Bulan kira, Aro masih memiliki belas kasihan. Perempuan itu pikir, dirinya tak dihabisi atau dibiarkan mati di kebun karena mungkin Aro masih mengasihaninya. Namun, itu ternyata salah. Sebab Aro membiarkan Bulan hidup demi menerima hukuman yang lebih berat daripada kematian.Sehabis menikam Aro sebulan lalu, Bulan melarikan diri ke kebun. Niatnya ingin mati kehabisan darah di sana. Karena meski memilih mengabulkan permintaan Tari untuk menghabisi Aro, Bulan entah kenapa merasa sangat bersalah. Rasanya ia tak akan bisa hidup jika pria itu mati. Maka ikut meregang nyawa adalah pilihan. Bulan bisa bertemu ibunya dan mengakhiri penderitaan di dunia. Namun, Aro tak membiarkan itu terjadi.Gino memberitahu bahwa Aro menugaskan orangnya mencari Bulan. Dan Bulan ditemukan di kebun dalam keadaan sekarat. Perempuan itu sempat dirawat di rumah sakit di kota, sebelum akhirnya dibawa kembali ke desa.Terlalu muluk bila Bulan berharap akan dibawa kembali ke rumah Aro. Pikir si perempuan lebih masuk
Bulan turun dari mobil dibantu Gino. Mungkin, jika tak dipegangi erat, perempuan itu sudah terjatuh karena tubuhnya tak lagi mampu melakukan apa pun. Bulan kehilangan seluruh daya. Ia masih belum pulih dari sakit, bahkan beberapa saat lalu, karena ingin ke sini infusnya baru saja dilepas.Gino yang merasa Bulan tak lagi sanggup berjalan akhirnya mengangkat perempuan itu. Kakinya bergerak lebih cepat menuju tempat pemakaman Tari sambil menggendong Bulan.Tari meninggal hari ini. Tepatnya tadi pagi. Wanita itu meregang nyawa tiba-tiba, setelah mengetahui kebenaran dari Fara. Orang-orang menyebut Tari mungkin saja terkena serangan jantung. Ya, orang tua mana yang tidak terkejut saat tahu anaknya sendiri sudah berbohong.Fara menipu semua orang, termasuk ibunya. Terbutakan rasa cemburu dan tak terima digantikan, Fara mengatur siasat. Ia berpura hamil, mengandung anak Aro. Memberitahu kalau dirinya mungkin akan dibunuh pada ibunya dan meminta ibunya membujuk agar Bulan pergi.Tari yang sa
Aro terbangun dengan kepala pusing. Pria itu menggaruk leher sembari membuka mata lebih lebar. Ia merasa gerah dan lengket. Membawa tubuhnya duduk, wajahnya menoleh kanan dan kiri dengan bingung.Ini bukan kamarnya. Ruang tidurnya tak pernah sepengap ini. Aro kucek matanya sebentar. Pria itu dalam posisi agak menunduk, kemudian pandangan menangkap ada sepasang kaki di dekat paha.Dalam sekejap Aro merasa kebingungannya hilang. Tak lagi mengucek mata, ia tatapi sepuluh jemari kaki yang amat dikenali itu. Rahangnya perlahan mengetat, Aro paksa otaknya mengingat apa yang sudah terjadi.Hal pertama yang masuk dalam ingatan adalah dirinya yang sedang minum. Saat itu memang masih siang, tetapi Aro merasa sangat lelah, penat dan muak. Jadi, dia minum. Pria itu sudah menghabiskan dua botol bir saat Daris memberitahu keadaan Bulan."Nona tidak sarapan lagi."Begitu laporan yang Daris berikan. Bukan hal besar. Namun, itu malah membuat Aro minum makin banyak. Pria itu sudah merasa benar-benar pe
Pagi ini awan tampak kelabu. Mentari belum juga datang, dan sepertinya rintik hujan mulai turun. Jendela yang sejak tadi Aro pandangi mulai basah. Lelaki itu terdengar menghela napas, kakinya bergerak menjauh dari jendela yang sejak tadi ditatapi. Pria itu berbalik, berjalan mendekat pada ranjang.Ranjang itu tidak kosong. Ini masih di kamar Bulan. Dan perempuan itu di sana. Masih tidur, bergelung dalam posisi meringkuk di bawah selimut tebal. Dua selimut. Aro menambahkan satu dini hari tadi karena Bulan menggigil dan terus mengigau soal suhu yang rendah.Oh, bukan. Aro bukan kasihan. Ia hanya belum ingin Bulan mati dan kesenangan menyiksa perempuan itu selesai. Tidak untuk alasan yang lain.Perempuan itu masih belum terjaga, padahal Aro sudah duduk di kursi yang ditempatkan di sebelah ranjang. Pria itu menatap tajam, berlama-lama. Namun, Bulan terus tidur seolah tak takut pada wajah penuh kemarahan yang Aro perlihatkan.Pandangan Aro jatuh ke telapak tangan Bulan yang keluar dari sel
Reza kembali mendengar Bulan mual. Pria itu sangat penasaran, maka ia mengikuti Bulan ke kamar mandi. Menunggu di luar, didengar si pria Bulan muntah-muntah. Seperti seminggu belakangan.Reza mulai mengingat. Ia cari makanan yang sekiranya tak cocok dengan Bulan dan menyebabkan perempuan itu mengalami masalah pencernaan. Namun, rasanya tak ada. Bulan tidak makan pedas berlebihan. Apa karena gadis itu makan sedikit sekali belakangan ini?Lelaki itu juga membongkar memori saat awal Bulan ditawan di rumah lama. Perempuan itu juga kerap muntah di situasi tertentu. Takut, syok atau sedih. Apa emosi yang membuat Bulan mual-mual seminggu terakhir?Reza makin mengerutkan dahi saat Bulan keluar dari kamar mandi. "Nona, apa perutmu sakit?" tanyanya berusaha menggali informasi.Bulan menggeleng pelan. Kakinya bergerak menuju ruang tengah. Ada satu sofa tersisa di sana, yang lain sudah dibawa pergi tiga bulan lalu, bersama dengan Gino yang pergi. Bulan baringkan tubuhnya di sana, matanya memejam.
Cuaca hari itu tak jelek. Matahari cerah, tetapi tidak terik. Terlebih, di kiri dan kanan jalanan yang Reza lewati adalah pohon. Harusnya perjalanan mereka bisa sedikit terbantu, kalau saja nasib sedang bagus.Padahal ini jalan perkebunan, harusnya satu-satunya yang membuat tak nyaman hanya medan yang tak rata. Kadang pasir, kadang bebatuan. Namun, dasarnya hari ini bukan hari yang baik.Bulan masih kesakitan. Reza dibuat makin cemas saat melihat gaun rumah Bulan di bagian belakang sudah basah dan mencetak noda merah yang mengerikan. Reza tak mau membayangkan semenderita apa wanita itu kini.Selain harus menahan sakit, Bulan pasti sangat cemas akan kondisi janin di rahimnya. Karena itulah sejak tadi wanita itu tak berhenti menangis. Jika sedari tadi Reza masih berusaha menenangkan, kini pria itu tak bisa mengatakan apa-apa, selain umpatan.Hari ini kesialan bertubi-tubi datang. Setelah harus mengendarai pick up tua dan menempuh perjalanan jauh hanya untuk mencapai jalanan desa, sekara
Seminggu setelah ia pulang dari rumah sakit, Bulan kembali melihat Aro. Pria itu datang ke rumahnya. Sudah datang dari siang, tetapi hingga sore mereka belum terlibat pembicaraan apa-apa.Terakhir kali berjumpa di rumah sakit, Bulan dan Aro tak menemukan kesepakatan apa pun sebab ia pingsan. Aro beberapa kali datang lagi, itu pun tak bicara. Menemui Bulan saja jarang, kalau pun pria itu datang ke ruangan rawat, hanya akan melirik sekilas dan lebih banyak bicara pada Gino atau Reza.Meski bingung, tetapi Bulan bisa sedikit lega. Setidaknya, ia dan sang janin masih diberi kesempatan hidup sampai sekarang. Sampai hari ini mungkin, karena akhirnya Aro muncul, mendatanginya. Tak mungkin lelaki itu datang tanpa tujuan.Saat Aro datang tadi, Bulan sedang di ruang tengah. Perempuan itu duduk dan melamun. Sama seperti yang selalu ia lakukan selama dikurung di sini. Sekarang, si perempuan jelas tak bisa melakukan itu. Ia tak bisa duduk tanpa gelisah sebab sedari tadi Aro terus menatapi.Berulan
Aro menaikkan satu bongkah besar buah sawit terakhir ke truk. Pria itu tancapkan tongkatnya ke tanah. Menyeka wajah yang berpeluh dengan kaus, pria itu melihat Daris menghampiri. Anak buahnya itu pasti membawa kabar soal Bulan.Hari ini seperti biasa Aro ikut memanen sawit. Sejak pagi ia di sini. Sudah lewat tengah hari sekarang. Pekerjaan harusnya selesai tepat waktu meski dia tak membantu nantinya. Aro merasa perlu ikut kegiatan bodoh yang Daris usulkan.Daris meminta kemarin. Sampai memohon. Katanya, memberikan apa yang Bulan inginkan sangat penting sekarang ini. Sebab wanita itu sedang hamil. Jadi, Daris mengabulkan salah satu keinginan Bulan, yakni mengutip berondolan sawit.Gila kalau kata Aro. Namun, sebab dirinya telanjur menjelaskan apa itu mengidam kemarin, maka pria itu pun terpaksa membiarkan Daris mewujudkan permintaan Bulan. Sore ini perempuan itu dibolehkan meninggalkan rumah dan datang ke kebun."Tuan, Nona sudah sampai," beritahu Daris usai mencapai tempat Aro berdiri