Alexa terjaga dari tidurnya ketika mendapati suhu badannya semakin memanas. Saat melihat ponsel, dia baru menyadari ketika waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Tak berselang lama Alexa segera turun dari ranjang dan mencuci muka sebelum memutuskan pergi ke minimarket.
Mantel tebal membungkus tubuh, angin yang berembus membuat bulu kuduknya berdiri. Alexa berhenti sejenak sambil memejamkan mata kala mendapati kepalanya begitu terasa berat.
“Apa yang terjadi, Signorina?”
Suara seseorang di belakang tubuhnya membuat Alexa membuka mata dan menoleh. Sedikit terkejut ketika mendapati ada pria yang sudah berdiri tepat di belakangnya.
Tampan dan terlihat mapan, itu kesan pertama yang dilihat Alexa pada sosok pria tersebut.
“Tidak apa-apa,” sahut Alexa segera menepi, menyadari bahwa dirinya masih ada di tengah-tengah jalan.
Pria itu menyorot Alexa tajam. Keningnya mengernyit ketika melihat wajah pucat tersebut. Ingatannya seperti tak asing dengan wajah cantik di depannya.
“Anda pelayan di Restoran La Voiture? Sepertinya tadi siang saya melihat Anda,” ucap pria tampan itu ketika mengingat.
Alexa sedikit tersentak dan mundur beberapa langkah dengan perasaan waspada.
“Maaf jika pertanyaan saya mengejutkan. Saya tak bermaksud jahat.” Pria tersebut segera mengoreksi. “Siang tadi saya berada di sana dan Anda yang melayani,” sambungnya menjelaskan.
Alexa mendongak demi bisa melihat wajah pria di depannya tetapi sayang sekali wanita itu tak dapat mengingat karena hampir setiap melayani pelanggan, mereka diwajibkan menunduk hingga tak mampu melihat dengan jelas wajah para pelanggan yang datang. Mereka hanya bisa mencuri-curi pandang jika sangat penasaran.
“Ingatan Anda bagus,” ucap Alexa dengan senyum tipis yang tersungging di bibirnya.
Pria itu menatap Alexa intens hingga membuatnya salah tingkah. Wajah itu berpaling ke arah lain.
“Anda terlihat tak sehat, Signorina.”
“Sí, hanya sedikit demam.”
Alexa berjalan pelan diikuti pria tersebut. Melewati jembatan penghubung di atas kanal. Kelap kelip lampu menambah kesan indah terpancar, kota yang tenang mampu membuat Alexa betah tinggal di sini selama beberapa tahun.
“Anda bukan orang sini, Signore?” Pertanyaan yang dilontarkan Alexa jelas hanya basa-basi. Dari parasnya saja sudah terlihat jelas bahwa pria ini bukanlah orang Venesia.
Wanita yang cerdas, batin pria itu.
“Tebakan Anda tepat. Bagaimana Anda bisa tahu bahwa saya bukan orang Venesia?” Pria itu menjawab tanpa beban. “Seperti cenayang saja,” tambah pria itu membuat Alexa terkekeh pelan.
Pria itu membeku mendengar tawa wanita cantik di depannya. Suara tawa tersebut tampak begitu renyah tanpa dibuat-buat.
“Aksen Anda begitu kentara,” sahut Alexa menimpali.
“Anda juga bukan orang Venesia? Warna mata Anda lebih mirip orang Rusia,” sahut pria itu membuat langkah Alexa terhenti.
Alexa merasakan jantungnya berdegup dengan keras. Tiba-tiba perasaan takut melingkupi dirinya. Sementara Lucas, pria itu terkejut dengan respons yang diberikan, tubuh wanita itu bergetar dengan pandangan waspada ke sekeliling.
Ada apa? Apa ucapannya salah? batin pria itu bertanya-tanya.
“Tebakannya salah? Mi Scusa (maafkan saya). Jangan dimasukkan ke hati jika tebakan saya salah.”
Pria itu segera menyadarkan Alexa. Menyentuh bahunya lembut hingga mata itu mengerjap beberapa kali.
“Oh, ya, ya, saya hanya terkejut dengan tebakan Anda yang begitu melenceng jauh.” Alexa melemparkan senyum lebar.
Keduanya kembali melangkah beriringan. Melewati beberapa bangunan hingga tak lama sampai di minimarket yang terletak di ujung jalan dekat dengan dermaga.
Alexa segera masuk ke dalam minimarket dan segera mengambil beberapa kebutuhan yang diperlukan, tak lupa obat demam juga turut dimasukkan ke dalam keranjang belanja. Lebih banyak yang diambil adalah makanan cepat saji dalam kemasan.
Hampir tiga puluh menit Alexa berada di dalam minimarket. Saat keluar, wanita itu terkejut dengan pria tampan yang saat ini justru duduk dengan santai ditemani sekaleng bir. Pria yang sama yang menemaninya sepanjang jalan tadi.
“Anda masih di sini, Signore?”
“Sí, saya butuh teman bicara di sepanjang jalan kembali ke hotel,” jawab pria itu segera membantu membawa kantong belanja milik Alexa. “Fa niente (tidak apa-apa),” sambungnya lagi ketika Alexa hendak menolak.
“Grazie! (Terima kasih)”
Keduanya bicara banyak hal tentang keindahan kota Venesia yang begitu memikat. Sesekali terdengar suara tawa dari bibir keduanya.
Samar-samar Alexa menatap pria itu dengan cermat hingga julukan pria mempesona tak bisa dielakkan. Pria itu bertubuh jangkung dengan tubuh yang terlihat kekar dan wajah yang nyaris sempurna.
Rasanya mereka tak habis-habis menyusuri jalanan yang entah mengapa malam ini terlihat begitu panjang.
“Di mana Anda tinggal?” tanya Alexa sedikit heran, mengingat jalanan menuju flatnya tak ada sama sekali hotel atau penginapan. Hotel hanya ada di sekitar dermaga dan pinggiran Grand Kanal.
“Hotel Victory,” sahut pria itu pelan dan samar.
Alexa menelengkan kepala. “Hotel Victory?” ulangnya memperjelas.
Pria itu mengangguk sedikit acuh tak acuh, bahunya terangkat seolah meminta untuk tak menganggap apa pun yang ada di pikirannya.
Dia bukan pria biasa, batin Alexa.
“Itu hotel kelas atas,” jelas Alexa. “Hanya orang-orang tertentu yang bisa menginap di sana.”
Lagi dan lagi pria itu hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Hanya kebetulan,” sahutnya sedikit enggan menjelaskan.
Melihat respons pria itu, Alexa menyadari kekeliruan. Tidak seharusnya dia bertanya seperti itu, mereka hanya orang asing yang tidak sengaja bertemu. Alexa terdiam dan tak melanjutkan pembahasan tersebut.
Langkah kaki Alexa berhenti di sebuah jembatan yang menghubungkan menuju gang kecil.
“Saya akan sampai. Seharusnya Anda tak perlu menemani, arah hotel bahkan berlawanan dari sini. Anda masih harus berjalan sendirian,” ucap Alexa pelan.
Bahkan bisa dikatakan letak hotel dan flat tempat tinggalnya sangat jauh berbeda. Perlu melewati beberapa gang kecil sebelum sampai, sementara hotel berada di sekitar pinggiran yang dengan mudah diakses.
Pria itu tersenyum tipis seraya menggeleng pelan. “Bukan masalah,” sahutnya ringan. “Sekarang beritahu siapa nama Anda, Bella Signorina.”
Tiba-tiba saja suhu tubuh Alexa kembali memanas mendengar pria itu memanggilnya nona manis. Jantungnya berdegup dengan keras seiring napasnya yang terdengar berat.
Pria itu mengulurkan tangannya ke arah Alexa, sedikit ragu wanita itu menerimanya. Rasa hangat dirasakan ketika kulitnya bersentuhan, jabatan tangan tersebut lembut tetapi tersimpan kekuatan.
“Alexa.”
“Lucas.”
Keduanya menyebutkan nama yang hampir bersamaan, diakhiri dengan tawa pelan.
“Senang berkenalan dengan Anda, Lucas,” ucap Alexa.
“Luke saja.” Pria itu menyebutkan nama panggilan akrabnya.
“Sí.” Alexa mengerti, “grazie Luke!”
Lucas mengangguk dan menyerahkan dua kantong belanja milik Alexa. Pria itu masih berdiri menatap punggung wanita yang kian menjauh.
Alexa kembali menoleh kebelakang dan melihat Lucas masih berdiri mengamatinya. Dalam sekejap pria itu mampu menarik perhatian dan seluruh rasa penasarannya.
“Sampai jumpa, Alexa,” gumam Lucas pelan.
To Be Continue
Sesaat setelah menaruh kantong belanja di meja dapur, Alexa segera meneguk segelas air untuk meredakan perasaannya yang begitu membuncah. Haruskah dia mengatakan bahwa ada rasa tertarik dengan pria itu pada pandangan pertama? Kepalanya menggeleng pelan, dia segera mengenyahkan pikiran yang mulai melantur tersebut. Menyadari bahwa pria itu bukanlah pria biasa, ia tak ingin bermimpi terlalu tinggi.Dirinya hanya wanita menyedihkan sementara pria itu sosok impian.Alexa segera merapikan belanjaan yang masih berserakan. Setelah selesai, dia segera memasak makanan untuk mengisi perutnya yang meronta.Tubuhnya yang baru saja menyentuh sofa segera bangkit kala mendengar suara bel berbunyi beberapa kali.“Alexa! Aku membawa beberapa makanan. Kenapa kau tak menjawab panggilanku? Membuat khawatir saja,” cecar Emily yang langsung masuk begitu pintu terbuka, mengabaikan sang empunya rumah yang masih
Alexa terjaga, dia melihat tubuhnya terbaring lemah dengan selang infus yang menancap di punggung tangan. Matanya mengedar mengamati sekeliling dengan seksama. Dia bisa menebak di mana dirinya berada, tetapi siapa yang membawanya ke tempat ini. Perlahan tubuhnya dipaksa untuk duduk, tetapi rasa nyeri dari punggung tangan membuatnya meringis pelan. Kenapa rasanya sakit sekali? batinnya bertanya. Tangannya yang terpasang infus diangkat tinggi-tinggi. Di bawah cahaya lampu yang terang, dia bisa melihat ada bekas tusukan di beberapa titik. Dengar helaan napas kasar dari bibirnya. Kepalanya menoleh, menatap jam dinding yang tergantung di atas sana. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, selama itukah dirinya tak sadarkan diri? Seingatnya dia berada di gang menuju tempat tinggalnya, dia melihat Lucas dan tiba-tiba sudah ada di sini. Kepalanya mencari tas untuk mencari p
Setelah memastikan bahwa Alexa telah terlelap, dia memilih ikut memejamkan mata akibat serangan rasa kantuk yang melanda.Bibirnya tertarik membentuk lengkungan tipis ketika menyadari bahwa sikap Alexa bukan hanya keras kepala, tetapi juga pemberani. Tidak ada orang yang akan menentang ucapannya, tetapi wanita ini sudah menentangnya berkali-kali bahkan melemparkan guyonan yang justru membuatnya merasa iba.Seharusnya dia akan marah ketika ada seseorang yang membantah ucapannya, tetapi dengan Alexa, alih-alih ingin marah dia justru semakin khawatir.Baru juga matanya terpejam, suara getaran ponsel membuatnya bangun dan melihat siapa yang menghubungi.Setelah mematikan panggilan, Lucas keluar dari ruangan setelah memastikan bahwa Alexa benar-benar tidur dengan nyenyak.Di depan ruangan dia sudah disambut dengan Baron yang mengulurkan sebuah kotak kecil berisi charger untuk ponsel A
Setelah dirawat di rumah sakit selama empat hari, Alexa sudah diizinkan pulang. Selama itu pula Lucas selalu menamaninya sepanjang waktu.Setiap pagi dan sore, Emily selalu datang dengan membawa makanan. Terakhir kali para sahabatnya yang bekerja di restoran juga turut hadir untuk menjenguknya dan berkenalan dengan Lucas.Dia sungguh bersyukur dikelilingi oleh orang-orang baik dan sangat menyayanginya.Setelah mengurus semua administrasi, dia diantar oleh Lucas ke apartemen.“Duduklah, aku akan membuatkan minum. Kau mau minum apa?”Untunglah tempat tinggalnya selalu rapi dan bersih, jadi dia tak begitu terganggu saat menerima tamu.“Tidak perlu, Alexa. Kau duduk saja, jangan banyak melakukan pekerjaan. Kau masih harus istirahat, keadaanmu masih lemah,” jawab Lucas, matanya mengedar memandang sekitar ruang tamu.&ld
Lucas sudah ada di depan pintu apartemen Alexa. Tangannya membawa sebuket bunga dan sekotak makanan manis yang tadi dibeli oleh Baron.Setelah menekan bel beberapa kali, terdengar suara teriakan dari dalam dan tak lama pintu terbuka.“Oh, Luke,” ucap Alexa, mendadak gugup melihat kedatangannya.Penampilan wanita itu terlihat sedikit berantakan, pakaian yang dipakai membuat bentuk tubuhnya terlihat seksi, kulit putihnya bersinar.“Boleh aku masuk?” tanya Lucas dengan tersenyum.“Oh, ya, silakan.” Alexa menyingkir dan membiarkannya masuk, setelah itu menyusulnya dan duduk di sofa tunggal.Lucas menyerahkan bunga dan kotak makanan manis ke arah Alexa.“Grazie, Luke. Kau tak perlu repot-repot seperti ini,” ucap Alexa menerima. Dia mencium bunga segar tersebut dengan senyum lebar.
Alexa melangkah keluar apartemen sambil mengenakan mantel tebal yang membungkus tubuhnya. Dia mendongak menatap langit yang mendung. Tangannya mengeratkan mantel di tubuh, bibirnya meniup udara dengan sedikit bergetar. “Hai, Luke,” sapa Alexa saat melihat Luke sudah berdiri di depan gedung apartemen. Pria itu terlihat menoleh dan tersenyum menyambut dirinya. “Hai, semoga kau benar-benar tak keberatan menemaniku, Alexa.” Wanita itu tersenyum dan menggeleng pelan. Lucas mengamati saat Alexa sudah berdiri di depannya. Rambut berwarna cokelat pirang itu terlihat kusut, wajahnya pucat, tirus dan penuh semangat. Penampilannya apa adanya, amat sederhana karena tak ada aksesoris apa pun yang menempel pada tubuh. Namun sama sekali tak mengurangi kecantikan yang dimiliki. Alexa menoleh dan tersenyum. “Ayo, aku sudah siap,” ucapnya. Belum mereka berdua melangkah, teriakan melengking dari suara yang begitu dikenal membuat keduanya menoleh. Emily—wanita itu melongok d
Alexa pernah berkata bahwa tidak ada alasan untuk menjadi cengeng, tetapi hari ini justru dia terlihat mengusap sudut mata beberapa kali ketika Lucas dengan tanpa aba-aba mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Ada gelombang aneh yang menggetarkan hati ketika pria itu membahas tentang hubungan. Membuatnya mengingat sesuatu yang menyesakkan dada.“Apa ucapanku salah, Alexa?” tanya suara di belakang tubuh yang mengejutkan.Wanita itu segera mengusap bulir bening di pipi sebelum berbalik dan memamerkan senyum tipis yang terlihat dipaksakan.“Tidak, aku hanya … terkejut.”“Maaf jika ucapanku terlalu tiba-tiba. Venesia dan dirimu sama-sama membuatku terpesona.”Blush!Pipi Alexa merona mendengar ucapan Lucas yang membuat suhu dingin menjadi begitu panas. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain, enggan menatap pria yang kini tengah mengamatinya dalam diam.“Sedang merayuku, Signore?” “No, kau memang memesona. S
Malam kedua, seperti sebelumnya Lucas menjemput Alexa di flat tempat tinggalnya. Wajah wanita itu tampak lelah, bahkan cara jalannya saja terkesan lambat, membuat Lucas ingin mengurungkan niat untuk berjalan-jalan.“Tampaknya kau lelah,” ucap Lucas.Alexa tersenyum tipis. “Sedikit. Hari ini restoran begitu ramai, kebetulan ada rekanku yang tak masuk, jadi ya begitulah.”“Kalau begitu istirahatlah. Aku tak mau membuatmu semakin lelah.”“Sudahlah, kau terlalu banyak berpikir. Aku tidak apa, mungkin udara segar bisa membuatku kembali bersemangat.”Lucas mengangguk, dia mengikuti Alexa yang sudah melangkah lebih dulu. Mereka menyusuri jalanan sempit sebelum akhirnya menemukan jalanan yang lebih ramai.“Suasana di sini begitu damai,” kata Lucas dengan kagum.“Karena di sini tidak ada kendaraan beroda yang menimbulkan kemacetan, polusi dan sebagainya. Lagipula mobil tidak bisa masuk ke sini.”Lucas mengangguk membenar