"Reza, bisa kau berjalan pelan-pelan saja?" Setengah berteriak, Bulan berlari mengejar Reza yang berjalan di depan. Bulan terengah. Ia tetap tak bisa menyamai langkah Reza, meski sudah berlari. Perempuan itu suarakan protes lagi. "Reza!" panggilnya kencang. Mata Bulan memicing. Bisa ia rasakan peluh mengalir di kening. Ia benar-benar tak habis pikir bagaimana Reza bisa berjalan secepat itu, padahal di bahunya ada satu jerigen air. Mereka dalam perjalanan menuju rumah habis dari sumur. Memutar bola mata, Reza menurunkan jerigen dari bahu. "Jika jalanmu lambat begitu, kita baru akan sampai besok." Bulan menghampiri. "Jangan jalan terlalu cepat, aku tertinggal jauh. Ini sudah sore." Ia mengedarkan pandangan dengan sorot takut. Teringat peristiwa mengerikan dulu. "Aku tidak berjalan cepat." "Tapi kakimu panjang!" Telunjuk Bulan mengarah ke kaki Reza. "Kakiku pendek. Aku tidak bisa menge--" Ucapan Bulan terpotong saat tiba-tiba seorang pria memegangi dua lengan dan memutarnya ke be
Bulan sangat lelah. Hari ini ia mendapat dua karung buah sawit. Mungkin, kalau bukan karena Reza, ia tak akan bisa pulang dan membawa dua karung penuh berondolan sawit. Saat langkahnya makin berat, Bulan terpaku tak jauh dari rumah. Api membumbung tinggi. Menyala terang, bahkan meski Bulan masih jauh ia bisa merasakan hawa panas dari kobaran merah itu. Bulan tercekat ketika sadar jika yang menyala-nyala itu adalah rumahnya. Tempat tinggalnya. Kaki Bulan berlari ke sana. Tatapannya cemas, berubah takut beberapa detik kemudian. Perempuan itu menutup mulut saat tangisnya datang. "Bulan, menjauh dari api." Reza sudah menurunkan karung sawit. Ia memegangi Bulan, menarik perempuan itu menjauh dari api. Namun, Bulan malah berusaha mendekat. Tersedu-sedu, ia mengingat sesuatu. Ia mencoba bicara, tetapi tangisnya mendesak ditumpahkan. "Bulan!" Reza menaikkan nada saat Bulan nyaris berlari menerjang rumah terbakar di depan mereka. Dipeganginya lengan perempuan itu kuat karena terus meronta
"Kau menghabiskan makananmu, bagus sekali." Tari berusaha memberi senyum pada Bulan. Ia angsurkan segelas air pada gadis itu, karena buburnya sudah habis. Sejak kemarin Tari ada di rumah ini. Di kediaman Aro. Wanita itu dijemput oleh anak buah si tuan langsung. Tari sebenarnya tidak sudi menginjak rumah ini, tetapi demi Bulan yang katanya sedang sakit, ibunya Fara itu pun mengalah. Terlebih setelah insiden rumah Bulan yang terbakar. Bulan demam. Seharian kemarin gadis itu hanya bisa terbaring di ranjang. Sampai sore ini bahkan masih makan bubur, sebab mengeluh perutnya juga sakit. Sudah diberi obat, tetapi belum membaik. "Terima kasih, Bik. Aku menyusahkanmu lagi." Bulan menatap Tari dengan sorot mata penuh sesal. Tari menggeleng. "Tidak masalah. Kau sudah merasa baikan? Apa perutmu masih sakit? Kata pria yang berjaga di depan, aku bisa menyuruhnya memanggil dokter jika kau merasa belum baikan." Sebenarnya Tari juga heran dengan keadaan ini. Ia tak menyangka pria kejam yang selam
Bulan ingat apa saja yang Aro lakukan padanya dua hari lalu. Bagaimana Aro sangat memaksa. Bagaimana jemari pria itu menyentuh, membelai dan mengoyaknya. Bagaimana bibirnya mencumbu. Serta seperti apa tubuhnya mendesak Bulan. Sebenarnya benci pada itu semua, tetapi ada satu momen yang membuat Bulan tak begitu jijik atas apa yang sudah ia terima. Aro mendengarkannya. Entahlah apa yang ada di pikiran lelaki itu. Bulan tidak tahu cara pria itu berpikir. Namun, sepertinya Aro masih mengasihani Bulan. Aro masih belum mengambil apa pun. Pria itu memang menyentuh, memberi tanda di beberapa bagian tubuh. Namun, dia masih belum benar-benar merampas status perawan dari Bulan. Sesuatu yang membuat Bulan terus berpikir, mencari sebab. Padahal, malam itu Bulan melihat dan merasakan sendiri bagaimana Aro begitu liar dan seperti tak bisa dikendalikan. Lantas, apa alasan pria itu masih melepaskan Bulan? Lelah menerka, Bulan sebenarnya ingin sekali bertanya langsung. Namun, pria itu tak kunjung m
Bulan yakin ada yang salah dengan dirinya. Otaknya terus memutar kejadian yang dilihat kemarin malam. Tubuhnya juga terus memberi respon yang dluar kendali. Bibir itu begitu menarik perhatian Bulan. Bagaimana bibir itu mencumbu, menjelajah Fara. Bulan bahkan penasaran apa yang Fara rasakan hingga bisa berteriak sekencang kemarin, ketika Aro menyentuhnya di sofa. Apa fara merinding seperti yang kini Bulan alami? Tubuh wanita itu meremang. Panas dingin juga? Si perempuan memukul kepalanya kini. Ia yakin dirinya sedang mengalami sebuah hal buruk. Jika tidak, mengapa sejak kemarin tak bisa lupa pada peristiwa itu? Buru-buru ia bangkit dari peraduan. Masuk ke kamar mandi, Bulan membersihkan tubuh, meski ini sudah sangat terlambat. Hampir pukul satu. Bulan bangga sebab tak mengalami sakit perut, padahal melewatkan sarapan dan makan siang. Ia juga penasaran di mana Gino, biasanya pria itu rewel menyurhnya makan. Beres dari kamar mandi, Bulan hendak mengambil baju. Saat keluar, ia meliha
Aro kesal pada Bulan. Pria itu benci sekali. Bulan sama sekali tidak menghargai perasaan orang lain. Perempuan itu jahat karena sudah memandang perasaan Aro sebelah mata, meremehkan emosi yang Aro punya. Lelaki itu sudah mengambil keputusan besar dengan membakar rumah jelek milik ibunya Bulan. Mengambil risiko makin dibenci oleh perempuan itu, dengan harapan mereka bisa tinggal bersama. Namun, apa yang Bulan lakukan? Setelah kondisi Bulan membaik. Sehabis Bulan memanfaatkan rumah Aro untuk tempat tinggal sementara selagi mendapat perawatan. Bahkan setelah Aro mengalah, memilih tidak pulang selama dua hari demi memberi perempuan itu ketenangan. Bulan masih saja menganggap remeh perasaan dan kemauan Aro. Perempuan itu berkata ingin tinggal dengan Bik Tari. Sialan sekali. Aro sangat marah. Ia kecewa sebab perasaan dan keinginannya sama sekali tidak dipertimbangkan Bulan. Padahal, Aro sudah berusaha menjadi sangat baik untuk perempuan itu. Namun, Bulan tidak tahu terima kasih, malah
"Tuan!"Aro menjauhkan ponsel lipatnya dari telinga. Inilah yang terjadi jika orang tak waras diberi ponsel. Kembali menempelkan benda itu, ia memaki Gino yang menelepon."Sialqn! Kau kira aku tuli, bodoh?!" balasnya tak kalah nyaring.Ia sedang di kafe malam ini. Sebuah tempat hiburan malam di dekat perbatasan menuju kota. Aro sudah di sini sejak tadi siang. Niatnya tidak akan pulang karena sedang ribut dengan Bulan. Namun, satu pemberitahuan dari Gino beberapa saat lalu langsung membatalkan niat itu."Tuan, Nona mabuk!"Sudahlah beritanya mengejutkan. Gino menyuarakan itu dengan suara nyaring pula. Aro tak tahan untuk tidak mengumpat."Eh, bajingan! Bisakah kau jangan teriak? Kau mau lidahmu kupotong dan kuberikan pada ikan? Tolol!""Maaf, Tuan. Tapi, ini sangat genting. Segeralah pulang, Tuan. Kami tidak mampu mengurus ini. Tuan ... aku mohon pu--Nona!"Aro berdiri dari kursi ketika mendengar Gino berteriak di seberang telepon. Otaknya seketika berisi hal-hal buruk."Kenapa, bodoh?
Tari tiba di sebuah rumah setelah mengendarai sepedanya selama setengah jam. Kelelahan, wanita tua itu mengetuk pintu rumah yang ia datangi. Pemilik rumah yang adalah Fara membukakan pintu, dan segera memberi reaksi terkejut."Ibu?" Fara tergemap. Wajahnya terheran-heran. "Dari mana Ibu tahu aku di sini?"Fara hanya sesekali tinggal di rumah Aro. Pertama, saat pria itu membutuhkannya. Kedua, jika ia meminta dan Aro sedang berbaik hati mengizinkan. Atau yang ketiga, saat lelaki itu membutuhkan dirinya mengurus sesuatu.Fara difasilitasi sebuah rumah tinggal sejak bekerja pada Aro. Tidak begitu besar, tetapi nyaman. Terlebih, sang tuan memberinya dua pelayan yang mengurusi segalanya. Dulu, semua ini adalah sesuatu yang Fara bisa sombongkan pada orang lain. Namun, sekarang tidak demikian. Setelah melihat apa yang Aro lakukan pada Bulan, ternyata ini bukan apa-apa."Aku bertanya pada salah satu pelayan di rumah itu." Tari menjelaskan dari mana ia tahu alamat rumah tinggal Fara ini. Fara