Pagi itu langit masih gelap saat Bulan melihat sebuah mobil sedan mendatangi rumah. Bik Tari memastikan pada sang supir dan benar itu adalah mobil sewaan yang akan membawa Bulan ke halte. Berpamitan pagi Bik Tari, Bulan pun meninggalkan rumah.
Sejak kecil Bulan terbiasa di rumah saja. Ibunya terlalu baik hingga membiarkan Bulan tidak mengerjakan pekerjaan berat seperti mencuci di sungai atau ikut ke kebun mencari buah sawit yang berjatuhan untuk dikumpul, kemudian dijual. Ibunya bilang, ia tidak mau Bulan yang memang mudah lelah menjadi sakit. Sejak kecil jarang keluar, Bulan tenang saja ketika mobil terus berjalan. Ia tak perhatikan jalan karena memang tidak familiar. Sampai dua jam kemudian, Bulan merasa ada yang aneh. Ia memang tidak tahu jalan menuju halte, tetapi ia yakin rute ke sana tak perlu masuk ke area perkebunan sawit. Firasat Bulan buruk saat tak sengaja matanya bertemu pandang dengan sang supir yang melempar senyum miring. "Apa jalan ke halte lewat sini, Pak?" tanya Bulan ketika rasa gusarnya makin menjadi. Kini mobil itu sudah masuk lebih dalam. Kiri dan kanan pemandangan hanya berisi jejeran pohon sawit. Supir itu menggeleng. Tidak lama setelahnya, mobil menepi di dekat sebuah mobil terparkir. Bulan berkedip panik saat dari mobil itu turun seorang wanita berambut panjang. Wanita itu mendatangi Bulan, membuka pintu di samping Bulan, kemudian tersenyum. "Kau kenal aku?" tanya wanita itu tanpa basa-basi. Bulan masih berusaha mengingat ketika tangannya ditarik hingga dirinya turun dari mobil. Jantung Bulan berdebar cepat dan membuatnya tak nyaman. Bulan dipaksa masuk ke mobil si wanita aisng tadi. Tasnya juga ikut dibawa ke sana. Wanita itu ikut masuk. Duduk di sebelah Bulan, sekali lagi dia melempar senyum miring yang membuat Bulan ingin segera melarikan diri. Namun, Bulan tidak jadi membuka pintu saat mendengar wanita itu buka suara. "Aku Fara. Aku putrinya Tari." *** Butuh setengah jam untuk Bulan mengingat Fara. Wanita itu tidak bohong, dia memang Fara putrinya Bik Tari. Yang Bulan tidak mengerti, mengapa perempuan itu menjemputnya? Bukankah harusnya Fara ada di kota? "Kita mau ke mana?" Berulang kali Bulan bertanya begitu. Namun, ia tak kunjung mendapat jawaban. Fara hanya memintanya diam dan menunggu. Mobil terus bergerak entah ke mana, Bulan berusaha yakin jika Fara tak mungkin melakukan hal buruk padanya. Bagaiaman juga, perempuan itu putrinya Bik Tari. Bik Tari pasti sudah menceritakan keadaan Bulan. Namun, prasangka baik Bulan itu lenyap ketika mobil mereka memasuki sebuah pekarangan. Samar-samar Bulan mengingat kediaman siapa tempat yang mereka datangi. Ketika ingatannya sempurna, Bulan menggeleng takut pada Fara yang menariknya turun dari mobil. "Apa yang kau lakukan, Fara?" Mata Bulan yang memancarkan ketakutan memerah. Perempuan itu berusaha mengelak, tetapi Fara sudah lebih dulu memanggil dua pria bertubuh besar untuk menyeret Bulan. Tenaga Bulan jelas tidak sebanding dengan dua pria itu. Kaki si gadis bahkan tak menapak di tanah. Tubuhnya diangkat begitu mudah masuk ke rumah. Bulan didorong hingga tersungkur di lantai yang dingin. "Fara," panggil Bulan ketakutan dan marah. Fara mengambil tempat di sofa. Wanita itu mengangguk-angguk. Ia minta pelayan mengambilkan minum, kemudian menyegarkan tenggorokan dengan itu. Bulan bangkit dari posisi berlutut. Perempuan itu hendak berlari menuju pintu utama rumah, tempat yang ia lewati tadi. Namun, lengannya yang kecil dan lemah dengan mudah dicekal. "Kurung saja dia di kamar," perintah Fara. Bulan meronta. "Apa yang kau lakukan, Fara? Bukankah harusnya kau di kota? Bik Tari bilang aku harus mendatangimu." Fara bangkit dari sofa. Wanita itu memberi isyarat agar dua pria tadi membawa Bulan ke hadapannya. Setelah berdiri berhadapan, Fara mencengkeram pipi Bulan. Matanya mengamati wajah gadis lemah itu sesaat, sebelum melepaskannya. "Aku akan menjelaskannya padamu," kata Fara dengan nada datar. Kini tatapannya terlihat dingin. "Tapi, tidak sekarang. Tunggulah sampai Tuan datang." Setelahnya, dua pria berbadan kekar itu menyeret Bulan dan mengurungnya di sebuah kamar. Mereka berjaga di luar. Bersikap tuli pada teriakan Bulan yang meminta dirinya dilepaskan. Sementara itu, Fara yang sudah kembali menghuni sofa mengeluarkan ponsel. Ia hubungi sang Tuan untuk menyampaikan laporan. "Dia sudah di rumah, Tuan." Orang di seberang telepon memuji kerja Fara. Tak lupa pria itu menjanjikan bonus yang besar. "Dia kurus dan lemah sekali, Tuan. Sepertinya ibunya tak merawatnya dengan baik." Fara yang begitu terusik dengan kehadiran Bulan memberanikan diri berkomentar. "Apa aku ibunya hingga kau protes padaku?" balas lelaki di ujung telepon. "Maafkan aku, Tuan. Aku hanya mengira dia terlalu lemah." Lawan bicara Fara tertawa. "Mungkin, itulah kenapa dia terlihat sangat menggiurkan." Sambungan telepon diputus. Fara menatapi layar ponselnya dengan sorot bingung dan gugup. Fara tidak tahu apa semua ini akan memberi hal baik atau malah mengancam posisinya kelak. *** Pintu kamar itu terbuka. Kali ini Bulan dikirimi makanan lagi. Pria dengan wajah menyeramkan itu menatap runcing saat mengambil piring berisi makan siang Bulan yang isinya masih utuh. "Tuan belum pulang," beritahu lelaki itu. "Kalau kau tidak mau mati, makan!" Bentakan pria itu membuat Bulan berjengit. Perempuan itu semakin merapatkan punggung ke sudut kamar. "Kalau kau mati, kau tidak akan dapat apa pun." Usai mengatakannya, lelaki itu pergi. Bulan nyaris menangis ketika mendengar kunci pintu diputar. Gadis itu memegangi kepalanya susah. Sudah seharian Bulan terkurang di sini. Di tempat asing, menunggu entah siapa. Bukan Bulan tidak lapar. Hanya saja, ia tidak yakin makanan yang diberikan penghuni rumah ini tak mengandung racun atau sesuatu yang berbahaya. Bagaimana jika di daging ayam goreng itu ada obat tidur? Bisa saja ketika dirinya tak sadar, orang-orang jahat tadi melenyapakannya, 'kan? Berusaha menahan rasa perih di perut, Bulan meremat rambut kala mengingat Fara. Mengapa bisa anaknya Bik Tari melakukan ini? Jelas yang terjadi sekarang tidak seperti arahan Bik Tari. Harusnya Bulan sudah naik bus menuju kota. Bukannya di rumah ini. Menekuri ubin, meratapi nasibnya, Bulan dibuat tersentak saat pintu kamar itu kembali terbuka. Kali ini si perempuan dibuat gemetar melihat sosok yang datang itu. Bukan si pria berbadan kekar tadi. Melainkan pria iblis yang harusnya ia hindari. "Suruh Fara ke sini," ucap pria itu pada orang di belakangnya. Bulan memeluk dirinya sendiri ketika pria iblis itu menutup pintu. Langkahnya menuju kasur besar di ruangan itu, Bulan merasai napasnya mulai berat. Apa kata lelaki ini tadi? Fara? Jadi, orang jahat ini mengenal Fara? Dan Fara yang harusnya menolong Bulan malah membawa Bulan ke kediaman pria ini? Detik itu Bulan tahu jika hidupnya sudah tamat. Lebih-lebih ketika pria itu menyuarakan tawa pelan yang terdengar sangat penuh kepuasan. Apa dia puas karena berhasil menjebak Bulan? Tidak. Bulan tak akan menyerah secepat ini. Bulan menengok ke arah pintu. Ia ingat benda itu hanya ditutup, tidak dikunci. Dengan cepat Bulan bangkit dari lantai. Ia belari menerjang pintu, membukanya dan berlari keluar. Apa pun akan Bulan lakukan demi bisa selamat dan menjauh dari pria iblis itu. Ia tak akan menyerah. Meski kemungkinannya kecil, Bulan akan usahakan bisa keluar dari rumah ini."Ampun, Tuan. Agh ...." Bulan mengernyit karena kepelanya begitu sakit. "Tuan, ampun ...." Seluruh bagian tubuh Bulan rasanya sakit. Namun, suara permintaan tolong itu membuatnya bersikeras membuka mata. Saat pandangannya terbuka, Bulan menahan napas. Ia masih ada di kamar tempat sebelumnya dikurung. Bulan terbaring di lantai, sementara di atas kasur di sana, Fara menjerit kesakitan dan memohon ampun. Pada pria yang kini sedang menyetubuhinya dengan kasar. "Ampun, Tuan. Tolong ... hentikan ...." Air mata Bulan datang karena begitu iba dan takut. Kini Fara tengah dicekik, sementara bagian bawah tubuhnya terus dihujam kuat dan kasar. Kepala Bulan makin berputar-putar. Perutnya yang perih bergejolak, hingga akhirnya gadis itu muntah. Suara muntahnya membuat gerakan laki-laki di atas Fara terjeda. Bulan mencengkeram ubin kuat saat mualnya bertambah parah. Tenggorokannya tercekat, napasnya sulit, perutnya seperti diaduk-aduk, dan lidahnya asam sampai terasa pahit. Namun, yang Bula
Belum juga Bulan berhasil menyuapkan satu sendok bubur ke mulut, gadis itu dibuat terkejut saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Ia menjadi panik karena Fara datang dengan tangis kencang. "Tolong Ibuku, Bulan!" jerit wanita itu sambil berlutut di samping ranjang yang Bulan tempati. Air matanya berjatuhan deras. Sendok di tangan Bulan taruh lagi. Ia mengerjap cemas pada Fara yang terus menangis dan melipat tangan di depan dada. "Tuan ingin membunuh Ibuku, Bulan. Dia berkata akan membakar rumah Ibuku!" Dua tangan Bulan mengepal. Giginya beradu menahan rasa takut dan juga amarah. Pria iblis itu ingin ingkar? Bukankah kemarin Bulan sudah bersikap patuh? Lelaki jahanam itu mengigit Bulan kemarin. Bukan hanya satu, di perutnya sekarang ada dua bekas gigitan, bahkan di dadanya terdapat beberapa ruam kemerahan. Bulan sudah mengalah dan mengapa lelaki itu tetap ingin menyakiti Bik Tari? "Tuan marah karena kau menamparnya. Karena itu dia sudah mengirim orang untuk membakar rumah Ibuku ma
Bulan sangat lapar. Lambungnya sudah terasa amat perih. Karenanya gadis itu terpaksa memakan sarapan yang Reza antarkan pagi ini. Meski kepalanya ribut melarang, tetapi Bulan kalah dengan keinginan untuk mengisi perut. Sehabis makan, gadis itu berlari ke kamar mandi yang disediakan di kamarnya. Ia muntah. Entah karena memang lambungnya masih bermasalah atau karena pertentangan batin yang gadis itu punya. Bulan merasa sangat tersiksa. Dulu ia dan sang ibu tak jarang kekurangan uang untuk makan. Mereka bahkan pernah hanya memakan singkong. Namun, Bulan tak merasa begitu tersiksa seperti sekarang. Perempuan itu lelah, ia sakit dan semua itu diperparah oleh rasa putus asa. Bulan tidak mau membayangkan nasibnya di hari-hari ke depan jikalau terus berada di sini. Di luar kamar mandi, Reza berdecak seraya mengambil ponsel. Tuannya berpesan. Jika gadis ini muntah atau pingsan lagi, Reza harus melaporkan. Reza tak habis pikir, apa yang penting soal muntah atau tidaknya gadis ini. Reza sel
Ada suara dari arah belakang. Seperti derap langkah yang menginjak rumput. Pendengaran Bulan mendadak sangat tajam malam ini hingga telinganya bisa menangkap suara tersebut. Meletakkan karung beras yang sejak tadi dipeluk ke tanah, gadis itu menengok ke belakang untuk memeriksa. Tak ada apa pun selain gambaran remang dari pohon-pohon sawit. Kebun yang gelap terasa makin mencekam kini. Suara hewan malam makin membuatnya resah. Jika sejam sebelumnya gadis itu optimis bisa menemukan jalan pulang, kini ia putus harapan. Kaki sudah pegal melangkah. Kedua tangan juga sudah sakit memikul karung. Bulan menerka jika ia hanya akan berakhir berjalan tak tentu arah sepanjang malam, hingga besok pagi. Bulan menyesal karena selama ini tidak mau ikut ibunya ke kebun sawit. Jika saja sesekali ia membantu ibunya mencari berondolan, mungkin Bulan tak akan tersesat seperti sekarang. Lelah, napas Bulan mulai terasa berat. Gadis itu putuskan untuk duduk sebentar. Memeriksa isi karung, ia menatap nanar
"Apa semalam ada yang datang?" Pagi ini Bik Tari mengantarkan sarapan untuk Bulan. Wanita renta itu bertanya sembari membuka tutup rantang. Bulan menjawabnya dengan mengangguk. Ia menceritakan jika kemarin malam seorang pria jahat yang ditemuinya di kebun datang. Bulan bingung karena pria itu tahu namanya. Bahkan, tahu lokasi rumahnya. "Dia bahkan membawa sekarung sawit berondolan yang aku kumpulkan," keluh perempuan itu dengan raut susah. Bik Tari duduk di depan Bulan. "Kau sungguh tidak mengenalnya?" Bulan mengangguk. "Aku tak pernah melihatnya di desa ini sebelumnya. Karena itu aku heran dari mana dia bisa tahu namaku."Bik Tari mengangguk saja. "Jangan bukakan pintu untuknya. Jika dia tahu aku di sini, dia pasti tak akan berani datang. Aku akan segera mencari cara agar kau bisa pergi dari desa ini." Bulan langsung kehilangan selera makan mendengar itu. Ia begitu syok. Apa yang terjadi hingga harus meninggalkan desa? "Apa yang sebenarnya terjadi, Bik?" tanya Bulan dengan sor
"Akhirnya kau keluar, Bulan?" Pertanyaan itu menghantam kepala Bulan. Ia pusing untuk sesaat. Ketakutan yang menderanya dengan pekat membuat Bulan balik badan hendak berlari pulang. Sayang, lelaki itu lebih cepat mencekal tangan. Langkah Bulan tertahan. Ia menarik-narik tangannya agar cengkeraman lelaki itu lepas, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Bulan bahkan mulai merasakan pedih di pergelangan tangan yang ia masih tarik dan putar. "Kau mau ke mana?" Suara lelaki itu membuat kepala Bulan makin pusing. "Aku sampai harus membakar rumah jelek ini demi bisa melihatmu." Mata pria itu menyipit karena senyum lebarnya yang menyeramkan. "Jangan pergi secepat ini." Bulan mengerutkan hidung jijik. Perempuan itu menendang kaki si lelaki. Tak ada suara ringisan, kaki itu masih berdiri kukuh. Pria itu malah tertawa. Tidak habis akal, Bulan mengigit tangan pria itu. Namun, usaha itu juga tidak membuahkan hasil. Belum lagi Bulan berhasil menemukan cara lain, tubuhnya sudah diangkat dan d