Setelah memastikan bahwa Alexa telah terlelap, dia memilih ikut memejamkan mata akibat serangan rasa kantuk yang melanda.
Bibirnya tertarik membentuk lengkungan tipis ketika menyadari bahwa sikap Alexa bukan hanya keras kepala, tetapi juga pemberani. Tidak ada orang yang akan menentang ucapannya, tetapi wanita ini sudah menentangnya berkali-kali bahkan melemparkan guyonan yang justru membuatnya merasa iba.
Seharusnya dia akan marah ketika ada seseorang yang membantah ucapannya, tetapi dengan Alexa, alih-alih ingin marah dia justru semakin khawatir.
Baru juga matanya terpejam, suara getaran ponsel membuatnya bangun dan melihat siapa yang menghubungi.
Setelah mematikan panggilan, Lucas keluar dari ruangan setelah memastikan bahwa Alexa benar-benar tidur dengan nyenyak.
Di depan ruangan dia sudah disambut dengan Baron yang mengulurkan sebuah kotak kecil berisi charger untuk ponsel Alexa.
“Terima kasih, pulanglah. Malam ini aku menginap di sini,” ucapnya mengusir.
Namun melihat Baron masih setia dan tak beranjak sama sekali membuatnya ikut diam. Sampai beberapa saat kemudian, akhirnya terdengar suara pria itu lagi.
“Signore.”
“Apa! Katakan apa pun yang ingin kau katakan, Baron.”
“Anda tidak boleh melakukan ini. Anda harus ingat —”
“Anda adalah putra mahkota dan pewaris Robinson Inc dan tidak boleh bergaul dengan sembarang orang. Apalagi seorang wanita yang bisa menimbulkan perasaan tertarik, Anda tak boleh melakukannya karena peraturan. Itu, kan yang ingin kau ucapkan?” potong Lucas menirukan gaya bicara Baron ketika mengingatkan sesuatu.
Baron mengatupkan mulutnya lagi. Dia sudah hapal, bahkan sangat hapal bahwa pria yang bersamanya ini berbeda dari anggota keluarga yang lain.
Dia keras kepala dan juga pembangkang.
“Apa aku tidak boleh tertarik dengan lawan jenis, Baron? Bukankah perasaan itu manusiawi dan juga hak semua orang. Kenapa itu tidak berlaku untukku?” Nada ucapan Lucas terdengar frustrasi.
“Itu adalah aturan dan perintah, Signore. Anda sudah tahu jawabannya.”
“Aku paham. Kau berjanji akan tetap setia padaku, kan?”
Baron mengangguk. “Tentu, Signore.”
“Maka apa yang kulakukan, jangan pernah pertanyakan apa pun. Kau yang lebih tahu apa yang aku maksud.”
Baron menunduk sejenak. Dia berada di pilihan yang sulit. Menyetujui permintaan pria ini sama dengan ikut andil menutupi kebohongan.
“Baron!”
“Sí, Signore. Sesuai keinginan Anda.”
Lucas mengangguk puas. Dia maju, menepuk bahu Baron dengan senyum hangat yang jarang ditampilkan.
“Grazie!”
Setelah kepergian Baron, Lucas kembali ke kamar. Selama ini dia tahu bahwa Baron bukan hanya sebagai tangan kanannya saja tetapi juga mata-mata bagi keluarganya. Apa pun yang dilakukan pasti akan sampai di telinga keluarganya.
Namun dia tak bisa menyalahkan apa yang dilakukan Baron. Dia juga tak memiliki kuasa apa pun untuk menolak.
Lucas membuka charger baru sesuai pesanannya dan mengisi daya untuk ponsel Alexa.
Diam-diam dia tertarik untuk mendekat ke arah ranjang. Wajah Alexa terlihat begitu tenang dan tanpa beban. Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya.
Tubuhnya menunduk dan tiba-tiba mendekat memberikan kecupan singkat di kening Alexa.
“Semoga cepat sembuh mio caro.”
❥❥❥
“Alexa, kenapa baru memberikan kabar jika kau dirawat di rumah sakit. Sepanjang malam aku khawatir denganmu. Astaga! Apa kau baik-baik saja?”
Suara menggelegar milik Emily menggema saat wanita itu masuk dan melihatnya bersandar.
Tanpa peduli dengan sekitarnya, wanita itu langsung menyerbu dengan berbagai pertanyaan sampai Alexa meringis karena Emily masih belum menyadari kehadiran sosok lain di dalam ruangan.
“Duduklah. Oke, tenang. Aku sudah baik-baik saja, tidak perlu cemas. Semalam ponselku kehabisan daya saat aku ingin menghubungimu.”
“Kau yakin sudah baik-baik saja?” Emily bertanya memastikan.
“Yakin. Aku sudah membaik.”
“Lalu siapa yang membawamu ke rumah sakit? Aku khawatir. Kukira kau mati di dalam apartemen, syukurlah kau masih bernapas sampai saat ini.” Alexa menghadiahi pukulan pelan di bahu Emily yang setiap ucapannya selalu seenaknya.
“Sembarangan!”
“Siapa yang membawamu ke sini?” ulang Emily.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang berdeham membuat Emily membelalak kaget. Dia menoleh dan mendapati seorang pria duduk di sofa dengan wajah yang kusut tetapi tak membuat kesan tampan surut dari pandangan.
“Oh, tampannya,” seru Emily dengan mata berbinar.
“Dia benar-benar manusia atau malaikat yang ingin menjemputmu, Alex?” tanya Emily, sama sekali tak mengalihkan pandangan saat melontarkan pertanyaan.
“Emily!” desis Alexa menahan malu.
Setidaknya sikap memalukan itu jangan ditunjukkan pada orang lain. Astaga!
Lucas segera bangun dan mendekati kedua wanita itu. Dia ingin sekali tertawa melihat ekspresi dari sahabat Alexa yang menurutnya terlalu berlebihan.
“Hai, kita bertemu lagi. Namaku Lucas, kau bisa memanggilku Luke saja. Aku yang membawa Alexa ke sini karena tidak sengaja menemukannya pingsan di jalan,” jelas Lucas, mengulurkan tangan ke arah wanita yang masih mematung tersebut.
Setelah tersadar, Emily menjabat tangan Lucas. “Wah, tangannya kuat Alexa,” gumamnya lirih, tetapi masih dapat didengar jelas.
Lucas hanya menanggapinya dengan senyuman, dan itu semakin membuat Emily seperti tertimpa bulan.
“Astaga! Astaga! Senyumnya begitu mempesona.” Emily terus berkomentar tak karuan, dia masih menggenggam tangan Lucas hingga sang empunya berdeham.
“Oh, maaf. Namaku Emily, sahabat sekaligus keluarga Alexa.”
“Senang melihatmu lagi, Emily.”
Saat Emily masih memindai wajah Lucas, dia ingat sesuatu. Suara memekik membuat kedua orang tersebut terperanjat.
“Yang mencari Alexa, kan?”
Lucas mengangguk.
“Terima kasih sudah menolong Alexa.” Emily mulai bersikap kembali normal.
Setelah Lucas pamit ke kamar mandi, Alexa menatap sahabatnya seolah bertanya maksud ucapannya.
“Dia mencari dirimu saat di restoran. Waktu itu kau sedang istirahat di gudang,” jelas Emily.
“Buat apa dia mencariku?”
“Mana kutahu. Tanyakan saja padanya!”
“Kau tidak bekerja? Jangan libur, Emily. Kau bisa datang saat pulang nanti,” ucap Alexa.
“Bilang saja kau ingin terus berduaan dengan pria tampan itu, kan?”
“Sembarangan. Dia bukan pria biasa.”
Emily mengangguk. “Aku tahu.” Siapa pun pasti bisa menebak jika Lucas bukan pria biasa. Dari penampilannya sudah sangat jelas dan aura berwibawa yang dibawa pria itu begitu kuat.
“Dan kau tahu aku menghindari jajaran pria seperti itu,” sahut Alexa.
“Keras kepala,” desis Emily yang tak habis pikir dengan sahabatnya.
“Cerewet!”
Keduanya terkekeh setelah saling adu mulut. Itu sudah biasa dilakukan.
“Ini aku membawa makanan, cukup untukmu sarapan dengan Luke. Aku akan berangkat, kau baik-baik di sini. Aku akan datang nanti.”
Sebenarnya Emily membawa dua porsi sarapan karena berniat menjaga sahabatnya, tetapi saat melihat ada orang lain yang menjaga Alexa dia putuskan untuk tetap bekerja.
“Sampaikan keadaanku pada Madam Anne.”
“Sí,” ucap Emily, memberikan kecupan di pipi Alexa sebelum pergi.
❥❥❥
Diam-diam pembicaraan kedua wanita tersebut didengar oleh Lucas yang ada di kamar mandi. Pria itu tak benar-benar sedang mandi, dia sengaja menyalakan air tetapi sosoknya ada dibalik pintu dan menajamkan telinga untuk menguping pembicaraan mereka.
“Dan kau jelas tahu bahwa aku menghindari jajaran pria seperti itu.”
Saat kalimat itu terucap, Lucas merasakan keanehan. Seperti ada yang disembunyikan oleh Alexa.
Sebenarnya pria macam apa yang sedang dibicarakan. Dia jadi penasaran apa maksudnya, tetapi sayang obrolan itu tak dilanjutkan lagi.
Lucas segera mandi dan berganti pakaian. Setelah itu dia keluar dan mendapati Alexa sendirian.
“Lho, di mana sahabatmu?” tanya Lucas berpura-pura tidak tahu.
“Sudah berangkat.”
“Aku ingin mandi, tapi tidak ada yang membantu,” keluh Alexa pelan.
“Mau dibantu? Kapan saja aku siap sedia,” sahut Lucas membuat pipi Alexa memerah.
Lucas terkekeh pelan bisa menggoda Alexa. Dia suka ketika melihat wanita itu tersipu malu dengan pipi memerah.
Alexa terlihat semakin menggemaskan.
“Sebentar lagi perawat akan mengantar makanan.”
Alexa menggeleng. “Aku tidak suka makanan rumah sakit. Hambar dan tidak enak,” sahutnya. Walaupun dia jarang memakan makanan lezat, tetapi makanan rumah sakit yang hambar tentu juga bukan pilihan yang menyenangkan.
“Emily membawa sarapan. Aku mau makan itu saja, kebetulan dia membawa dua porsi. Jika kau mau, ayo sarapan bersama.”
Lucas mengangguk. “Boleh,” sahutnya tanpa penolakan.
Sebenernya dia tipe pemilih, tetapi menolak ajakan Alexa khawatir membuatnya meninggalkan kesan buruk.
Segera Lucas mengambil bungkusan yang ada di atas meja dan membukanya. Risotto dan lasagna tersusun rapi di sebuah wadah plastik yang menurut Lucas sama sekali tidak higienis.
Dia menelan saliva susah payah. Membayangkan rasa makanan tersebut tiba-tiba membuatnya tidak berselera.
“Aku akan membantumu,” ucap Lucas, mengambil satu piring saja.
Sepertinya pria itu sedang ingin merasakan sensasi nikmatnya makan dalam satu piring berdua.
“Kau makan saja. Aku bisa sendiri, Luke.”
Lucas hanya memutar bola matanya malas. Wanita ini selalu saja menolak apa pun yang ingin dilakukan.
“Tanganmu sakit, Alexa. Aku hanya ingin membantumu, tidak lebih,” sahut Lucas penuh penekanan.
Mau tak mau karena menyadari kondisinya, Alexa akhirnya pasrah. Dia membiarkan Lucas membantunya sarapan di satu piring dan sendok yang sama.
Sangat perhatian dan hati-hati, itulah kesan yang ditangkap Alexa pada diri Lucas.
“Masakan sahabatmu ternyata lezat, ya.” Lucas mulai menikmati makanan walau awalnya ragu.
Alexa terkekeh. “Biasa saja,” sahutnya. Karena memang tak ada yang spesial dari rasanya.
“Aku suka,” tambah Lucas.
Suka rasa bibirmu. Anggap saja ini ciuman yang tertunda, batin hatinya.
Tangan Lucas terulur mengusap ujung bibir Alexa yang menyisakan bekas makanan.
Dia menatap Alexa intens. Jantungnya langsung berdebar dengan keras. Terkejut dan juga ada perasaan aneh yang tiba-tiba timbul dan tenggelam.
“Luke!”
To Be Continue
Setelah dirawat di rumah sakit selama empat hari, Alexa sudah diizinkan pulang. Selama itu pula Lucas selalu menamaninya sepanjang waktu.Setiap pagi dan sore, Emily selalu datang dengan membawa makanan. Terakhir kali para sahabatnya yang bekerja di restoran juga turut hadir untuk menjenguknya dan berkenalan dengan Lucas.Dia sungguh bersyukur dikelilingi oleh orang-orang baik dan sangat menyayanginya.Setelah mengurus semua administrasi, dia diantar oleh Lucas ke apartemen.“Duduklah, aku akan membuatkan minum. Kau mau minum apa?”Untunglah tempat tinggalnya selalu rapi dan bersih, jadi dia tak begitu terganggu saat menerima tamu.“Tidak perlu, Alexa. Kau duduk saja, jangan banyak melakukan pekerjaan. Kau masih harus istirahat, keadaanmu masih lemah,” jawab Lucas, matanya mengedar memandang sekitar ruang tamu.&ld
Lucas sudah ada di depan pintu apartemen Alexa. Tangannya membawa sebuket bunga dan sekotak makanan manis yang tadi dibeli oleh Baron.Setelah menekan bel beberapa kali, terdengar suara teriakan dari dalam dan tak lama pintu terbuka.“Oh, Luke,” ucap Alexa, mendadak gugup melihat kedatangannya.Penampilan wanita itu terlihat sedikit berantakan, pakaian yang dipakai membuat bentuk tubuhnya terlihat seksi, kulit putihnya bersinar.“Boleh aku masuk?” tanya Lucas dengan tersenyum.“Oh, ya, silakan.” Alexa menyingkir dan membiarkannya masuk, setelah itu menyusulnya dan duduk di sofa tunggal.Lucas menyerahkan bunga dan kotak makanan manis ke arah Alexa.“Grazie, Luke. Kau tak perlu repot-repot seperti ini,” ucap Alexa menerima. Dia mencium bunga segar tersebut dengan senyum lebar.
Alexa melangkah keluar apartemen sambil mengenakan mantel tebal yang membungkus tubuhnya. Dia mendongak menatap langit yang mendung. Tangannya mengeratkan mantel di tubuh, bibirnya meniup udara dengan sedikit bergetar. “Hai, Luke,” sapa Alexa saat melihat Luke sudah berdiri di depan gedung apartemen. Pria itu terlihat menoleh dan tersenyum menyambut dirinya. “Hai, semoga kau benar-benar tak keberatan menemaniku, Alexa.” Wanita itu tersenyum dan menggeleng pelan. Lucas mengamati saat Alexa sudah berdiri di depannya. Rambut berwarna cokelat pirang itu terlihat kusut, wajahnya pucat, tirus dan penuh semangat. Penampilannya apa adanya, amat sederhana karena tak ada aksesoris apa pun yang menempel pada tubuh. Namun sama sekali tak mengurangi kecantikan yang dimiliki. Alexa menoleh dan tersenyum. “Ayo, aku sudah siap,” ucapnya. Belum mereka berdua melangkah, teriakan melengking dari suara yang begitu dikenal membuat keduanya menoleh. Emily—wanita itu melongok d
Alexa pernah berkata bahwa tidak ada alasan untuk menjadi cengeng, tetapi hari ini justru dia terlihat mengusap sudut mata beberapa kali ketika Lucas dengan tanpa aba-aba mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Ada gelombang aneh yang menggetarkan hati ketika pria itu membahas tentang hubungan. Membuatnya mengingat sesuatu yang menyesakkan dada.“Apa ucapanku salah, Alexa?” tanya suara di belakang tubuh yang mengejutkan.Wanita itu segera mengusap bulir bening di pipi sebelum berbalik dan memamerkan senyum tipis yang terlihat dipaksakan.“Tidak, aku hanya … terkejut.”“Maaf jika ucapanku terlalu tiba-tiba. Venesia dan dirimu sama-sama membuatku terpesona.”Blush!Pipi Alexa merona mendengar ucapan Lucas yang membuat suhu dingin menjadi begitu panas. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain, enggan menatap pria yang kini tengah mengamatinya dalam diam.“Sedang merayuku, Signore?” “No, kau memang memesona. S
Malam kedua, seperti sebelumnya Lucas menjemput Alexa di flat tempat tinggalnya. Wajah wanita itu tampak lelah, bahkan cara jalannya saja terkesan lambat, membuat Lucas ingin mengurungkan niat untuk berjalan-jalan.“Tampaknya kau lelah,” ucap Lucas.Alexa tersenyum tipis. “Sedikit. Hari ini restoran begitu ramai, kebetulan ada rekanku yang tak masuk, jadi ya begitulah.”“Kalau begitu istirahatlah. Aku tak mau membuatmu semakin lelah.”“Sudahlah, kau terlalu banyak berpikir. Aku tidak apa, mungkin udara segar bisa membuatku kembali bersemangat.”Lucas mengangguk, dia mengikuti Alexa yang sudah melangkah lebih dulu. Mereka menyusuri jalanan sempit sebelum akhirnya menemukan jalanan yang lebih ramai.“Suasana di sini begitu damai,” kata Lucas dengan kagum.“Karena di sini tidak ada kendaraan beroda yang menimbulkan kemacetan, polusi dan sebagainya. Lagipula mobil tidak bisa masuk ke sini.”Lucas mengangguk membenar
Lucas Alexander Robinson, pria tampan dengan sejuta pesona yang luar biasa. Memiliki kehidupan yang diinginkan banyak orang.Harta, takhta dan wanita. Tiga hal itu membuat banyak orang ingin seperti dirinya. Padahal, hidupnya bahkan tak sebaik dan sebahagia yang sering dilihat orang lain.Apa yang dimiliki membuat beberapa orang menjadi iri, tetapi tak ada yang tahu bahwa sebagai putra mahkota, dia memiliki banyak tanggung jawab besar yang harus dipikul.Yang diketahui orang lain hanya saat dirinya bersenang-senang. Pesta mewah di kapal pesiar, keliling dunia, wanita yang mengelilingi.Kehidupan yang ditunjukkan tak ubahnya penuh kepalsuan. Banyak penjilat di sekitar, ada sebagian orang yang mendekat hanya untuk memanfaatkan.Seorang wanita mendekat hanya demi sesuatu yang dimiliki. Namun saat pertama kali melihat Alexa, Lucas sadar bahwa wanita itu berbeda. Bahkan yang membuatnya heran, wanita itu sama sekali tak terpesona dengan paras y
Alexa menarik tangannya perlahan. Dia menatap manik mata pria itu serius.“Jangan menunggu, itu adalah sesuatu hal yang membosankan.” Mengalihkan pandangan ke arah lain.“Sampai kau menjawabnya, Alexa.”“Aku tidak bisa,” kata Alexa diiringi helaan napas panjang.Mengapa harus aku? Di luar sana banyak wanita yang bersedia menerimamu, tapi itu bukan aku, Luke, batin Alexa.“Apa kurangnya aku?” tanya Lucas dengan mimik wajah serius.“Tidak ada yang kurang darimu. Hanya saja, aku benar-benar tidak berniat dan tidak ingin terjebak dalam sebuah hubungan.”Deg!Apa maksud ucapan itu, Lucas bertanya-tanya dalam hati dengan tubuh yang menegang karena terkejut.“Kenapa?”Alexa hanya menggeleng tanpa mau menjawab.“Kau pernah patah hati. Itu yang menjadi alasanmu, kan?” Pria itu sepertinya tak menyerah.“Bisa jadi,” sahut Alexa sambil terkekeh pelan. Sama sekali tak menanggapi ucapan pri
Alexa memasuki restoran dengan malas. Dia sama sekali tak bersemangat, tubuhnya lunglai dengan lingkar mata yang terlihat mengerikan. Wanita itu terjaga sepanjang malam ketika membayangkan apa yang telah dilakukan.Itu gila dan di luar kesadaran. Demi Tuhan dia benar-benar merasa dirinya sudah tak waras.“Hi, Alexa. Ada apa denganmu?” sapa Luca dengan menyentuh bahunya pelan.“Aku mengantuk.” Alexa menelungkup tangan di atas meja dan membenamkan kepalanya di sana dengan kepala terpejam.“Kau begadang?”“Alexa sedang terpapar virus cinta,” sahut Emily yang baru saja datang.“Wah, apa aku ketinggalan berita. Kau sudah memiliki kekasih, Alexa?”“Jangan dengarkan Emily. Dia memang pengacau,” kata Alexa dengan serak.“Sudah dibilang suruh terima. Dia terlihat seperti pria baik, juga jutawan dari negara antah berantah.”“Aku senang jika kau memang menemukan pria baik yang akhirnya mampu mencairkan gunung es.”