"Akhirnya kau keluar, Bulan?"
Pertanyaan itu menghantam kepala Bulan. Ia pusing untuk sesaat. Ketakutan yang menderanya dengan pekat membuat Bulan balik badan hendak berlari pulang. Sayang, lelaki itu lebih cepat mencekal tangan. Langkah Bulan tertahan. Ia menarik-narik tangannya agar cengkeraman lelaki itu lepas, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Bulan bahkan mulai merasakan pedih di pergelangan tangan yang ia masih tarik dan putar. "Kau mau ke mana?" Suara lelaki itu membuat kepala Bulan makin pusing. "Aku sampai harus membakar rumah jelek ini demi bisa melihatmu." Mata pria itu menyipit karena senyum lebarnya yang menyeramkan. "Jangan pergi secepat ini." Bulan mengerutkan hidung jijik. Perempuan itu menendang kaki si lelaki. Tak ada suara ringisan, kaki itu masih berdiri kukuh. Pria itu malah tertawa. Tidak habis akal, Bulan mengigit tangan pria itu. Namun, usaha itu juga tidak membuahkan hasil. Belum lagi Bulan berhasil menemukan cara lain, tubuhnya sudah diangkat dan diletakkan di bahu seperti karung beras. Bulan berteriak, ia meronta, memukul dan berusaha menendang si lelaki. Namun, dirinya tetap saja tidak berpindah. "Lepaskan aku!" teriak Bulan putus asa. Matanya menatap nanar pada kerumunan orang yang tak berniat menolongnya. Bulan bingung apakah orang-orang di sana tak peduli atau takut ikut campur. "Turunkan aku!" Bulan menjerit makin kencang ketika dua kakinya dikunci lengan besar dan kuat pria itu. "Diamlah. Kau bisa lelah." Bulan membeku ketika tangan kurang ajar itu menyentuh bokong. Air matanya jatuh. Tubuh Bulan lemas karena jantung yang terus berpacu cepat. Ucapan Bik Tari berulang di telinga, membuat perut Bulan bergejolak dan akhirnya perempuan itu muntah. Si lelaki menghentikan langkah. "Sudah kukatakan," keluhnya sambil berdecak. Ia tunggu hingga Bulan selesai muntah. Namun, gadis itu terus menguras isi perutnya. Bulan berdiri sempoyongan ketika tubuhnya diturunkan. Perempuan itu jatuh terduduk di tanah, kemudian muntah lagi. Melihat si pria melepas kausnya yang terkena muntah, Bulan mengambil kesempatan untuk kabur. Ia tak mau berakhir jadi pemuas nafsu pria itu, seperti yang Bik Tari katakan. Meski pijakannya terasa bergoyang, walau suasana malam yang remang makin menyulitkan langkah, Bulan tidak mau menyerah. Ia terus berjalan, meski pandangan berkunang-kunang dan langkahnya kadang meleset. "Bulan!" Air mata Bulan jatuh saat pria itu memanggil. "Tidak ada gunanya lari, Bulan." Bulan menggeleng. Ia berjalan makin kencang. "Kau mau aku membakar rumah yang lain, Bulan?" Tepat setelah pria itu bertanya, Bulan terjatuh karena menabrak sebuah pohon besar. Gadis itu meringis dalam posisi telentang. Kepalanya makin sakit sekarang. Tubuh Bulan lemas, seolah seluruh tenaganya hilang. Berkedip saja ia susah. Bulan berusaha bergeser ketika lelaki itu berdiri menjulang di bawah kaki. Tubuh atas pria itu tak tertutupi apa pun, membuat Bulan rasanya ingin mati saja. "Kau lebih suka terluka, daripada kubawa baik-baik, ya?" Lelaki yang napasnya tersengal itu berkacak pinggang dan menatap Bulan murka. Belum menyerah, Bulan berbalik. Perempuan itu menyeret tangan dan kaki, merangkak menjauh dari si lelaki. Namun, saat tubuhnya belum terlalu jauh, kaki Bulan sudah ditarik hingga ia tak bisa ke mana-mana. "Lepaskan aku!" Bulan berteriak meski tenggorokannya sudah terasa sakit. Lelaki itu tertawa. "Kakimu kecil sekali, Bulan?" Dia memijat jemari kaki Bulan kuat. "Lepaskan a--ku." Tepat setelah kalimatnya selesai, kepala Bulan terkulai ke atas tanah, gadis itu kehilangan kesadaran. Matanya terpejam dengan posisi tubuh telungkup di tanah, dan satu kaki dalam genggaman si lelaki. *** Jika sebelumnya Bulan ragu meninggalkan desa, sekarang sudah tidak demikian. Bulan mengemasi pakaiannya dengan tergesa. Ia tidak mambawa banyak, hanya beberapa potong. Setelah ransel selesai dikemas, pintu rumah Bulan diketuk. "Ini aku, Bulan." Suara itu Bulan kenali, ia pun segera membukakan pintu. Setelah Bik Tari masuk, ia kunci kembali rumah rapat-rapat. Ia ajak Bik Tari ke kamar. Bulan sangat beruntung. Ia kembali selamat. Bik Tari bilang, dirinya yang pingsan dibawa ke rumah si lelaki jahat. Bik Tari menyusul setelah mendapat kabar dari warga dan akhirnya bisa membebaskan Bulan. Sungguh Bik Tari sangat berani, karena mampu membuat lelaki jahat itu mengalah dan melepaskan Bulan. "Ini uang yang Fara kirimkan." Bik Tari memberikan sebuah amplop coklat berisi uang. "Kau pakai ini untuk bisa sampai ke alamat yang Fara berikan." Kemudian wanita tua itu mengangsurkan secarik kertas berisi alamat. Bulan mengangguk pelan. Air matanya jatuh. Ia menghambur ke pelukan Bik Tari. Mengucap banyak terima kasih. "Jangan merasa kau membebaniku." Bik Tari mengusap kepala Bulan penuh kasih sayang. "Jika aku tak bisa menyelamatkanmu, aku yang akan merasa sangat bersalah pada ibumu." Bulan melerai pelukannya. Ia menghapus air mata dan menarik napas dalam untuk menenangkan diri. "Besok, ada mobil yang akan menjemputmu ke sini dan mengantarmu ke halte," jelas Bik Tari. "Tunjukkan alamat ini pada supir busnya, kau mengerti?" "Iya, Bik." Bulan menyeka air mata yang kembali jatuh. "Nanti, setelah aku dapat pekerjaan, aku akan mengganti uang ini." Bik Tari mengangguk saja. "Yang terpenting adalah kau pergi dari kampung ini. Kau tidak boleh sampai jatuh ke tangan lelaki jahat itu." "Sebenarnya kenapa dia melakukan semua ini padaku, Bik?" Kini air mata Bulan adalah bentuk rasa takutnya. Ia teringat bagaimana kemarin malam lelaki itu mengejar dan juga melecehkannya. Bik Tari mengangkat bahu. "Dulu, dia juga sempat mengincar Fara anakku. Karena itu aku langsung mengirimnya ke kota. Beruntung waktu itu aku masih punya tabungan." Cerita ini baru Bulan tahu sekarang. Ia makin benci pada pria jahat itu. "Kurasa, dia memang sangat bajingan hingga mengincar semua gadis cantik di kampung ini. Kalau saja bukan karena hartanya yang banyak, kurasa pemuda itu sudah lama dilenyapkan warga." Bulan teringat rumah si kakek tua yang terbakar kemarin. "Bagaimana kakek itu sekarang, Bik?" Wanita yang Bulan tanyai menghela napas susah. "Dia membakarnya karena ingin membuatmu keluar dari rumah, Bulan. Dia tahu aku melarangmu keluar dan kebetulan semalam aku pergi untuk bertemu Fara." Mata Bulan membeliak tak percaya. "Jadi, dia sungguh membakar rumah itu?" Ia merasa bersalah. Ini jadi masuk akal mengapa kemarin semua warga tak berkutik. Pria itu pasti mengancam akan mencelakai siapa pun yang mencoba memadamkan api. Bulan tidak habis pikir. Mengapa bisa ada pria sejahat itu? Kepala Bik Tari mengangguk pelan. "Dia itu menyeramkan seperti iblis, Bulan. Karena itu, pergilah sejauh mungkin darinya. Jangan pernah terlibat dengannya." Tentu saja, batin Bulan. Ia akan pergi sejauh mungkin dari pria mengerikan itu. Ia juga tidak sudi terlibat dengan orang berhati iblis. Bulan jadi tidak sabar menunggu pagi datang.Pagi itu langit masih gelap saat Bulan melihat sebuah mobil sedan mendatangi rumah. Bik Tari memastikan pada sang supir dan benar itu adalah mobil sewaan yang akan membawa Bulan ke halte. Berpamitan pagi Bik Tari, Bulan pun meninggalkan rumah. Sejak kecil Bulan terbiasa di rumah saja. Ibunya terlalu baik hingga membiarkan Bulan tidak mengerjakan pekerjaan berat seperti mencuci di sungai atau ikut ke kebun mencari buah sawit yang berjatuhan untuk dikumpul, kemudian dijual. Ibunya bilang, ia tidak mau Bulan yang memang mudah lelah menjadi sakit. Sejak kecil jarang keluar, Bulan tenang saja ketika mobil terus berjalan. Ia tak perhatikan jalan karena memang tidak familiar. Sampai dua jam kemudian, Bulan merasa ada yang aneh. Ia memang tidak tahu jalan menuju halte, tetapi ia yakin rute ke sana tak perlu masuk ke area perkebunan sawit. Firasat Bulan buruk saat tak sengaja matanya bertemu pandang dengan sang supir yang melempar senyum miring. "Apa jalan ke halte lewat sini, Pak?" tanya
"Ampun, Tuan. Agh ...." Bulan mengernyit karena kepelanya begitu sakit. "Tuan, ampun ...." Seluruh bagian tubuh Bulan rasanya sakit. Namun, suara permintaan tolong itu membuatnya bersikeras membuka mata. Saat pandangannya terbuka, Bulan menahan napas. Ia masih ada di kamar tempat sebelumnya dikurung. Bulan terbaring di lantai, sementara di atas kasur di sana, Fara menjerit kesakitan dan memohon ampun. Pada pria yang kini sedang menyetubuhinya dengan kasar. "Ampun, Tuan. Tolong ... hentikan ...." Air mata Bulan datang karena begitu iba dan takut. Kini Fara tengah dicekik, sementara bagian bawah tubuhnya terus dihujam kuat dan kasar. Kepala Bulan makin berputar-putar. Perutnya yang perih bergejolak, hingga akhirnya gadis itu muntah. Suara muntahnya membuat gerakan laki-laki di atas Fara terjeda. Bulan mencengkeram ubin kuat saat mualnya bertambah parah. Tenggorokannya tercekat, napasnya sulit, perutnya seperti diaduk-aduk, dan lidahnya asam sampai terasa pahit. Namun, yang Bula
Belum juga Bulan berhasil menyuapkan satu sendok bubur ke mulut, gadis itu dibuat terkejut saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Ia menjadi panik karena Fara datang dengan tangis kencang. "Tolong Ibuku, Bulan!" jerit wanita itu sambil berlutut di samping ranjang yang Bulan tempati. Air matanya berjatuhan deras. Sendok di tangan Bulan taruh lagi. Ia mengerjap cemas pada Fara yang terus menangis dan melipat tangan di depan dada. "Tuan ingin membunuh Ibuku, Bulan. Dia berkata akan membakar rumah Ibuku!" Dua tangan Bulan mengepal. Giginya beradu menahan rasa takut dan juga amarah. Pria iblis itu ingin ingkar? Bukankah kemarin Bulan sudah bersikap patuh? Lelaki jahanam itu mengigit Bulan kemarin. Bukan hanya satu, di perutnya sekarang ada dua bekas gigitan, bahkan di dadanya terdapat beberapa ruam kemerahan. Bulan sudah mengalah dan mengapa lelaki itu tetap ingin menyakiti Bik Tari? "Tuan marah karena kau menamparnya. Karena itu dia sudah mengirim orang untuk membakar rumah Ibuku ma
Bulan sangat lapar. Lambungnya sudah terasa amat perih. Karenanya gadis itu terpaksa memakan sarapan yang Reza antarkan pagi ini. Meski kepalanya ribut melarang, tetapi Bulan kalah dengan keinginan untuk mengisi perut. Sehabis makan, gadis itu berlari ke kamar mandi yang disediakan di kamarnya. Ia muntah. Entah karena memang lambungnya masih bermasalah atau karena pertentangan batin yang gadis itu punya. Bulan merasa sangat tersiksa. Dulu ia dan sang ibu tak jarang kekurangan uang untuk makan. Mereka bahkan pernah hanya memakan singkong. Namun, Bulan tak merasa begitu tersiksa seperti sekarang. Perempuan itu lelah, ia sakit dan semua itu diperparah oleh rasa putus asa. Bulan tidak mau membayangkan nasibnya di hari-hari ke depan jikalau terus berada di sini. Di luar kamar mandi, Reza berdecak seraya mengambil ponsel. Tuannya berpesan. Jika gadis ini muntah atau pingsan lagi, Reza harus melaporkan. Reza tak habis pikir, apa yang penting soal muntah atau tidaknya gadis ini. Reza sel
Hal pertama yang Bulan ingat saat dirinya terjaga pagi ini adalah pria jahanam itu. Bagaimana lelaki tak punya perasaan itu tetap menjamah Bulan, meski si gadis sudah memohon, bahkan berlutut di kakinya. Bulan menjatuhkan air mata ketika duduk dan mendapati tubuhnya sudah mengenakan sepasang pakaian. Rahang Bulan mengetat menebak siapa yang memakaikan pakaian ini. Lelaki berengsek itu? Atau pria setan itu menyuruh salah satu anak buahnya? Bulan mengigit bibir kuat karena merasa sudah tak punya harga diri lagi. Mungkin, mati lebih baik dari ini, batinnya. Gadis itu bangun dari posisi berbaring. Kakinya baru saja menginjak lantai ketika akhirnya sadar jika sekarang tidak lagi berada di kamar si lelaki. Ini kamar tempat dirinya dikurung. Siapa yang memindahkannya ke sini? Ia berjalan menuju pintu. Namun, benda itu lebih dulu terbuka dan menampilkan pria yang tadi malam sudah menghancurkan harga diri Bulan. Si gadis otomatis menjeda langkah, tubuhnya memasang sikap waspada. Pria i
Jadi, Bulan sudah dijebak rupanya. Reza, berdalih agar bisa membebaskan Bulan, pria itu mengatur sebuah siasat. Bulan dibuat seolah sudah tidur dengan pria lain. Hal itulah yang membuat lelaki kejam itu begitu marah sampai mengusirnya. Ketika pria itu meninggalkan Bulan, Reza menyuntikkan obat tidur. Saat Bulan lelap, dirinya dipindahkan ke kamar tempat gadis itu biasa dikurung, kemudian seorang anak buah lelaki kejam itu dipanggil untuk bergabung. Reza memanggilkan tuannya agar melihat Bulan yang seolah-olah tidur dengan si aktor tadi. Dan bodohnya lelaki jahanam itu, dia percaya begitu saja. Bulan pun dikatai jalang dan diusir pergi. Meski keberatan difitnah, tetapi Bulan menemukan bahwa ini adalah cara yang bagus. Jadi, ia merasa tak perlu marah pada Reza. Masalahnya, bagaimana cara Bulan pergi jika supir-supir pick up tak ada yang mau memberinya tumpangan? "Tuan melarang mereka memberi tumpangan padamu." Perkataan Reza membuat Bulan melipat dahi. "Kenapa?" Reza meng
Menepikan beratnya mata dan lelah yang menyandera tubuh, Bulan meletakkan jerigen air di teras. Langkahnya yang pelan membelah kerumunan di rumah Bik Tari. Langkah itu menyepat kala melihat jika Bik Tari terduduk di lantai rumah, sementara lima orang pria bertubuh besar berdiri menjulang di depan wanita renta itu. Bulan menghampiri Bik Tari. Ia begitu terkejut menemukan ada lebam di wajah wanita itu. Menoleh pada pria-pria di ruangan tersebut, Bulan memicing marah. "Kalian memukul wanita?" Pertanyaannya bermuatan cemooh. Kelima orang itu saling berpandangan, kemudian mengangguk singkat. Salah satunya berbicara pada Bulan. Menyuruh perempuan itu menyingkir sebab mereka masih ingin memberi pelajaran pada Bik Tari. "Apa yang terjadi? Bik Tari salah apa?" Bulan menarik-narik tangannya dari pria yang berusaha menyeretnya menjauh. "Lepaskan aku!" Ia menjerit kala melihat tubuh renta Bik tari dipukuli pria lainnya dengan balok kayu. Bulan meronta sekuat tenaga. Ia injak kaki pria y
"Tuan, ibunya Fara sudah datang." Kabar dari Reza terpaksa membuat pria itu menyudahi kegiatan melamun. Ia tekan ujung rokok ke asbak yang nyaris penuh, sambil terus menatapi Reza. Kemudian, kakinya melangkah menuju pintu, keluar dari kamar. Ia melempar senyum pada Tari yang duduk dengan tatapan tajam di ruang tamu rumahnya. Wanita itu tua memang tampak menyedihkan dengan beberapa luka lebam di wajah dan lengan. Mungkin masih banyak di tempat lain, tetapi untuk apa ia peduli? "Di mana putriku?" Dua tangan Tari terkepal. Ia menatap pria muda di depannya dengan kebencian menyala-nyala di mata. Malang bagi Tari. Ia akhirnya tahu bahwa putri satu-satunya yang ia kira bekerja di kota ternyata menjadi peliharaan pria paling jahat di desa mereka. Sepulang dari ladang kemarin, ia tak sengaja melihat Fara dalam sebuah mobil. Wanita renta itu berusaha mengikuti dengan sepeda tuanya, lalu menemukan anaknya di dalam rumah sang ketua preman. Fara menceritakan semuanya. Dan Tari begitu ke