Share

Bab 8

Hal pertama yang Bulan ingat saat dirinya terjaga pagi ini adalah pria jahanam itu. Bagaimana lelaki tak punya perasaan itu tetap menjamah Bulan, meski si gadis sudah memohon, bahkan berlutut di kakinya. Bulan menjatuhkan air mata ketika duduk dan mendapati tubuhnya sudah mengenakan sepasang pakaian.

Rahang Bulan mengetat menebak siapa yang memakaikan pakaian ini. Lelaki berengsek itu? Atau pria setan itu menyuruh salah satu anak buahnya? Bulan mengigit bibir kuat karena merasa sudah tak punya harga diri lagi. Mungkin, mati lebih baik dari ini, batinnya.

Gadis itu bangun dari posisi berbaring. Kakinya baru saja menginjak lantai ketika akhirnya sadar jika sekarang tidak lagi berada di kamar si lelaki. Ini kamar tempat dirinya dikurung. Siapa yang memindahkannya ke sini?

Ia berjalan menuju pintu. Namun, benda itu lebih dulu terbuka dan menampilkan pria yang tadi malam sudah menghancurkan harga diri Bulan. Si gadis otomatis menjeda langkah, tubuhnya memasang sikap waspada.

Pria itu berjalan cepat menuju Bulan. Meski sudah berusaha mundur, leher Bulan masih bisa dijangkau tangan besar lelaki itu. Mata Bulan membola panik, jalan napasnya mulai menyempit, seiring mengetatnya cekikan pria itu.

Bulan memegangi tangan besar di lehernya. Meski kini ia sudah tak lagi bisa bernapas, Bulan tak berusaha menghentikan. Bayangan ketika dirinya dijamah menguatkan tekad Bulan untuk memilih mati saja. Namun, ketika matanya sudah nyaris tak bisa terbuka, tubuh Bulan didorong hingga tersungkur di lantai.

Terbatuk-batuk, Bulan meraup udara dengan rakus. Ia mencemooh dirinya. Katanya ingin mati, tetapi malah masih berusaha bernapas. Belum lagi efek cekikan itu hilang, rambut Bulan sudah dijambak dan ditarik.

Wajah Bulan memerah menahan perih di kulit kepala. Perempuan itu dipaksa berdiri. Ia ingin menangis mendapati wajah bengis pria di hadapan. Bulan sungguh merasa terhina. Setelah semalam disentuh sesuka hati, kini pria itu mencekik dan menjambaknya. Bulan benar-benar merasa seperti sampah.

"Lepaskan aku, bajingan!" Bulan menjerit murka. Bak baru menemukan tenaganya, gadis itu menampar wajah si lelaki. Tak cuma menampar, ia juga menghujamkan pukulan bertubi-tubi ke dada si pria.

Lelaki itu akhirnya melepaskan jambakan di rambut Bulan. "Pergi kau dari sini, jalang," usirnya dengan wajah dingin dan tatapan mata penuh kebencian.

Terkejut, Bulan sempat didatangi rasa tidak terima beberapa saat. Namun, itu hanya sebentar, sebab setelahnya gadis itu langsung berlari keluar dari kamar. Tanpa menoleh, ia melewati ruang tamu, teras dan pagar rumah terkutuk itu. Bulan memang menangis. Ia merasa tidak terima diperlakukan seperti tadi, diusir begitu saja setelah dimanfaatkan, tetapi kesempatan untuk kabur tidak akan datang dua kali.

Setelah agak jauh dari rumah itu, Bulan menoleh. Dilihatnya tak ada satu pun anak buah pria itu yang mengejar, Bulan luar biasa lega. Ia kembali memacu langkah. Bulan harus menemui Bik Tari dulu. Memastikan wanita itu masih hidup, kemudian pergi dari desa ini.

***

Tidak tahu arah dan seluk beluk jalan di desa, Bulan butuh waktu hampir satu harian untuk bisa menemukan rumah Bik Tari. Perempuan itu meninggalkan rumah si jahanam itu pagi hari, dan sampai di rumah Bik Tari saat mentari sudah terbenam. Lega dan lelah bercampur, Bulan menangis saat dirinya disambut Bik Tari.

Ia ceritakan semua hal buruk yang sudah dialami. Bulan cukup pintar menutupi soal Fara. Ia yakin Bik Tari tak tahu menahu soal pekerjaan putrinya itu.

"Syukurlah kau bisa kabur, Bulan."

Bulan mengangguk. Air matanya tumpah semakin deras saat menemukan luka bakar yang masih belum sembuh di tangan kanan Bik Tari.

"Apa rumah ini sungguh dibakar?" tanyanya penuh sesal.

Bik Tari menggeleng. "Aku pergi ke sawah. Dan entah api dari mana, gubuk itu terbakar ketika aku makan siang. Hanya luka kecil, Bulan. Bukan apa-apa."

Menghapus air mata, Bulan menatap Bik Tari iba. "Lalu ... apa kata Fara?" pancingnya hati-hati.

"Itulah. Dia bertanya kenapa kau belum sampai juga di kota. Dia sudah menunggumu di halte katanya. Aku pun menjelaskan bahwa aku juga tidak tahu kau di mana."

Tebakan Bulan benar. Fara pasti tak memberitahu ibunya ini. Bulan ingin sekali menjelaskan yang sebenarnya, tetapi ia takut membuat Bik Tari sedih.

"Lalu, apa setelah ini kau akan kembali tinggal di sini, Bulan?"

Pertanyaan Bik Tari membuyarkan lamunan Bulan dari Fara. Cepat-cepat gadis itu menggeleng. "Aku dengar ada mobil pembawa padi yang pergi ke kota tiap hari." Ia tak sengaja mendengar itu dari beberapa anak buah si lelaki kejam itu kemarin. "Mereka berkumpul di lapangan pukul tiga subuh. Besok, aku akan pergi ke kota dengan menumpang itu."

Bik Tari tidak melarang. Namun, wanita itu masih bingung soal satu hal. "Mengapa bisa kau kabur dari sana, Bulan?"

Sebenarnya Bulan juga bingung. Ia baru saja bangun dan langsung dicekik, juga dijambak. Yang Bulan pikirkan adalah usiran pria itu yang terdengar sungguh. Pria itu menyuruhnya pergi seolah Bulan habis melakukan sesuatu yang sangat salah. Namun, apa? Bulan sendiri tidak tahu sudah melakukan apa.

Gadis itu menggeleng, sekarang ia ingin mengesampingkan itu. Yang terpenting dirinya harus bisa lolos dari pria itu. Pergi jauh dari desa ini. Persetan apa alasan pria itu mengusirnya seperti tadi.

***

Kali ini Bulan pergi tak membawa apa-apa. Hanya sepasang baju yang melekat di tubuh, juga sedikit uang dari tabungan Bik Tari. Saat semua orang masih lelap, gadis itu sudah keluar dari rumah Bik Tari menuju lapangan tempat mobil-mobil pengangkut padi berkumpul.

Dari jauh, melihat lampu-lampu mobil yang menyala, Bulan nyaris menangis karena begitu bahagia. Akhirnya, kebebasan sedikit lagi bisa ia raih. Rasanya tak sabar meninggalkan desa ini dan semua kenangan buruk di sini.

Bulan mendatangi salah satu supir mobil pick up di sana. Tanpa basa-basi, Bulan jelaskan kondisinya. "Saya bisa duduk di mana saja, Pak. Di belakang bersama tumpukan padi juga bukan masalah." Ia menampilkan wajah memelas. Si gadis jelas sangat butuh pertolongan.

Namun, orang yang Bulan mintai menggeleng dengan wajah takut. "Ka--kami tidak bisa memberi tumpangan." Kemudian dia berlalu begitu saja.

Bulan sudah akan mendatangi supir yang lain, tetapi matanya lebih dulu melihat sosok Reza di sana. Lelaki itu berjalan menuju ke arahnya. Firasat buruk menguasai Bulan dengan cepat.

"Tuan tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja," kata Reza ketika berdiri di depan Bulan.

Bibir Bulan yang terkatup rapat bergetar. Ia menahan amarah. "Sebenarnya ... apa mau pria bajingan itu?" Giginya beradu karena rahang yang mengetat. "Bukankah dia sudah mengusirku?"

Reza tampak mengulas senyum licik. "Soal itu ...." Dia mengusap dagu dengan tatapan mata geli. "Sebenarnya, aku yang membuat Tuan sampai mengusirmu. Tapi, bukankah itu yang kau mau?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status