Share

Bab 3

"Akhirnya kau keluar, Bulan?"

Pertanyaan itu menghantam kepala Bulan. Ia pusing untuk sesaat. Ketakutan yang menderanya dengan pekat membuat Bulan balik badan hendak berlari pulang. Sayang, lelaki itu lebih cepat mencekal tangan.

Langkah Bulan tertahan. Ia menarik-narik tangannya agar cengkeraman lelaki itu lepas, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Bulan bahkan mulai merasakan pedih di pergelangan tangan yang ia masih tarik dan putar.

"Kau mau ke mana?"

Suara lelaki itu membuat kepala Bulan makin pusing.

"Aku sampai harus membakar rumah jelek ini demi bisa melihatmu." Mata pria itu menyipit karena senyum lebarnya yang menyeramkan. "Jangan pergi secepat ini."

Bulan mengerutkan hidung jijik. Perempuan itu menendang kaki si lelaki. Tak ada suara ringisan, kaki itu masih berdiri kukuh. Pria itu malah tertawa. Tidak habis akal, Bulan mengigit tangan pria itu. Namun, usaha itu juga tidak membuahkan hasil.

Belum lagi Bulan berhasil menemukan cara lain, tubuhnya sudah diangkat dan diletakkan di bahu seperti karung beras. Bulan berteriak, ia meronta, memukul dan berusaha menendang si lelaki. Namun, dirinya tetap saja tidak berpindah.

"Lepaskan aku!" teriak Bulan putus asa. Matanya menatap nanar pada kerumunan orang yang tak berniat menolongnya. Bulan bingung apakah orang-orang di sana tak peduli atau takut ikut campur.

"Turunkan aku!" Bulan  menjerit makin kencang ketika dua kakinya dikunci lengan besar dan kuat pria itu.

"Diamlah. Kau bisa lelah."

Bulan membeku ketika tangan kurang ajar itu menyentuh bokong. Air matanya jatuh. Tubuh Bulan lemas karena jantung yang terus berpacu cepat. Ucapan Bik Tari berulang di telinga, membuat perut Bulan bergejolak dan akhirnya perempuan itu muntah.

Si lelaki menghentikan langkah. "Sudah kukatakan," keluhnya sambil berdecak. Ia tunggu hingga Bulan selesai muntah. Namun, gadis itu terus menguras isi perutnya.

Bulan berdiri sempoyongan ketika tubuhnya diturunkan. Perempuan itu jatuh terduduk di tanah, kemudian muntah lagi. Melihat si pria melepas kausnya yang terkena muntah, Bulan mengambil kesempatan untuk kabur.

Ia tak mau berakhir jadi pemuas nafsu pria itu, seperti yang Bik Tari katakan. Meski pijakannya terasa bergoyang, walau suasana malam yang remang makin menyulitkan langkah, Bulan tidak mau menyerah. Ia terus berjalan, meski pandangan berkunang-kunang dan langkahnya kadang meleset.

"Bulan!"

Air mata Bulan jatuh saat pria itu memanggil.

"Tidak ada gunanya lari, Bulan."

Bulan menggeleng. Ia berjalan makin kencang.

"Kau mau aku membakar rumah yang lain, Bulan?"

Tepat setelah pria itu bertanya, Bulan terjatuh karena menabrak sebuah pohon besar. Gadis itu meringis dalam posisi telentang. Kepalanya makin sakit sekarang. Tubuh Bulan lemas, seolah seluruh tenaganya hilang. Berkedip saja ia susah.

Bulan berusaha bergeser ketika lelaki itu berdiri menjulang di bawah kaki. Tubuh atas pria itu tak tertutupi apa pun, membuat Bulan rasanya ingin mati saja.

"Kau lebih suka terluka, daripada kubawa baik-baik, ya?" Lelaki yang napasnya tersengal itu berkacak pinggang dan menatap Bulan murka.

Belum menyerah, Bulan berbalik. Perempuan itu menyeret tangan dan kaki, merangkak menjauh dari si lelaki. Namun, saat tubuhnya belum terlalu jauh, kaki Bulan sudah ditarik hingga ia tak bisa ke mana-mana.

"Lepaskan aku!" Bulan berteriak meski tenggorokannya sudah terasa sakit.

Lelaki itu tertawa. "Kakimu kecil sekali, Bulan?" Dia  memijat jemari kaki Bulan kuat.

"Lepaskan a--ku." Tepat setelah kalimatnya selesai, kepala Bulan terkulai ke atas tanah, gadis itu kehilangan kesadaran. Matanya terpejam dengan posisi tubuh telungkup di tanah, dan satu kaki dalam genggaman si lelaki.

***

Jika sebelumnya Bulan ragu meninggalkan desa, sekarang sudah tidak demikian. Bulan mengemasi pakaiannya dengan tergesa. Ia tidak mambawa banyak, hanya beberapa potong. Setelah ransel selesai dikemas, pintu rumah Bulan diketuk.

"Ini aku, Bulan."

Suara itu Bulan kenali, ia pun segera membukakan pintu. Setelah Bik Tari masuk, ia kunci kembali rumah rapat-rapat. Ia ajak Bik Tari ke kamar.

Bulan sangat beruntung. Ia kembali selamat. Bik Tari bilang, dirinya yang pingsan dibawa ke rumah si lelaki jahat. Bik Tari menyusul setelah mendapat kabar dari warga dan akhirnya bisa membebaskan Bulan.

Sungguh Bik Tari sangat berani, karena mampu membuat lelaki jahat itu mengalah dan melepaskan Bulan.

"Ini uang yang Fara kirimkan." Bik Tari memberikan sebuah amplop coklat berisi uang. "Kau pakai ini untuk bisa sampai ke alamat yang Fara berikan." Kemudian wanita tua itu mengangsurkan secarik kertas berisi alamat.

Bulan mengangguk pelan. Air matanya jatuh. Ia menghambur ke pelukan Bik Tari. Mengucap banyak terima kasih.

"Jangan merasa kau membebaniku." Bik Tari mengusap kepala Bulan penuh kasih sayang. "Jika aku tak bisa menyelamatkanmu, aku yang akan merasa sangat bersalah pada ibumu."

Bulan melerai pelukannya. Ia menghapus air mata dan menarik napas dalam untuk menenangkan diri.

"Besok, ada mobil yang akan menjemputmu ke sini dan mengantarmu ke halte," jelas Bik Tari. "Tunjukkan alamat ini pada supir busnya, kau mengerti?"

"Iya, Bik." Bulan menyeka air mata yang kembali jatuh. "Nanti, setelah aku dapat pekerjaan, aku akan mengganti uang ini."

Bik Tari mengangguk saja. "Yang terpenting adalah kau pergi dari kampung ini. Kau tidak boleh sampai jatuh ke tangan lelaki jahat itu."

"Sebenarnya kenapa dia melakukan semua ini padaku, Bik?" Kini air mata Bulan adalah bentuk rasa takutnya. Ia teringat bagaimana kemarin malam lelaki itu mengejar dan juga melecehkannya.

Bik Tari mengangkat bahu. "Dulu, dia juga sempat mengincar Fara anakku. Karena itu aku langsung mengirimnya ke kota. Beruntung waktu itu aku masih punya tabungan."

Cerita ini baru Bulan tahu sekarang. Ia makin benci pada pria jahat itu.

"Kurasa, dia memang sangat bajingan hingga mengincar semua gadis cantik di kampung ini. Kalau saja bukan karena hartanya yang banyak, kurasa pemuda itu sudah lama dilenyapkan warga."

Bulan teringat rumah si kakek tua yang terbakar kemarin. "Bagaimana kakek itu sekarang, Bik?"

Wanita yang Bulan tanyai menghela napas susah. "Dia membakarnya karena ingin membuatmu keluar dari rumah, Bulan. Dia tahu aku melarangmu keluar dan kebetulan semalam aku pergi untuk bertemu Fara."

Mata Bulan membeliak tak percaya. "Jadi, dia sungguh membakar rumah itu?" Ia merasa bersalah.

Ini jadi masuk akal mengapa kemarin semua warga tak berkutik. Pria itu pasti mengancam akan mencelakai siapa pun yang mencoba memadamkan api. Bulan tidak habis pikir. Mengapa bisa ada pria sejahat itu?

Kepala Bik Tari mengangguk pelan. "Dia itu menyeramkan seperti iblis, Bulan. Karena itu, pergilah sejauh mungkin darinya. Jangan pernah terlibat dengannya." 

Tentu saja, batin Bulan. Ia akan pergi sejauh mungkin dari pria mengerikan itu. Ia juga tidak sudi terlibat dengan orang berhati iblis. Bulan jadi tidak sabar menunggu pagi datang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status