Share

Bab 6

Belum juga Bulan berhasil menyuapkan satu sendok bubur ke mulut, gadis itu dibuat terkejut saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Ia menjadi panik karena Fara datang dengan tangis kencang.

"Tolong Ibuku, Bulan!" jerit wanita itu sambil berlutut di samping ranjang yang Bulan tempati. Air matanya berjatuhan deras.

Sendok di tangan Bulan taruh lagi. Ia mengerjap cemas pada Fara yang terus menangis dan melipat tangan di depan dada.

"Tuan ingin membunuh Ibuku, Bulan. Dia berkata akan membakar rumah Ibuku!"

Dua tangan Bulan mengepal. Giginya beradu menahan rasa takut dan juga amarah. Pria iblis itu ingin ingkar? Bukankah kemarin Bulan sudah bersikap patuh?

Lelaki jahanam itu mengigit Bulan kemarin. Bukan hanya satu, di perutnya sekarang ada dua bekas gigitan, bahkan di dadanya terdapat beberapa ruam kemerahan. Bulan sudah mengalah dan mengapa lelaki itu tetap ingin menyakiti Bik Tari?

"Tuan marah karena kau menamparnya. Karena itu dia sudah mengirim orang untuk membakar rumah Ibuku malam ini." Fara mendekat. Dipegangnya dua tangan Bulan. "Aku mohon, Bulan. Tolong lakukan sesuatu untuk mencegah Tuan membakar rumah Ibuku."

Air matanya yang jatuh membuat Bulan memalingkan wajah. Ia begitu marah sampai tak bisa berteriak dan malah menangis. Manusia macam apa yang ia sedang hadapi ini?

"Bulan, tolong aku." Fara menunduk, masih terus memohon.

Sebenarnya Bulan tak tahu harus melakukan apa. Ia sudah menjadi penurut kemarin. Namun, lihatlah apa yang lelaki itu perbuat. Hanya karena Bulan menamparnya satu kali, dia ingkar janji?

Pelan-pelan Bulan bangkit dari kasur. Jarum infus masih terpasang di punggung tangannya. Gadis itu terpaksa harus membawa kantung cairannya. Sambil melangkah mencari si lelaki gila itu, Bulan menimbang harus melakukan apa.

Bulan menemukan lelaki itu ada di ruang tamu. Sedang merokok santai, sembari dijagai beberapa pria bertubuh besar. Pandangan Bulan yang tak sengaja jatuh pada pisau kecil di meja memberi gadis itu sebuah ide.

Tidak seharusnya orang jahat dibiarkan hidup. Bik Tari bilang, orang ini masih bernapas sampai sekarang hanya karena warga takut padanya. Bulan bukannya tidak takut, tetapi bukankah ia harus melakukan sesuatu untuk mencegah Bik Tari, orang yang sudah menolongnya, dicelakai?

Lelaki itu tampak melirik santai ketika menyadari kehadiran Bulan. Si gadis tebak, pria itu masih kesal karena ditampar kemarin. Orang itu memalingkan wajah, sok tak peduli.

Ini kesempatan bagus, batin Bulan. Kapan lagi ia punya peluang sebesar ini? Mengepalkan satu tangan, Bulan mempercepat langkah menuju meja. Saat belati yang  tadi diamati sudah berada dalam genggaman, Bulan membuang kantung cairan infus.

Benda itu jatuh di lantai, ikut tertarik ketika Bulan maju dan menikamkan belati di tangan kanannya ke arah dada si lelaki. Sayang, ujung runcing belati itu tak sempat menyentuh atau menembus kulit si pria, karena lebih dulu ditahan. Malah, kini Bukan merasakan perih yang menyengat dari punggung tangannya yang robek karena jarum infus yang dipaksa lepas.

Tepat di depan mata, Bulan melihat bagaimana darah menetes dari telapak tangan si lelaki yang memegangi belati. Tubuh Bulan menggigil menyaksikan pria itu tersenyum miring padanya. Satu kali tarikan, belati lepas dari tangan Bulan.

Pria itu melempar belati tadi, menimbulkan bunyi saat benda itu menyentuh lantai. Tergeletak tak berdaya. Bulan bahkan belum sempat mengambil napas saat tangan ditarik hingga tubuhnya terjatuh ke atas tubuh si lelaki.

"Mau membunuhku?" Pria itu bertanya dengan suaranya yang berat. Satu tangannya mengusap pipi Bulan, membuat jejak darahnya menempel di sana.

Perut Bulan bergejolak. Bulir keringat dingin memenuhi dahi dan lehernya. Bau amis darah memenuhi hidung si gadis, membuat paru-paru menyempit.

"Harusnya aku yang membunuhmu, karena sudah berani menamparku." Pria itu mengulum senyum karena mendapati mata Bulan yang berkedip sayu.

Tubuh perempuan itu lunglai, nyaris jatuh ke belakang kalau saja tak disanggah si lelaki. Bulan masih berusaha sadar, ia ingin berontak, tak sudi berada di atas pangkuan si lelaki. Namun, tenaganya hilang entah ke mana.

Gadis itu ingin berteriak, tetapi pada akhirnya hanya mampu melenguh sebab kini bibirnya sudah dibungkam bibir lelaki itu. Sedikit kasar dan hangat, Bulan ingin muntah. Matanya memejam dan air mata turun dari sana. Ketika pria itu membuka mulut dan melahap bibir Bulan, si gadis pun hilang kesadaran.

Kepala Bulan terkulai di bahu si lelaki. Si pria yang berusaha mengatur napas mengumpat rendah.

"Gadis ini payah sekali," komentarnya entah pada siapa.

Ia angkat tangan kiri Bulan. Darah mengalir dari punggung tangan kurus itu. Ada luka sobek di sana, akibat jarum infus yang tertarik lepas. Warna darahnya yang merah pucat sangat kontras dengan kulit pias si gadis.

"Aku yakin. Seminggu di sini, kau pasti mati," katanya kesal ke arah wajah Bulan.

"Panggilkan dokter, Reza," suruh lelaki itu pada salah satu anak buahnya.

Ia bangkit berdiri, membawa tubuh Bulan dalam gendongan untuk dipindahkan ke kamar. Pria itu tak sadar jika kini pandangan Reza sang anak buah mengikutinya dengan sorot cemas.

***

Ini bukan hal mudah bagi Reza. Sepanjang ia mengabdi, lelaki itu tak pernah mencampuri keputusan apa pun yang sang tuan buat. Menurutnya, sang bos bukan seseorang yang akan mengambil sikap ceroboh yang bisa membahayakan bisnis mereka.

Namun, kali ini Reza meragukan keputusan sang tuan.

Reza tahu jika sejak lama sang tuan sudah memperhatikan seorang gadis  di desa ini. Mungkin sekitar dua atau tiga tahun lalu, tuannya melihat seorang perempuan kurus yang kesusahan mengangkat air dari sumur dan bersimpati padanya. Reza bisa paham mengapa si bos iba.

Gadis itu terlihat lemah. Tubuhnya kurus. Meski tinggi, gadis itu tampak sangat rapuh. Membawa satu ember air saja dia kesusahan hingga beberapa kali tersandung dan hampir jatuh.

Memang gadis itu tidak jelek. Wajah kecil dengan sorot lugu di kedua mata coklatnya. Berkulit putih bersih, nyaris tak pernah mereka lihat sebelumnya berkeliaran di desa.

Dulu, ketika tuannya membantu perempuan itu, Reza tak punya firasat apa-apa. Mungkin, bosnya hanya kasihan pada seorang gadis desa yang lemah. Namun, kini firasat Reza berbeda.

Reza sudah merasakan firasat tak nyaman ketika tuannya membakar rumah seorang pria tua hanya untuk membuat gadis itu muncul. Lebih-lebih apa yang terjadi beberapa saat lalu.

Gadis itu hendak membunuh sang tuan. Dia mengangkat belati dan nyaris berhasil menusuk dada si bos. Namun, bukannya menikam balik, Reza malah melihat tuannya mencium gadis itu.

Bukannya membuang gadis menyusahkan itu, tuannya malah peduli pada luka jarum di punggung tangan si perempuan, lalu memerintah Reza memanggilkan dokter. Sungguh, Reza punya firasat buruk soal ini.

Bukan Reza tak suka ada perempuan di samping bosnya. Namun, Fara sudah cukup. Walau wanita itu licik, tetap saja dia lebih baik karena tak mendapat rasa peduli seperti gadis lemah bernama Bulan itu. Terakhir kali sang tuan peduli pada seorang perempuan, mereka berakhir kacau. Reza tak mau hal itu terjadi lagi.

"Sungguh Bulan berusaha menikam Tuan?"

Suara itu membuat Reza mengusaikan kegiatan merenungnya. Pria itu melihat Fara datang dengan wajah marah. Padanya, ia memberi anggukkan kepala.

"Gadis sialan itu," desis Fara penuh kebencian. "Aku harus melakukan sesuatu padanya."

Reza menoleh dengan tatap mengejek. "Memukulnya, lalu kau ditampar lagi?"

Fara langsung memberi tatapan tajam pada lelaki yang sudah menghinanya itu. "Kalau kau lebih pintar, lakukan sesuatu agar gadis sialan itu dibuang. Dia bisa membuat kita susah."

Memalingkan wajah dan menatapi meja, Reza membenarkan ucapan Fara itu. Dia juga berpikir sudah harusnya melakukan sesuatu agar gadis itu tak terlalu lama di sekitar sang tuan. Ia harus melakukan sesuatu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status