Sesaat setelah menaruh kantong belanja di meja dapur, Alexa segera meneguk segelas air untuk meredakan perasaannya yang begitu membuncah. Haruskah dia mengatakan bahwa ada rasa tertarik dengan pria itu pada pandangan pertama? Kepalanya menggeleng pelan, dia segera mengenyahkan pikiran yang mulai melantur tersebut. Menyadari bahwa pria itu bukanlah pria biasa, ia tak ingin bermimpi terlalu tinggi.
Dirinya hanya wanita menyedihkan sementara pria itu sosok impian.
Alexa segera merapikan belanjaan yang masih berserakan. Setelah selesai, dia segera memasak makanan untuk mengisi perutnya yang meronta.
Tubuhnya yang baru saja menyentuh sofa segera bangkit kala mendengar suara bel berbunyi beberapa kali.
“Alexa! Aku membawa beberapa makanan. Kenapa kau tak menjawab panggilanku? Membuat khawatir saja,” cecar Emily yang langsung masuk begitu pintu terbuka, mengabaikan sang empunya rumah yang masih berdiri dengan heran.
“Tidak waras!” gumam Alexa, segera menutup pintu dan menyusul Emily yang sudah duduk di sofa.
“Kau tidak apa-apa?”
Alexa mengangguk, menarik mangkuk dan mulai mengisi perutnya. “Jika mau, kau bisa memasaknya sendiri. Aku kelaparan,” ucapnya di sela-sela mengunyah makanan.
“Aku membawa ini,” ucap Emily, “tapi kau sudah makan. Simpan di kulkas, ya?”
Alexa mengangguk. “Grazie, mi caro (sayangku).”
Setelah tiga puluh menit, Alexa telah selesai makan. Ia meneguk segelas air, tak lupa meminum obat demam dan sakit kepala.
“Besok kau bisa libur dulu, aku yang akan mengatakannya pada Madam Anne.”
Alexa menggeleng. “No, aku hanya butuh tidur, besok pasti sudah membaik.”
“Dasar keras kepala,” gerutu Emily, wajahnya terlihat kesal. Bicara dengan Alexa sama dengan sia-sia, ada saja jawabannya.
“Ya sudahlah, terserah dirimu saja. Aku akan pulang dan kau cepatlah tidur.”
“Buonanotte (selamat malam), Emily.”
Emily segera beranjak dari sofa dan segera menghilang dibalik pintu. Setidaknya Alexa harus bersyukur dengan kehadiran sahabat seperti Emily yang sangat peduli padanya.
❥❥❥
Lucas sekali lagi berbelok menuju jalan yang berlainan arah. Bukannya menuntun kembali ke hotel, pria itu sepertinya sedang banyak pikiran hingga terus berjalan tanpa arah.
Langkah kakinya terhenti di atas jembatan yang menampilkan keindahan kota Venesia. Kepalanya menunduk mengamati permukaan air yang berkilau akibat sorot cahaya.
Pria itu memandang kehidupan luar dengan begitu lepas, seperti burung yang baru saja dilepas dari sangkar. Orang bilang kehidupannya sempurna, karena dianugerahi kelebihan yang begitu banyak—salah satunya kekayaan dan status yang dimiliki. Semua orang memandang kehidupannya dari sudut pandang mereka, tetapi tidak—hidupnya tak seindah yang dilihat orang lain. Banyak aturan dan larangan yang mengikat, mencekik lehernya hingga dia sendiri kesulitan bernapas.
“Signore!”
Lucas menoleh dan mendapati Baron bersama dua pengawal menaiki gondola. Wajah mereka terlihat tegang dan muram.
Gondola ditepikan, Baron segera turun dan menghampirinya.
“Anda tidak bisa berjalan-jalan seorang diri, Signore. Itu sangat berbahaya,” ucap Baron dengan wajah yang begitu kaku.
Wajah berseri-seri yang tadi menghiasi kini berubah muram. Selalu saja, batinnya. Jika sudah menyangkut siapa dirinya, Lucas selalu terlihat begitu tertekan tetapi berhasil ditutupi dengan baik karena sikapnya yang sudah terlatih menempatkan diri.
“Aku hanya mencari udara segar. Terlalu bosan setiap hari harus bersama kalian,” ucap Lucas dan segera meninggalkan Baron yang gegas mengikuti.
“Lebih baik Anda naik gondola, jarak ke hotel lumayan jauh.”
Lucas menoleh sekilas, melanjutkan langkah tanpa menjawab. Bahkan dirinya sudah berjalan lebih jauh hingga bertemu dengan seorang wanita—pelayan restoran yang memiliki paras begitu cantik. Mampu membuat beberapa jam hidupnya terasa ringan dengan obrolan santai dan tanpa kepalsuan.
Pertemuan yang tak disengaja, tetapi begitu berkesan.
“Lain kali jika Anda tidak suka dikawal, saya yang akan menemani.” Baron kembali berkata dengan hati-hati.
“Kau ini cerewet sekali,” gumam Lucas malas. “Aku seperti bayi besar.”
Baron mengatupkan mulutnya, ucapan pria itu berhasil membuatnya ingin tertawa.
“Aku di sini untuk liburan, jadi jangan mengganggu. Apa pun yang kulakukan itu menjadi urusanku.”
“Anda tidak bisa melakukannya, Signore. Jati diri bisa—”
“Tutup mulutmu, Baron!” sentak Lucas dengan keras.
Pria itu berjalan semakin cepat dan tanpa terasa sudah sampai di hotel. Tanpa peduli dengan sapaan ramah para petugas hotel, ia segera menuju ke kamar. Suasana hatinya buruk—sangat buruk.
❥❥❥
“Lihat! Badanmu masih demam. Kau menyakiti dirimu sendiri, Alexa.” Seruan itu terdengar ketika tubuhnya sedikit menggigil karena dingin.
Emily mengomel ketika menyentuh keningnya yang panas.
“Duduk diam, biar aku yang melayani pelanggan.”
“Tapi—”
Emily tak peduli, wanita itu melotot tajam dengan bibir yang lurus terlihat datar, tanda bahwa dia tak ingin dibantah.
“Duduklah. Suasana tidak begitu ramai. Kami masih bisa mengatasinya,” sahut Luca.
“Jangan memaksa, Alex.” Sergio menimpali.
Mata Alexa berkaca-kaca, walaupun hidup seorang diri tetapi dia tak pernah benar-benar sendirian. Banyak orang-orang baik yang mengelilingi.
“Makan ini dan minum obat. Kau ini benar-benar keras kepala.” Donato—sang koki membawakan sepiring makanan lebih dari menu yang dimasak.
Waktu masih menunjukkan pukul dua siang, masih ada beberapa jam lagi menunggu waktu pulang. Setelah makan dan minum obat, Alexa berada di gudang yang telah disulap sebagai tempat istirahat dengan satu kasur lantai. Beberapa barang terlihat menumpuk di sudut ruangan. Tempat ini bersih dan lumayan nyaman untuk sekadar melepas lelah.
Obat yang mulai menyerap membuat matanya terlihat berat dan lama-lama terpejam.
Sementara sosok pria yang baru memasuki restoran terlihat mengedarkan pandangan, mencari sosok wanita yang ditemui semalam.
Pelayan datang dan menanyakan pesanan, ia menyebutkan beberapa makanan dan minuman yang diinginkan.
Pria itu mendongak dan mencari Alexa, tetapi dari semua pelayan yang berlalu lalang, tak ditemukan adanya wanita itu.
Ada perasaan resah yang sulit diartikan.
Saat pelayan mengantarkan pesanan, pria itu memberanikan diri bertanya, “Alexa tidak bekerja?” Terlihat jelas wanita itu terkejut, tangannya yang akan meletakkan piring terhenti sejenak.
Wanita itu mendongak sekilas hanya untuk menatap sosok pria yang mencari sahabatnya. “Alexa sedang tidak sehat. Dia sedang istirahat, Signore,” sahutnya, langsung berbalik pergi.
Mendengar wanita yang dicari ternyata sedang sakit, ada perasaan yang tak bisa dijelaskan. Sakit apa wanita itu? Semalam memang dia tampak tak sehat, batinnya.
Lucas menyantap makanan sedikit kurang bersemangat. Setelah selesai makan, pria itu segera pergi.
❥❥❥
Pukul empat, Emily membangunkan Alexa yang masih terlelap. Terlihat buliran keringat membasahi kening membuatnya tak tega.
“Alexa, mi caro, bangun.” Tangan itu mengusap kening Alexa lembut.
Beberapa menit kemudian terlihat mata itu mengerjap beberapa kali sebelum terbuka.
“Sudah waktunya pulang, ya?” tanya Alexa dengan suara serak.
Emily mengangguk. “Kau pulang saja dulu. Aku harus lembur karena malam ini restoran akan disewa untuk perayaan ulang tahun.”
Perlahan Alexa bangkit dan duduk dengan tegak. Dia menatap Emily sendu.
“Aku tak bisa ikut lembur, kepalaku masih pusing. Maaf tak bisa membantu,” ucap Alexa pelan, memijat hidungnya pelan.
“Tak apa, pulanglah.”
Segera Alexa bangkit dan keluar dari ruangan tersebut. Dia mengambil tas dan ponselnya yang ada di loker sebelum pamit pada teman-temannya.
“Hati-hati, Alex.”
Alexa mengangguk dan segera keluar dari restoran. Berjalan dengan langkah pelan menyusuri jalanan yang sudah hampir lima tahun dilewati setiap hari.
Langkah kakinya terhenti sejenak ketika merasakan serangan sakit kepala yang menghantam. Dia sampai minggir, memejamkan mata akibat nyeri yang membuat tubuhnya hampir saja merosot.
“Jangan pingsan di sini, Alexa. Itu sangat tidak keren dan memalukan,” gumamnya lirih.
Jalanan yang dilalui lumayan ramai dengan lalu lalang pejalan kaki.
Setelah menghela napas berkali-kali, dia mencoba kembali melangkah, menguatkan tubuhnya agar cepat sampai di rumah.
“Alexa!” Terdengar sapaan yang membuatnya menghentikan langkah, kepalanya mendongak.
Pria itu ada di depannya dengan jarak beberapa meter.
“Hai, Luke,” sapa Alexa, tersenyum tipis.
Baru beberapa langkah Alexa ingin mendekati pria itu. Tiba-tiba tubuhnya lunglai dan merosot dengan kesadaran yang hampir hilang.
“Alexa!”
“Alexa!”
“Ada apa denganmu? Alexa, wake up.”
Samar-samar dia mendengar suara yang terdengar khawatir, tetapi matanya enggan terbuka.
Dia hanya merasakan tubuhnya terangkat sebelum benar-benar tak sadarkan diri.
❥❥❥
Tanpa memedulikan reaksi terkejut disekitarnya, Lucas segera mengangkat tubuh wanita itu dan segera berlari menuju klinik terdekat setelah ada yang memberitahu letaknya.
Dia dapat merasakan hawa panas dari tubuh Alexa saat mendekapnya. Kekhawatiran menyelimuti ketika melihat wajah putih tersebut begitu pucat.
Sesaat dia bisa bernapas lega ketika melihat klinik yang sudah ada di depan mata. Sesampainya di sana para perawat dengan sigap segera mengambil tindakan ketika tubuh tak berdaya tersebut dibaringkan di ranjang.
Tak lama dokter datang dan segera memeriksa kondisi tubuh Alexa.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Dok?” tanya Lucas dengan suara tertahan.
“Kondisi tubuh pasien sangat lemah, juga demam yang sangat tinggi bisa saja membuatnya kejang. Saya sarankan untuk pasien dirawat lebih dulu supaya kami bisa memantau perkembangannya.”
Lucas mengangguk. “Lakukan apa pun yang terbaik, Dokter,” sahutnya, matanya tak lepas mengamati kondisi Alexa yang terkulai tak berdaya.
“Anda bisa mengurus administrasi lebih dulu, Signore.” Salah satu perawat membuatnya menoleh dan mengangguk mengerti.
Ada perasaan tidak rela menyusup ke relung hatinya ketika harus meninggalkan Alexa walau hanya sesaat.
Lucas segera menuju ke bagian administrasi setelah menitipkan Alexa pada salah satu perawat yang kebetulan masih ada di sana.
Setelah menyelesaikan administrasi, dia kembali ke ruangan, tetapi Alexa sudah tak ada di sana. Dia sedikit panik, kemana perginya Alexa? Dalam kondisi tubuh yang lemah, tak mungkin wanita itu bisa pergi jauh.
Saat sedang dilanda kebingungan, dia melihat perawat yang tadi menjaga Alexa.
“Di mana pasien di ruangan ini?”
“Nona tadi sudah dipindahkan ke ruangan VIP sesuai permintaan Anda, Signore.” Lucas mengembuskan napas lega, tubuh yang tadinya menegang perlahan mulai mengendur.
Kecemasan berlebihan. Ini memang hal di luar kendalinya.
Saat melangkah memasuki ruang rawat yang didominasi oleh bau obat-obatan, dia bisa melihat Alexa masih setia dengan mata yang terpejam dan wajahnya yang seputih kapas.
Tangannya menarik kursi dan mendekatkan ke arah ranjang. Lucas duduk dan menatap Alexa yang masih tetap cantik walaupun dalam kondisi sakit.
Hidung mancung, bulu mata yang lentik dan kulitnya yang putih juga mulus membiusnya hingga tanpa aba-aba tangannya menyentuh lembut tangan Alexa.
“Alexa, magnet apa yang kau miliki hingga sesuatu terus menarik diriku untuk mendekat?”
To Be Continue
Alexa terjaga, dia melihat tubuhnya terbaring lemah dengan selang infus yang menancap di punggung tangan. Matanya mengedar mengamati sekeliling dengan seksama. Dia bisa menebak di mana dirinya berada, tetapi siapa yang membawanya ke tempat ini. Perlahan tubuhnya dipaksa untuk duduk, tetapi rasa nyeri dari punggung tangan membuatnya meringis pelan. Kenapa rasanya sakit sekali? batinnya bertanya. Tangannya yang terpasang infus diangkat tinggi-tinggi. Di bawah cahaya lampu yang terang, dia bisa melihat ada bekas tusukan di beberapa titik. Dengar helaan napas kasar dari bibirnya. Kepalanya menoleh, menatap jam dinding yang tergantung di atas sana. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, selama itukah dirinya tak sadarkan diri? Seingatnya dia berada di gang menuju tempat tinggalnya, dia melihat Lucas dan tiba-tiba sudah ada di sini. Kepalanya mencari tas untuk mencari p
Setelah memastikan bahwa Alexa telah terlelap, dia memilih ikut memejamkan mata akibat serangan rasa kantuk yang melanda.Bibirnya tertarik membentuk lengkungan tipis ketika menyadari bahwa sikap Alexa bukan hanya keras kepala, tetapi juga pemberani. Tidak ada orang yang akan menentang ucapannya, tetapi wanita ini sudah menentangnya berkali-kali bahkan melemparkan guyonan yang justru membuatnya merasa iba.Seharusnya dia akan marah ketika ada seseorang yang membantah ucapannya, tetapi dengan Alexa, alih-alih ingin marah dia justru semakin khawatir.Baru juga matanya terpejam, suara getaran ponsel membuatnya bangun dan melihat siapa yang menghubungi.Setelah mematikan panggilan, Lucas keluar dari ruangan setelah memastikan bahwa Alexa benar-benar tidur dengan nyenyak.Di depan ruangan dia sudah disambut dengan Baron yang mengulurkan sebuah kotak kecil berisi charger untuk ponsel A
Setelah dirawat di rumah sakit selama empat hari, Alexa sudah diizinkan pulang. Selama itu pula Lucas selalu menamaninya sepanjang waktu.Setiap pagi dan sore, Emily selalu datang dengan membawa makanan. Terakhir kali para sahabatnya yang bekerja di restoran juga turut hadir untuk menjenguknya dan berkenalan dengan Lucas.Dia sungguh bersyukur dikelilingi oleh orang-orang baik dan sangat menyayanginya.Setelah mengurus semua administrasi, dia diantar oleh Lucas ke apartemen.“Duduklah, aku akan membuatkan minum. Kau mau minum apa?”Untunglah tempat tinggalnya selalu rapi dan bersih, jadi dia tak begitu terganggu saat menerima tamu.“Tidak perlu, Alexa. Kau duduk saja, jangan banyak melakukan pekerjaan. Kau masih harus istirahat, keadaanmu masih lemah,” jawab Lucas, matanya mengedar memandang sekitar ruang tamu.&ld
Lucas sudah ada di depan pintu apartemen Alexa. Tangannya membawa sebuket bunga dan sekotak makanan manis yang tadi dibeli oleh Baron.Setelah menekan bel beberapa kali, terdengar suara teriakan dari dalam dan tak lama pintu terbuka.“Oh, Luke,” ucap Alexa, mendadak gugup melihat kedatangannya.Penampilan wanita itu terlihat sedikit berantakan, pakaian yang dipakai membuat bentuk tubuhnya terlihat seksi, kulit putihnya bersinar.“Boleh aku masuk?” tanya Lucas dengan tersenyum.“Oh, ya, silakan.” Alexa menyingkir dan membiarkannya masuk, setelah itu menyusulnya dan duduk di sofa tunggal.Lucas menyerahkan bunga dan kotak makanan manis ke arah Alexa.“Grazie, Luke. Kau tak perlu repot-repot seperti ini,” ucap Alexa menerima. Dia mencium bunga segar tersebut dengan senyum lebar.
Alexa melangkah keluar apartemen sambil mengenakan mantel tebal yang membungkus tubuhnya. Dia mendongak menatap langit yang mendung. Tangannya mengeratkan mantel di tubuh, bibirnya meniup udara dengan sedikit bergetar. “Hai, Luke,” sapa Alexa saat melihat Luke sudah berdiri di depan gedung apartemen. Pria itu terlihat menoleh dan tersenyum menyambut dirinya. “Hai, semoga kau benar-benar tak keberatan menemaniku, Alexa.” Wanita itu tersenyum dan menggeleng pelan. Lucas mengamati saat Alexa sudah berdiri di depannya. Rambut berwarna cokelat pirang itu terlihat kusut, wajahnya pucat, tirus dan penuh semangat. Penampilannya apa adanya, amat sederhana karena tak ada aksesoris apa pun yang menempel pada tubuh. Namun sama sekali tak mengurangi kecantikan yang dimiliki. Alexa menoleh dan tersenyum. “Ayo, aku sudah siap,” ucapnya. Belum mereka berdua melangkah, teriakan melengking dari suara yang begitu dikenal membuat keduanya menoleh. Emily—wanita itu melongok d
Alexa pernah berkata bahwa tidak ada alasan untuk menjadi cengeng, tetapi hari ini justru dia terlihat mengusap sudut mata beberapa kali ketika Lucas dengan tanpa aba-aba mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Ada gelombang aneh yang menggetarkan hati ketika pria itu membahas tentang hubungan. Membuatnya mengingat sesuatu yang menyesakkan dada.“Apa ucapanku salah, Alexa?” tanya suara di belakang tubuh yang mengejutkan.Wanita itu segera mengusap bulir bening di pipi sebelum berbalik dan memamerkan senyum tipis yang terlihat dipaksakan.“Tidak, aku hanya … terkejut.”“Maaf jika ucapanku terlalu tiba-tiba. Venesia dan dirimu sama-sama membuatku terpesona.”Blush!Pipi Alexa merona mendengar ucapan Lucas yang membuat suhu dingin menjadi begitu panas. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain, enggan menatap pria yang kini tengah mengamatinya dalam diam.“Sedang merayuku, Signore?” “No, kau memang memesona. S
Malam kedua, seperti sebelumnya Lucas menjemput Alexa di flat tempat tinggalnya. Wajah wanita itu tampak lelah, bahkan cara jalannya saja terkesan lambat, membuat Lucas ingin mengurungkan niat untuk berjalan-jalan.“Tampaknya kau lelah,” ucap Lucas.Alexa tersenyum tipis. “Sedikit. Hari ini restoran begitu ramai, kebetulan ada rekanku yang tak masuk, jadi ya begitulah.”“Kalau begitu istirahatlah. Aku tak mau membuatmu semakin lelah.”“Sudahlah, kau terlalu banyak berpikir. Aku tidak apa, mungkin udara segar bisa membuatku kembali bersemangat.”Lucas mengangguk, dia mengikuti Alexa yang sudah melangkah lebih dulu. Mereka menyusuri jalanan sempit sebelum akhirnya menemukan jalanan yang lebih ramai.“Suasana di sini begitu damai,” kata Lucas dengan kagum.“Karena di sini tidak ada kendaraan beroda yang menimbulkan kemacetan, polusi dan sebagainya. Lagipula mobil tidak bisa masuk ke sini.”Lucas mengangguk membenar
Lucas Alexander Robinson, pria tampan dengan sejuta pesona yang luar biasa. Memiliki kehidupan yang diinginkan banyak orang.Harta, takhta dan wanita. Tiga hal itu membuat banyak orang ingin seperti dirinya. Padahal, hidupnya bahkan tak sebaik dan sebahagia yang sering dilihat orang lain.Apa yang dimiliki membuat beberapa orang menjadi iri, tetapi tak ada yang tahu bahwa sebagai putra mahkota, dia memiliki banyak tanggung jawab besar yang harus dipikul.Yang diketahui orang lain hanya saat dirinya bersenang-senang. Pesta mewah di kapal pesiar, keliling dunia, wanita yang mengelilingi.Kehidupan yang ditunjukkan tak ubahnya penuh kepalsuan. Banyak penjilat di sekitar, ada sebagian orang yang mendekat hanya untuk memanfaatkan.Seorang wanita mendekat hanya demi sesuatu yang dimiliki. Namun saat pertama kali melihat Alexa, Lucas sadar bahwa wanita itu berbeda. Bahkan yang membuatnya heran, wanita itu sama sekali tak terpesona dengan paras y