“Setidaknya sampai hari ini kau harus bersyukur karena masih bernapas.”
Begitulah kalimat penyemangat yang dilakukan Alexa pada diri sendiri. Jika bukan dirinya, siapa yang akan peduli?
“Jangan melamun. Lihat! Meja nomor lima ada orang.” Alexa segera menoleh dan mendapati pelanggan sudah duduk di sana dan membuka buku menu.
“Aku ya?” ucap Alexa malas.
“Kau melamun terus. Ada apa?” tanya Emily merangkul bahunya. Salah satu sahabat sekaligus saudara bagi Alexa yang hidup seorang diri.
“Tidak ada. Aku ke depan dulu,” sahut Alexa segera melangkah menuju meja nomor lima. Tangan kirinya memegang buku kecil yang digunakan untuk mencatat pesanan.
“Silakan sebutkan pesanan Anda, Signore,” ucap Alexa yang berdiri dengan kepala menunduk di hadapan pelanggan.
Setelah dua pria tersebut menyebutkan pesanan, Alexa segera berlalu menuju dapur.
Siang ini suasana restoran tak begitu ramai karena ini adalah hari Minggu. Letak restoran ini begitu strategis dan menjadi salah satu restoran yang terkenal di antara yang lainnya.
Alexa tampak tak bersemangat. Tubuhnya terlihat begitu lesu dengan wajah terlihat sayu dan badan yang sedikit panas.
“Hei Alexa! Ada apa denganmu?” Emily kembali bertanya sambil menepuk bahunya.
“Mungkin kelelahan,” sahut Alexa, tersenyum tipis.
Obrolan keduanya terhenti saat pesanan meja nomor lima sudah siap. Karena pesanan mereka cukup banyak, Alexa membawa kereta dorong untuk membawa makanan-makanan tersebut. Saat meletakkannya di atas meja pelanggan, tak sekali pun kepalanya mendongak. Namun wanita itu menyadari, ada mata yang memandang.
“Silakan nikmati makan siang Anda. Saya permisi,” ucap Alexa sebelum berbalik arah. Bahkan sampai langkahnya sudah menjauh, ia merasa ada mata yang mengawasi.
Alexa segera mengenyahkan pikirannya, mungkin itu hanya ketakutan yang berlebih. Tak lama Emily datang dan membawakan segelas air yang langsung diterima.
“Lebih baik kau izin pulang, wajahmu terlihat pucat,” ucap wanita itu penuh perhatian.
“Aku baik-baik saja. Pulang hanya akan membuatku mendapatkan potongan gaji sementara sebentar lagi harus membayar sewa flat,” jawab Alexa pelan, membuang napas kasar.
Diam-diam Alexa terkadang lelah menjalani kehidupan sulit yang setiap saat mendera. Wanita itu harus rela menahan semua keinginan.
“Apa tidak sebaiknya kita merayu seorang jutawan untuk hidup yang lebih layak?” Emily berkata dengan frustrasi.
“Tak ada gunanya merayu seorang jutawan, belum tentu mereka berminat dengan wanita lusuh seperti kita,” sahut Alexa kemudian mendesah pelan. “Kita bukan selera mereka,” lanjutnya lagi sambil mengamati diri sendiri. Bentuk tubuhnya memang bagus—tinggi semampai dengan wajah yang bisa dibilang cantik dengan kulit yang putih bersih. Setidaknya itu menjadi dua aset berharga yang dimiliki.
Emily tertawa mendengar jawaban sahabatnya yang apa adanya. “Aku masih ada tabungan jika kau membutuhkan,” ucapnya sambil menatap Alexa serius.
Alexa menggelengkan kepala pelan sebelum menjawab, “Aku tidak mau menambah beban utang dulu. Mati membawa utang yang belum lunas itu membuat arwah kita jadi penasaran.”
Emily memukul pelan bahu Alexa. Bicaranya yang asal membuat keduanya sangat cocok satu sama lain. Tak bisa sekali pun keduanya terlibat pembicaraan yang benar-benar serius.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Alexa dan Emily sudah bersiap pulang dengan berjalan kaki, hanya membutuhkan waktu sekitar empat puluh lima menit untuk sampai di tempat tinggal mereka. Melewati beberapa pertokoan dan beberapa jembatan yang harus diseberangi sebelum masuk gang-gang kecil.
Sepanjang jalan keduanya terus bicara sampai tidak sadar telah sampai di sebuah gang sempit yang hanya bisa dilewati secara bergantian. Satu-satunya tempat dengan harga sewa paling murah karena lokasi dan bangunannya yang tak begitu terawat.
Begitu sampai Alexa segera mandi dan bergegas meluruskan punggungnya yang lelah.
Dari luar, tempat ini tampak begitu kumuh dan tak terawat, tetapi Alexa berhasil membuatnya menjadi tempat tinggal yang bersih dan nyaman. Memiliki satu ruang tamu kecil, dapur, kamar tidur dan dua kamar mandi, salah satunya terletak di dalam kamar. Semua perabotan yang dimiliki bukan barang mahal, tetapi setidaknya cukup baik karena dia yang tak memiliki banyak uang.
❥❥❥
Seorang pria dengan kacamata hitam baru saja turun dari pesawat. Penampilannya tampak begitu rapi dengan suit mahal berwarna biru tua. Tinggi tubuhnya kurang lebih seratus tujuh puluh lima sentimeter, hidungnya maju ke depan, alis dan rambut berwarna hitam legam dengan warna kulit kecokelatan, nyaris sempurna dan tanpa cacat.
Lucas Alexander, pria itu selalu menyebut dirinya tanpa nama belakang keluarga.
Sepanjang langkah, sosok pria tersebut tak lepas menarik perhatian.
“Baron, selama di sini aku tak ingin ada pengawal di sekelilingku,” ucap Lucas penuh penekanan.
“Tapi —” Pria yang disebut namanya menunjukkan wajah menolak, tetapi belum sempat mengatakan apa pun, ucapannya sudah disela lebih dulu.
“Tak ada penolakan!”
“Sesuai keinginan Anda,” sahut Baron terlihat pasrah. Segera mengikuti perintah pria di depannya untuk meminta semua pengawal menyingkir.
Di luar sana Robinson terkenal sebagai kerajaan bisnis yang memiliki kekuasaan di segala aspek, tetapi sosok pemimpinnya tak begitu dikenal karena sangat misterius. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa bertemu dengan pria tersebut.
Maserati Quattroporte berwarna hitam mengkilat membawa Lucas segera meninggalkan bandara, melaju membelah jalanan kota Venesia.
“Hotel atau Villa?” tanya Lucas datar.
“Saya sudah meminta kunci hotel, tapi jika Anda keberatan saya bisa minta Villa,” jawab Baron menoleh ke belakang.
“Tidak perlu.”
Mobil yang dikendarai sang sopir berhenti di perhentian terakhir sebuah dermaga besar. Perjalanan harus dilanjutkan dengan sebuah kapal feri, vaporetto atau gondola. Alat transportasi air yang digunakan hampir di seluruh Venesia. Jalanan yang sempit tak memungkinkan mobil bisa lewat, selain transportasi air, berjalan kaki adalah pilihan.
Sepanjang perjalanan dengan kapal feri, Lucas menikmati keindahan yang memanjakan mata. Pemandangan yang diberikan kota air ini adalah kanalnya, apalagi gondola menjadi daya tarik sendiri, tak lupa jembatan-jembatan klasik.
Kota ini selalu terkesan cantik dan sempurna.
Sesampainya di hotel, Lucas segera masuk ke kamar khusus yang telah disediakan. Jika tirai dibuka, maka pemandangan yang dilihat pertama kali adalah lalu lintas air yang lumayan ramai.
Entah mengapa ... Lucas merasakan perasaan yang lain, seperti ada sesuatu yang begitu menarik.
To Be Continue
Alexa terjaga dari tidurnya ketika mendapati suhu badannya semakin memanas. Saat melihat ponsel, dia baru menyadari ketika waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.Tak berselang lama Alexa segera turun dari ranjang dan mencuci muka sebelum memutuskan pergi ke minimarket.Mantel tebal membungkus tubuh, angin yang berembus membuat bulu kuduknya berdiri. Alexa berhenti sejenak sambil memejamkan mata kala mendapati kepalanya begitu terasa berat.“Apa yang terjadi, Signorina?”Suara seseorang di belakang tubuhnya membuat Alexa membuka mata dan menoleh. Sedikit terkejut ketika mendapati ada pria yang sudah berdiri tepat di belakangnya.Tampan dan terlihat mapan, itu kesan pertama yang dilihat Alexa pada sosok pria tersebut.“Tidak apa-apa,” sahut Alexa segera menepi, menyadari bahwa dirinya masih ada di tengah-tengah jalan.
Sesaat setelah menaruh kantong belanja di meja dapur, Alexa segera meneguk segelas air untuk meredakan perasaannya yang begitu membuncah. Haruskah dia mengatakan bahwa ada rasa tertarik dengan pria itu pada pandangan pertama? Kepalanya menggeleng pelan, dia segera mengenyahkan pikiran yang mulai melantur tersebut. Menyadari bahwa pria itu bukanlah pria biasa, ia tak ingin bermimpi terlalu tinggi.Dirinya hanya wanita menyedihkan sementara pria itu sosok impian.Alexa segera merapikan belanjaan yang masih berserakan. Setelah selesai, dia segera memasak makanan untuk mengisi perutnya yang meronta.Tubuhnya yang baru saja menyentuh sofa segera bangkit kala mendengar suara bel berbunyi beberapa kali.“Alexa! Aku membawa beberapa makanan. Kenapa kau tak menjawab panggilanku? Membuat khawatir saja,” cecar Emily yang langsung masuk begitu pintu terbuka, mengabaikan sang empunya rumah yang masih
Alexa terjaga, dia melihat tubuhnya terbaring lemah dengan selang infus yang menancap di punggung tangan. Matanya mengedar mengamati sekeliling dengan seksama. Dia bisa menebak di mana dirinya berada, tetapi siapa yang membawanya ke tempat ini. Perlahan tubuhnya dipaksa untuk duduk, tetapi rasa nyeri dari punggung tangan membuatnya meringis pelan. Kenapa rasanya sakit sekali? batinnya bertanya. Tangannya yang terpasang infus diangkat tinggi-tinggi. Di bawah cahaya lampu yang terang, dia bisa melihat ada bekas tusukan di beberapa titik. Dengar helaan napas kasar dari bibirnya. Kepalanya menoleh, menatap jam dinding yang tergantung di atas sana. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, selama itukah dirinya tak sadarkan diri? Seingatnya dia berada di gang menuju tempat tinggalnya, dia melihat Lucas dan tiba-tiba sudah ada di sini. Kepalanya mencari tas untuk mencari p
Setelah memastikan bahwa Alexa telah terlelap, dia memilih ikut memejamkan mata akibat serangan rasa kantuk yang melanda.Bibirnya tertarik membentuk lengkungan tipis ketika menyadari bahwa sikap Alexa bukan hanya keras kepala, tetapi juga pemberani. Tidak ada orang yang akan menentang ucapannya, tetapi wanita ini sudah menentangnya berkali-kali bahkan melemparkan guyonan yang justru membuatnya merasa iba.Seharusnya dia akan marah ketika ada seseorang yang membantah ucapannya, tetapi dengan Alexa, alih-alih ingin marah dia justru semakin khawatir.Baru juga matanya terpejam, suara getaran ponsel membuatnya bangun dan melihat siapa yang menghubungi.Setelah mematikan panggilan, Lucas keluar dari ruangan setelah memastikan bahwa Alexa benar-benar tidur dengan nyenyak.Di depan ruangan dia sudah disambut dengan Baron yang mengulurkan sebuah kotak kecil berisi charger untuk ponsel A
Setelah dirawat di rumah sakit selama empat hari, Alexa sudah diizinkan pulang. Selama itu pula Lucas selalu menamaninya sepanjang waktu.Setiap pagi dan sore, Emily selalu datang dengan membawa makanan. Terakhir kali para sahabatnya yang bekerja di restoran juga turut hadir untuk menjenguknya dan berkenalan dengan Lucas.Dia sungguh bersyukur dikelilingi oleh orang-orang baik dan sangat menyayanginya.Setelah mengurus semua administrasi, dia diantar oleh Lucas ke apartemen.“Duduklah, aku akan membuatkan minum. Kau mau minum apa?”Untunglah tempat tinggalnya selalu rapi dan bersih, jadi dia tak begitu terganggu saat menerima tamu.“Tidak perlu, Alexa. Kau duduk saja, jangan banyak melakukan pekerjaan. Kau masih harus istirahat, keadaanmu masih lemah,” jawab Lucas, matanya mengedar memandang sekitar ruang tamu.&ld
Lucas sudah ada di depan pintu apartemen Alexa. Tangannya membawa sebuket bunga dan sekotak makanan manis yang tadi dibeli oleh Baron.Setelah menekan bel beberapa kali, terdengar suara teriakan dari dalam dan tak lama pintu terbuka.“Oh, Luke,” ucap Alexa, mendadak gugup melihat kedatangannya.Penampilan wanita itu terlihat sedikit berantakan, pakaian yang dipakai membuat bentuk tubuhnya terlihat seksi, kulit putihnya bersinar.“Boleh aku masuk?” tanya Lucas dengan tersenyum.“Oh, ya, silakan.” Alexa menyingkir dan membiarkannya masuk, setelah itu menyusulnya dan duduk di sofa tunggal.Lucas menyerahkan bunga dan kotak makanan manis ke arah Alexa.“Grazie, Luke. Kau tak perlu repot-repot seperti ini,” ucap Alexa menerima. Dia mencium bunga segar tersebut dengan senyum lebar.
Alexa melangkah keluar apartemen sambil mengenakan mantel tebal yang membungkus tubuhnya. Dia mendongak menatap langit yang mendung. Tangannya mengeratkan mantel di tubuh, bibirnya meniup udara dengan sedikit bergetar. “Hai, Luke,” sapa Alexa saat melihat Luke sudah berdiri di depan gedung apartemen. Pria itu terlihat menoleh dan tersenyum menyambut dirinya. “Hai, semoga kau benar-benar tak keberatan menemaniku, Alexa.” Wanita itu tersenyum dan menggeleng pelan. Lucas mengamati saat Alexa sudah berdiri di depannya. Rambut berwarna cokelat pirang itu terlihat kusut, wajahnya pucat, tirus dan penuh semangat. Penampilannya apa adanya, amat sederhana karena tak ada aksesoris apa pun yang menempel pada tubuh. Namun sama sekali tak mengurangi kecantikan yang dimiliki. Alexa menoleh dan tersenyum. “Ayo, aku sudah siap,” ucapnya. Belum mereka berdua melangkah, teriakan melengking dari suara yang begitu dikenal membuat keduanya menoleh. Emily—wanita itu melongok d
Alexa pernah berkata bahwa tidak ada alasan untuk menjadi cengeng, tetapi hari ini justru dia terlihat mengusap sudut mata beberapa kali ketika Lucas dengan tanpa aba-aba mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Ada gelombang aneh yang menggetarkan hati ketika pria itu membahas tentang hubungan. Membuatnya mengingat sesuatu yang menyesakkan dada.“Apa ucapanku salah, Alexa?” tanya suara di belakang tubuh yang mengejutkan.Wanita itu segera mengusap bulir bening di pipi sebelum berbalik dan memamerkan senyum tipis yang terlihat dipaksakan.“Tidak, aku hanya … terkejut.”“Maaf jika ucapanku terlalu tiba-tiba. Venesia dan dirimu sama-sama membuatku terpesona.”Blush!Pipi Alexa merona mendengar ucapan Lucas yang membuat suhu dingin menjadi begitu panas. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain, enggan menatap pria yang kini tengah mengamatinya dalam diam.“Sedang merayuku, Signore?” “No, kau memang memesona. S