Belum juga Bulan berhasil menyuapkan satu sendok bubur ke mulut, gadis itu dibuat terkejut saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Ia menjadi panik karena Fara datang dengan tangis kencang.
"Tolong Ibuku, Bulan!" jerit wanita itu sambil berlutut di samping ranjang yang Bulan tempati. Air matanya berjatuhan deras. Sendok di tangan Bulan taruh lagi. Ia mengerjap cemas pada Fara yang terus menangis dan melipat tangan di depan dada. "Tuan ingin membunuh Ibuku, Bulan. Dia berkata akan membakar rumah Ibuku!" Dua tangan Bulan mengepal. Giginya beradu menahan rasa takut dan juga amarah. Pria iblis itu ingin ingkar? Bukankah kemarin Bulan sudah bersikap patuh? Lelaki jahanam itu mengigit Bulan kemarin. Bukan hanya satu, di perutnya sekarang ada dua bekas gigitan, bahkan di dadanya terdapat beberapa ruam kemerahan. Bulan sudah mengalah dan mengapa lelaki itu tetap ingin menyakiti Bik Tari? "Tuan marah karena kau menamparnya. Karena itu dia sudah mengirim orang untuk membakar rumah Ibuku malam ini." Fara mendekat. Dipegangnya dua tangan Bulan. "Aku mohon, Bulan. Tolong lakukan sesuatu untuk mencegah Tuan membakar rumah Ibuku." Air matanya yang jatuh membuat Bulan memalingkan wajah. Ia begitu marah sampai tak bisa berteriak dan malah menangis. Manusia macam apa yang ia sedang hadapi ini? "Bulan, tolong aku." Fara menunduk, masih terus memohon. Sebenarnya Bulan tak tahu harus melakukan apa. Ia sudah menjadi penurut kemarin. Namun, lihatlah apa yang lelaki itu perbuat. Hanya karena Bulan menamparnya satu kali, dia ingkar janji? Pelan-pelan Bulan bangkit dari kasur. Jarum infus masih terpasang di punggung tangannya. Gadis itu terpaksa harus membawa kantung cairannya. Sambil melangkah mencari si lelaki gila itu, Bulan menimbang harus melakukan apa. Bulan menemukan lelaki itu ada di ruang tamu. Sedang merokok santai, sembari dijagai beberapa pria bertubuh besar. Pandangan Bulan yang tak sengaja jatuh pada pisau kecil di meja memberi gadis itu sebuah ide. Tidak seharusnya orang jahat dibiarkan hidup. Bik Tari bilang, orang ini masih bernapas sampai sekarang hanya karena warga takut padanya. Bulan bukannya tidak takut, tetapi bukankah ia harus melakukan sesuatu untuk mencegah Bik Tari, orang yang sudah menolongnya, dicelakai? Lelaki itu tampak melirik santai ketika menyadari kehadiran Bulan. Si gadis tebak, pria itu masih kesal karena ditampar kemarin. Orang itu memalingkan wajah, sok tak peduli. Ini kesempatan bagus, batin Bulan. Kapan lagi ia punya peluang sebesar ini? Mengepalkan satu tangan, Bulan mempercepat langkah menuju meja. Saat belati yang tadi diamati sudah berada dalam genggaman, Bulan membuang kantung cairan infus. Benda itu jatuh di lantai, ikut tertarik ketika Bulan maju dan menikamkan belati di tangan kanannya ke arah dada si lelaki. Sayang, ujung runcing belati itu tak sempat menyentuh atau menembus kulit si pria, karena lebih dulu ditahan. Malah, kini Bukan merasakan perih yang menyengat dari punggung tangannya yang robek karena jarum infus yang dipaksa lepas. Tepat di depan mata, Bulan melihat bagaimana darah menetes dari telapak tangan si lelaki yang memegangi belati. Tubuh Bulan menggigil menyaksikan pria itu tersenyum miring padanya. Satu kali tarikan, belati lepas dari tangan Bulan. Pria itu melempar belati tadi, menimbulkan bunyi saat benda itu menyentuh lantai. Tergeletak tak berdaya. Bulan bahkan belum sempat mengambil napas saat tangan ditarik hingga tubuhnya terjatuh ke atas tubuh si lelaki. "Mau membunuhku?" Pria itu bertanya dengan suaranya yang berat. Satu tangannya mengusap pipi Bulan, membuat jejak darahnya menempel di sana. Perut Bulan bergejolak. Bulir keringat dingin memenuhi dahi dan lehernya. Bau amis darah memenuhi hidung si gadis, membuat paru-paru menyempit. "Harusnya aku yang membunuhmu, karena sudah berani menamparku." Pria itu mengulum senyum karena mendapati mata Bulan yang berkedip sayu. Tubuh perempuan itu lunglai, nyaris jatuh ke belakang kalau saja tak disanggah si lelaki. Bulan masih berusaha sadar, ia ingin berontak, tak sudi berada di atas pangkuan si lelaki. Namun, tenaganya hilang entah ke mana. Gadis itu ingin berteriak, tetapi pada akhirnya hanya mampu melenguh sebab kini bibirnya sudah dibungkam bibir lelaki itu. Sedikit kasar dan hangat, Bulan ingin muntah. Matanya memejam dan air mata turun dari sana. Ketika pria itu membuka mulut dan melahap bibir Bulan, si gadis pun hilang kesadaran. Kepala Bulan terkulai di bahu si lelaki. Si pria yang berusaha mengatur napas mengumpat rendah. "Gadis ini payah sekali," komentarnya entah pada siapa. Ia angkat tangan kiri Bulan. Darah mengalir dari punggung tangan kurus itu. Ada luka sobek di sana, akibat jarum infus yang tertarik lepas. Warna darahnya yang merah pucat sangat kontras dengan kulit pias si gadis. "Aku yakin. Seminggu di sini, kau pasti mati," katanya kesal ke arah wajah Bulan. "Panggilkan dokter, Reza," suruh lelaki itu pada salah satu anak buahnya. Ia bangkit berdiri, membawa tubuh Bulan dalam gendongan untuk dipindahkan ke kamar. Pria itu tak sadar jika kini pandangan Reza sang anak buah mengikutinya dengan sorot cemas. *** Ini bukan hal mudah bagi Reza. Sepanjang ia mengabdi, lelaki itu tak pernah mencampuri keputusan apa pun yang sang tuan buat. Menurutnya, sang bos bukan seseorang yang akan mengambil sikap ceroboh yang bisa membahayakan bisnis mereka. Namun, kali ini Reza meragukan keputusan sang tuan. Reza tahu jika sejak lama sang tuan sudah memperhatikan seorang gadis di desa ini. Mungkin sekitar dua atau tiga tahun lalu, tuannya melihat seorang perempuan kurus yang kesusahan mengangkat air dari sumur dan bersimpati padanya. Reza bisa paham mengapa si bos iba. Gadis itu terlihat lemah. Tubuhnya kurus. Meski tinggi, gadis itu tampak sangat rapuh. Membawa satu ember air saja dia kesusahan hingga beberapa kali tersandung dan hampir jatuh. Memang gadis itu tidak jelek. Wajah kecil dengan sorot lugu di kedua mata coklatnya. Berkulit putih bersih, nyaris tak pernah mereka lihat sebelumnya berkeliaran di desa. Dulu, ketika tuannya membantu perempuan itu, Reza tak punya firasat apa-apa. Mungkin, bosnya hanya kasihan pada seorang gadis desa yang lemah. Namun, kini firasat Reza berbeda. Reza sudah merasakan firasat tak nyaman ketika tuannya membakar rumah seorang pria tua hanya untuk membuat gadis itu muncul. Lebih-lebih apa yang terjadi beberapa saat lalu. Gadis itu hendak membunuh sang tuan. Dia mengangkat belati dan nyaris berhasil menusuk dada si bos. Namun, bukannya menikam balik, Reza malah melihat tuannya mencium gadis itu. Bukannya membuang gadis menyusahkan itu, tuannya malah peduli pada luka jarum di punggung tangan si perempuan, lalu memerintah Reza memanggilkan dokter. Sungguh, Reza punya firasat buruk soal ini. Bukan Reza tak suka ada perempuan di samping bosnya. Namun, Fara sudah cukup. Walau wanita itu licik, tetap saja dia lebih baik karena tak mendapat rasa peduli seperti gadis lemah bernama Bulan itu. Terakhir kali sang tuan peduli pada seorang perempuan, mereka berakhir kacau. Reza tak mau hal itu terjadi lagi. "Sungguh Bulan berusaha menikam Tuan?" Suara itu membuat Reza mengusaikan kegiatan merenungnya. Pria itu melihat Fara datang dengan wajah marah. Padanya, ia memberi anggukkan kepala. "Gadis sialan itu," desis Fara penuh kebencian. "Aku harus melakukan sesuatu padanya." Reza menoleh dengan tatap mengejek. "Memukulnya, lalu kau ditampar lagi?" Fara langsung memberi tatapan tajam pada lelaki yang sudah menghinanya itu. "Kalau kau lebih pintar, lakukan sesuatu agar gadis sialan itu dibuang. Dia bisa membuat kita susah." Memalingkan wajah dan menatapi meja, Reza membenarkan ucapan Fara itu. Dia juga berpikir sudah harusnya melakukan sesuatu agar gadis itu tak terlalu lama di sekitar sang tuan. Ia harus melakukan sesuatu.Bulan sangat lapar. Lambungnya sudah terasa amat perih. Karenanya gadis itu terpaksa memakan sarapan yang Reza antarkan pagi ini. Meski kepalanya ribut melarang, tetapi Bulan kalah dengan keinginan untuk mengisi perut. Sehabis makan, gadis itu berlari ke kamar mandi yang disediakan di kamarnya. Ia muntah. Entah karena memang lambungnya masih bermasalah atau karena pertentangan batin yang gadis itu punya. Bulan merasa sangat tersiksa. Dulu ia dan sang ibu tak jarang kekurangan uang untuk makan. Mereka bahkan pernah hanya memakan singkong. Namun, Bulan tak merasa begitu tersiksa seperti sekarang. Perempuan itu lelah, ia sakit dan semua itu diperparah oleh rasa putus asa. Bulan tidak mau membayangkan nasibnya di hari-hari ke depan jikalau terus berada di sini. Di luar kamar mandi, Reza berdecak seraya mengambil ponsel. Tuannya berpesan. Jika gadis ini muntah atau pingsan lagi, Reza harus melaporkan. Reza tak habis pikir, apa yang penting soal muntah atau tidaknya gadis ini. Reza sel
Ada suara dari arah belakang. Seperti derap langkah yang menginjak rumput. Pendengaran Bulan mendadak sangat tajam malam ini hingga telinganya bisa menangkap suara tersebut. Meletakkan karung beras yang sejak tadi dipeluk ke tanah, gadis itu menengok ke belakang untuk memeriksa. Tak ada apa pun selain gambaran remang dari pohon-pohon sawit. Kebun yang gelap terasa makin mencekam kini. Suara hewan malam makin membuatnya resah. Jika sejam sebelumnya gadis itu optimis bisa menemukan jalan pulang, kini ia putus harapan. Kaki sudah pegal melangkah. Kedua tangan juga sudah sakit memikul karung. Bulan menerka jika ia hanya akan berakhir berjalan tak tentu arah sepanjang malam, hingga besok pagi. Bulan menyesal karena selama ini tidak mau ikut ibunya ke kebun sawit. Jika saja sesekali ia membantu ibunya mencari berondolan, mungkin Bulan tak akan tersesat seperti sekarang. Lelah, napas Bulan mulai terasa berat. Gadis itu putuskan untuk duduk sebentar. Memeriksa isi karung, ia menatap nanar
"Apa semalam ada yang datang?" Pagi ini Bik Tari mengantarkan sarapan untuk Bulan. Wanita renta itu bertanya sembari membuka tutup rantang. Bulan menjawabnya dengan mengangguk. Ia menceritakan jika kemarin malam seorang pria jahat yang ditemuinya di kebun datang. Bulan bingung karena pria itu tahu namanya. Bahkan, tahu lokasi rumahnya. "Dia bahkan membawa sekarung sawit berondolan yang aku kumpulkan," keluh perempuan itu dengan raut susah. Bik Tari duduk di depan Bulan. "Kau sungguh tidak mengenalnya?" Bulan mengangguk. "Aku tak pernah melihatnya di desa ini sebelumnya. Karena itu aku heran dari mana dia bisa tahu namaku."Bik Tari mengangguk saja. "Jangan bukakan pintu untuknya. Jika dia tahu aku di sini, dia pasti tak akan berani datang. Aku akan segera mencari cara agar kau bisa pergi dari desa ini." Bulan langsung kehilangan selera makan mendengar itu. Ia begitu syok. Apa yang terjadi hingga harus meninggalkan desa? "Apa yang sebenarnya terjadi, Bik?" tanya Bulan dengan sor
"Akhirnya kau keluar, Bulan?" Pertanyaan itu menghantam kepala Bulan. Ia pusing untuk sesaat. Ketakutan yang menderanya dengan pekat membuat Bulan balik badan hendak berlari pulang. Sayang, lelaki itu lebih cepat mencekal tangan. Langkah Bulan tertahan. Ia menarik-narik tangannya agar cengkeraman lelaki itu lepas, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Bulan bahkan mulai merasakan pedih di pergelangan tangan yang ia masih tarik dan putar. "Kau mau ke mana?" Suara lelaki itu membuat kepala Bulan makin pusing. "Aku sampai harus membakar rumah jelek ini demi bisa melihatmu." Mata pria itu menyipit karena senyum lebarnya yang menyeramkan. "Jangan pergi secepat ini." Bulan mengerutkan hidung jijik. Perempuan itu menendang kaki si lelaki. Tak ada suara ringisan, kaki itu masih berdiri kukuh. Pria itu malah tertawa. Tidak habis akal, Bulan mengigit tangan pria itu. Namun, usaha itu juga tidak membuahkan hasil. Belum lagi Bulan berhasil menemukan cara lain, tubuhnya sudah diangkat dan d
Pagi itu langit masih gelap saat Bulan melihat sebuah mobil sedan mendatangi rumah. Bik Tari memastikan pada sang supir dan benar itu adalah mobil sewaan yang akan membawa Bulan ke halte. Berpamitan pagi Bik Tari, Bulan pun meninggalkan rumah. Sejak kecil Bulan terbiasa di rumah saja. Ibunya terlalu baik hingga membiarkan Bulan tidak mengerjakan pekerjaan berat seperti mencuci di sungai atau ikut ke kebun mencari buah sawit yang berjatuhan untuk dikumpul, kemudian dijual. Ibunya bilang, ia tidak mau Bulan yang memang mudah lelah menjadi sakit. Sejak kecil jarang keluar, Bulan tenang saja ketika mobil terus berjalan. Ia tak perhatikan jalan karena memang tidak familiar. Sampai dua jam kemudian, Bulan merasa ada yang aneh. Ia memang tidak tahu jalan menuju halte, tetapi ia yakin rute ke sana tak perlu masuk ke area perkebunan sawit. Firasat Bulan buruk saat tak sengaja matanya bertemu pandang dengan sang supir yang melempar senyum miring. "Apa jalan ke halte lewat sini, Pak?" tanya
"Ampun, Tuan. Agh ...." Bulan mengernyit karena kepelanya begitu sakit. "Tuan, ampun ...." Seluruh bagian tubuh Bulan rasanya sakit. Namun, suara permintaan tolong itu membuatnya bersikeras membuka mata. Saat pandangannya terbuka, Bulan menahan napas. Ia masih ada di kamar tempat sebelumnya dikurung. Bulan terbaring di lantai, sementara di atas kasur di sana, Fara menjerit kesakitan dan memohon ampun. Pada pria yang kini sedang menyetubuhinya dengan kasar. "Ampun, Tuan. Tolong ... hentikan ...." Air mata Bulan datang karena begitu iba dan takut. Kini Fara tengah dicekik, sementara bagian bawah tubuhnya terus dihujam kuat dan kasar. Kepala Bulan makin berputar-putar. Perutnya yang perih bergejolak, hingga akhirnya gadis itu muntah. Suara muntahnya membuat gerakan laki-laki di atas Fara terjeda. Bulan mencengkeram ubin kuat saat mualnya bertambah parah. Tenggorokannya tercekat, napasnya sulit, perutnya seperti diaduk-aduk, dan lidahnya asam sampai terasa pahit. Namun, yang Bula