Bulan yakin ada yang salah dengan dirinya. Otaknya terus memutar kejadian yang dilihat kemarin malam. Tubuhnya juga terus memberi respon yang dluar kendali. Bibir itu begitu menarik perhatian Bulan. Bagaimana bibir itu mencumbu, menjelajah Fara. Bulan bahkan penasaran apa yang Fara rasakan hingga bisa berteriak sekencang kemarin, ketika Aro menyentuhnya di sofa. Apa fara merinding seperti yang kini Bulan alami? Tubuh wanita itu meremang. Panas dingin juga? Si perempuan memukul kepalanya kini. Ia yakin dirinya sedang mengalami sebuah hal buruk. Jika tidak, mengapa sejak kemarin tak bisa lupa pada peristiwa itu? Buru-buru ia bangkit dari peraduan. Masuk ke kamar mandi, Bulan membersihkan tubuh, meski ini sudah sangat terlambat. Hampir pukul satu. Bulan bangga sebab tak mengalami sakit perut, padahal melewatkan sarapan dan makan siang. Ia juga penasaran di mana Gino, biasanya pria itu rewel menyurhnya makan. Beres dari kamar mandi, Bulan hendak mengambil baju. Saat keluar, ia meliha
Aro kesal pada Bulan. Pria itu benci sekali. Bulan sama sekali tidak menghargai perasaan orang lain. Perempuan itu jahat karena sudah memandang perasaan Aro sebelah mata, meremehkan emosi yang Aro punya. Lelaki itu sudah mengambil keputusan besar dengan membakar rumah jelek milik ibunya Bulan. Mengambil risiko makin dibenci oleh perempuan itu, dengan harapan mereka bisa tinggal bersama. Namun, apa yang Bulan lakukan? Setelah kondisi Bulan membaik. Sehabis Bulan memanfaatkan rumah Aro untuk tempat tinggal sementara selagi mendapat perawatan. Bahkan setelah Aro mengalah, memilih tidak pulang selama dua hari demi memberi perempuan itu ketenangan. Bulan masih saja menganggap remeh perasaan dan kemauan Aro. Perempuan itu berkata ingin tinggal dengan Bik Tari. Sialan sekali. Aro sangat marah. Ia kecewa sebab perasaan dan keinginannya sama sekali tidak dipertimbangkan Bulan. Padahal, Aro sudah berusaha menjadi sangat baik untuk perempuan itu. Namun, Bulan tidak tahu terima kasih, malah
"Tuan!"Aro menjauhkan ponsel lipatnya dari telinga. Inilah yang terjadi jika orang tak waras diberi ponsel. Kembali menempelkan benda itu, ia memaki Gino yang menelepon."Sialqn! Kau kira aku tuli, bodoh?!" balasnya tak kalah nyaring.Ia sedang di kafe malam ini. Sebuah tempat hiburan malam di dekat perbatasan menuju kota. Aro sudah di sini sejak tadi siang. Niatnya tidak akan pulang karena sedang ribut dengan Bulan. Namun, satu pemberitahuan dari Gino beberapa saat lalu langsung membatalkan niat itu."Tuan, Nona mabuk!"Sudahlah beritanya mengejutkan. Gino menyuarakan itu dengan suara nyaring pula. Aro tak tahan untuk tidak mengumpat."Eh, bajingan! Bisakah kau jangan teriak? Kau mau lidahmu kupotong dan kuberikan pada ikan? Tolol!""Maaf, Tuan. Tapi, ini sangat genting. Segeralah pulang, Tuan. Kami tidak mampu mengurus ini. Tuan ... aku mohon pu--Nona!"Aro berdiri dari kursi ketika mendengar Gino berteriak di seberang telepon. Otaknya seketika berisi hal-hal buruk."Kenapa, bodoh?
Tari tiba di sebuah rumah setelah mengendarai sepedanya selama setengah jam. Kelelahan, wanita tua itu mengetuk pintu rumah yang ia datangi. Pemilik rumah yang adalah Fara membukakan pintu, dan segera memberi reaksi terkejut."Ibu?" Fara tergemap. Wajahnya terheran-heran. "Dari mana Ibu tahu aku di sini?"Fara hanya sesekali tinggal di rumah Aro. Pertama, saat pria itu membutuhkannya. Kedua, jika ia meminta dan Aro sedang berbaik hati mengizinkan. Atau yang ketiga, saat lelaki itu membutuhkan dirinya mengurus sesuatu.Fara difasilitasi sebuah rumah tinggal sejak bekerja pada Aro. Tidak begitu besar, tetapi nyaman. Terlebih, sang tuan memberinya dua pelayan yang mengurusi segalanya. Dulu, semua ini adalah sesuatu yang Fara bisa sombongkan pada orang lain. Namun, sekarang tidak demikian. Setelah melihat apa yang Aro lakukan pada Bulan, ternyata ini bukan apa-apa."Aku bertanya pada salah satu pelayan di rumah itu." Tari menjelaskan dari mana ia tahu alamat rumah tinggal Fara ini. Fara
Bulan ingin sekali menangis. Ia ingin meraung, menumpahkan nelangsa dan sesal di jiwa. Bila bisa, perempuan itu ingin merangkak ke makam ibunya demi meminta ampun. Bulan sudah terlalu jauh, terlalu busuk.Beberapa bulan belakangan, Bulan menjalani hidup yang sangat berat. Ditarget oleh seorang tuan tanah kejam yang tak berperasaan, dunianya yang sebelum ini tenang, damai, mendadak kacau. Pikir Bulan, itu sudah yang terburuk. Nyatanya, bisa lebih buruk dari itu.Bulan sudah menjadi wanita tak bermoral. Ia perempuan tak punya harga diri kini. Hal itu terus berkeliaran di kepala si perempuan, semenjak ia bangun dan mendengar apa yang sudah terjadi dari Aro. Mulanya Bulan enggan percaya. Namun, beberapa jam berlalu, ingatan itu samar datang. Tidak semua, tetapi beberapa penggal ingatan itu cukup untuk menampar Bulan dan membuatnya tak mampu mengelak. Yang terburuk sudah terjadi.Bulan sudah menjadi peliharaan Aro seutuhnya. Sekian lama berusaha menyelamatkan diri. Menjadi berbeda dari Far
"Aro!"Jeritan Bulan menggema, beriringan dengan langkah kaki yang saling berkejaran. Dari kamar, pindah ke ruang tengah, kemudian sampai ke halaman belakang wanita itu berlarian dan berteriak. Perempuan itu mengejar Aro yang kini sudah berdiri di dekat kolam renang."Kembalikan, Aro! Kenapa kau semakin gila saja?" Bulan yang sudah lelah berlari memutuskan berhenti. Napas perempuan itu terengah, ia membungkuk, menumpu dua tangan di paha untuk sekadar menarik napas."Biarkan saja aku," ucap Aro sambil terkikik. "Kau sudah lelah, 'kan? Sudah, jangan lari lagi." Pria itu maju, mendekat. Ia membungkuk untuk bisa mengintip wajah Bulan.Bulan melirik tajam pria itu. Namun, tangannya bergerak cepat meraih kaus bagian depan yang Aro pakai. Ia tersenyum puas karena berhasil menangkap si lelaki."Kembalikan. Mana barangku?" Sengaja Bulan agak melotot untuk membuat Aro takut. Namun, si pria malah balas mengaitkan alis padanya.Tadi itu Bulan sedang melipati pakaiannya di kamar. Pekerjaannya ham
"Ibu! Ibu!" Sambil menangis, Fara menggedor pintu rumah Tari. "Ibu!"Hari sudah sangat larut. Nyaris semua orang telah naik ke peraduan dan mengistirahatkan diri. Begitu pun Tari. Namun, wanita itu terbangun sebab pintu rumahnya digedor. Ia mendengar suara putrinya.Tari bergegas turun dari ranjang. Ia membuka pintu tergesa dan langsung diliputi kecemasan saat melihat benar Fara yang datang. Semalam ini anaknya datang, sambil menangis pula, firasat Tari buruk sekali."Kenapa, Fara? Apa yang terjadi padamu?" Tari menengok ke sekitar, tak ada orang lain di sana. Ia ajak anaknya masuk.Tari mengajak Fara duduk di dipan dekat jendela di ruang tamu. Ia usap lengan putrinya itu demi menyalurkan rasa aman."Katakan. Kenapa kau datang larut sekali?" Ia mendekat, memberi pelukan agar Fara yang terlihat kalut sedikit tenang.Fara terisak pelan. Ia mengambil waktu beberapa saat untuk menangis. Setelah puas, ia duduk tegak, melepaskan diri dari pelukan Tari."Bu, kau harus menolongku," pintanya d
Tari diharuskan menunggu di kursi teras. Wanita itu tak punya banyak pilihan, tidak mungkin melawan para pengawal berbadan besar di rumah itu. Ia pun duduk di tempat yang disediakan dengan raut wajah cemas. Pagi-pagi sekali Tari datang ke kediaman Aro. Ia harus bertemu Bulan. Namun, wanita itu tak diperbolehkan langsung masuk. Pelayan Aro mengharuskannya menunggu. "Nona belum keluar untuk sarapan. Sepertinya belum bangun. Tunggu saja, kami bisa kena masalah jika mengganggu tidur Nona." Begitu kata pelayan itu. Yang tentu saja menambahi cemas di hati Tari. Wanita tua itu susah hati. Ia dilema. Haruskah melakukan permintaan Fara atau tidak. Sebuah bencana sudah terjadi. Kedatangan Fara ke rumahnya kemarin adalah untuk memberi kabar soal bencana itu. Fara hamil. Putrinya tengah mengandung anak Aro. Kata Fara, Aro belum diberi tahu. Fara takut sang tuan tidak menerimanya atau menyangkal anak itu. Bahkan Fara mengaku takut dirinya dan sang janin dilenyapkan sebab Aro akan lebih memili