"Ampun, Tuan. Agh ...."
Bulan mengernyit karena kepelanya begitu sakit. "Tuan, ampun ...." Seluruh bagian tubuh Bulan rasanya sakit. Namun, suara permintaan tolong itu membuatnya bersikeras membuka mata. Saat pandangannya terbuka, Bulan menahan napas. Ia masih ada di kamar tempat sebelumnya dikurung. Bulan terbaring di lantai, sementara di atas kasur di sana, Fara menjerit kesakitan dan memohon ampun. Pada pria yang kini sedang menyetubuhinya dengan kasar. "Ampun, Tuan. Tolong ... hentikan ...." Air mata Bulan datang karena begitu iba dan takut. Kini Fara tengah dicekik, sementara bagian bawah tubuhnya terus dihujam kuat dan kasar. Kepala Bulan makin berputar-putar. Perutnya yang perih bergejolak, hingga akhirnya gadis itu muntah. Suara muntahnya membuat gerakan laki-laki di atas Fara terjeda. Bulan mencengkeram ubin kuat saat mualnya bertambah parah. Tenggorokannya tercekat, napasnya sulit, perutnya seperti diaduk-aduk, dan lidahnya asam sampai terasa pahit. Namun, yang Bulan muntahkan hanya cairan. "Kau muntah lagi." Suara itu membuat ujung hidung Bulan mengerut. Ia makin mual. "Reza!" Lelaki itu memanggil seseorang. Tak lama pria berbadan kekar yang biasa mengantar makan untuk Bulan masuk. "Ambilkan air. Urus dia." Reza mengangguk, kemudian keluar. Tak berapa lama pria itu kembali dengan sebotol air. Ia hendak membantu Bulan minum, tetapi gadis itu malah menolak. Tidak lagi muntah, tubuh Bulan yang lemas bergetar hebat. Matanya menatap nyalang pada pria setan yang kembali menggauli Fara. Pria itu bahkan tidak peduli akan kehadirannya dan lelaki bernama Reza tadi. Dasar binatang, batin Bulan jijik. "Tuan!" Fara memekik dengan tubuh mengejang. Perempuan itu langsung mendapat satu tamparan dari lelaki di atasnya. Bulan yang menyaksikan itu makin menggigil ketakutan. Ia memundurkan tubuh hingga punggung membentur dinding ketika pandangan pria di atas ranjang itu jatuh padanya. "Pergi," usir pria itu pelan pada Fara. Fara meninggalkan kamar dengan langkah tertatih. Si pria turun dari ranjang. "Tolong celanaku, Reza," perintanya pada Reza. Bulan menatap tak percaya pada pria bernama Reza yang patuh. Pria berbadan kekar itu memungut celana dari lantai, kemudian diberikan pada orang jahat itu. Bulan memalingkan wajah. Mualnya kembali datang saat melihat yang tak seharusnya dilihat. "Minumlah." Kini pria itu sudah berjongkok di depan Bulan, mengangsurkan sebotol air. Bulan bergeming. Tak sudi menatap wajah itu. Ia memeluk lututnya erat-erat. "Kau takut karena melihatku menampar Fara?" Pria itu membukakan botol air. Ia tarik tangan Bulan untuk menerimanya. "Fara bersalah, karena itu aku menamparnya." Tidak mau mendengarkan itu, Bulan membuang botol air di tangan. Matanya yang sayu berusaha menatap mata si lelaki. Namun, itu malah membuat rasa takutnya makin menjadi. Mata pria itu gelap sekali. Bulan tak melihat emosi apa-apa di sana, tetapi itulah yang membuat siapa pun yang ditatap mata itu pasti akan ciut nyali. "Minumlah." Pria itu memungut botol air dari lantai. Meski isinya tumpah, tetapi masih bersisa. "Kau terlihat akan segera pingsan lagi." Bulan menahan napas saat tangannya diambil. Sentuhan pria itu seolah mengambil nyawanya. Bulan bahkan tak punya tenaga untuk sekadar menarik tangannya. Perempuan itu berkedip lemah satu kali, sebelum akhirnya terkulai tak berdaya. *** "Jangan memukulnya lagi." Peringatan itu diberikan dengan tatapan sungguh. Fara yang mendengarnya dibuat menelan ludah. Kepalanya perlahan tertunduk. "Baik, Tuan." Fara sungguh tak mengerti. Padahal, niatnya adalah membantu agar Bulan tidak kabur. Gadis itu mencoba kabur kemarin. Nyaris melewati pintu utama. Beruntung Fara sigap. Ia menjambak rambut Bulan hingga gadis itu terhuyung jatuh ke lantai. Kemudian, setelah Bulan dipegangi Reza, ia memberi satu tamparan sebagai peringatan agar Bulan tidak mencoba kabur lagi. Namun, sepertinya gadis itu terlalu lemah hingga ditampar saja bisa membuatnya pingsan. Fara hanya ingin memberi rasa takut pada gadis tidak tahu diuntung itu. Namun, tampaknya sang tuan tak berpikir sama. Apa karena itu tadi Fara diperlakukan sangat kasar? "Tuan," Fara bersikap seperti biasa, meski sedikit kesal karena tadi diberi perlakuan kasar. "Dia akan tinggal di mana?" Pria di kursi itu hanya melirik singkat. "Di mana lagi? Tentu saja di sini." Fara mengatur air muka agar terlihat tidak terusik. "Soal ibuku ...." "Kau tidak bisa mengurus itu?" potong lelaki tadi sinis. "Kau tidak bisa diharapkan hanya untuk hal kecil begitu?" Buru-buru Fara menggeleng. "Tentu saja bisa, Tuan. Jangan khawatir, aku akan mengurus ibuku." Kursi berderit. Pria itu bangkit dari sana. Ia memberikan seikat uang pada Fara. "Ini upahmu hari ini. Kau bisa pergi sekarang." Pria itu meninggalkannya, Fara terduduk dengan wajah sedih. Entah sudah berapa lama ia bersikap patuh seperti hewan peliharaan. Pria itu berkata A, ia lakukan A. Lelaki itu melarang Fara melalukan B, maka Fara tak akan lakukan. Namun, semua itu seolah tak ada arti. Meski sampai saat ini Fara masihlah satu-satunya perempuan yang diajak tidur sang tuan, tetap saja posisinya tidak baik. Kapan saja lelaki itu bosan, Fara bisa dibuang. Terlebih, ada Bulan sekarang. Fara yakin, lelaki itu mengincar Bulan untuk dijadikan pemuas nafsu, sama seperti dirinya. Tidak pernah sang tuan mengincar perempuan, jika bukan karena urusan birahi. Fara patut waspada, meski merasa Bulan tidak akan dipakai selama dirinya. Menurut pendapat Fara, Bulan adalah jenis perempuan yang tak akan dipelihara sang tuan. Ia masih ingat jikalau sejak dulu gadis itu dikurung ibunya di rumah. Tidak mandiri seperti Fara. Urusan penampilan jelas Fara yang menang. Bulan hanya gadis rumahan penyakitan, sedangkan ia wanita matang dengan tubuh memukau. Kalau pun sang tuan tertarik pada Bulan, mungkin hanya akan berlangsung sebentar. Benar. Fara harusnya tidak perlu khawatir. Lagi pula, Fara yakin tak ada perempuan yang bisa bertahan dengan sang tuan. Hanya Fara yang bisa. Maka, tinggal menunggu waktu sampai dirinya dijadikan pendamping. *** Bulan hanya bisa menangis. Ia tak mampu bangkit. Jangankan lari dan menghindari lelaki iblis yang duduk di samping ranjangnya, bangun dan duduk saja perempuan itu tak bisa. Bulan hanya bisa terbaring lemah. Punggung tangannya ditempeli jarum infus. Seluruh tubuh perempuan itu sakit dan ia tidak punya tenaga. Semua makin parah sebab dia ketakutan. "Lebih baik jangan berusaha lari lagi." Pria itu menyentuh lengan Bulan dengan telunjuk. Menusuk-nusuk pelan, seolah memeriksa buah sudah matang atau belum. Matanya melirik penuh maksud. "Pergi ...." Bulan memejam, menghalau pening yang menyerang. Ia tak sudi disentuh, tetapi tak mampu melakukan apa-apa. Lelaki itu menjauhkan telunjuk. Alisnya mengait tak senang. Menatap Bulan agak lama, ia mendesah panjang. "Sepertinya kau ingin cara kasar. Kau ingin aku membakar rumah lain? Rumah wanita tua itu?" Mata Bulan langsung membola. Pelan, tanpa sadar ia menggeleng. Yang lelaki itu maksud pastilah rumah Bik Tari. Melihat Bulan ketakutan, lelaki itu mengulas senyum puas. Ia mengangguk tiga kali. "Bagus. Jika kau tak mau aku membakar rumah wanita tua itu, jadilah penurut. Ikuti semua yang aku katakan." Bulan ingin membantah, tetapi tak bisa karena kini nasib Bik Tari ada di caranya bersikap pada lelaki ini. Karenanya, gadis itu hanya bisa merintih menahan sakit di kulit perutnya yang digigit lelaki bajingan itu. Menahan sakit dan perih, Bulan hanya berharap pria itu tak menyiksanya lebih dari ini.Belum juga Bulan berhasil menyuapkan satu sendok bubur ke mulut, gadis itu dibuat terkejut saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Ia menjadi panik karena Fara datang dengan tangis kencang. "Tolong Ibuku, Bulan!" jerit wanita itu sambil berlutut di samping ranjang yang Bulan tempati. Air matanya berjatuhan deras. Sendok di tangan Bulan taruh lagi. Ia mengerjap cemas pada Fara yang terus menangis dan melipat tangan di depan dada. "Tuan ingin membunuh Ibuku, Bulan. Dia berkata akan membakar rumah Ibuku!" Dua tangan Bulan mengepal. Giginya beradu menahan rasa takut dan juga amarah. Pria iblis itu ingin ingkar? Bukankah kemarin Bulan sudah bersikap patuh? Lelaki jahanam itu mengigit Bulan kemarin. Bukan hanya satu, di perutnya sekarang ada dua bekas gigitan, bahkan di dadanya terdapat beberapa ruam kemerahan. Bulan sudah mengalah dan mengapa lelaki itu tetap ingin menyakiti Bik Tari? "Tuan marah karena kau menamparnya. Karena itu dia sudah mengirim orang untuk membakar rumah Ibuku ma
Bulan sangat lapar. Lambungnya sudah terasa amat perih. Karenanya gadis itu terpaksa memakan sarapan yang Reza antarkan pagi ini. Meski kepalanya ribut melarang, tetapi Bulan kalah dengan keinginan untuk mengisi perut. Sehabis makan, gadis itu berlari ke kamar mandi yang disediakan di kamarnya. Ia muntah. Entah karena memang lambungnya masih bermasalah atau karena pertentangan batin yang gadis itu punya. Bulan merasa sangat tersiksa. Dulu ia dan sang ibu tak jarang kekurangan uang untuk makan. Mereka bahkan pernah hanya memakan singkong. Namun, Bulan tak merasa begitu tersiksa seperti sekarang. Perempuan itu lelah, ia sakit dan semua itu diperparah oleh rasa putus asa. Bulan tidak mau membayangkan nasibnya di hari-hari ke depan jikalau terus berada di sini. Di luar kamar mandi, Reza berdecak seraya mengambil ponsel. Tuannya berpesan. Jika gadis ini muntah atau pingsan lagi, Reza harus melaporkan. Reza tak habis pikir, apa yang penting soal muntah atau tidaknya gadis ini. Reza sel
Hal pertama yang Bulan ingat saat dirinya terjaga pagi ini adalah pria jahanam itu. Bagaimana lelaki tak punya perasaan itu tetap menjamah Bulan, meski si gadis sudah memohon, bahkan berlutut di kakinya. Bulan menjatuhkan air mata ketika duduk dan mendapati tubuhnya sudah mengenakan sepasang pakaian. Rahang Bulan mengetat menebak siapa yang memakaikan pakaian ini. Lelaki berengsek itu? Atau pria setan itu menyuruh salah satu anak buahnya? Bulan mengigit bibir kuat karena merasa sudah tak punya harga diri lagi. Mungkin, mati lebih baik dari ini, batinnya. Gadis itu bangun dari posisi berbaring. Kakinya baru saja menginjak lantai ketika akhirnya sadar jika sekarang tidak lagi berada di kamar si lelaki. Ini kamar tempat dirinya dikurung. Siapa yang memindahkannya ke sini? Ia berjalan menuju pintu. Namun, benda itu lebih dulu terbuka dan menampilkan pria yang tadi malam sudah menghancurkan harga diri Bulan. Si gadis otomatis menjeda langkah, tubuhnya memasang sikap waspada. Pria i
Jadi, Bulan sudah dijebak rupanya. Reza, berdalih agar bisa membebaskan Bulan, pria itu mengatur sebuah siasat. Bulan dibuat seolah sudah tidur dengan pria lain. Hal itulah yang membuat lelaki kejam itu begitu marah sampai mengusirnya. Ketika pria itu meninggalkan Bulan, Reza menyuntikkan obat tidur. Saat Bulan lelap, dirinya dipindahkan ke kamar tempat gadis itu biasa dikurung, kemudian seorang anak buah lelaki kejam itu dipanggil untuk bergabung. Reza memanggilkan tuannya agar melihat Bulan yang seolah-olah tidur dengan si aktor tadi. Dan bodohnya lelaki jahanam itu, dia percaya begitu saja. Bulan pun dikatai jalang dan diusir pergi. Meski keberatan difitnah, tetapi Bulan menemukan bahwa ini adalah cara yang bagus. Jadi, ia merasa tak perlu marah pada Reza. Masalahnya, bagaimana cara Bulan pergi jika supir-supir pick up tak ada yang mau memberinya tumpangan? "Tuan melarang mereka memberi tumpangan padamu." Perkataan Reza membuat Bulan melipat dahi. "Kenapa?" Reza meng
Menepikan beratnya mata dan lelah yang menyandera tubuh, Bulan meletakkan jerigen air di teras. Langkahnya yang pelan membelah kerumunan di rumah Bik Tari. Langkah itu menyepat kala melihat jika Bik Tari terduduk di lantai rumah, sementara lima orang pria bertubuh besar berdiri menjulang di depan wanita renta itu. Bulan menghampiri Bik Tari. Ia begitu terkejut menemukan ada lebam di wajah wanita itu. Menoleh pada pria-pria di ruangan tersebut, Bulan memicing marah. "Kalian memukul wanita?" Pertanyaannya bermuatan cemooh. Kelima orang itu saling berpandangan, kemudian mengangguk singkat. Salah satunya berbicara pada Bulan. Menyuruh perempuan itu menyingkir sebab mereka masih ingin memberi pelajaran pada Bik Tari. "Apa yang terjadi? Bik Tari salah apa?" Bulan menarik-narik tangannya dari pria yang berusaha menyeretnya menjauh. "Lepaskan aku!" Ia menjerit kala melihat tubuh renta Bik tari dipukuli pria lainnya dengan balok kayu. Bulan meronta sekuat tenaga. Ia injak kaki pria y
"Tuan, ibunya Fara sudah datang." Kabar dari Reza terpaksa membuat pria itu menyudahi kegiatan melamun. Ia tekan ujung rokok ke asbak yang nyaris penuh, sambil terus menatapi Reza. Kemudian, kakinya melangkah menuju pintu, keluar dari kamar. Ia melempar senyum pada Tari yang duduk dengan tatapan tajam di ruang tamu rumahnya. Wanita itu tua memang tampak menyedihkan dengan beberapa luka lebam di wajah dan lengan. Mungkin masih banyak di tempat lain, tetapi untuk apa ia peduli? "Di mana putriku?" Dua tangan Tari terkepal. Ia menatap pria muda di depannya dengan kebencian menyala-nyala di mata. Malang bagi Tari. Ia akhirnya tahu bahwa putri satu-satunya yang ia kira bekerja di kota ternyata menjadi peliharaan pria paling jahat di desa mereka. Sepulang dari ladang kemarin, ia tak sengaja melihat Fara dalam sebuah mobil. Wanita renta itu berusaha mengikuti dengan sepeda tuanya, lalu menemukan anaknya di dalam rumah sang ketua preman. Fara menceritakan semuanya. Dan Tari begitu ke
Hari ini Fara kembali datang ke kamar untuk mengantar makanan. Tak mau mencari masalah dengan wanita itu, Bulan menerima. Ia baru akan menyuap makanan itu ke mulut saat Fara berucap tajam. "Menyenangkan dijadikan peliharaan?" Selera makan Bulan langsung pergi. Namun, lapar membuatnya tetap menyuapkan makanan ke mulut. Mengunyah dengan wajah tebal, sebisa mungkin Bulan makan dengan cepat. Fara mendekat setelah piring Bulan kosong. Diberikannya piring kecil berisi obat yang harus diminum. Bulan menelan itu tanpa banyak protes, membuat Fara tersenyum tipis penuh kesinisan. "Apa Bik Tari baik-baik saja?" tanya Bulan dengan tatapan penuh harap. "Kenapa kau tidak bertanya pada Tuan? Nasib ibuku ada di tangannya. Dan itu tergantung bagaimana caramu bersikap." Fara melirik kesal pada nampan tempat piring kotor Bulan, juga gelas kosong gadis itu. "Karena kau, aku harus melakukan pekerjaan pelayan." Wanita itu menyugar rambutnya putus asa. Ia berang. Mendidih darahnya. Dia berbuat
Aro segera menghampiri Bulan saat dilihatnya perempuan itu limbung. Beruntung gerakannya gesit hingga berhasil mencegah tubuh kurus dan lemah itu membentur lantai yang keras. Aro membuatnya bersandar di dada. Ia intip wajahnya, ternyata sungguhan pingsan. Lagi. Pria itu menghela malas. Matanya memicing pada semua anak buahnya yang masih memegang senjata masing-masing. Bulan si gadis lemah dan penakut ini jelas akan pingsan bila tiba-tiba dibidik delapan orang seperti sekarang. "Turunkan senjata itu. Kalian ini kenapa?" protes Aro dengan tangan kanan di kepala Bulan, sementara tangan satunya membelit punggung gadis itu. "Maaf, Tuan." Pimpinan dari bawahan Aro maju dengan kepala tertunduk. "Dia menyebut nama Tuan tadi." Kini tatapan Aro tak runcing lagi. Ia baru sadar bila dirinyalah yang membuat peraturan itu. Aturan yang mengatakan bahwa siapa pun yang menyebut namanya harus dilenyapkan. Dan barusan Bulan melanggar peraturan itu. Pria itu menunduk. Menatapi wajah Bulan ya