Hari ini Fara kembali datang ke kamar untuk mengantar makanan. Tak mau mencari masalah dengan wanita itu, Bulan menerima. Ia baru akan menyuap makanan itu ke mulut saat Fara berucap tajam. "Menyenangkan dijadikan peliharaan?" Selera makan Bulan langsung pergi. Namun, lapar membuatnya tetap menyuapkan makanan ke mulut. Mengunyah dengan wajah tebal, sebisa mungkin Bulan makan dengan cepat. Fara mendekat setelah piring Bulan kosong. Diberikannya piring kecil berisi obat yang harus diminum. Bulan menelan itu tanpa banyak protes, membuat Fara tersenyum tipis penuh kesinisan. "Apa Bik Tari baik-baik saja?" tanya Bulan dengan tatapan penuh harap. "Kenapa kau tidak bertanya pada Tuan? Nasib ibuku ada di tangannya. Dan itu tergantung bagaimana caramu bersikap." Fara melirik kesal pada nampan tempat piring kotor Bulan, juga gelas kosong gadis itu. "Karena kau, aku harus melakukan pekerjaan pelayan." Wanita itu menyugar rambutnya putus asa. Ia berang. Mendidih darahnya. Dia berbuat
Aro segera menghampiri Bulan saat dilihatnya perempuan itu limbung. Beruntung gerakannya gesit hingga berhasil mencegah tubuh kurus dan lemah itu membentur lantai yang keras. Aro membuatnya bersandar di dada. Ia intip wajahnya, ternyata sungguhan pingsan. Lagi. Pria itu menghela malas. Matanya memicing pada semua anak buahnya yang masih memegang senjata masing-masing. Bulan si gadis lemah dan penakut ini jelas akan pingsan bila tiba-tiba dibidik delapan orang seperti sekarang. "Turunkan senjata itu. Kalian ini kenapa?" protes Aro dengan tangan kanan di kepala Bulan, sementara tangan satunya membelit punggung gadis itu. "Maaf, Tuan." Pimpinan dari bawahan Aro maju dengan kepala tertunduk. "Dia menyebut nama Tuan tadi." Kini tatapan Aro tak runcing lagi. Ia baru sadar bila dirinyalah yang membuat peraturan itu. Aturan yang mengatakan bahwa siapa pun yang menyebut namanya harus dilenyapkan. Dan barusan Bulan melanggar peraturan itu. Pria itu menunduk. Menatapi wajah Bulan ya
Di meja reyot milik Tari, kini berbagai macam makanan tersaji. Sayuran hijau, daging yang digulai dan dimasak kecap. Sup, ayam goreng, bahkan ada jus terhidang di sana. Namun, tak ada senyum di wajah Tari. Malah, wanita renta itu kini menekuk ujung bibir seolah tengah menahan kemurkaan. "Buk, ayo, makan." Fara yang sejak tadi menunggu ibunya menyentuh makanan yang ia bawa akhirnya buka suara. Fara sengaja menyuruh orang untuk membeli semua makanan ini. Ia memang punya rencana mengunjungi si ibu. Fara kira, ia dan ibunya butuh bicara setelah apa yang terjadi. "Buk?" Fara baru hendak menyentuh tangan ibunya ketika wanita itu tiba-tiba saja menepis kasar tangannya. Tak sampai di sana saja, Tari mendorong meja makan kecil itu hingga terbalik dan semua makanan di atasnya tumpah, berserak di lantai. "Aku tidak perlu semua makananmu itu!" Tari berteriak murka. "Jika semua makanan itu kau beli dengan uang dari lelaki jahat itu, aku lebih baik makan lumpur!" Fara terhenyak untuk se
Bulan tahu kalau labu kukus itu rasanya sangat enak. Apalagi, labu kukus yang kini tersaji di hadapannya terlihat sangat kuning, sangat lembut, dan masih mengepulkan asap tipis. Harumnya bahkan memenuhi kamar. Sungguh, jika Bulan harus sarapan dengan setengah labu kukus yang kini terhidang di nampan makannya, Bulan tidak akan menolak. Masalahnya, makanan lezat yang juga adalah kesukaan Bulan itu dibawa oleh orang yang salah. Bulan bisa abai jika yang membawanya adalah Fara. Bagaimana juga, Bulan yakin bahwa Fara tak seratus persen berada di pihak Aro. Bisa saja wanita itu dijebak. Meski harus mendengar Fara mengomel pun, rasanya Bulan akan tetap bisa memakan labu itu. Namun, yang membawa makanan itu bukan Fara. "Apa dengan menatapi begitu, labu itu akan bisa pindah ke perutmu, Bulan?" Aro yang duduk di kursi menyilangkan kaki. Satu tangannya menopang dagu. Bulan hanya memberi lirikan tajam. Matanya kembali menjadikan labu kukus tadi sebagai fokus. Perempuan itu tanpa sadar menel
Napas Bulan terengah. Perempuan itu berbaring menyamping dengan wajah menekan bantal kuat. Matanya mulai terbuka, dengan reflek Bulan meringkuk. Lembab di antara kaki membuat Bulan ingin menenggelamkan dirinya di lumpur. Ia begitu memalukan. Entah sebutan apa yang pantas Bulan sebutkan untuk Aro. Bajingan? Kejam? Berdarah dingin? Keji? Tambahi satu lagi, licik. Sepertinya benar Aro sangat licik. Sebab setelah tadi pagi lelaki itu membawakannya separuh labu kukus yang enak, di malam hari, tepatnya beberapa saat lalu, lelaki itu meminta imbalan yang sungguh tidak sepadan. Aro memaksakan diri lagi. Pria itu menyentuh Bulan, tanpa izin, meski Bulan sudah meminta tolong. Walau lelaki itu belum sampai ke tahap inti, tetap saja Bulan tidak suka diperlakukan begini. Mereka bukan suami istri. Sejauh yang Bulan tahu, saling menyentuh di antara dua manusia berlainan jenis hanya bisa dilakukan oleh suami istri. Namun, lihat yang Aro lakukan padanya. Bulan merasa sangat terhina. Harga diri
"Aku sudah sembuh. Kau harus menepati janjimu." Bulan bicara sambil berusaha mengejar Aro. Aro berjalan cepat menuju ruang makan. Di belakangnya, Bulan tak berhenti mendesak. Perempuan itu memang sudah demikian sejak kemarin. Mentang-mentang perempuan itu sudah sehat, jadi dia terus meminta pulang. Ia tidak mengerti apa yang membuat Bulan tidak betah. Rumah ini lengkap. Pendingin ruangan, ada. Makanan, ada banyak pelayan yang bisa memasak apa saja yang Bulan inginkan. Hiburan? Ada televisi, Aro sudah memasang tv kabel sejak lama. Harusnya Bulan betah, tetapi perempuan itu malah terus mendesak agar dibolehkan pulang. Duduk di kursi makan, Aro mengabaikan Bulan yang terus berdiri di sampingnya. Lelaki itu makan dengan tenang, meski dari ekor mata terus mengamati Bulan. Wajah perempuan itu jelek sekali pagi ini. Ditekuk, dahinya berkerut macam orang tua. Padahal, gaun tidur yang dipakai cantik, Aro membelikannya kemarin. Tadi itu, Aro harusnya bisa memeluk si perempuan. Ia bahkan
"Siapa bajingan ini?" Aro menunjuk seorang pria yang tertangkap dalam foto. Pria itu jelek sekali. Matanya seolah akan melompat keluar di foto itu. Aro membencinya. Gino, orangnya Aro, menjawab, "Saya tidak tahu, Tuan. Sepertinya warga desa." Tatapan tajam Aro mengarah pada Gino. "Karena kau tidak mengenalnya, jadi kau tidak bisa menghabisinya? Mencokel matanya pun kau tidak mampu?" Aro melempar ponsel Gino ke meja. Si anak buah segera mengambil, kemudian kembali berdiri di dekat meja, kali ini dengan kepala tertunduk. "Maaf, Tuan," katanya. Aro merentangkan kedua lengan di sandaran sofa. Wajahnya menengadah, pria itu memejam. "Dengar, aku menyuruhmu berada di sekitarnya, bukan hanya untuk memberitahu dia ke mana dan sedang apa. Lain kali, jika ada pria yang berani menatapnya seperti tadi, lakukan sesuatu. Kau paham?" Gino mengangguk. "Baik, Tuan." Menghela napas, Aro membuka mata. Ia melihat Bulan. Bagaimana perempuan itu tersenyum saat akan pulang kemarin. Juga, Aro terbayang
Langkah Bulan menuju pintu lagi-lagi diadang. Berang, si perempuan mengumpulkan nyali untuk menatap pria yang sejak tadi membuatnya terkurung di gubuk mengerikan ini. Bulan tidak tahu siapa nama pria itu, tetapi ia yakin lelaki itu adalah orangnya Aro. "Di mana Aro?" tanya Bulan dengan dua tangan terkepal. Sumpah demi apa pun, Bulan sama sekali tak ingin berurusan lagi dengan bandit itu. Seminggu ini hidupnya sudah sangat tenang dan nyaman. Namun, apa? Aro tampaknya masih belum ingin membuatnya hidup tenang dan damai. Pria itu mengirim lima orang. Mereka memaksa Bulan ikut dan berakhir terkurung selama enam jam terakhir di sini. Di sebuah gubuk di mana Reza terbaring nyaris mati. Orang suruhan Aro itu berkata bahwa Bulan harus menghabisi Reza dulu, barulah mereka akan membiarkan Bulan pergi. Sungguh sesuatu yang tidak masuk akal, konyol dan mustahil. Bagaimana bisa Bulan melenyapkan Reza? Sekali pun orang suruhan Aro sudah menyediakan senjata api dan sebuah belati di meja. B