggil kembali. Mereka orang lama, tahu betul watak Aro. Namun, tetap saja masih merasa takut tiap kali melihat majikan mereka marah-marah seperti sekarang. Aro memang sudah begini sejak dua hari lalu. Uring-uringan, begitu cepat tersulut emosi pada hal-hal kecil yang berjalan tak sesuai maunya. Dan pagi ini hal tersebut terjadi lagi, penyebabnya adalah Bulan yang menolak sarapan. Sekarang sudah pukul sembilan. Biasanya, sang nona sudah turun pukul tujuh. Namun, sampai sekarang Gino belum ju
"Kekanakan."Meski disuarakan dengan pelan, tetapi telinga Bulan masih mampu menangkap kalimat itu. Tentu saja yang mengatakannya adalah Aro. Pria yang duduk di sebelahnya itu.Siapa yang Aro sebut kekanakan? Bulan? Hah, si wanita dengan yakin menyebut bahwa pria itulah yang kekanakan. Jika Aro memang sudah dewasa, punya pemikiran khasnya pria matang, jelas dia tak akan menolak usulan Bulan untuk menikah.Memang, apa susahnya menikah? Itu adalah hal normal yang dilakukan orang-orang dewasa. Namun, si preman satu itu malah menolaknya mentah-mentah.Aro memberi alasan. Katanya, pernikahan itu tidak terlalu penting. Juga, mengadakan pernikahan akan membuat mereka lelah. Pesta dan segala macam halnya hanya akan membuat sakit kepala.Sungguh, Bulan tak paham mengapa bisa Aro memiliki pemikiran demikian. Menikah itu tidak rumit. Bulan juga tak membutuhkan pesta besar yang mewah dan mengundang banyak orang. Memang, mereka punya kerabat? Tidak.Bulan hanya ingin ada pernikahan. Yang sederhana
Ada suara dari arah belakang. Seperti derap langkah yang menginjak rumput. Pendengaran Bulan mendadak sangat tajam malam ini hingga telinganya bisa menangkap suara tersebut. Meletakkan karung beras yang sejak tadi dipeluk ke tanah, gadis itu menengok ke belakang untuk memeriksa. Tak ada apa pun selain gambaran remang dari pohon-pohon sawit. Kebun yang gelap terasa makin mencekam kini. Suara hewan malam makin membuatnya resah. Jika sejam sebelumnya gadis itu optimis bisa menemukan jalan pulang, kini ia putus harapan. Kaki sudah pegal melangkah. Kedua tangan juga sudah sakit memikul karung. Bulan menerka jika ia hanya akan berakhir berjalan tak tentu arah sepanjang malam, hingga besok pagi. Bulan menyesal karena selama ini tidak mau ikut ibunya ke kebun sawit. Jika saja sesekali ia membantu ibunya mencari berondolan, mungkin Bulan tak akan tersesat seperti sekarang. Lelah, napas Bulan mulai terasa berat. Gadis itu putuskan untuk duduk sebentar. Memeriksa isi karung, ia menatap nanar
"Apa semalam ada yang datang?" Pagi ini Bik Tari mengantarkan sarapan untuk Bulan. Wanita renta itu bertanya sembari membuka tutup rantang. Bulan menjawabnya dengan mengangguk. Ia menceritakan jika kemarin malam seorang pria jahat yang ditemuinya di kebun datang. Bulan bingung karena pria itu tahu namanya. Bahkan, tahu lokasi rumahnya. "Dia bahkan membawa sekarung sawit berondolan yang aku kumpulkan," keluh perempuan itu dengan raut susah. Bik Tari duduk di depan Bulan. "Kau sungguh tidak mengenalnya?" Bulan mengangguk. "Aku tak pernah melihatnya di desa ini sebelumnya. Karena itu aku heran dari mana dia bisa tahu namaku."Bik Tari mengangguk saja. "Jangan bukakan pintu untuknya. Jika dia tahu aku di sini, dia pasti tak akan berani datang. Aku akan segera mencari cara agar kau bisa pergi dari desa ini." Bulan langsung kehilangan selera makan mendengar itu. Ia begitu syok. Apa yang terjadi hingga harus meninggalkan desa? "Apa yang sebenarnya terjadi, Bik?" tanya Bulan dengan sor
"Akhirnya kau keluar, Bulan?" Pertanyaan itu menghantam kepala Bulan. Ia pusing untuk sesaat. Ketakutan yang menderanya dengan pekat membuat Bulan balik badan hendak berlari pulang. Sayang, lelaki itu lebih cepat mencekal tangan. Langkah Bulan tertahan. Ia menarik-narik tangannya agar cengkeraman lelaki itu lepas, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Bulan bahkan mulai merasakan pedih di pergelangan tangan yang ia masih tarik dan putar. "Kau mau ke mana?" Suara lelaki itu membuat kepala Bulan makin pusing. "Aku sampai harus membakar rumah jelek ini demi bisa melihatmu." Mata pria itu menyipit karena senyum lebarnya yang menyeramkan. "Jangan pergi secepat ini." Bulan mengerutkan hidung jijik. Perempuan itu menendang kaki si lelaki. Tak ada suara ringisan, kaki itu masih berdiri kukuh. Pria itu malah tertawa. Tidak habis akal, Bulan mengigit tangan pria itu. Namun, usaha itu juga tidak membuahkan hasil. Belum lagi Bulan berhasil menemukan cara lain, tubuhnya sudah diangkat dan d
Pagi itu langit masih gelap saat Bulan melihat sebuah mobil sedan mendatangi rumah. Bik Tari memastikan pada sang supir dan benar itu adalah mobil sewaan yang akan membawa Bulan ke halte. Berpamitan pagi Bik Tari, Bulan pun meninggalkan rumah. Sejak kecil Bulan terbiasa di rumah saja. Ibunya terlalu baik hingga membiarkan Bulan tidak mengerjakan pekerjaan berat seperti mencuci di sungai atau ikut ke kebun mencari buah sawit yang berjatuhan untuk dikumpul, kemudian dijual. Ibunya bilang, ia tidak mau Bulan yang memang mudah lelah menjadi sakit. Sejak kecil jarang keluar, Bulan tenang saja ketika mobil terus berjalan. Ia tak perhatikan jalan karena memang tidak familiar. Sampai dua jam kemudian, Bulan merasa ada yang aneh. Ia memang tidak tahu jalan menuju halte, tetapi ia yakin rute ke sana tak perlu masuk ke area perkebunan sawit. Firasat Bulan buruk saat tak sengaja matanya bertemu pandang dengan sang supir yang melempar senyum miring. "Apa jalan ke halte lewat sini, Pak?" tanya
"Ampun, Tuan. Agh ...." Bulan mengernyit karena kepelanya begitu sakit. "Tuan, ampun ...." Seluruh bagian tubuh Bulan rasanya sakit. Namun, suara permintaan tolong itu membuatnya bersikeras membuka mata. Saat pandangannya terbuka, Bulan menahan napas. Ia masih ada di kamar tempat sebelumnya dikurung. Bulan terbaring di lantai, sementara di atas kasur di sana, Fara menjerit kesakitan dan memohon ampun. Pada pria yang kini sedang menyetubuhinya dengan kasar. "Ampun, Tuan. Tolong ... hentikan ...." Air mata Bulan datang karena begitu iba dan takut. Kini Fara tengah dicekik, sementara bagian bawah tubuhnya terus dihujam kuat dan kasar. Kepala Bulan makin berputar-putar. Perutnya yang perih bergejolak, hingga akhirnya gadis itu muntah. Suara muntahnya membuat gerakan laki-laki di atas Fara terjeda. Bulan mencengkeram ubin kuat saat mualnya bertambah parah. Tenggorokannya tercekat, napasnya sulit, perutnya seperti diaduk-aduk, dan lidahnya asam sampai terasa pahit. Namun, yang Bula
Belum juga Bulan berhasil menyuapkan satu sendok bubur ke mulut, gadis itu dibuat terkejut saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Ia menjadi panik karena Fara datang dengan tangis kencang. "Tolong Ibuku, Bulan!" jerit wanita itu sambil berlutut di samping ranjang yang Bulan tempati. Air matanya berjatuhan deras. Sendok di tangan Bulan taruh lagi. Ia mengerjap cemas pada Fara yang terus menangis dan melipat tangan di depan dada. "Tuan ingin membunuh Ibuku, Bulan. Dia berkata akan membakar rumah Ibuku!" Dua tangan Bulan mengepal. Giginya beradu menahan rasa takut dan juga amarah. Pria iblis itu ingin ingkar? Bukankah kemarin Bulan sudah bersikap patuh? Lelaki jahanam itu mengigit Bulan kemarin. Bukan hanya satu, di perutnya sekarang ada dua bekas gigitan, bahkan di dadanya terdapat beberapa ruam kemerahan. Bulan sudah mengalah dan mengapa lelaki itu tetap ingin menyakiti Bik Tari? "Tuan marah karena kau menamparnya. Karena itu dia sudah mengirim orang untuk membakar rumah Ibuku ma
"Kekanakan."Meski disuarakan dengan pelan, tetapi telinga Bulan masih mampu menangkap kalimat itu. Tentu saja yang mengatakannya adalah Aro. Pria yang duduk di sebelahnya itu.Siapa yang Aro sebut kekanakan? Bulan? Hah, si wanita dengan yakin menyebut bahwa pria itulah yang kekanakan. Jika Aro memang sudah dewasa, punya pemikiran khasnya pria matang, jelas dia tak akan menolak usulan Bulan untuk menikah.Memang, apa susahnya menikah? Itu adalah hal normal yang dilakukan orang-orang dewasa. Namun, si preman satu itu malah menolaknya mentah-mentah.Aro memberi alasan. Katanya, pernikahan itu tidak terlalu penting. Juga, mengadakan pernikahan akan membuat mereka lelah. Pesta dan segala macam halnya hanya akan membuat sakit kepala.Sungguh, Bulan tak paham mengapa bisa Aro memiliki pemikiran demikian. Menikah itu tidak rumit. Bulan juga tak membutuhkan pesta besar yang mewah dan mengundang banyak orang. Memang, mereka punya kerabat? Tidak.Bulan hanya ingin ada pernikahan. Yang sederhana
Aro menggebrak meja hingga menghasilkan bunyi debuman yang kencang. Barang-barang di atas meja itu bergetar, syukurnya tak sampai jatuh ke lantai. Beberapa pelayan yang menunggui pria itu di dapur serentak berjengit dan memegangi dada akibat terkejut. Bahkan, ada beberapa yang sudah pucat wajahnya. Pelayan di dapur itu kebanyakan memang orang lama. Pelayan-pelayan yang sempat diberhentikan Aro usai memutuskan mengasingkan Bulan ke rumah yang berada di tengah hutan. Sejak seminggu lalu mereka dipanggil kembali. Mereka orang lama, tahu betul watak Aro. Namun, tetap saja masih merasa takut tiap kali melihat majikan mereka marah-marah seperti sekarang. Aro memang sudah begini sejak dua hari lalu. Uring-uringan, begitu cepat tersulut emosi pada hal-hal kecil yang berjalan tak sesuai maunya. Dan pagi ini hal tersebut terjadi lagi, penyebabnya adalah Bulan yang menolak sarapan. Sekarang sudah pukul sembilan. Biasanya, sang nona sudah turun pukul tujuh. Namun, sampai sekarang Gino belum ju
Sungguh. Bulan sama sekali tak ingin mengganggu rencana siapa pun. Entah itu rencana Aro yang nekat sekali datang sendirian bertemu Fara. Atau rencana tiga anak buah Aro yang baik hati sekali mau menyelundupkannya dalam rencana ini.Bulan tak ingin ikut campur. Apalagi, sampai mengacau. Inginnya, ia hanya melihat dari jauh, seperti perintah Reza. Namun, sebuah hal yang tak diduga atau diharap baru saja terjadi. Dan Bulan tak mampu menahan diri untuk tetap berada di dalam mobil, seperti yang Reza suruh.Maka perempuan itu turun. Dengan langkah cepat, bahkan setengah berlari ia menghampiri teras rumah Fara. Si pemilik rumah jelas terkejut melihat kehadirannya. Dan Aro barusan sudah berdecak kesal. Pria itu marah, sudah jelas. Barusan Bulan menganggu, pun kehadirannya di sini pasti tak diharapkan. Namun, lagi-lagi Bulan tidak peduli. Yang ia inginkan adalah harus menjauhkan Fara dari prianya.Didorongnya Fara hingga berjarak dengan Aro. Ia sendiri berdiri di depan si pria. Matanya yang
"Tuan, aku tahu di mana Doni."Fara yang tiba-tiba menghubunginya langsung memberi kabar yang memang Aro butuhkan. Aro harus mengakui jika anaknya Toni itu mewarisi sifat licik ayahnya. Daris dan Gino gagal menangkapnya kemarin. Pun, hingga saat ini Aro masih belum tahu di mana Doni bersembunyi.Sudah ia sisir semua sudut di desa. Bahkan, Aro menugaskan sekelompok anak buahnya memeriksa kebun dan hutan. Namun, Doni tetap tak ditemukan. Dan tentu saja informasi dari Fara ini langsung menarik seluruh atensinya.Fara berjanji akan memberitahu di mana Doni. Asal, Aro mau datang dan menemuinya. Syarat lain, Aro harus datang seorang sendiri."Aku takut Daris dan Gino akan menuduhku berbohong, Tuan. Mereka bisa saja membunuhku."Begitu alasan yang Fara katakan saat Aro bertanya mengapa dirinya harus datang sendiri. Karena situasinya sedang terdesak, Aro pun menyetujui tawaran Fara. Ia akan menemui si perempuan sendirian. Sesuatu yang langsung ditentang Daris atau pun GIno."Dia itu perempuan
Pagi ini Aro harusnya pergi ke kebun. Ada lahan yang mesti ditanam ulang. Namun, sebelum ke sana, pria itu ingin menemui Bulan dulu. Tak ada agenda penting. Si lelaki hanya ingin melihat wajah Bulan.Saat tiba, Bulan sedang duduk di halaman depan. Kegiatan rutinnya setelah hamil, Bulan suka berjemur. Katanya, sinar matahari pagi terasa hangat dan membuat suasana hatinya baik.Bukan sesuatu yang sulit mengabulkan permintaan itu. Jadi, Aro membiarkan Bulan melakukannya. Bulan boleh keluar, berada di halaman depan selama setengah jam untuk menikmati matahari paginya."Gino bilang kau tidak menghabiskan supmu pagi ini." Aro duduk di sebelah Bulan setelah tiba. Ia langsung suarakan laporan yang didapat dari Gino."Aku kenyang. Aku menghabiskan bubur jagung." Perempuan itu tersenyum penuh permintaan."Sup daging itu baik untukmu. Kau bisa makan bubur jagung kapan saja." Aro mati-matian menahan diri untuk tak melakukan sesuatu pada bibir yang melengkung lucu itu.Bulan sungguh tahu cara mera
Fara mengerang kencang. Dua tangannya mencengkram seprei dengan kuat. Sehebat sensasi sakit sekaligus nikmat yang kini menerpa seluruh tubuh. Wanita itu mengejang, sebelum kemudian tubuhnya bergetar.Pria di belakang Fara menarik diri. Ikut rebah di samping si wanita, senyumnya mengembang."Kau hebat. Pantas Aro memakaimu bertahun-tahun," puji lelaki itu.Namanya Doni. Berusia empat puluh tahun, dia anak sulung Toni yang selama ini menghilang bak ditelan bumi. Sengaja ia menyembunyikan keberadaan karena dulu malas diperintah-perintah sang ayah.Fara bertemu dengannya seminggu lalu. Ia mendapati Doni tengah berada di depan kediaman Aro alias bekas rumah ayahnya. Kalau bukan dibujuk Fara untuk membuat rencana yang lebih masuk akal, mungkin malam itu Doni sudah nekat masuk ke rumah Aro dan membunuh orang yang sudah menghabisi ayahnya.Doni memang benci pada ayahnya. Pria itu tak mau menyerahkan tampuk kepemimpinan semua usaha bisnis secara cuma-cuma. Doni harus mulai dari bawah, sesuatu
Aro menaikkan satu bongkah besar buah sawit terakhir ke truk. Pria itu tancapkan tongkatnya ke tanah. Menyeka wajah yang berpeluh dengan kaus, pria itu melihat Daris menghampiri. Anak buahnya itu pasti membawa kabar soal Bulan.Hari ini seperti biasa Aro ikut memanen sawit. Sejak pagi ia di sini. Sudah lewat tengah hari sekarang. Pekerjaan harusnya selesai tepat waktu meski dia tak membantu nantinya. Aro merasa perlu ikut kegiatan bodoh yang Daris usulkan.Daris meminta kemarin. Sampai memohon. Katanya, memberikan apa yang Bulan inginkan sangat penting sekarang ini. Sebab wanita itu sedang hamil. Jadi, Daris mengabulkan salah satu keinginan Bulan, yakni mengutip berondolan sawit.Gila kalau kata Aro. Namun, sebab dirinya telanjur menjelaskan apa itu mengidam kemarin, maka pria itu pun terpaksa membiarkan Daris mewujudkan permintaan Bulan. Sore ini perempuan itu dibolehkan meninggalkan rumah dan datang ke kebun."Tuan, Nona sudah sampai," beritahu Daris usai mencapai tempat Aro berdiri
Seminggu setelah ia pulang dari rumah sakit, Bulan kembali melihat Aro. Pria itu datang ke rumahnya. Sudah datang dari siang, tetapi hingga sore mereka belum terlibat pembicaraan apa-apa.Terakhir kali berjumpa di rumah sakit, Bulan dan Aro tak menemukan kesepakatan apa pun sebab ia pingsan. Aro beberapa kali datang lagi, itu pun tak bicara. Menemui Bulan saja jarang, kalau pun pria itu datang ke ruangan rawat, hanya akan melirik sekilas dan lebih banyak bicara pada Gino atau Reza.Meski bingung, tetapi Bulan bisa sedikit lega. Setidaknya, ia dan sang janin masih diberi kesempatan hidup sampai sekarang. Sampai hari ini mungkin, karena akhirnya Aro muncul, mendatanginya. Tak mungkin lelaki itu datang tanpa tujuan.Saat Aro datang tadi, Bulan sedang di ruang tengah. Perempuan itu duduk dan melamun. Sama seperti yang selalu ia lakukan selama dikurung di sini. Sekarang, si perempuan jelas tak bisa melakukan itu. Ia tak bisa duduk tanpa gelisah sebab sedari tadi Aro terus menatapi.Berulan
Cuaca hari itu tak jelek. Matahari cerah, tetapi tidak terik. Terlebih, di kiri dan kanan jalanan yang Reza lewati adalah pohon. Harusnya perjalanan mereka bisa sedikit terbantu, kalau saja nasib sedang bagus.Padahal ini jalan perkebunan, harusnya satu-satunya yang membuat tak nyaman hanya medan yang tak rata. Kadang pasir, kadang bebatuan. Namun, dasarnya hari ini bukan hari yang baik.Bulan masih kesakitan. Reza dibuat makin cemas saat melihat gaun rumah Bulan di bagian belakang sudah basah dan mencetak noda merah yang mengerikan. Reza tak mau membayangkan semenderita apa wanita itu kini.Selain harus menahan sakit, Bulan pasti sangat cemas akan kondisi janin di rahimnya. Karena itulah sejak tadi wanita itu tak berhenti menangis. Jika sedari tadi Reza masih berusaha menenangkan, kini pria itu tak bisa mengatakan apa-apa, selain umpatan.Hari ini kesialan bertubi-tubi datang. Setelah harus mengendarai pick up tua dan menempuh perjalanan jauh hanya untuk mencapai jalanan desa, sekara