"Tuan!"Aro menjauhkan ponsel lipatnya dari telinga. Inilah yang terjadi jika orang tak waras diberi ponsel. Kembali menempelkan benda itu, ia memaki Gino yang menelepon."Sialqn! Kau kira aku tuli, bodoh?!" balasnya tak kalah nyaring.Ia sedang di kafe malam ini. Sebuah tempat hiburan malam di dekat perbatasan menuju kota. Aro sudah di sini sejak tadi siang. Niatnya tidak akan pulang karena sedang ribut dengan Bulan. Namun, satu pemberitahuan dari Gino beberapa saat lalu langsung membatalkan niat itu."Tuan, Nona mabuk!"Sudahlah beritanya mengejutkan. Gino menyuarakan itu dengan suara nyaring pula. Aro tak tahan untuk tidak mengumpat."Eh, bajingan! Bisakah kau jangan teriak? Kau mau lidahmu kupotong dan kuberikan pada ikan? Tolol!""Maaf, Tuan. Tapi, ini sangat genting. Segeralah pulang, Tuan. Kami tidak mampu mengurus ini. Tuan ... aku mohon pu--Nona!"Aro berdiri dari kursi ketika mendengar Gino berteriak di seberang telepon. Otaknya seketika berisi hal-hal buruk."Kenapa, bodoh?
Tari tiba di sebuah rumah setelah mengendarai sepedanya selama setengah jam. Kelelahan, wanita tua itu mengetuk pintu rumah yang ia datangi. Pemilik rumah yang adalah Fara membukakan pintu, dan segera memberi reaksi terkejut."Ibu?" Fara tergemap. Wajahnya terheran-heran. "Dari mana Ibu tahu aku di sini?"Fara hanya sesekali tinggal di rumah Aro. Pertama, saat pria itu membutuhkannya. Kedua, jika ia meminta dan Aro sedang berbaik hati mengizinkan. Atau yang ketiga, saat lelaki itu membutuhkan dirinya mengurus sesuatu.Fara difasilitasi sebuah rumah tinggal sejak bekerja pada Aro. Tidak begitu besar, tetapi nyaman. Terlebih, sang tuan memberinya dua pelayan yang mengurusi segalanya. Dulu, semua ini adalah sesuatu yang Fara bisa sombongkan pada orang lain. Namun, sekarang tidak demikian. Setelah melihat apa yang Aro lakukan pada Bulan, ternyata ini bukan apa-apa."Aku bertanya pada salah satu pelayan di rumah itu." Tari menjelaskan dari mana ia tahu alamat rumah tinggal Fara ini. Fara
Bulan ingin sekali menangis. Ia ingin meraung, menumpahkan nelangsa dan sesal di jiwa. Bila bisa, perempuan itu ingin merangkak ke makam ibunya demi meminta ampun. Bulan sudah terlalu jauh, terlalu busuk.Beberapa bulan belakangan, Bulan menjalani hidup yang sangat berat. Ditarget oleh seorang tuan tanah kejam yang tak berperasaan, dunianya yang sebelum ini tenang, damai, mendadak kacau. Pikir Bulan, itu sudah yang terburuk. Nyatanya, bisa lebih buruk dari itu.Bulan sudah menjadi wanita tak bermoral. Ia perempuan tak punya harga diri kini. Hal itu terus berkeliaran di kepala si perempuan, semenjak ia bangun dan mendengar apa yang sudah terjadi dari Aro. Mulanya Bulan enggan percaya. Namun, beberapa jam berlalu, ingatan itu samar datang. Tidak semua, tetapi beberapa penggal ingatan itu cukup untuk menampar Bulan dan membuatnya tak mampu mengelak. Yang terburuk sudah terjadi.Bulan sudah menjadi peliharaan Aro seutuhnya. Sekian lama berusaha menyelamatkan diri. Menjadi berbeda dari Far
"Aro!"Jeritan Bulan menggema, beriringan dengan langkah kaki yang saling berkejaran. Dari kamar, pindah ke ruang tengah, kemudian sampai ke halaman belakang wanita itu berlarian dan berteriak. Perempuan itu mengejar Aro yang kini sudah berdiri di dekat kolam renang."Kembalikan, Aro! Kenapa kau semakin gila saja?" Bulan yang sudah lelah berlari memutuskan berhenti. Napas perempuan itu terengah, ia membungkuk, menumpu dua tangan di paha untuk sekadar menarik napas."Biarkan saja aku," ucap Aro sambil terkikik. "Kau sudah lelah, 'kan? Sudah, jangan lari lagi." Pria itu maju, mendekat. Ia membungkuk untuk bisa mengintip wajah Bulan.Bulan melirik tajam pria itu. Namun, tangannya bergerak cepat meraih kaus bagian depan yang Aro pakai. Ia tersenyum puas karena berhasil menangkap si lelaki."Kembalikan. Mana barangku?" Sengaja Bulan agak melotot untuk membuat Aro takut. Namun, si pria malah balas mengaitkan alis padanya.Tadi itu Bulan sedang melipati pakaiannya di kamar. Pekerjaannya ham
"Ibu! Ibu!" Sambil menangis, Fara menggedor pintu rumah Tari. "Ibu!"Hari sudah sangat larut. Nyaris semua orang telah naik ke peraduan dan mengistirahatkan diri. Begitu pun Tari. Namun, wanita itu terbangun sebab pintu rumahnya digedor. Ia mendengar suara putrinya.Tari bergegas turun dari ranjang. Ia membuka pintu tergesa dan langsung diliputi kecemasan saat melihat benar Fara yang datang. Semalam ini anaknya datang, sambil menangis pula, firasat Tari buruk sekali."Kenapa, Fara? Apa yang terjadi padamu?" Tari menengok ke sekitar, tak ada orang lain di sana. Ia ajak anaknya masuk.Tari mengajak Fara duduk di dipan dekat jendela di ruang tamu. Ia usap lengan putrinya itu demi menyalurkan rasa aman."Katakan. Kenapa kau datang larut sekali?" Ia mendekat, memberi pelukan agar Fara yang terlihat kalut sedikit tenang.Fara terisak pelan. Ia mengambil waktu beberapa saat untuk menangis. Setelah puas, ia duduk tegak, melepaskan diri dari pelukan Tari."Bu, kau harus menolongku," pintanya d
Tari diharuskan menunggu di kursi teras. Wanita itu tak punya banyak pilihan, tidak mungkin melawan para pengawal berbadan besar di rumah itu. Ia pun duduk di tempat yang disediakan dengan raut wajah cemas. Pagi-pagi sekali Tari datang ke kediaman Aro. Ia harus bertemu Bulan. Namun, wanita itu tak diperbolehkan langsung masuk. Pelayan Aro mengharuskannya menunggu. "Nona belum keluar untuk sarapan. Sepertinya belum bangun. Tunggu saja, kami bisa kena masalah jika mengganggu tidur Nona." Begitu kata pelayan itu. Yang tentu saja menambahi cemas di hati Tari. Wanita tua itu susah hati. Ia dilema. Haruskah melakukan permintaan Fara atau tidak. Sebuah bencana sudah terjadi. Kedatangan Fara ke rumahnya kemarin adalah untuk memberi kabar soal bencana itu. Fara hamil. Putrinya tengah mengandung anak Aro. Kata Fara, Aro belum diberi tahu. Fara takut sang tuan tidak menerimanya atau menyangkal anak itu. Bahkan Fara mengaku takut dirinya dan sang janin dilenyapkan sebab Aro akan lebih memili
Bulan adalah perempuan dungu. Bisa-bisanya ia terperdaya oleh Aro. Pikir gadis itu, karena Aro tak menyakitinya lagi, maka pria itu sudah berubah jadi orang baik?Salah. Salah besar. Aro masihlah manusia bengis yang tak punya perasaan.Pria itu sanggup melakukan hal-hal kejam, bahkan sampai menghabisi calon anaknya sendiri.Itu yang Bulan dengar dari Tari kemarin. Sambil berurai air mata wanita tua itu bercerita soal keadaan Fara kini. Fara hamil dan itu anak Aro. Namun, bukannya merawat Fara, lelaki itu malah ingin melenyapkannya.Sungguh Bulan tak habis pikir. Di sini Aro menyiapkan buah untuknya setiap hari. Sementara di sana, lelaki itu ingin menghabisi ibu dari darah dagingnya.Benarkah Aro sekeji itu?Sejak kemarin Bulan memikirkan ini. Ia cerna baik-baik semua yang sudah Aro lakukan. Memang, pria itu bukan orang baik. Perilakunya yang Bulan lihat selama ini cukup membenarkan perkataan warga bahwa Aro berbahaya. Namun, pria itu juga punya sisi baik. Walau sedikit.Sikap perhatia
Daris masuk ke kamar Aro. Pria itu membawakan kopi untuk sang tuan. Meletakkannya di meja sofa, Daris menemukan Aro berdiri di depan cermin.Tuannya itu tak mengenakan pakaian. Hanya celana yang sudah terpasang. Menghadap ke cermin, tatapan Aro jatuh pada bekas luka di perut kanannya. Luka yang sengaja tak dijahit atas permintaan pemiliknya."Apa Tuan akan melakukannya hari ini?" Daris bertanya, memastikan kebulatan tekad Aro.Yang ditanyai akhirnya memindahkan tatapan dari bekas luka di perut. Aro mengangguk, kemudian mengambil kausnya dari sofa. Pria itu memakainya dalam diam. Namun, ekspresi wajahnya yang kaku cukup memberitahu jika hari ini lelaki itu harus melakukan sesuatu yang berat.Sebulan.Sebulan sudah berlalu. Tiga puluh hari paling berat yang pernah Aro hadapi selama ia menghuni dunia yang memuakkan ini. Membuat pria itu kembali bertanya-tanya. Sebenarnya, apa tujuan hidupnya?Aro hanya pemuda patah hati ketika datang ke desa ini. Waktu itu usianya baru 22 tahun, masih mu