Share

Bab 2

"Apa semalam ada yang datang?"

Pagi ini Bik Tari mengantarkan sarapan untuk Bulan. Wanita renta itu bertanya sembari membuka tutup rantang.

Bulan menjawabnya dengan mengangguk. Ia menceritakan jika kemarin malam seorang pria jahat yang ditemuinya di kebun datang. Bulan bingung karena pria itu tahu namanya. Bahkan, tahu lokasi rumahnya.

"Dia bahkan membawa sekarung sawit berondolan yang aku kumpulkan," keluh perempuan itu dengan raut susah.

Bik Tari duduk di depan Bulan. "Kau sungguh tidak mengenalnya?"

Bulan mengangguk. "Aku tak pernah melihatnya di desa ini sebelumnya. Karena itu aku heran dari mana dia bisa tahu namaku."

Bik Tari mengangguk saja. "Jangan bukakan pintu untuknya. Jika dia tahu aku di sini, dia pasti tak akan berani datang. Aku akan segera mencari cara agar kau bisa pergi dari desa ini."

Bulan langsung kehilangan selera makan mendengar itu. Ia begitu syok. Apa yang terjadi hingga harus meninggalkan desa?

"Apa yang sebenarnya terjadi, Bik?" tanya Bulan dengan sorot resah di mata.

Bik Tari menarik napas dalam. Wanita tua itu mulai bercerita. "Sekitar sepuluh tahun lalu atau lebih, seorang pemuda asing datang ke desa ini. Dia tinggal bersama juragan Toni, kemudian diangkat menjadi anak."

Juragan Toni. Yang Bulan ingat ibunya pernah berkata bahwa pria itu punya banyak tanah di desa ini dan kebanyakan warga desa bekerja sebagai buruh tani di ladangnya juragan Toni. Selain punya kebun, Juragan Toni juga seorang lintah darat. Desas-desus lain, pria kaya itu bahkan menjajakan senjata dan perempuan ke kota.

"Pemuda itu menjadi kesayangan juragan Toni karena dia kejam. Di usianya yang masih muda, pemuda itu mampu menghabisi dua orang pengutang yang mangkir bayar. Jelas itu menjadi momok menakutkan dan berimbas pada warga lain."

Bulan mendengarkan dengan saksama.

"Di ulang tahun juragan Toni yang ke 60, pemuda itu melakukan sesuatu yang bahkan tak pernah terbayangkan siapa pun." Ada kengerian di mata tua Bik Tari saat mengingat peristiwa pertumpahan darah di lapangan desa. "Pemuda itu menghabisi juragan Toni, di depan semua warga desa, bahkan keluarga kandung juragan Toni. Dia merampas semua kekayaan yang bukan miliknya dan berkuasa dengan semena-mena hingga sekarang."

Bulan masih belum menemukan benang merah antara dirinya dan cerita tadi. Barulah saat Bik Tari menatapnya lekat, firasat buruk itu kembali datang pada Bulan.

"Sepertinya, dia sudah lama memperhatikanmu diam-diam," tutur Bik Tari dengan tatapan cemas.

"Siapa?" Ketakutan membayang di mata Bulan.

"Pemuda itu ...." Bik Tari berusaha bersikap tenang dan tak memberi ruang pada rasa khawatirnya. Wanita itu menarik napas sejenak. "Pemuda itu yang mengantarmu pulang tempo hari."

Mata Bulan membola. Wajahnya berubah pucat.

"Dia bilang menemukanmu tersesat di kebun. Dia mengantarmu dan sepertinya ...." Wanita itu menarik napas lagi. "Dia sudah mengenalmu."

Kepala Bulan menggeleng. "Aku tidak pernah bertemu dia sebelum ini."

Bik Tari mengamini itu. "Tapi, dia tahu namamu. Dia tahu ibumu berpulang sebulan lalu. Dan dia berkata padaku, ingin menemuimu lagi setelah kau sehat."

Bulan semakin yakin. Pemuda yang Bik Tari ceritakan adalah pria yang ia temui di kebun. Namun, Bulan tak paham mengapa pria itu bersikap seolah mengincarnya.

"Bik, aku harus apa?" tanya Bulan kebingungan. Ia punya firasat bahwa bahaya sedang mengincarnya.

Bik Tari memegangi tangan Bulan, memberi kekuatan. "Aku sudah menghubungi Fara. Aku sudah minta tolong padanya untuk membantumu pergi dari desa ini. Kau bisa mencari pekerjaan di kota nanti."

Bik Tari adalah kawan lama ibunya Bulan. Mereka sudah berpuluh-puluh tahun menjadi tetangga. Karena itu, Bik Tari merasa punya tanggungjawab menyelamatkan Bulan. Ia sudah menghubungi putrinya yang bekerja di kota agar mengirimkan uang untuk ongkos Bulan pergi ke kota.

"Apa aku harus pergi dari sini, Bik?" Bulan tampak tak rela meninggalkan rumah yang sudah ia tempati sejak lahir. Semua kenangan masa kecilnya ada di sini. Belum lagi, makam ibunya juga ada di desa ini.

Bik Tari mengangguk yakin. "Pria itu jahat, Bulan,' beritahunya dengan kerjap takut. "Dia hanya mengejar perempuan dengan satu alasan. Jika bukan untuk dibunuh, pasti untuk dijadikan teman tidur. Apa kau mau itu terjadi padamu?"

Jelas Bulan tidak mau. Namun, meninggalkan kampung halamannya juga bukan perkara mudah.

Bik Tari menggenggam tangan Bulan makin erat. "Turuti saja perkataanku. Ini demi keselamatanmu. Ibumu juga akan melakukan hal serupa."

Meski tidak rela, Bulan terpaksa mengangguk setuju. Ia memang merasa bersalah karena akan meninggalkan ibunya sendirian di sini. Namun, ia berharap ibunya mau mengerti bila ini dilakukan Bulan untuk menyelamatkan diri.

***

Bik Tari sudah memperingatkan agar Bulan tak keluar dari rumah. Apa pun yang terjadi. Namun, malam ini Bulan agaknya akan melanggar perintah itu. Ia rasanya tak bisa mengabaikan jeritan di luar sana lebih lama lagi.

Sekitar beberapa belas menit lalu terdengar suara orang berteriak takut. Bukan hanya satu, tetapi seperti ada keramaian di luar rumah. Bulan perkirakan sumbernya dari arah kiri. Teriakan bersahutan, ada juga suara orang menangis.

Sejak tadi Bulan sudah mondar-mandir di kamar. Ia dilema haruskah membuka pintu atau tidak. Haruskah keluar memeriksa apa yang terjadi, atau berdiam di rumah saja seperti yang Bik Tari katakan.

Mengigit ibu jari gusar, Bulan melebarkan mata saat  teringat bahwa di sisi kiri rumahnya masih terdapat tembok yang terbuat dari tepas. Segera gadis itu berlari keluar dari kamar. Ia menuju sisi kiri rumah dan terbelalak saat melihat kobaran merah menyala dari celah tepas.

Bulan mencerna. Itu pasti kobaran api. Pasti ada yang terbakar. Napas gadis itu tercekat ketika bayangan seorang pria tua yang adalah tetangganya masuk dalam benak.

Bulan tersentak. Lelaki tua itu menempati rumah seorang diri. Dan rumah itu ada di kiri, sisi yang tadi Bulan lihat terdapat kobaran api menyala.

Perempuan itu berlari meninggalkan kamar.  Dibukanya semua engsel rumah, kemudian berlari keluar. Tampak ramai dan sibuk di luar rumah. Semua tetangga berlarian ke satu arah.

Kaki Bulan bergerak ke sana. Jarak yang memang agak jauh membuatnya tak sabar. Namun, ketika pemandangan rumah terbakar masuk ke pandangan, Bulan seketika membeku.

Rumah yang terbuat dari kayu itu nyaris habis dilahap api. Sang pria tua pemilik rumah tampak terduduk dan menangisi rumahnya tak jauh dari sana. Hal yang paling membuatnya heran adalah, semua orang hanya menonton. Tak ada satu pun yang berinisiatif mengambil air dan memadamkan api.

Bulan mendekat, membelah kerumunan dan menghampiri si pria tua. "Kenapa kalian tidak membantunya?" tanya Bulan pada semua orang di sana.

Tak ada yang menjawab. Mereka bahkan seolah sengaja memalingkan wajah dari Bulan.

Bulan makin tak paham. "Ambilkan air!" pekik gadis itu putus asa. Ia menoleh ke belakang dan makin kalut karena nyala api makin membesar.

Impulsif, Bulan mencari ember. Kebetulan ada timba di dekat sana. Gadis itu berlari menuju sumur di belakang rumah si kakek. Meski hanya membawa satu timba, ia berlari lagi ke depan.

Bulan sudah akan menyiramkan air tadi ke kobaran api, sampai seseorang menampar timbanya hingga jatuh. Air yang susah payah ia ambil tumpah ke tanah, sama sekali tak menjangkau api.

Bulan mengangkat wajah dengan tatapan marah. Namun, itu hanya sebentar, sebab orang di depannya membuat Bulan membeku dan memasang raut terkejut. Gadis itu mengambil langkah mundur karena pria itu membagi senyum miring.

"Akhirnya kau keluar, Bulan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status