Hal pertama yang Bulan ingat saat dirinya terjaga pagi ini adalah pria jahanam itu. Bagaimana lelaki tak punya perasaan itu tetap menjamah Bulan, meski si gadis sudah memohon, bahkan berlutut di kakinya. Bulan menjatuhkan air mata ketika duduk dan mendapati tubuhnya sudah mengenakan sepasang pakaian.
Rahang Bulan mengetat menebak siapa yang memakaikan pakaian ini. Lelaki berengsek itu? Atau pria setan itu menyuruh salah satu anak buahnya? Bulan mengigit bibir kuat karena merasa sudah tak punya harga diri lagi. Mungkin, mati lebih baik dari ini, batinnya. Gadis itu bangun dari posisi berbaring. Kakinya baru saja menginjak lantai ketika akhirnya sadar jika sekarang tidak lagi berada di kamar si lelaki. Ini kamar tempat dirinya dikurung. Siapa yang memindahkannya ke sini? Ia berjalan menuju pintu. Namun, benda itu lebih dulu terbuka dan menampilkan pria yang tadi malam sudah menghancurkan harga diri Bulan. Si gadis otomatis menjeda langkah, tubuhnya memasang sikap waspada. Pria itu berjalan cepat menuju Bulan. Meski sudah berusaha mundur, leher Bulan masih bisa dijangkau tangan besar lelaki itu. Mata Bulan membola panik, jalan napasnya mulai menyempit, seiring mengetatnya cekikan pria itu. Bulan memegangi tangan besar di lehernya. Meski kini ia sudah tak lagi bisa bernapas, Bulan tak berusaha menghentikan. Bayangan ketika dirinya dijamah menguatkan tekad Bulan untuk memilih mati saja. Namun, ketika matanya sudah nyaris tak bisa terbuka, tubuh Bulan didorong hingga tersungkur di lantai. Terbatuk-batuk, Bulan meraup udara dengan rakus. Ia mencemooh dirinya. Katanya ingin mati, tetapi malah masih berusaha bernapas. Belum lagi efek cekikan itu hilang, rambut Bulan sudah dijambak dan ditarik. Wajah Bulan memerah menahan perih di kulit kepala. Perempuan itu dipaksa berdiri. Ia ingin menangis mendapati wajah bengis pria di hadapan. Bulan sungguh merasa terhina. Setelah semalam disentuh sesuka hati, kini pria itu mencekik dan menjambaknya. Bulan benar-benar merasa seperti sampah. "Lepaskan aku, bajingan!" Bulan menjerit murka. Bak baru menemukan tenaganya, gadis itu menampar wajah si lelaki. Tak cuma menampar, ia juga menghujamkan pukulan bertubi-tubi ke dada si pria. Lelaki itu akhirnya melepaskan jambakan di rambut Bulan. "Pergi kau dari sini, jalang," usirnya dengan wajah dingin dan tatapan mata penuh kebencian. Terkejut, Bulan sempat didatangi rasa tidak terima beberapa saat. Namun, itu hanya sebentar, sebab setelahnya gadis itu langsung berlari keluar dari kamar. Tanpa menoleh, ia melewati ruang tamu, teras dan pagar rumah terkutuk itu. Bulan memang menangis. Ia merasa tidak terima diperlakukan seperti tadi, diusir begitu saja setelah dimanfaatkan, tetapi kesempatan untuk kabur tidak akan datang dua kali. Setelah agak jauh dari rumah itu, Bulan menoleh. Dilihatnya tak ada satu pun anak buah pria itu yang mengejar, Bulan luar biasa lega. Ia kembali memacu langkah. Bulan harus menemui Bik Tari dulu. Memastikan wanita itu masih hidup, kemudian pergi dari desa ini. *** Tidak tahu arah dan seluk beluk jalan di desa, Bulan butuh waktu hampir satu harian untuk bisa menemukan rumah Bik Tari. Perempuan itu meninggalkan rumah si jahanam itu pagi hari, dan sampai di rumah Bik Tari saat mentari sudah terbenam. Lega dan lelah bercampur, Bulan menangis saat dirinya disambut Bik Tari. Ia ceritakan semua hal buruk yang sudah dialami. Bulan cukup pintar menutupi soal Fara. Ia yakin Bik Tari tak tahu menahu soal pekerjaan putrinya itu. "Syukurlah kau bisa kabur, Bulan." Bulan mengangguk. Air matanya tumpah semakin deras saat menemukan luka bakar yang masih belum sembuh di tangan kanan Bik Tari. "Apa rumah ini sungguh dibakar?" tanyanya penuh sesal. Bik Tari menggeleng. "Aku pergi ke sawah. Dan entah api dari mana, gubuk itu terbakar ketika aku makan siang. Hanya luka kecil, Bulan. Bukan apa-apa." Menghapus air mata, Bulan menatap Bik Tari iba. "Lalu ... apa kata Fara?" pancingnya hati-hati. "Itulah. Dia bertanya kenapa kau belum sampai juga di kota. Dia sudah menunggumu di halte katanya. Aku pun menjelaskan bahwa aku juga tidak tahu kau di mana." Tebakan Bulan benar. Fara pasti tak memberitahu ibunya ini. Bulan ingin sekali menjelaskan yang sebenarnya, tetapi ia takut membuat Bik Tari sedih. "Lalu, apa setelah ini kau akan kembali tinggal di sini, Bulan?" Pertanyaan Bik Tari membuyarkan lamunan Bulan dari Fara. Cepat-cepat gadis itu menggeleng. "Aku dengar ada mobil pembawa padi yang pergi ke kota tiap hari." Ia tak sengaja mendengar itu dari beberapa anak buah si lelaki kejam itu kemarin. "Mereka berkumpul di lapangan pukul tiga subuh. Besok, aku akan pergi ke kota dengan menumpang itu." Bik Tari tidak melarang. Namun, wanita itu masih bingung soal satu hal. "Mengapa bisa kau kabur dari sana, Bulan?" Sebenarnya Bulan juga bingung. Ia baru saja bangun dan langsung dicekik, juga dijambak. Yang Bulan pikirkan adalah usiran pria itu yang terdengar sungguh. Pria itu menyuruhnya pergi seolah Bulan habis melakukan sesuatu yang sangat salah. Namun, apa? Bulan sendiri tidak tahu sudah melakukan apa. Gadis itu menggeleng, sekarang ia ingin mengesampingkan itu. Yang terpenting dirinya harus bisa lolos dari pria itu. Pergi jauh dari desa ini. Persetan apa alasan pria itu mengusirnya seperti tadi. *** Kali ini Bulan pergi tak membawa apa-apa. Hanya sepasang baju yang melekat di tubuh, juga sedikit uang dari tabungan Bik Tari. Saat semua orang masih lelap, gadis itu sudah keluar dari rumah Bik Tari menuju lapangan tempat mobil-mobil pengangkut padi berkumpul. Dari jauh, melihat lampu-lampu mobil yang menyala, Bulan nyaris menangis karena begitu bahagia. Akhirnya, kebebasan sedikit lagi bisa ia raih. Rasanya tak sabar meninggalkan desa ini dan semua kenangan buruk di sini. Bulan mendatangi salah satu supir mobil pick up di sana. Tanpa basa-basi, Bulan jelaskan kondisinya. "Saya bisa duduk di mana saja, Pak. Di belakang bersama tumpukan padi juga bukan masalah." Ia menampilkan wajah memelas. Si gadis jelas sangat butuh pertolongan. Namun, orang yang Bulan mintai menggeleng dengan wajah takut. "Ka--kami tidak bisa memberi tumpangan." Kemudian dia berlalu begitu saja. Bulan sudah akan mendatangi supir yang lain, tetapi matanya lebih dulu melihat sosok Reza di sana. Lelaki itu berjalan menuju ke arahnya. Firasat buruk menguasai Bulan dengan cepat. "Tuan tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja," kata Reza ketika berdiri di depan Bulan. Bibir Bulan yang terkatup rapat bergetar. Ia menahan amarah. "Sebenarnya ... apa mau pria bajingan itu?" Giginya beradu karena rahang yang mengetat. "Bukankah dia sudah mengusirku?" Reza tampak mengulas senyum licik. "Soal itu ...." Dia mengusap dagu dengan tatapan mata geli. "Sebenarnya, aku yang membuat Tuan sampai mengusirmu. Tapi, bukankah itu yang kau mau?"Jadi, Bulan sudah dijebak rupanya. Reza, berdalih agar bisa membebaskan Bulan, pria itu mengatur sebuah siasat. Bulan dibuat seolah sudah tidur dengan pria lain. Hal itulah yang membuat lelaki kejam itu begitu marah sampai mengusirnya. Ketika pria itu meninggalkan Bulan, Reza menyuntikkan obat tidur. Saat Bulan lelap, dirinya dipindahkan ke kamar tempat gadis itu biasa dikurung, kemudian seorang anak buah lelaki kejam itu dipanggil untuk bergabung. Reza memanggilkan tuannya agar melihat Bulan yang seolah-olah tidur dengan si aktor tadi. Dan bodohnya lelaki jahanam itu, dia percaya begitu saja. Bulan pun dikatai jalang dan diusir pergi. Meski keberatan difitnah, tetapi Bulan menemukan bahwa ini adalah cara yang bagus. Jadi, ia merasa tak perlu marah pada Reza. Masalahnya, bagaimana cara Bulan pergi jika supir-supir pick up tak ada yang mau memberinya tumpangan? "Tuan melarang mereka memberi tumpangan padamu." Perkataan Reza membuat Bulan melipat dahi. "Kenapa?" Reza meng
Menepikan beratnya mata dan lelah yang menyandera tubuh, Bulan meletakkan jerigen air di teras. Langkahnya yang pelan membelah kerumunan di rumah Bik Tari. Langkah itu menyepat kala melihat jika Bik Tari terduduk di lantai rumah, sementara lima orang pria bertubuh besar berdiri menjulang di depan wanita renta itu. Bulan menghampiri Bik Tari. Ia begitu terkejut menemukan ada lebam di wajah wanita itu. Menoleh pada pria-pria di ruangan tersebut, Bulan memicing marah. "Kalian memukul wanita?" Pertanyaannya bermuatan cemooh. Kelima orang itu saling berpandangan, kemudian mengangguk singkat. Salah satunya berbicara pada Bulan. Menyuruh perempuan itu menyingkir sebab mereka masih ingin memberi pelajaran pada Bik Tari. "Apa yang terjadi? Bik Tari salah apa?" Bulan menarik-narik tangannya dari pria yang berusaha menyeretnya menjauh. "Lepaskan aku!" Ia menjerit kala melihat tubuh renta Bik tari dipukuli pria lainnya dengan balok kayu. Bulan meronta sekuat tenaga. Ia injak kaki pria y
"Tuan, ibunya Fara sudah datang." Kabar dari Reza terpaksa membuat pria itu menyudahi kegiatan melamun. Ia tekan ujung rokok ke asbak yang nyaris penuh, sambil terus menatapi Reza. Kemudian, kakinya melangkah menuju pintu, keluar dari kamar. Ia melempar senyum pada Tari yang duduk dengan tatapan tajam di ruang tamu rumahnya. Wanita itu tua memang tampak menyedihkan dengan beberapa luka lebam di wajah dan lengan. Mungkin masih banyak di tempat lain, tetapi untuk apa ia peduli? "Di mana putriku?" Dua tangan Tari terkepal. Ia menatap pria muda di depannya dengan kebencian menyala-nyala di mata. Malang bagi Tari. Ia akhirnya tahu bahwa putri satu-satunya yang ia kira bekerja di kota ternyata menjadi peliharaan pria paling jahat di desa mereka. Sepulang dari ladang kemarin, ia tak sengaja melihat Fara dalam sebuah mobil. Wanita renta itu berusaha mengikuti dengan sepeda tuanya, lalu menemukan anaknya di dalam rumah sang ketua preman. Fara menceritakan semuanya. Dan Tari begitu ke
Hari ini Fara kembali datang ke kamar untuk mengantar makanan. Tak mau mencari masalah dengan wanita itu, Bulan menerima. Ia baru akan menyuap makanan itu ke mulut saat Fara berucap tajam. "Menyenangkan dijadikan peliharaan?" Selera makan Bulan langsung pergi. Namun, lapar membuatnya tetap menyuapkan makanan ke mulut. Mengunyah dengan wajah tebal, sebisa mungkin Bulan makan dengan cepat. Fara mendekat setelah piring Bulan kosong. Diberikannya piring kecil berisi obat yang harus diminum. Bulan menelan itu tanpa banyak protes, membuat Fara tersenyum tipis penuh kesinisan. "Apa Bik Tari baik-baik saja?" tanya Bulan dengan tatapan penuh harap. "Kenapa kau tidak bertanya pada Tuan? Nasib ibuku ada di tangannya. Dan itu tergantung bagaimana caramu bersikap." Fara melirik kesal pada nampan tempat piring kotor Bulan, juga gelas kosong gadis itu. "Karena kau, aku harus melakukan pekerjaan pelayan." Wanita itu menyugar rambutnya putus asa. Ia berang. Mendidih darahnya. Dia berbuat
Aro segera menghampiri Bulan saat dilihatnya perempuan itu limbung. Beruntung gerakannya gesit hingga berhasil mencegah tubuh kurus dan lemah itu membentur lantai yang keras. Aro membuatnya bersandar di dada. Ia intip wajahnya, ternyata sungguhan pingsan. Lagi. Pria itu menghela malas. Matanya memicing pada semua anak buahnya yang masih memegang senjata masing-masing. Bulan si gadis lemah dan penakut ini jelas akan pingsan bila tiba-tiba dibidik delapan orang seperti sekarang. "Turunkan senjata itu. Kalian ini kenapa?" protes Aro dengan tangan kanan di kepala Bulan, sementara tangan satunya membelit punggung gadis itu. "Maaf, Tuan." Pimpinan dari bawahan Aro maju dengan kepala tertunduk. "Dia menyebut nama Tuan tadi." Kini tatapan Aro tak runcing lagi. Ia baru sadar bila dirinyalah yang membuat peraturan itu. Aturan yang mengatakan bahwa siapa pun yang menyebut namanya harus dilenyapkan. Dan barusan Bulan melanggar peraturan itu. Pria itu menunduk. Menatapi wajah Bulan ya
Di meja reyot milik Tari, kini berbagai macam makanan tersaji. Sayuran hijau, daging yang digulai dan dimasak kecap. Sup, ayam goreng, bahkan ada jus terhidang di sana. Namun, tak ada senyum di wajah Tari. Malah, wanita renta itu kini menekuk ujung bibir seolah tengah menahan kemurkaan. "Buk, ayo, makan." Fara yang sejak tadi menunggu ibunya menyentuh makanan yang ia bawa akhirnya buka suara. Fara sengaja menyuruh orang untuk membeli semua makanan ini. Ia memang punya rencana mengunjungi si ibu. Fara kira, ia dan ibunya butuh bicara setelah apa yang terjadi. "Buk?" Fara baru hendak menyentuh tangan ibunya ketika wanita itu tiba-tiba saja menepis kasar tangannya. Tak sampai di sana saja, Tari mendorong meja makan kecil itu hingga terbalik dan semua makanan di atasnya tumpah, berserak di lantai. "Aku tidak perlu semua makananmu itu!" Tari berteriak murka. "Jika semua makanan itu kau beli dengan uang dari lelaki jahat itu, aku lebih baik makan lumpur!" Fara terhenyak untuk se
Bulan tahu kalau labu kukus itu rasanya sangat enak. Apalagi, labu kukus yang kini tersaji di hadapannya terlihat sangat kuning, sangat lembut, dan masih mengepulkan asap tipis. Harumnya bahkan memenuhi kamar. Sungguh, jika Bulan harus sarapan dengan setengah labu kukus yang kini terhidang di nampan makannya, Bulan tidak akan menolak. Masalahnya, makanan lezat yang juga adalah kesukaan Bulan itu dibawa oleh orang yang salah. Bulan bisa abai jika yang membawanya adalah Fara. Bagaimana juga, Bulan yakin bahwa Fara tak seratus persen berada di pihak Aro. Bisa saja wanita itu dijebak. Meski harus mendengar Fara mengomel pun, rasanya Bulan akan tetap bisa memakan labu itu. Namun, yang membawa makanan itu bukan Fara. "Apa dengan menatapi begitu, labu itu akan bisa pindah ke perutmu, Bulan?" Aro yang duduk di kursi menyilangkan kaki. Satu tangannya menopang dagu. Bulan hanya memberi lirikan tajam. Matanya kembali menjadikan labu kukus tadi sebagai fokus. Perempuan itu tanpa sadar menel
Napas Bulan terengah. Perempuan itu berbaring menyamping dengan wajah menekan bantal kuat. Matanya mulai terbuka, dengan reflek Bulan meringkuk. Lembab di antara kaki membuat Bulan ingin menenggelamkan dirinya di lumpur. Ia begitu memalukan. Entah sebutan apa yang pantas Bulan sebutkan untuk Aro. Bajingan? Kejam? Berdarah dingin? Keji? Tambahi satu lagi, licik. Sepertinya benar Aro sangat licik. Sebab setelah tadi pagi lelaki itu membawakannya separuh labu kukus yang enak, di malam hari, tepatnya beberapa saat lalu, lelaki itu meminta imbalan yang sungguh tidak sepadan. Aro memaksakan diri lagi. Pria itu menyentuh Bulan, tanpa izin, meski Bulan sudah meminta tolong. Walau lelaki itu belum sampai ke tahap inti, tetap saja Bulan tidak suka diperlakukan begini. Mereka bukan suami istri. Sejauh yang Bulan tahu, saling menyentuh di antara dua manusia berlainan jenis hanya bisa dilakukan oleh suami istri. Namun, lihat yang Aro lakukan padanya. Bulan merasa sangat terhina. Harga diri