Bulan adalah perempuan dungu. Bisa-bisanya ia terperdaya oleh Aro. Pikir gadis itu, karena Aro tak menyakitinya lagi, maka pria itu sudah berubah jadi orang baik?Salah. Salah besar. Aro masihlah manusia bengis yang tak punya perasaan.Pria itu sanggup melakukan hal-hal kejam, bahkan sampai menghabisi calon anaknya sendiri.Itu yang Bulan dengar dari Tari kemarin. Sambil berurai air mata wanita tua itu bercerita soal keadaan Fara kini. Fara hamil dan itu anak Aro. Namun, bukannya merawat Fara, lelaki itu malah ingin melenyapkannya.Sungguh Bulan tak habis pikir. Di sini Aro menyiapkan buah untuknya setiap hari. Sementara di sana, lelaki itu ingin menghabisi ibu dari darah dagingnya.Benarkah Aro sekeji itu?Sejak kemarin Bulan memikirkan ini. Ia cerna baik-baik semua yang sudah Aro lakukan. Memang, pria itu bukan orang baik. Perilakunya yang Bulan lihat selama ini cukup membenarkan perkataan warga bahwa Aro berbahaya. Namun, pria itu juga punya sisi baik. Walau sedikit.Sikap perhatia
Daris masuk ke kamar Aro. Pria itu membawakan kopi untuk sang tuan. Meletakkannya di meja sofa, Daris menemukan Aro berdiri di depan cermin.Tuannya itu tak mengenakan pakaian. Hanya celana yang sudah terpasang. Menghadap ke cermin, tatapan Aro jatuh pada bekas luka di perut kanannya. Luka yang sengaja tak dijahit atas permintaan pemiliknya."Apa Tuan akan melakukannya hari ini?" Daris bertanya, memastikan kebulatan tekad Aro.Yang ditanyai akhirnya memindahkan tatapan dari bekas luka di perut. Aro mengangguk, kemudian mengambil kausnya dari sofa. Pria itu memakainya dalam diam. Namun, ekspresi wajahnya yang kaku cukup memberitahu jika hari ini lelaki itu harus melakukan sesuatu yang berat.Sebulan.Sebulan sudah berlalu. Tiga puluh hari paling berat yang pernah Aro hadapi selama ia menghuni dunia yang memuakkan ini. Membuat pria itu kembali bertanya-tanya. Sebenarnya, apa tujuan hidupnya?Aro hanya pemuda patah hati ketika datang ke desa ini. Waktu itu usianya baru 22 tahun, masih mu
Bulan kira, Aro masih memiliki belas kasihan. Perempuan itu pikir, dirinya tak dihabisi atau dibiarkan mati di kebun karena mungkin Aro masih mengasihaninya. Namun, itu ternyata salah. Sebab Aro membiarkan Bulan hidup demi menerima hukuman yang lebih berat daripada kematian.Sehabis menikam Aro sebulan lalu, Bulan melarikan diri ke kebun. Niatnya ingin mati kehabisan darah di sana. Karena meski memilih mengabulkan permintaan Tari untuk menghabisi Aro, Bulan entah kenapa merasa sangat bersalah. Rasanya ia tak akan bisa hidup jika pria itu mati. Maka ikut meregang nyawa adalah pilihan. Bulan bisa bertemu ibunya dan mengakhiri penderitaan di dunia. Namun, Aro tak membiarkan itu terjadi.Gino memberitahu bahwa Aro menugaskan orangnya mencari Bulan. Dan Bulan ditemukan di kebun dalam keadaan sekarat. Perempuan itu sempat dirawat di rumah sakit di kota, sebelum akhirnya dibawa kembali ke desa.Terlalu muluk bila Bulan berharap akan dibawa kembali ke rumah Aro. Pikir si perempuan lebih masuk
Bulan turun dari mobil dibantu Gino. Mungkin, jika tak dipegangi erat, perempuan itu sudah terjatuh karena tubuhnya tak lagi mampu melakukan apa pun. Bulan kehilangan seluruh daya. Ia masih belum pulih dari sakit, bahkan beberapa saat lalu, karena ingin ke sini infusnya baru saja dilepas.Gino yang merasa Bulan tak lagi sanggup berjalan akhirnya mengangkat perempuan itu. Kakinya bergerak lebih cepat menuju tempat pemakaman Tari sambil menggendong Bulan.Tari meninggal hari ini. Tepatnya tadi pagi. Wanita itu meregang nyawa tiba-tiba, setelah mengetahui kebenaran dari Fara. Orang-orang menyebut Tari mungkin saja terkena serangan jantung. Ya, orang tua mana yang tidak terkejut saat tahu anaknya sendiri sudah berbohong.Fara menipu semua orang, termasuk ibunya. Terbutakan rasa cemburu dan tak terima digantikan, Fara mengatur siasat. Ia berpura hamil, mengandung anak Aro. Memberitahu kalau dirinya mungkin akan dibunuh pada ibunya dan meminta ibunya membujuk agar Bulan pergi.Tari yang sa
Aro terbangun dengan kepala pusing. Pria itu menggaruk leher sembari membuka mata lebih lebar. Ia merasa gerah dan lengket. Membawa tubuhnya duduk, wajahnya menoleh kanan dan kiri dengan bingung.Ini bukan kamarnya. Ruang tidurnya tak pernah sepengap ini. Aro kucek matanya sebentar. Pria itu dalam posisi agak menunduk, kemudian pandangan menangkap ada sepasang kaki di dekat paha.Dalam sekejap Aro merasa kebingungannya hilang. Tak lagi mengucek mata, ia tatapi sepuluh jemari kaki yang amat dikenali itu. Rahangnya perlahan mengetat, Aro paksa otaknya mengingat apa yang sudah terjadi.Hal pertama yang masuk dalam ingatan adalah dirinya yang sedang minum. Saat itu memang masih siang, tetapi Aro merasa sangat lelah, penat dan muak. Jadi, dia minum. Pria itu sudah menghabiskan dua botol bir saat Daris memberitahu keadaan Bulan."Nona tidak sarapan lagi."Begitu laporan yang Daris berikan. Bukan hal besar. Namun, itu malah membuat Aro minum makin banyak. Pria itu sudah merasa benar-benar pe
Pagi ini awan tampak kelabu. Mentari belum juga datang, dan sepertinya rintik hujan mulai turun. Jendela yang sejak tadi Aro pandangi mulai basah. Lelaki itu terdengar menghela napas, kakinya bergerak menjauh dari jendela yang sejak tadi ditatapi. Pria itu berbalik, berjalan mendekat pada ranjang.Ranjang itu tidak kosong. Ini masih di kamar Bulan. Dan perempuan itu di sana. Masih tidur, bergelung dalam posisi meringkuk di bawah selimut tebal. Dua selimut. Aro menambahkan satu dini hari tadi karena Bulan menggigil dan terus mengigau soal suhu yang rendah.Oh, bukan. Aro bukan kasihan. Ia hanya belum ingin Bulan mati dan kesenangan menyiksa perempuan itu selesai. Tidak untuk alasan yang lain.Perempuan itu masih belum terjaga, padahal Aro sudah duduk di kursi yang ditempatkan di sebelah ranjang. Pria itu menatap tajam, berlama-lama. Namun, Bulan terus tidur seolah tak takut pada wajah penuh kemarahan yang Aro perlihatkan.Pandangan Aro jatuh ke telapak tangan Bulan yang keluar dari sel
Reza kembali mendengar Bulan mual. Pria itu sangat penasaran, maka ia mengikuti Bulan ke kamar mandi. Menunggu di luar, didengar si pria Bulan muntah-muntah. Seperti seminggu belakangan.Reza mulai mengingat. Ia cari makanan yang sekiranya tak cocok dengan Bulan dan menyebabkan perempuan itu mengalami masalah pencernaan. Namun, rasanya tak ada. Bulan tidak makan pedas berlebihan. Apa karena gadis itu makan sedikit sekali belakangan ini?Lelaki itu juga membongkar memori saat awal Bulan ditawan di rumah lama. Perempuan itu juga kerap muntah di situasi tertentu. Takut, syok atau sedih. Apa emosi yang membuat Bulan mual-mual seminggu terakhir?Reza makin mengerutkan dahi saat Bulan keluar dari kamar mandi. "Nona, apa perutmu sakit?" tanyanya berusaha menggali informasi.Bulan menggeleng pelan. Kakinya bergerak menuju ruang tengah. Ada satu sofa tersisa di sana, yang lain sudah dibawa pergi tiga bulan lalu, bersama dengan Gino yang pergi. Bulan baringkan tubuhnya di sana, matanya memejam.
Cuaca hari itu tak jelek. Matahari cerah, tetapi tidak terik. Terlebih, di kiri dan kanan jalanan yang Reza lewati adalah pohon. Harusnya perjalanan mereka bisa sedikit terbantu, kalau saja nasib sedang bagus.Padahal ini jalan perkebunan, harusnya satu-satunya yang membuat tak nyaman hanya medan yang tak rata. Kadang pasir, kadang bebatuan. Namun, dasarnya hari ini bukan hari yang baik.Bulan masih kesakitan. Reza dibuat makin cemas saat melihat gaun rumah Bulan di bagian belakang sudah basah dan mencetak noda merah yang mengerikan. Reza tak mau membayangkan semenderita apa wanita itu kini.Selain harus menahan sakit, Bulan pasti sangat cemas akan kondisi janin di rahimnya. Karena itulah sejak tadi wanita itu tak berhenti menangis. Jika sedari tadi Reza masih berusaha menenangkan, kini pria itu tak bisa mengatakan apa-apa, selain umpatan.Hari ini kesialan bertubi-tubi datang. Setelah harus mengendarai pick up tua dan menempuh perjalanan jauh hanya untuk mencapai jalanan desa, sekara