Setelah dirawat di rumah sakit selama empat hari, Alexa sudah diizinkan pulang. Selama itu pula Lucas selalu menamaninya sepanjang waktu.
Setiap pagi dan sore, Emily selalu datang dengan membawa makanan. Terakhir kali para sahabatnya yang bekerja di restoran juga turut hadir untuk menjenguknya dan berkenalan dengan Lucas.
Dia sungguh bersyukur dikelilingi oleh orang-orang baik dan sangat menyayanginya.
Setelah mengurus semua administrasi, dia diantar oleh Lucas ke apartemen.
“Duduklah, aku akan membuatkan minum. Kau mau minum apa?”
Untunglah tempat tinggalnya selalu rapi dan bersih, jadi dia tak begitu terganggu saat menerima tamu.
“Tidak perlu, Alexa. Kau duduk saja, jangan banyak melakukan pekerjaan. Kau masih harus istirahat, keadaanmu masih lemah,” jawab Lucas, matanya mengedar memandang sekitar ruang tamu.
“Hanya membuatkan minum tak akan membuatku lelah, Luke. Sudah duduk saja, aku tak apa.” Alexa pergi ke dapur dan membuatkan secangkir kopi hitam menggunakan mesin.
Tak lama dia kembali dengan dua cangkir berisi kopi dan susu hangat.
“Grazie,” ucap Lucas, menerima secangkir kopi yang diberikan.
“Seharusnya aku yang mengatakan itu, Luke. Terima kasih banyak kau telah banyak membantu, aku berutang banyak padamu. Untuk biaya rumah sakit, aku akan mencicilnya setiap bulan jika kau tak keberatan.” Alexa tersenyum sungkan.
“Sudah kukatakan kau tak perlu memikirkannya. Aku tak perlu uangmu, Alexa.”
Alexa terkekeh pelan. “Aku tahu uangmu banyak, tapi aku tak suka berutang Luke.”
Pria itu mendengkus pelan, benar-benar keras kepala, pikirnya.
“Aku tidak menghitungnya sebagai utang, Alexa. Sudahlah jangan dipikirkan,” sanggah Lucas malas.
“Aku tetap akan membayarnya setiap bulan.”
Lucas memutar bola matanya. “Dan aku tetap akan menolaknya!” sahutnya tegas.
“Jangan melihatku karena iba. Aku tidak suka dikasihani meskipun hidupku memang kurang beruntung,” ucap Alexa pelan, kepalanya menunduk menatap cangkir yang dipegang.
Lucas tahu itu. Sejak pertemuan pertamanya dia bisa menebak bahwa Alexa adalah sosok yang tidak mudah menyerah dan tak mau menganggap semuanya bagai angin lalu.
“Jangan bicara seperti itu. Justru Aku kagum denganmu, Alexa. Kau wanita hebat yang tidak mudah menyerah.”
“Karena hanya itu yang bisa kumiliki. Kau lihat kan, aku hanya pelayan restoran dengan gaji beberapa poundsterling dan tinggal di tempat kumuh seperti ini. Jika mudah menyerah, akan jadi apa hidupku nanti. Aku hanya bisa mengandalkan diriku sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.” Alexa menggeleng pelan, merasa hidupnya sendiri begitu menyedihkan.
Lucas mengangguk setuju.
Dia salut dengan pemikiran tersebut. Jangan pernah menggantungkan hidup pada orang lain. Terkadang terlalu tinggi harapan, maka terlalu banyak pula kecewa yang akan diterima jika apa yang diinginkan tidak sesuai.
“Oh, ya, aku minta nomor ponselmu,” ucap Lucas.
Alexa segera menyebutkan nomor ponselnya dan Lucas menyimpan nomor tersebut dengan nama yang membuat hati bisa berdebar.
Mi Amore, dengan emoticon berbentuk hati.
“Jangan lupa simpan nomorku,” ucap Lucas setelah dia mengirimkan pesan ke nomor Alexa.
“Tentu,” sahut Alexa, diiringi senyum tipis yang begitu manis.
Selalu mengulas senyum ramah dan hangat yang begitu menenangkan membuat Lucas bisa menyimpulkan bahwa wanita ini lebih suka memendam apa yang dirasakan, menyembunyikan beban hidupnya dengan senyum ceria seolah baik-baik saja.
Dia benar-benar sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Alexa, jantungnya selalu berdebar dengan cepat setiap mereka berdekatan.
Mungkin ini gila, tetapi dia benar-benar merasakannya.
Jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Aku pulang dulu, kau istirahat saja.” Lucas segera bangun dari sofa diikuti Alexa yang mengantarnya sampai di depan pintu.
“Grazie.”
Keduanya bertatapan dengan intens, penuh kekuatan dan daya tarik. Alexa segera memalingkan wajahnya sebelum dia tenggelam.
“Cepat sembuh, Alexa.”
Tiba-tiba Lucas maju dan memeluk Alexa sekilas, memberikan kecupan di pipi sebelum berpaling begitu saja.
Debaran di dada Alexa tak terkendali. Di dalam sana jantungnya menggila, tubuhnya membeku, satu tangannya menyentuh pipi yang tadi dikecup oleh Lucas.
“Luke,” bisik lirih bibirnya yang bergetar.
❥❥❥
Lucas segera kembali ke hotel, selama empat hari menemani Alexa dia sama sekali tak pernah pulang ke hotel. Setiap hari Baron yang membawakan pakaian ganti untuknya ke rumah sakit, pria itu juga yang memastikan bahwa semuanya masih terkendali.
Sesampainya di hotel dia melihat Baron dan dua pengawal lainnya sedang ada di cafe yang tepat bersebelahan dengan hotel.
Mereka bergegas menghampiri ketika melihat sosoknya.
“Signore,” sapa mereka sambil menunduk sopan.
“Aku akan istirahat. Nanti kita akan bicara lagi,” ucapnya, berlalu begitu saja tanpa mendengar sahutan dari tiga pria berjas hitam tersebut.
Lucas membersihkan diri dan memilih tidur sejenak. Selama menjaga Alexa, waktu tidurnya memang terbatas. Tanpa menunggu waktu lama, matanya terpejam dan terlelap dengan damai.
Pukul empat sore, Lucas terbangun dan segera membersihkan diri kemudian memanggil semua orang-orang yang selalu ada di sampingnya.
Dia duduk dengan tenang di sofa tunggal, sementara sepuluh pria lainnya termasuk Baron berdiri di hadapannya, menunggu apa yang ingin disampaikan.
“Aku tahu kalian adalah orang-orang keluargaku, tapi kalian sudah ikut denganku. Artinya kalian adalah orang-orang yang harus kupercaya.” Lucas berkata dengan tegas, wajahnya datar dengan tatapan yang begitu tajam.
“Jika kalian masih ada di pihak orang tuaku, lebih baik kalian kembali ke sisi mereka. Aku hanya butuh orang-orang yang setia padaku apa pun yang terjadi,” sambungnya dengan tatapan mengamati raut wajah mereka.
“Jadi tentukan keputusan kalian!”
“Kami tetap akan setia pada Anda, Signore.”
Baron ikut mengangguk. “Saya sudah katakan, Signore. Kami siap tutup mulut!” timpalnya menyakinkan.
Lucas mengamati raut wajah mereka yang tak menunjukkan kebohongan. Dia tersenyum puas sebelum berkata, “Jadi apa pun yang akan kulakukan, kalian harus tetap diam dan menurut hanya pada perintahku. Mengerti?”
“Kami mengerti!”
“Bagus. Kalian boleh kembali. Nikmati saja liburan kali ini, aku akan pergi ke manapun bersama dengan Baron.”
“Grazie, Signore!”
Lucas menatap datar kepergian mereka, dia menoleh dan mendapati Baron masih diam di tempatnya.
“Apa yang Anda rencanakan, Signore?” tanyanya begitu hati-hati.
“Mendapatkan apa yang seharusnya,” sahut Lucas, senyum samar tersungging di bibirnya. Terlihat misterius dan menyimpan banyak rencana.
To Be Continue
Lucas sudah ada di depan pintu apartemen Alexa. Tangannya membawa sebuket bunga dan sekotak makanan manis yang tadi dibeli oleh Baron.Setelah menekan bel beberapa kali, terdengar suara teriakan dari dalam dan tak lama pintu terbuka.“Oh, Luke,” ucap Alexa, mendadak gugup melihat kedatangannya.Penampilan wanita itu terlihat sedikit berantakan, pakaian yang dipakai membuat bentuk tubuhnya terlihat seksi, kulit putihnya bersinar.“Boleh aku masuk?” tanya Lucas dengan tersenyum.“Oh, ya, silakan.” Alexa menyingkir dan membiarkannya masuk, setelah itu menyusulnya dan duduk di sofa tunggal.Lucas menyerahkan bunga dan kotak makanan manis ke arah Alexa.“Grazie, Luke. Kau tak perlu repot-repot seperti ini,” ucap Alexa menerima. Dia mencium bunga segar tersebut dengan senyum lebar.
Alexa melangkah keluar apartemen sambil mengenakan mantel tebal yang membungkus tubuhnya. Dia mendongak menatap langit yang mendung. Tangannya mengeratkan mantel di tubuh, bibirnya meniup udara dengan sedikit bergetar. “Hai, Luke,” sapa Alexa saat melihat Luke sudah berdiri di depan gedung apartemen. Pria itu terlihat menoleh dan tersenyum menyambut dirinya. “Hai, semoga kau benar-benar tak keberatan menemaniku, Alexa.” Wanita itu tersenyum dan menggeleng pelan. Lucas mengamati saat Alexa sudah berdiri di depannya. Rambut berwarna cokelat pirang itu terlihat kusut, wajahnya pucat, tirus dan penuh semangat. Penampilannya apa adanya, amat sederhana karena tak ada aksesoris apa pun yang menempel pada tubuh. Namun sama sekali tak mengurangi kecantikan yang dimiliki. Alexa menoleh dan tersenyum. “Ayo, aku sudah siap,” ucapnya. Belum mereka berdua melangkah, teriakan melengking dari suara yang begitu dikenal membuat keduanya menoleh. Emily—wanita itu melongok d
Alexa pernah berkata bahwa tidak ada alasan untuk menjadi cengeng, tetapi hari ini justru dia terlihat mengusap sudut mata beberapa kali ketika Lucas dengan tanpa aba-aba mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Ada gelombang aneh yang menggetarkan hati ketika pria itu membahas tentang hubungan. Membuatnya mengingat sesuatu yang menyesakkan dada.“Apa ucapanku salah, Alexa?” tanya suara di belakang tubuh yang mengejutkan.Wanita itu segera mengusap bulir bening di pipi sebelum berbalik dan memamerkan senyum tipis yang terlihat dipaksakan.“Tidak, aku hanya … terkejut.”“Maaf jika ucapanku terlalu tiba-tiba. Venesia dan dirimu sama-sama membuatku terpesona.”Blush!Pipi Alexa merona mendengar ucapan Lucas yang membuat suhu dingin menjadi begitu panas. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain, enggan menatap pria yang kini tengah mengamatinya dalam diam.“Sedang merayuku, Signore?” “No, kau memang memesona. S
Malam kedua, seperti sebelumnya Lucas menjemput Alexa di flat tempat tinggalnya. Wajah wanita itu tampak lelah, bahkan cara jalannya saja terkesan lambat, membuat Lucas ingin mengurungkan niat untuk berjalan-jalan.“Tampaknya kau lelah,” ucap Lucas.Alexa tersenyum tipis. “Sedikit. Hari ini restoran begitu ramai, kebetulan ada rekanku yang tak masuk, jadi ya begitulah.”“Kalau begitu istirahatlah. Aku tak mau membuatmu semakin lelah.”“Sudahlah, kau terlalu banyak berpikir. Aku tidak apa, mungkin udara segar bisa membuatku kembali bersemangat.”Lucas mengangguk, dia mengikuti Alexa yang sudah melangkah lebih dulu. Mereka menyusuri jalanan sempit sebelum akhirnya menemukan jalanan yang lebih ramai.“Suasana di sini begitu damai,” kata Lucas dengan kagum.“Karena di sini tidak ada kendaraan beroda yang menimbulkan kemacetan, polusi dan sebagainya. Lagipula mobil tidak bisa masuk ke sini.”Lucas mengangguk membenar
Lucas Alexander Robinson, pria tampan dengan sejuta pesona yang luar biasa. Memiliki kehidupan yang diinginkan banyak orang.Harta, takhta dan wanita. Tiga hal itu membuat banyak orang ingin seperti dirinya. Padahal, hidupnya bahkan tak sebaik dan sebahagia yang sering dilihat orang lain.Apa yang dimiliki membuat beberapa orang menjadi iri, tetapi tak ada yang tahu bahwa sebagai putra mahkota, dia memiliki banyak tanggung jawab besar yang harus dipikul.Yang diketahui orang lain hanya saat dirinya bersenang-senang. Pesta mewah di kapal pesiar, keliling dunia, wanita yang mengelilingi.Kehidupan yang ditunjukkan tak ubahnya penuh kepalsuan. Banyak penjilat di sekitar, ada sebagian orang yang mendekat hanya untuk memanfaatkan.Seorang wanita mendekat hanya demi sesuatu yang dimiliki. Namun saat pertama kali melihat Alexa, Lucas sadar bahwa wanita itu berbeda. Bahkan yang membuatnya heran, wanita itu sama sekali tak terpesona dengan paras y
Alexa menarik tangannya perlahan. Dia menatap manik mata pria itu serius.“Jangan menunggu, itu adalah sesuatu hal yang membosankan.” Mengalihkan pandangan ke arah lain.“Sampai kau menjawabnya, Alexa.”“Aku tidak bisa,” kata Alexa diiringi helaan napas panjang.Mengapa harus aku? Di luar sana banyak wanita yang bersedia menerimamu, tapi itu bukan aku, Luke, batin Alexa.“Apa kurangnya aku?” tanya Lucas dengan mimik wajah serius.“Tidak ada yang kurang darimu. Hanya saja, aku benar-benar tidak berniat dan tidak ingin terjebak dalam sebuah hubungan.”Deg!Apa maksud ucapan itu, Lucas bertanya-tanya dalam hati dengan tubuh yang menegang karena terkejut.“Kenapa?”Alexa hanya menggeleng tanpa mau menjawab.“Kau pernah patah hati. Itu yang menjadi alasanmu, kan?” Pria itu sepertinya tak menyerah.“Bisa jadi,” sahut Alexa sambil terkekeh pelan. Sama sekali tak menanggapi ucapan pri
Alexa memasuki restoran dengan malas. Dia sama sekali tak bersemangat, tubuhnya lunglai dengan lingkar mata yang terlihat mengerikan. Wanita itu terjaga sepanjang malam ketika membayangkan apa yang telah dilakukan.Itu gila dan di luar kesadaran. Demi Tuhan dia benar-benar merasa dirinya sudah tak waras.“Hi, Alexa. Ada apa denganmu?” sapa Luca dengan menyentuh bahunya pelan.“Aku mengantuk.” Alexa menelungkup tangan di atas meja dan membenamkan kepalanya di sana dengan kepala terpejam.“Kau begadang?”“Alexa sedang terpapar virus cinta,” sahut Emily yang baru saja datang.“Wah, apa aku ketinggalan berita. Kau sudah memiliki kekasih, Alexa?”“Jangan dengarkan Emily. Dia memang pengacau,” kata Alexa dengan serak.“Sudah dibilang suruh terima. Dia terlihat seperti pria baik, juga jutawan dari negara antah berantah.”“Aku senang jika kau memang menemukan pria baik yang akhirnya mampu mencairkan gunung es.”
Alexa merasakan sesak. Tubuhnya seperti terhimpit sesuatu, tetapi begitu nyaman. Namun seketika dia tersadar, bahwa ada yang aneh, ada sesuatu yang memeluk tubuhnya.Perlahan dia membuka mata dan pemandangan yang dilihat pertama kali adalah paras tampan seorang pria. Alexa terdiam, mengagumi ciptaan Tuhan yang ada di depan mata.Tangannya terulur, menyentuh wajah yang terlihat nyata tersebut. Mengusapnya pelan hingga terdengar suara erangan lirih dan manik mata hitam itu menatapnya dengan seulas senyum tipis di sudut bibirnya.“Buongiorno (Selamat pagi), Alexa.”Deg!Suara itu mengapa terdengar begitu nyata. Alexa menarik tangannya dan mengusap wajahnya kasar. Kemudian memberikan jarak kosong yang membuat pria itu mengernyitkan kening bingung.“Ada apa?” tanya pria itu dengan menyentuh bahu Alexa pelan.“Luke?” tanya Alexa dengan suara serak, masih tak menyangka bahwa yang ada di depannya benar-benar nyata. Bukan halusin