Share

Bab 8

Penulis: Sinda
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-25 09:37:23

Hal pertama yang Bulan ingat saat dirinya terjaga pagi ini adalah pria jahanam itu. Bagaimana lelaki tak punya perasaan itu tetap menjamah Bulan, meski si gadis sudah memohon, bahkan berlutut di kakinya. Bulan menjatuhkan air mata ketika duduk dan mendapati tubuhnya sudah mengenakan sepasang pakaian.

Rahang Bulan mengetat menebak siapa yang memakaikan pakaian ini. Lelaki berengsek itu? Atau pria setan itu menyuruh salah satu anak buahnya? Bulan mengigit bibir kuat karena merasa sudah tak punya harga diri lagi. Mungkin, mati lebih baik dari ini, batinnya.

Gadis itu bangun dari posisi berbaring. Kakinya baru saja menginjak lantai ketika akhirnya sadar jika sekarang tidak lagi berada di kamar si lelaki. Ini kamar tempat dirinya dikurung. Siapa yang memindahkannya ke sini?

Ia berjalan menuju pintu. Namun, benda itu lebih dulu terbuka dan menampilkan pria yang tadi malam sudah menghancurkan harga diri Bulan. Si gadis otomatis menjeda langkah, tubuhnya memasang sikap waspada.

Pria itu berjalan cepat menuju Bulan. Meski sudah berusaha mundur, leher Bulan masih bisa dijangkau tangan besar lelaki itu. Mata Bulan membola panik, jalan napasnya mulai menyempit, seiring mengetatnya cekikan pria itu.

Bulan memegangi tangan besar di lehernya. Meski kini ia sudah tak lagi bisa bernapas, Bulan tak berusaha menghentikan. Bayangan ketika dirinya dijamah menguatkan tekad Bulan untuk memilih mati saja. Namun, ketika matanya sudah nyaris tak bisa terbuka, tubuh Bulan didorong hingga tersungkur di lantai.

Terbatuk-batuk, Bulan meraup udara dengan rakus. Ia mencemooh dirinya. Katanya ingin mati, tetapi malah masih berusaha bernapas. Belum lagi efek cekikan itu hilang, rambut Bulan sudah dijambak dan ditarik.

Wajah Bulan memerah menahan perih di kulit kepala. Perempuan itu dipaksa berdiri. Ia ingin menangis mendapati wajah bengis pria di hadapan. Bulan sungguh merasa terhina. Setelah semalam disentuh sesuka hati, kini pria itu mencekik dan menjambaknya. Bulan benar-benar merasa seperti sampah.

"Lepaskan aku, bajingan!" Bulan menjerit murka. Bak baru menemukan tenaganya, gadis itu menampar wajah si lelaki. Tak cuma menampar, ia juga menghujamkan pukulan bertubi-tubi ke dada si pria.

Lelaki itu akhirnya melepaskan jambakan di rambut Bulan. "Pergi kau dari sini, jalang," usirnya dengan wajah dingin dan tatapan mata penuh kebencian.

Terkejut, Bulan sempat didatangi rasa tidak terima beberapa saat. Namun, itu hanya sebentar, sebab setelahnya gadis itu langsung berlari keluar dari kamar. Tanpa menoleh, ia melewati ruang tamu, teras dan pagar rumah terkutuk itu. Bulan memang menangis. Ia merasa tidak terima diperlakukan seperti tadi, diusir begitu saja setelah dimanfaatkan, tetapi kesempatan untuk kabur tidak akan datang dua kali.

Setelah agak jauh dari rumah itu, Bulan menoleh. Dilihatnya tak ada satu pun anak buah pria itu yang mengejar, Bulan luar biasa lega. Ia kembali memacu langkah. Bulan harus menemui Bik Tari dulu. Memastikan wanita itu masih hidup, kemudian pergi dari desa ini.

***

Tidak tahu arah dan seluk beluk jalan di desa, Bulan butuh waktu hampir satu harian untuk bisa menemukan rumah Bik Tari. Perempuan itu meninggalkan rumah si jahanam itu pagi hari, dan sampai di rumah Bik Tari saat mentari sudah terbenam. Lega dan lelah bercampur, Bulan menangis saat dirinya disambut Bik Tari.

Ia ceritakan semua hal buruk yang sudah dialami. Bulan cukup pintar menutupi soal Fara. Ia yakin Bik Tari tak tahu menahu soal pekerjaan putrinya itu.

"Syukurlah kau bisa kabur, Bulan."

Bulan mengangguk. Air matanya tumpah semakin deras saat menemukan luka bakar yang masih belum sembuh di tangan kanan Bik Tari.

"Apa rumah ini sungguh dibakar?" tanyanya penuh sesal.

Bik Tari menggeleng. "Aku pergi ke sawah. Dan entah api dari mana, gubuk itu terbakar ketika aku makan siang. Hanya luka kecil, Bulan. Bukan apa-apa."

Menghapus air mata, Bulan menatap Bik Tari iba. "Lalu ... apa kata Fara?" pancingnya hati-hati.

"Itulah. Dia bertanya kenapa kau belum sampai juga di kota. Dia sudah menunggumu di halte katanya. Aku pun menjelaskan bahwa aku juga tidak tahu kau di mana."

Tebakan Bulan benar. Fara pasti tak memberitahu ibunya ini. Bulan ingin sekali menjelaskan yang sebenarnya, tetapi ia takut membuat Bik Tari sedih.

"Lalu, apa setelah ini kau akan kembali tinggal di sini, Bulan?"

Pertanyaan Bik Tari membuyarkan lamunan Bulan dari Fara. Cepat-cepat gadis itu menggeleng. "Aku dengar ada mobil pembawa padi yang pergi ke kota tiap hari." Ia tak sengaja mendengar itu dari beberapa anak buah si lelaki kejam itu kemarin. "Mereka berkumpul di lapangan pukul tiga subuh. Besok, aku akan pergi ke kota dengan menumpang itu."

Bik Tari tidak melarang. Namun, wanita itu masih bingung soal satu hal. "Mengapa bisa kau kabur dari sana, Bulan?"

Sebenarnya Bulan juga bingung. Ia baru saja bangun dan langsung dicekik, juga dijambak. Yang Bulan pikirkan adalah usiran pria itu yang terdengar sungguh. Pria itu menyuruhnya pergi seolah Bulan habis melakukan sesuatu yang sangat salah. Namun, apa? Bulan sendiri tidak tahu sudah melakukan apa.

Gadis itu menggeleng, sekarang ia ingin mengesampingkan itu. Yang terpenting dirinya harus bisa lolos dari pria itu. Pergi jauh dari desa ini. Persetan apa alasan pria itu mengusirnya seperti tadi.

***

Kali ini Bulan pergi tak membawa apa-apa. Hanya sepasang baju yang melekat di tubuh, juga sedikit uang dari tabungan Bik Tari. Saat semua orang masih lelap, gadis itu sudah keluar dari rumah Bik Tari menuju lapangan tempat mobil-mobil pengangkut padi berkumpul.

Dari jauh, melihat lampu-lampu mobil yang menyala, Bulan nyaris menangis karena begitu bahagia. Akhirnya, kebebasan sedikit lagi bisa ia raih. Rasanya tak sabar meninggalkan desa ini dan semua kenangan buruk di sini.

Bulan mendatangi salah satu supir mobil pick up di sana. Tanpa basa-basi, Bulan jelaskan kondisinya. "Saya bisa duduk di mana saja, Pak. Di belakang bersama tumpukan padi juga bukan masalah." Ia menampilkan wajah memelas. Si gadis jelas sangat butuh pertolongan.

Namun, orang yang Bulan mintai menggeleng dengan wajah takut. "Ka--kami tidak bisa memberi tumpangan." Kemudian dia berlalu begitu saja.

Bulan sudah akan mendatangi supir yang lain, tetapi matanya lebih dulu melihat sosok Reza di sana. Lelaki itu berjalan menuju ke arahnya. Firasat buruk menguasai Bulan dengan cepat.

"Tuan tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja," kata Reza ketika berdiri di depan Bulan.

Bibir Bulan yang terkatup rapat bergetar. Ia menahan amarah. "Sebenarnya ... apa mau pria bajingan itu?" Giginya beradu karena rahang yang mengetat. "Bukankah dia sudah mengusirku?"

Reza tampak mengulas senyum licik. "Soal itu ...." Dia mengusap dagu dengan tatapan mata geli. "Sebenarnya, aku yang membuat Tuan sampai mengusirmu. Tapi, bukankah itu yang kau mau?"

Bab terkait

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 9

    Jadi, Bulan sudah dijebak rupanya. Reza, berdalih agar bisa membebaskan Bulan, pria itu mengatur sebuah siasat. Bulan dibuat seolah sudah tidur dengan pria lain. Hal itulah yang membuat lelaki kejam itu begitu marah sampai mengusirnya. Ketika pria itu meninggalkan Bulan, Reza menyuntikkan obat tidur. Saat Bulan lelap, dirinya dipindahkan ke kamar tempat gadis itu biasa dikurung, kemudian seorang anak buah lelaki kejam itu dipanggil untuk bergabung. Reza memanggilkan tuannya agar melihat Bulan yang seolah-olah tidur dengan si aktor tadi. Dan bodohnya lelaki jahanam itu, dia percaya begitu saja. Bulan pun dikatai jalang dan diusir pergi. Meski keberatan difitnah, tetapi Bulan menemukan bahwa ini adalah cara yang bagus. Jadi, ia merasa tak perlu marah pada Reza. Masalahnya, bagaimana cara Bulan pergi jika supir-supir pick up tak ada yang mau memberinya tumpangan? "Tuan melarang mereka memberi tumpangan padamu." Perkataan Reza membuat Bulan melipat dahi. "Kenapa?" Reza meng

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-25
  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 10

    Menepikan beratnya mata dan lelah yang menyandera tubuh, Bulan meletakkan jerigen air di teras. Langkahnya yang pelan membelah kerumunan di rumah Bik Tari. Langkah itu menyepat kala melihat jika Bik Tari terduduk di lantai rumah, sementara lima orang pria bertubuh besar berdiri menjulang di depan wanita renta itu. Bulan menghampiri Bik Tari. Ia begitu terkejut menemukan ada lebam di wajah wanita itu. Menoleh pada pria-pria di ruangan tersebut, Bulan memicing marah. "Kalian memukul wanita?" Pertanyaannya bermuatan cemooh. Kelima orang itu saling berpandangan, kemudian mengangguk singkat. Salah satunya berbicara pada Bulan. Menyuruh perempuan itu menyingkir sebab mereka masih ingin memberi pelajaran pada Bik Tari. "Apa yang terjadi? Bik Tari salah apa?" Bulan menarik-narik tangannya dari pria yang berusaha menyeretnya menjauh. "Lepaskan aku!" Ia menjerit kala melihat tubuh renta Bik tari dipukuli pria lainnya dengan balok kayu. Bulan meronta sekuat tenaga. Ia injak kaki pria y

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-25
  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 11

    "Tuan, ibunya Fara sudah datang." Kabar dari Reza terpaksa membuat pria itu menyudahi kegiatan melamun. Ia tekan ujung rokok ke asbak yang nyaris penuh, sambil terus menatapi Reza. Kemudian, kakinya melangkah menuju pintu, keluar dari kamar. Ia melempar senyum pada Tari yang duduk dengan tatapan tajam di ruang tamu rumahnya. Wanita itu tua memang tampak menyedihkan dengan beberapa luka lebam di wajah dan lengan. Mungkin masih banyak di tempat lain, tetapi untuk apa ia peduli? "Di mana putriku?" Dua tangan Tari terkepal. Ia menatap pria muda di depannya dengan kebencian menyala-nyala di mata. Malang bagi Tari. Ia akhirnya tahu bahwa putri satu-satunya yang ia kira bekerja di kota ternyata menjadi peliharaan pria paling jahat di desa mereka. Sepulang dari ladang kemarin, ia tak sengaja melihat Fara dalam sebuah mobil. Wanita renta itu berusaha mengikuti dengan sepeda tuanya, lalu menemukan anaknya di dalam rumah sang ketua preman. Fara menceritakan semuanya. Dan Tari begitu ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 12

    Hari ini Fara kembali datang ke kamar untuk mengantar makanan. Tak mau mencari masalah dengan wanita itu, Bulan menerima. Ia baru akan menyuap makanan itu ke mulut saat Fara berucap tajam. "Menyenangkan dijadikan peliharaan?" Selera makan Bulan langsung pergi. Namun, lapar membuatnya tetap menyuapkan makanan ke mulut. Mengunyah dengan wajah tebal, sebisa mungkin Bulan makan dengan cepat. Fara mendekat setelah piring Bulan kosong. Diberikannya piring kecil berisi obat yang harus diminum. Bulan menelan itu tanpa banyak protes, membuat Fara tersenyum tipis penuh kesinisan. "Apa Bik Tari baik-baik saja?" tanya Bulan dengan tatapan penuh harap. "Kenapa kau tidak bertanya pada Tuan? Nasib ibuku ada di tangannya. Dan itu tergantung bagaimana caramu bersikap." Fara melirik kesal pada nampan tempat piring kotor Bulan, juga gelas kosong gadis itu. "Karena kau, aku harus melakukan pekerjaan pelayan." Wanita itu menyugar rambutnya putus asa. Ia berang. Mendidih darahnya. Dia berbuat

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 13

    Aro segera menghampiri Bulan saat dilihatnya perempuan itu limbung. Beruntung gerakannya gesit hingga berhasil mencegah tubuh kurus dan lemah itu membentur lantai yang keras. Aro membuatnya bersandar di dada. Ia intip wajahnya, ternyata sungguhan pingsan. Lagi. Pria itu menghela malas. Matanya memicing pada semua anak buahnya yang masih memegang senjata masing-masing. Bulan si gadis lemah dan penakut ini jelas akan pingsan bila tiba-tiba dibidik delapan orang seperti sekarang. "Turunkan senjata itu. Kalian ini kenapa?" protes Aro dengan tangan kanan di kepala Bulan, sementara tangan satunya membelit punggung gadis itu. "Maaf, Tuan." Pimpinan dari bawahan Aro maju dengan kepala tertunduk. "Dia menyebut nama Tuan tadi." Kini tatapan Aro tak runcing lagi. Ia baru sadar bila dirinyalah yang membuat peraturan itu. Aturan yang mengatakan bahwa siapa pun yang menyebut namanya harus dilenyapkan. Dan barusan Bulan melanggar peraturan itu. Pria itu menunduk. Menatapi wajah Bulan ya

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-27
  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 14

    Di meja reyot milik Tari, kini berbagai macam makanan tersaji. Sayuran hijau, daging yang digulai dan dimasak kecap. Sup, ayam goreng, bahkan ada jus terhidang di sana. Namun, tak ada senyum di wajah Tari. Malah, wanita renta itu kini menekuk ujung bibir seolah tengah menahan kemurkaan. "Buk, ayo, makan." Fara yang sejak tadi menunggu ibunya menyentuh makanan yang ia bawa akhirnya buka suara. Fara sengaja menyuruh orang untuk membeli semua makanan ini. Ia memang punya rencana mengunjungi si ibu. Fara kira, ia dan ibunya butuh bicara setelah apa yang terjadi. "Buk?" Fara baru hendak menyentuh tangan ibunya ketika wanita itu tiba-tiba saja menepis kasar tangannya. Tak sampai di sana saja, Tari mendorong meja makan kecil itu hingga terbalik dan semua makanan di atasnya tumpah, berserak di lantai. "Aku tidak perlu semua makananmu itu!" Tari berteriak murka. "Jika semua makanan itu kau beli dengan uang dari lelaki jahat itu, aku lebih baik makan lumpur!" Fara terhenyak untuk se

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 15

    Bulan tahu kalau labu kukus itu rasanya sangat enak. Apalagi, labu kukus yang kini tersaji di hadapannya terlihat sangat kuning, sangat lembut, dan masih mengepulkan asap tipis. Harumnya bahkan memenuhi kamar. Sungguh, jika Bulan harus sarapan dengan setengah labu kukus yang kini terhidang di nampan makannya, Bulan tidak akan menolak. Masalahnya, makanan lezat yang juga adalah kesukaan Bulan itu dibawa oleh orang yang salah. Bulan bisa abai jika yang membawanya adalah Fara. Bagaimana juga, Bulan yakin bahwa Fara tak seratus persen berada di pihak Aro. Bisa saja wanita itu dijebak. Meski harus mendengar Fara mengomel pun, rasanya Bulan akan tetap bisa memakan labu itu. Namun, yang membawa makanan itu bukan Fara. "Apa dengan menatapi begitu, labu itu akan bisa pindah ke perutmu, Bulan?" Aro yang duduk di kursi menyilangkan kaki. Satu tangannya menopang dagu. Bulan hanya memberi lirikan tajam. Matanya kembali menjadikan labu kukus tadi sebagai fokus. Perempuan itu tanpa sadar menel

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 16

    Napas Bulan terengah. Perempuan itu berbaring menyamping dengan wajah menekan bantal kuat. Matanya mulai terbuka, dengan reflek Bulan meringkuk. Lembab di antara kaki membuat Bulan ingin menenggelamkan dirinya di lumpur. Ia begitu memalukan. Entah sebutan apa yang pantas Bulan sebutkan untuk Aro. Bajingan? Kejam? Berdarah dingin? Keji? Tambahi satu lagi, licik. Sepertinya benar Aro sangat licik. Sebab setelah tadi pagi lelaki itu membawakannya separuh labu kukus yang enak, di malam hari, tepatnya beberapa saat lalu, lelaki itu meminta imbalan yang sungguh tidak sepadan. Aro memaksakan diri lagi. Pria itu menyentuh Bulan, tanpa izin, meski Bulan sudah meminta tolong. Walau lelaki itu belum sampai ke tahap inti, tetap saja Bulan tidak suka diperlakukan begini. Mereka bukan suami istri. Sejauh yang Bulan tahu, saling menyentuh di antara dua manusia berlainan jenis hanya bisa dilakukan oleh suami istri. Namun, lihat yang Aro lakukan padanya. Bulan merasa sangat terhina. Harga diri

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-03

Bab terbaru

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 48 [Selesai]

    "Kekanakan."Meski disuarakan dengan pelan, tetapi telinga Bulan masih mampu menangkap kalimat itu. Tentu saja yang mengatakannya adalah Aro. Pria yang duduk di sebelahnya itu.Siapa yang Aro sebut kekanakan? Bulan? Hah, si wanita dengan yakin menyebut bahwa pria itulah yang kekanakan. Jika Aro memang sudah dewasa, punya pemikiran khasnya pria matang, jelas dia tak akan menolak usulan Bulan untuk menikah.Memang, apa susahnya menikah? Itu adalah hal normal yang dilakukan orang-orang dewasa. Namun, si preman satu itu malah menolaknya mentah-mentah.Aro memberi alasan. Katanya, pernikahan itu tidak terlalu penting. Juga, mengadakan pernikahan akan membuat mereka lelah. Pesta dan segala macam halnya hanya akan membuat sakit kepala.Sungguh, Bulan tak paham mengapa bisa Aro memiliki pemikiran demikian. Menikah itu tidak rumit. Bulan juga tak membutuhkan pesta besar yang mewah dan mengundang banyak orang. Memang, mereka punya kerabat? Tidak.Bulan hanya ingin ada pernikahan. Yang sederhana

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 47

    Aro menggebrak meja hingga menghasilkan bunyi debuman yang kencang. Barang-barang di atas meja itu bergetar, syukurnya tak sampai jatuh ke lantai. Beberapa pelayan yang menunggui pria itu di dapur serentak berjengit dan memegangi dada akibat terkejut. Bahkan, ada beberapa yang sudah pucat wajahnya. Pelayan di dapur itu kebanyakan memang orang lama. Pelayan-pelayan yang sempat diberhentikan Aro usai memutuskan mengasingkan Bulan ke rumah yang berada di tengah hutan. Sejak seminggu lalu mereka dipanggil kembali. Mereka orang lama, tahu betul watak Aro. Namun, tetap saja masih merasa takut tiap kali melihat majikan mereka marah-marah seperti sekarang. Aro memang sudah begini sejak dua hari lalu. Uring-uringan, begitu cepat tersulut emosi pada hal-hal kecil yang berjalan tak sesuai maunya. Dan pagi ini hal tersebut terjadi lagi, penyebabnya adalah Bulan yang menolak sarapan. Sekarang sudah pukul sembilan. Biasanya, sang nona sudah turun pukul tujuh. Namun, sampai sekarang Gino belum ju

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 46

    Sungguh. Bulan sama sekali tak ingin mengganggu rencana siapa pun. Entah itu rencana Aro yang nekat sekali datang sendirian bertemu Fara. Atau rencana tiga anak buah Aro yang baik hati sekali mau menyelundupkannya dalam rencana ini.Bulan tak ingin ikut campur. Apalagi, sampai mengacau. Inginnya, ia hanya melihat dari jauh, seperti perintah Reza. Namun, sebuah hal yang tak diduga atau diharap baru saja terjadi. Dan Bulan tak mampu menahan diri untuk tetap berada di dalam mobil, seperti yang Reza suruh.Maka perempuan itu turun. Dengan langkah cepat, bahkan setengah berlari ia menghampiri teras rumah Fara. Si pemilik rumah jelas terkejut melihat kehadirannya. Dan Aro barusan sudah berdecak kesal. Pria itu marah, sudah jelas. Barusan Bulan menganggu, pun kehadirannya di sini pasti tak diharapkan. Namun, lagi-lagi Bulan tidak peduli. Yang ia inginkan adalah harus menjauhkan Fara dari prianya.Didorongnya Fara hingga berjarak dengan Aro. Ia sendiri berdiri di depan si pria. Matanya yang

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 45

    "Tuan, aku tahu di mana Doni."Fara yang tiba-tiba menghubunginya langsung memberi kabar yang memang Aro butuhkan. Aro harus mengakui jika anaknya Toni itu mewarisi sifat licik ayahnya. Daris dan Gino gagal menangkapnya kemarin. Pun, hingga saat ini Aro masih belum tahu di mana Doni bersembunyi.Sudah ia sisir semua sudut di desa. Bahkan, Aro menugaskan sekelompok anak buahnya memeriksa kebun dan hutan. Namun, Doni tetap tak ditemukan. Dan tentu saja informasi dari Fara ini langsung menarik seluruh atensinya.Fara berjanji akan memberitahu di mana Doni. Asal, Aro mau datang dan menemuinya. Syarat lain, Aro harus datang seorang sendiri."Aku takut Daris dan Gino akan menuduhku berbohong, Tuan. Mereka bisa saja membunuhku."Begitu alasan yang Fara katakan saat Aro bertanya mengapa dirinya harus datang sendiri. Karena situasinya sedang terdesak, Aro pun menyetujui tawaran Fara. Ia akan menemui si perempuan sendirian. Sesuatu yang langsung ditentang Daris atau pun GIno."Dia itu perempuan

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 44

    Pagi ini Aro harusnya pergi ke kebun. Ada lahan yang mesti ditanam ulang. Namun, sebelum ke sana, pria itu ingin menemui Bulan dulu. Tak ada agenda penting. Si lelaki hanya ingin melihat wajah Bulan.Saat tiba, Bulan sedang duduk di halaman depan. Kegiatan rutinnya setelah hamil, Bulan suka berjemur. Katanya, sinar matahari pagi terasa hangat dan membuat suasana hatinya baik.Bukan sesuatu yang sulit mengabulkan permintaan itu. Jadi, Aro membiarkan Bulan melakukannya. Bulan boleh keluar, berada di halaman depan selama setengah jam untuk menikmati matahari paginya."Gino bilang kau tidak menghabiskan supmu pagi ini." Aro duduk di sebelah Bulan setelah tiba. Ia langsung suarakan laporan yang didapat dari Gino."Aku kenyang. Aku menghabiskan bubur jagung." Perempuan itu tersenyum penuh permintaan."Sup daging itu baik untukmu. Kau bisa makan bubur jagung kapan saja." Aro mati-matian menahan diri untuk tak melakukan sesuatu pada bibir yang melengkung lucu itu.Bulan sungguh tahu cara mera

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 43

    Fara mengerang kencang. Dua tangannya mencengkram seprei dengan kuat. Sehebat sensasi sakit sekaligus nikmat yang kini menerpa seluruh tubuh. Wanita itu mengejang, sebelum kemudian tubuhnya bergetar.Pria di belakang Fara menarik diri. Ikut rebah di samping si wanita, senyumnya mengembang."Kau hebat. Pantas Aro memakaimu bertahun-tahun," puji lelaki itu.Namanya Doni. Berusia empat puluh tahun, dia anak sulung Toni yang selama ini menghilang bak ditelan bumi. Sengaja ia menyembunyikan keberadaan karena dulu malas diperintah-perintah sang ayah.Fara bertemu dengannya seminggu lalu. Ia mendapati Doni tengah berada di depan kediaman Aro alias bekas rumah ayahnya. Kalau bukan dibujuk Fara untuk membuat rencana yang lebih masuk akal, mungkin malam itu Doni sudah nekat masuk ke rumah Aro dan membunuh orang yang sudah menghabisi ayahnya.Doni memang benci pada ayahnya. Pria itu tak mau menyerahkan tampuk kepemimpinan semua usaha bisnis secara cuma-cuma. Doni harus mulai dari bawah, sesuatu

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 42

    Aro menaikkan satu bongkah besar buah sawit terakhir ke truk. Pria itu tancapkan tongkatnya ke tanah. Menyeka wajah yang berpeluh dengan kaus, pria itu melihat Daris menghampiri. Anak buahnya itu pasti membawa kabar soal Bulan.Hari ini seperti biasa Aro ikut memanen sawit. Sejak pagi ia di sini. Sudah lewat tengah hari sekarang. Pekerjaan harusnya selesai tepat waktu meski dia tak membantu nantinya. Aro merasa perlu ikut kegiatan bodoh yang Daris usulkan.Daris meminta kemarin. Sampai memohon. Katanya, memberikan apa yang Bulan inginkan sangat penting sekarang ini. Sebab wanita itu sedang hamil. Jadi, Daris mengabulkan salah satu keinginan Bulan, yakni mengutip berondolan sawit.Gila kalau kata Aro. Namun, sebab dirinya telanjur menjelaskan apa itu mengidam kemarin, maka pria itu pun terpaksa membiarkan Daris mewujudkan permintaan Bulan. Sore ini perempuan itu dibolehkan meninggalkan rumah dan datang ke kebun."Tuan, Nona sudah sampai," beritahu Daris usai mencapai tempat Aro berdiri

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 41

    Seminggu setelah ia pulang dari rumah sakit, Bulan kembali melihat Aro. Pria itu datang ke rumahnya. Sudah datang dari siang, tetapi hingga sore mereka belum terlibat pembicaraan apa-apa.Terakhir kali berjumpa di rumah sakit, Bulan dan Aro tak menemukan kesepakatan apa pun sebab ia pingsan. Aro beberapa kali datang lagi, itu pun tak bicara. Menemui Bulan saja jarang, kalau pun pria itu datang ke ruangan rawat, hanya akan melirik sekilas dan lebih banyak bicara pada Gino atau Reza.Meski bingung, tetapi Bulan bisa sedikit lega. Setidaknya, ia dan sang janin masih diberi kesempatan hidup sampai sekarang. Sampai hari ini mungkin, karena akhirnya Aro muncul, mendatanginya. Tak mungkin lelaki itu datang tanpa tujuan.Saat Aro datang tadi, Bulan sedang di ruang tengah. Perempuan itu duduk dan melamun. Sama seperti yang selalu ia lakukan selama dikurung di sini. Sekarang, si perempuan jelas tak bisa melakukan itu. Ia tak bisa duduk tanpa gelisah sebab sedari tadi Aro terus menatapi.Berulan

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 40

    Cuaca hari itu tak jelek. Matahari cerah, tetapi tidak terik. Terlebih, di kiri dan kanan jalanan yang Reza lewati adalah pohon. Harusnya perjalanan mereka bisa sedikit terbantu, kalau saja nasib sedang bagus.Padahal ini jalan perkebunan, harusnya satu-satunya yang membuat tak nyaman hanya medan yang tak rata. Kadang pasir, kadang bebatuan. Namun, dasarnya hari ini bukan hari yang baik.Bulan masih kesakitan. Reza dibuat makin cemas saat melihat gaun rumah Bulan di bagian belakang sudah basah dan mencetak noda merah yang mengerikan. Reza tak mau membayangkan semenderita apa wanita itu kini.Selain harus menahan sakit, Bulan pasti sangat cemas akan kondisi janin di rahimnya. Karena itulah sejak tadi wanita itu tak berhenti menangis. Jika sedari tadi Reza masih berusaha menenangkan, kini pria itu tak bisa mengatakan apa-apa, selain umpatan.Hari ini kesialan bertubi-tubi datang. Setelah harus mengendarai pick up tua dan menempuh perjalanan jauh hanya untuk mencapai jalanan desa, sekara

DMCA.com Protection Status