"Ibu! Ibu!" Sambil menangis, Fara menggedor pintu rumah Tari. "Ibu!"Hari sudah sangat larut. Nyaris semua orang telah naik ke peraduan dan mengistirahatkan diri. Begitu pun Tari. Namun, wanita itu terbangun sebab pintu rumahnya digedor. Ia mendengar suara putrinya.Tari bergegas turun dari ranjang. Ia membuka pintu tergesa dan langsung diliputi kecemasan saat melihat benar Fara yang datang. Semalam ini anaknya datang, sambil menangis pula, firasat Tari buruk sekali."Kenapa, Fara? Apa yang terjadi padamu?" Tari menengok ke sekitar, tak ada orang lain di sana. Ia ajak anaknya masuk.Tari mengajak Fara duduk di dipan dekat jendela di ruang tamu. Ia usap lengan putrinya itu demi menyalurkan rasa aman."Katakan. Kenapa kau datang larut sekali?" Ia mendekat, memberi pelukan agar Fara yang terlihat kalut sedikit tenang.Fara terisak pelan. Ia mengambil waktu beberapa saat untuk menangis. Setelah puas, ia duduk tegak, melepaskan diri dari pelukan Tari."Bu, kau harus menolongku," pintanya d
Tari diharuskan menunggu di kursi teras. Wanita itu tak punya banyak pilihan, tidak mungkin melawan para pengawal berbadan besar di rumah itu. Ia pun duduk di tempat yang disediakan dengan raut wajah cemas. Pagi-pagi sekali Tari datang ke kediaman Aro. Ia harus bertemu Bulan. Namun, wanita itu tak diperbolehkan langsung masuk. Pelayan Aro mengharuskannya menunggu. "Nona belum keluar untuk sarapan. Sepertinya belum bangun. Tunggu saja, kami bisa kena masalah jika mengganggu tidur Nona." Begitu kata pelayan itu. Yang tentu saja menambahi cemas di hati Tari. Wanita tua itu susah hati. Ia dilema. Haruskah melakukan permintaan Fara atau tidak. Sebuah bencana sudah terjadi. Kedatangan Fara ke rumahnya kemarin adalah untuk memberi kabar soal bencana itu. Fara hamil. Putrinya tengah mengandung anak Aro. Kata Fara, Aro belum diberi tahu. Fara takut sang tuan tidak menerimanya atau menyangkal anak itu. Bahkan Fara mengaku takut dirinya dan sang janin dilenyapkan sebab Aro akan lebih memili
Bulan adalah perempuan dungu. Bisa-bisanya ia terperdaya oleh Aro. Pikir gadis itu, karena Aro tak menyakitinya lagi, maka pria itu sudah berubah jadi orang baik?Salah. Salah besar. Aro masihlah manusia bengis yang tak punya perasaan.Pria itu sanggup melakukan hal-hal kejam, bahkan sampai menghabisi calon anaknya sendiri.Itu yang Bulan dengar dari Tari kemarin. Sambil berurai air mata wanita tua itu bercerita soal keadaan Fara kini. Fara hamil dan itu anak Aro. Namun, bukannya merawat Fara, lelaki itu malah ingin melenyapkannya.Sungguh Bulan tak habis pikir. Di sini Aro menyiapkan buah untuknya setiap hari. Sementara di sana, lelaki itu ingin menghabisi ibu dari darah dagingnya.Benarkah Aro sekeji itu?Sejak kemarin Bulan memikirkan ini. Ia cerna baik-baik semua yang sudah Aro lakukan. Memang, pria itu bukan orang baik. Perilakunya yang Bulan lihat selama ini cukup membenarkan perkataan warga bahwa Aro berbahaya. Namun, pria itu juga punya sisi baik. Walau sedikit.Sikap perhatia
Daris masuk ke kamar Aro. Pria itu membawakan kopi untuk sang tuan. Meletakkannya di meja sofa, Daris menemukan Aro berdiri di depan cermin.Tuannya itu tak mengenakan pakaian. Hanya celana yang sudah terpasang. Menghadap ke cermin, tatapan Aro jatuh pada bekas luka di perut kanannya. Luka yang sengaja tak dijahit atas permintaan pemiliknya."Apa Tuan akan melakukannya hari ini?" Daris bertanya, memastikan kebulatan tekad Aro.Yang ditanyai akhirnya memindahkan tatapan dari bekas luka di perut. Aro mengangguk, kemudian mengambil kausnya dari sofa. Pria itu memakainya dalam diam. Namun, ekspresi wajahnya yang kaku cukup memberitahu jika hari ini lelaki itu harus melakukan sesuatu yang berat.Sebulan.Sebulan sudah berlalu. Tiga puluh hari paling berat yang pernah Aro hadapi selama ia menghuni dunia yang memuakkan ini. Membuat pria itu kembali bertanya-tanya. Sebenarnya, apa tujuan hidupnya?Aro hanya pemuda patah hati ketika datang ke desa ini. Waktu itu usianya baru 22 tahun, masih mu
Bulan kira, Aro masih memiliki belas kasihan. Perempuan itu pikir, dirinya tak dihabisi atau dibiarkan mati di kebun karena mungkin Aro masih mengasihaninya. Namun, itu ternyata salah. Sebab Aro membiarkan Bulan hidup demi menerima hukuman yang lebih berat daripada kematian.Sehabis menikam Aro sebulan lalu, Bulan melarikan diri ke kebun. Niatnya ingin mati kehabisan darah di sana. Karena meski memilih mengabulkan permintaan Tari untuk menghabisi Aro, Bulan entah kenapa merasa sangat bersalah. Rasanya ia tak akan bisa hidup jika pria itu mati. Maka ikut meregang nyawa adalah pilihan. Bulan bisa bertemu ibunya dan mengakhiri penderitaan di dunia. Namun, Aro tak membiarkan itu terjadi.Gino memberitahu bahwa Aro menugaskan orangnya mencari Bulan. Dan Bulan ditemukan di kebun dalam keadaan sekarat. Perempuan itu sempat dirawat di rumah sakit di kota, sebelum akhirnya dibawa kembali ke desa.Terlalu muluk bila Bulan berharap akan dibawa kembali ke rumah Aro. Pikir si perempuan lebih masuk
Bulan turun dari mobil dibantu Gino. Mungkin, jika tak dipegangi erat, perempuan itu sudah terjatuh karena tubuhnya tak lagi mampu melakukan apa pun. Bulan kehilangan seluruh daya. Ia masih belum pulih dari sakit, bahkan beberapa saat lalu, karena ingin ke sini infusnya baru saja dilepas.Gino yang merasa Bulan tak lagi sanggup berjalan akhirnya mengangkat perempuan itu. Kakinya bergerak lebih cepat menuju tempat pemakaman Tari sambil menggendong Bulan.Tari meninggal hari ini. Tepatnya tadi pagi. Wanita itu meregang nyawa tiba-tiba, setelah mengetahui kebenaran dari Fara. Orang-orang menyebut Tari mungkin saja terkena serangan jantung. Ya, orang tua mana yang tidak terkejut saat tahu anaknya sendiri sudah berbohong.Fara menipu semua orang, termasuk ibunya. Terbutakan rasa cemburu dan tak terima digantikan, Fara mengatur siasat. Ia berpura hamil, mengandung anak Aro. Memberitahu kalau dirinya mungkin akan dibunuh pada ibunya dan meminta ibunya membujuk agar Bulan pergi.Tari yang sa
Aro terbangun dengan kepala pusing. Pria itu menggaruk leher sembari membuka mata lebih lebar. Ia merasa gerah dan lengket. Membawa tubuhnya duduk, wajahnya menoleh kanan dan kiri dengan bingung.Ini bukan kamarnya. Ruang tidurnya tak pernah sepengap ini. Aro kucek matanya sebentar. Pria itu dalam posisi agak menunduk, kemudian pandangan menangkap ada sepasang kaki di dekat paha.Dalam sekejap Aro merasa kebingungannya hilang. Tak lagi mengucek mata, ia tatapi sepuluh jemari kaki yang amat dikenali itu. Rahangnya perlahan mengetat, Aro paksa otaknya mengingat apa yang sudah terjadi.Hal pertama yang masuk dalam ingatan adalah dirinya yang sedang minum. Saat itu memang masih siang, tetapi Aro merasa sangat lelah, penat dan muak. Jadi, dia minum. Pria itu sudah menghabiskan dua botol bir saat Daris memberitahu keadaan Bulan."Nona tidak sarapan lagi."Begitu laporan yang Daris berikan. Bukan hal besar. Namun, itu malah membuat Aro minum makin banyak. Pria itu sudah merasa benar-benar pe
Pagi ini awan tampak kelabu. Mentari belum juga datang, dan sepertinya rintik hujan mulai turun. Jendela yang sejak tadi Aro pandangi mulai basah. Lelaki itu terdengar menghela napas, kakinya bergerak menjauh dari jendela yang sejak tadi ditatapi. Pria itu berbalik, berjalan mendekat pada ranjang.Ranjang itu tidak kosong. Ini masih di kamar Bulan. Dan perempuan itu di sana. Masih tidur, bergelung dalam posisi meringkuk di bawah selimut tebal. Dua selimut. Aro menambahkan satu dini hari tadi karena Bulan menggigil dan terus mengigau soal suhu yang rendah.Oh, bukan. Aro bukan kasihan. Ia hanya belum ingin Bulan mati dan kesenangan menyiksa perempuan itu selesai. Tidak untuk alasan yang lain.Perempuan itu masih belum terjaga, padahal Aro sudah duduk di kursi yang ditempatkan di sebelah ranjang. Pria itu menatap tajam, berlama-lama. Namun, Bulan terus tidur seolah tak takut pada wajah penuh kemarahan yang Aro perlihatkan.Pandangan Aro jatuh ke telapak tangan Bulan yang keluar dari sel