Di dalam ruangan kamar yang temaram, seorang wanita terbaring di atas ranjang dengan kedua tangan terikat ke atas. Wajahnya tampak damai, tetapi dingin yang menyapu kulitnya membuat mata dengan bulu mata lentik itu berkedip beberapa kali sebelum akhirnya manik mata berwarna cokelat itu terbuka.
Dia tampak bingung.Matanya menjelajahi seisi ruangan. Dia seperti mencoba mengingat sesuatu hingga bisa berakhir di tempat ini.“Brengsek! Sergio sialan!” makinya dengan kaki yang menendang-nendang.Dia mencoba untuk melepaskan tali yang mengikat tangannya. Menggoyangkan dengan kasar supaya simpulan itu bisa terlepas. Namun, justru tangan kecil itu terasa perih dan panas.Wanita itu kembali memejamkan mata sambil berpikir. Sebenarnya dia sekarang ada di mana dan ke mana perginya pria sialan yang telah menculiknya.Saat masih asyik berpikir, pintu terbuka dan sosok wanita yang tadi dilihat sebagai pelayan cafe datang membawa nampan berisiSergio Semak sebenarnya bukanlah pria miskin seperti yang diceritakan pada teman-temannya. Pria itu adalah pemilik cafe, restoran dan juga beberapa hotel yang ada di Venesia. Salah satunya adalah restoran tempat mereka bekerja.Pria berperawakan tinggi dengan garis wajah yang tegas itu cukup tampan. Memilih menyamar menjadi Sergio si pria yatim piatu miskin adalah caranya untuk bisa dekat dengan Alexa, wanita yang pada pertemuan pertama mampu mencuri hatinya.Selama satu tahun dia mencoba mendekati Alexa, tetapi dia harus kalah dengan orang baru yang justru bisa lebih dulu mendapatkannya.Sergio marah. Dia merasa Alexa sama seperti wanita di luar sana yang tergoda dengan uang dan kemewahan. Jika tahu seperti itu, dia tidak akan susah payah menyamar menjadi pria miskin.Sergio menatap Alexa yang kini menatap matanya seolah menantang. Pria itu tersenyum sinis dan kembali mendekat ke arah ranjang. Ditatapnya tubuh wanita yang membuatnya tergila-gila.
Semenjak kejadian penculikan dan pelecehan yang dialami, Alexa lebih banyak diam. Dia bahkan menjadi pribadi pemurung dan selalu mengurung dirinya di kamar.Mereka sudah pindah ke rumah baru yang dibeli oleh Lucas beberapa waktu yang lalu. Lengkap dengan segala isinya. Pria itu juga telah menyiapkan segala keperluan untuk sang kekasih.Sebenarnya rumah ini adalah kejutan, tetapi semuanya tidak berjalan sesuai rencana gara-gara ulah si brengsek Sergio Semak.Ah, ingin sekali Lucas membunuh pria itu dengan tangannya sendiri saat setiap malam, dia harus melihat sang pujaan hati gelisah dalam tidurnya. Saat peluh membanjiri tubuhnya dengan teriakan tak berdaya yang memilukan.Mendengar itu setiap malam membuat emosinya selalu memuncak. Dia hanya mampu menenangkan dengan pelukan. Saat mata itu kembali terbuka, dia akan berteriak jika didekati oleh seorang pria.Seolah semua pria yang mendekatinya berwajah Sergio Semak.Setiap pukul se
“Setidaknya sampai hari ini kau harus bersyukur karena masih bernapas.”Begitulah kalimat penyemangat yang dilakukan Alexa pada diri sendiri. Jika bukan dirinya, siapa yang akan peduli?“Jangan melamun. Lihat! Meja nomor lima ada orang.” Alexa segera menoleh dan mendapati pelanggan sudah duduk di sana dan membuka buku menu.“Aku ya?” ucap Alexa malas.“Kau melamun terus. Ada apa?” tanya Emily merangkul bahunya. Salah satu sahabat sekaligus saudara bagi Alexa yang hidup seorang diri.“Tidak ada. Aku ke depan dulu,” sahut Alexa segera melangkah menuju meja nomor lima. Tangan kirinya memegang buku kecil yang digunakan untuk mencatat pesanan.“Silakan sebutkan pesanan Anda, Signore,” ucap Alexa yang berdiri dengan kepala menunduk di hadapan pelanggan.Setelah dua pria ter
Alexa terjaga dari tidurnya ketika mendapati suhu badannya semakin memanas. Saat melihat ponsel, dia baru menyadari ketika waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.Tak berselang lama Alexa segera turun dari ranjang dan mencuci muka sebelum memutuskan pergi ke minimarket.Mantel tebal membungkus tubuh, angin yang berembus membuat bulu kuduknya berdiri. Alexa berhenti sejenak sambil memejamkan mata kala mendapati kepalanya begitu terasa berat.“Apa yang terjadi, Signorina?”Suara seseorang di belakang tubuhnya membuat Alexa membuka mata dan menoleh. Sedikit terkejut ketika mendapati ada pria yang sudah berdiri tepat di belakangnya.Tampan dan terlihat mapan, itu kesan pertama yang dilihat Alexa pada sosok pria tersebut.“Tidak apa-apa,” sahut Alexa segera menepi, menyadari bahwa dirinya masih ada di tengah-tengah jalan.
Sesaat setelah menaruh kantong belanja di meja dapur, Alexa segera meneguk segelas air untuk meredakan perasaannya yang begitu membuncah. Haruskah dia mengatakan bahwa ada rasa tertarik dengan pria itu pada pandangan pertama? Kepalanya menggeleng pelan, dia segera mengenyahkan pikiran yang mulai melantur tersebut. Menyadari bahwa pria itu bukanlah pria biasa, ia tak ingin bermimpi terlalu tinggi.Dirinya hanya wanita menyedihkan sementara pria itu sosok impian.Alexa segera merapikan belanjaan yang masih berserakan. Setelah selesai, dia segera memasak makanan untuk mengisi perutnya yang meronta.Tubuhnya yang baru saja menyentuh sofa segera bangkit kala mendengar suara bel berbunyi beberapa kali.“Alexa! Aku membawa beberapa makanan. Kenapa kau tak menjawab panggilanku? Membuat khawatir saja,” cecar Emily yang langsung masuk begitu pintu terbuka, mengabaikan sang empunya rumah yang masih
Alexa terjaga, dia melihat tubuhnya terbaring lemah dengan selang infus yang menancap di punggung tangan. Matanya mengedar mengamati sekeliling dengan seksama. Dia bisa menebak di mana dirinya berada, tetapi siapa yang membawanya ke tempat ini. Perlahan tubuhnya dipaksa untuk duduk, tetapi rasa nyeri dari punggung tangan membuatnya meringis pelan. Kenapa rasanya sakit sekali? batinnya bertanya. Tangannya yang terpasang infus diangkat tinggi-tinggi. Di bawah cahaya lampu yang terang, dia bisa melihat ada bekas tusukan di beberapa titik. Dengar helaan napas kasar dari bibirnya. Kepalanya menoleh, menatap jam dinding yang tergantung di atas sana. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, selama itukah dirinya tak sadarkan diri? Seingatnya dia berada di gang menuju tempat tinggalnya, dia melihat Lucas dan tiba-tiba sudah ada di sini. Kepalanya mencari tas untuk mencari p
Setelah memastikan bahwa Alexa telah terlelap, dia memilih ikut memejamkan mata akibat serangan rasa kantuk yang melanda.Bibirnya tertarik membentuk lengkungan tipis ketika menyadari bahwa sikap Alexa bukan hanya keras kepala, tetapi juga pemberani. Tidak ada orang yang akan menentang ucapannya, tetapi wanita ini sudah menentangnya berkali-kali bahkan melemparkan guyonan yang justru membuatnya merasa iba.Seharusnya dia akan marah ketika ada seseorang yang membantah ucapannya, tetapi dengan Alexa, alih-alih ingin marah dia justru semakin khawatir.Baru juga matanya terpejam, suara getaran ponsel membuatnya bangun dan melihat siapa yang menghubungi.Setelah mematikan panggilan, Lucas keluar dari ruangan setelah memastikan bahwa Alexa benar-benar tidur dengan nyenyak.Di depan ruangan dia sudah disambut dengan Baron yang mengulurkan sebuah kotak kecil berisi charger untuk ponsel A
Setelah dirawat di rumah sakit selama empat hari, Alexa sudah diizinkan pulang. Selama itu pula Lucas selalu menamaninya sepanjang waktu.Setiap pagi dan sore, Emily selalu datang dengan membawa makanan. Terakhir kali para sahabatnya yang bekerja di restoran juga turut hadir untuk menjenguknya dan berkenalan dengan Lucas.Dia sungguh bersyukur dikelilingi oleh orang-orang baik dan sangat menyayanginya.Setelah mengurus semua administrasi, dia diantar oleh Lucas ke apartemen.“Duduklah, aku akan membuatkan minum. Kau mau minum apa?”Untunglah tempat tinggalnya selalu rapi dan bersih, jadi dia tak begitu terganggu saat menerima tamu.“Tidak perlu, Alexa. Kau duduk saja, jangan banyak melakukan pekerjaan. Kau masih harus istirahat, keadaanmu masih lemah,” jawab Lucas, matanya mengedar memandang sekitar ruang tamu.&ld