“Kita lewati keduanya,” bisik Adit di telinga Langit.
Meski diam, Langit mengekor langkah Adit. Wajahnya dipenuhi lahar merapi yang siap meletus. Menembus beberapa pasangan yang asik berpelukan bahkan berciuman mesra, Langit dan Adit fokus ke arah pasangan yang adegannya mampu membuat darah dan kemurkaan Langit mendidih. Kaos hitam wanita itu telah tertarik ke atas, remasan dan tangan si lelaki sudah memasuki dalamnya. Pemandangan memuakkan, menjijikkan, batin Langit menggerus hati terdalam. Tahu gini, tadi ia menolak diajak Adit ke club. Dan kini, Langit berdiri beberapa senti dari wanita itu. Wanita berkulit putih mulus dengan hidung menawan dambaan para pria. Awalnya si wanita berambut lurus sebahu dengan tubuh 165 cm itu cuek. Terus melumat tanpa ampun. Ciuman bibirnya sedang maksimal dengan desahan khas memabukkan. Namun, ia segera menghentikan aktivitasnya ketika matanya melotot bersitatap langsung dengan mata tajam Langit. Ia tarik kuluman bibirnya dari pasangan. Gegas membenahi kaos yang sudah ke atas tak karuan.“La... Langit?” terdengar panik.
Lelaki yang mendadak merasa diabaikan menyadarinya.“Kenapa, Say...,” suara lelaki itu terhenti. Lelaki berbodi jangkung dan tinggi hampir sama dengan Langit itu, mengikuti netra si wanita.Senyuman sinis Langit begitu kentara penuh bara kemarahan tertahan. Si pria tampak tersenyum miring mengetahui keberadaan Langit. “Hebat kamu Dara,” ucapnya pelan, tapi membunuh. Wanita itu, Dara, gelagapan. Benar-benar ia tak menyangka Langit ada di tempat sama.“A... aku,” kacau suara Dara, bingung harus bagaimana.“Oh, ini yang namanya Langit?” ujar lelaki yang bersama Dara tak kalah sinis. Langit mencondongkan wajahnya ke si lelaki. Keduanya bertatapan, tatapan sama-sama tajam. Kemudian Langit mencekal krah baju lelaki tersebut.“F*** you!” katanya pelan tapi bagai bom bagi si lelaki. Kemudian dilepaskan cekalan itu dengan kasar, menyebabkan lelaki itu sedikit terdorong ke belakang. Kaget sejenak, lalu lelaki itu membetulkan kemejanya cepat. Bergumam asal tak jelas. Bara api di mata, tanganya siap membalas, tak terima. Reflek ditahan Dara.“Cukup!” suara Dara nyaris berteriak.Seperti tontonan tak berbayar. Jengah dilihat beberapa orang yang melotot penuh tanya melihat kejadian tak mengenakkan itu.Netra Langit tajam menatap ke lelaki, kemudian Dara.“Kau!” katanya sambil mendenguskan nafas kasar. Mulutnya sudah menganga, tangannya terkepal hebat, tapi tak ada lagi kata yang muncul.Kembali menatap si lelaki, tangan Langit maju tanpa prolog. Dan skak mat!“Arg!”Sekali pukulan, bogem mentah itu mampu menjungkalkan si tubuh jangkung ke lantai licin. Semua orang memandang, penuh bisik tak jelas, panas.Adit yang melihat gelagat buruk itu langsung menarik tangan Langit. Menyeretnya keluar dengan paksaan total. Geraman emosi Langit masih terdengar jelas, tetap mengikuti langkah Adit. Menahan lava yang siap menghanguskan hubungan yang tinggal beberapa saat lagi sampai pelaminan.Malam cerah itu, bagi Langit menjadi sehitam jelaga. Ia mencoret nama Dara dari relung hatinya. Namun, semudah itukah?@@@ “Gara-gara Papa.” Langit menyugar kasar rambut kesal. “Dara!” sambungnya tertekan. Harusnya aku mencekik lelaki itu. Pikiran Langit kemana-mana. Matanya nyalang memandang jalan berkelok di depan mata. Kanan kiri berasa hutan. Satu kelokan lagi ia membawa CRV htam itu melanglang cepat dan cittt! “Njir!” Umpatannya meledak. Tampak Yamaha Alfa hitam nyelonong tanpa dosa. Membuatnya sigap menepikan mobil lebih ke kiri, menghentikannya. Motor meraung penuh muatan bunga krisan itu bergerak tak beraturan ke kiri kanan, oleng. Kemudian berhenti. Knalpot yang meraungpun terhenti mendadak.Terlihat seseorang dengan masker dan helm tertutup rapat rambut agak ikal sebahu menoleh ke belakang, menatap mobil itu sekilas. Dibukanya kaca helm.“Woi!” serunya marah. Lalu membetulkan letak tumpukan bunga krisan yang ditali dengan karung goni ke bagian tengah kembali. Setelah sebelumnya hampir jatuh oleh olengnya motor. Dari spion, dilihatnya cewek itu berbicara tak jelas. Langit mengacak rambut ikalnya sejenak, menarik save belt dan membuka pintu mobil. Kakinya melangkah keluar, menyeberang jalan. Dihujaminya cewek di atas motor yang berjarak beberapa meter di hadapannya itu.“Kamu yang harusnya ati-ati dong, tahu belokan ngebut!” ketus suara Langit mencoba bersabar. “Huh!” dengus cewek itu marah. Distaternya motor, raungannya sungguh membuat kuping Langit gatal bukan main. Ya ampun, knalpot tahun kapan? Desisnya tak habis pikir. Alfa yang sudah kembali normal dengan raungannya begitu memekakkan telinga, bergerak cepat meninggalkannya. Tanpa dosa pula! Tinggal asap knalpot menghitam melantaskan bau menyengat terbakar. Langit mengibaskan polusi udara itu dengan kedua tangannya.“Dasar cewek!” rutuknya pelan. Apa memang begitu kalau cewek mengendarai kendaraan? Selalu menangan di jalan? Huh! Langit hanya menggelengkan kepala. Ia siap kalau pengendara itu mau marah atau minta ganti rugi dan entah apalah. Untunglah tak seperti yang dibayangkan.Diaturnya nafas perlanan, akan menuju mobil. Tapi ups, sebuah benda membuat netranya terkesiap. Ia mendekat, meraih benda itu. Dompet! Dompet berwarna cokelat dengan bordiran gunung di bagina muka. Dibukanya dompet dua lipatan itu. Melihat sekilas tak minat. Ada KTP, SIM A, SIM C di sela sana, sebuah nama tertera. Nama yang aneh, batin Langit tersenyum sendiri. Mungkin dompet cewek tadi? Tapi sepertinya cewek itu tidak turun dari motor, hanya oleng saja tak megeluarkan sesuatu. Ah entahlah, Langit menimang sesaat sambil menatap dompet coklat tersebut beberap akali. Lalu memutuskan untuk membawanya. Biarlah dipikir nanti.Langit kembali ke mobil. Meletakkan dompet temuan itu di jok samping secara asal. Membuka jendela mobil. Tak butuh AC di desa berhawa super sejuk dan dingin seperti ini. Ia angkat kedua tangan ke atas, meregangkan untuk beberapa saat. Dilihatnya wajahnya di spion tengah. Layak banyak cewek mengejar. Rahang kuat plus bonus mata setajam mata elang. Ditambah hidung pas raut muka tegasnya. Dengan tinggi 178 cm dan bodi keren bak pemain sinetron.Ia mendesah lagi. Sekarang papanya melemparkannya ke hutan belantara. Ah, desa terpecil lebih tepatnya. Meskipun bukan daerah pedalaman. Lagi-lagi nafasnya tersengal kesal. Langit Arjuna, 26 tahun, CEO yang disuruh papanya mengurus kebun krisan dan alpukat di desa. Kadang Langit berpikir, ada gitu CEO yang blusukan ke kampung nan terpencil lalu musti tinggal di sana?@@@ Sesuatu yang tak bisa ditolak. Semua titah papa memang Langit harus menurut. Papanya sudah tahu seluk beluk bisnis. Segala macam bisnis yang dijalani. Properti, merambah ke perkebunan. Meskipun baru skala kecil, ia tahu papa adalah seorang analisis yang baik. Semua analisanya 99% tepat dan pas. Itulah yang membuatnya sukses menjadi pebisnis. Ketika banyak orang belum memikirkannya, sang papa sudah 10 bahkan sejuta langkah maju ke depan dibanding yang lain. Langit lebih fokus menjalankan mobil, pelan. Ia tak mau kejadian tadi terulang kembali. Sepanjang jalan, kebun krisan menatapnya sempurna. Sebagian siap panen, sebagian baru ditanam. Sawah-sawah, alpukad, desa nan asri dan sejuk. Pandangan Langit menyeruak sepanjang perjalanan. Satu hal, tetap fokus kemudi.Setelah beberapa saat lamanya, tepat di tengah kebun krisan, ada jalan tak begitu lebar. Langit membelokkan ke sana. Menghentikannya. Ada pintu gerbang setinggi 1,5 meter membuatnya menunggu. Gerbang itu hanya terbuka untuk motor, mobil tidak bisa masuk. Tak ada panjaga semacam sappam juga di sana. Kata Papa, di desa, tak perlu penjagaan super ketat. Kedamaian dan karemahan masih tetap terjaga dengan baik.Terlihat seorang pria paruh baya bergegas membuka pintu gerbang lebar. Mobil segera dijalankan Langit memasuki halaman. Aroma desa, semilir angin membuatnya sedikit melupakan kekesalan untuk sesaat. Langit keluar dari mobil yang langsung disambut senyuman hangat.“Mas Langit, alhamdulillah sudah sampai, sehat?” Pria paruh baya itu menyambutnya dengan antusias. Disalaminya Langit dengan keramahan tulus. Langit tersenyum dan menyambutnya ramah.“Sehat, Pakde Tejo?”“Alhamdulillah....” Rung... rung..., suara raungan motor mendadak memecah telinga. Langit menyipitkan mata. Motor itu berlalu saja melewati dirinya dan Pakde Tejo, membelok ke arah sisi kanan rumah utama. Berhenti di depan rumah mungil, kediaman khusus Pakde Tejo. Menyetandarkan motor. Pengendaranya membuka helm pelan. Mengibaskan rambutnya dan turun dari motor dengan cepat. Bergegas melenggang menuju rumah.“Mimi, sini bentar,” teriak Pakde tejo membuat langkah cewek itu terhenti. Membalikkan tubuh dengan cepat dan berlari kecil ke arah Langit dan Pakde Tejo berada.Langit yang tanpa sengaja melihat sejak raungan motor itu datang hanya melongo. Bak slow motion sebuah sinetron. Cewek itu... Langit makin menyipitkan mata. @@@Langkah cewek itu berhenti mendadak tepat dua meter di depan Langit. Mulutnya terbuka, matanya melotot tak percaya. Netranya menghujam Langit. Dari bawah sampai atas. Mengamati secara detail setiap inci Langit. Celana jins biru dan kaus hitam dengan jaket jins biru pula. Wajah tampannya nyata-nyata tertera di sana. Tubuh atletisnya benar-benar idaman para wanita. Tapi cewek itu melihatnya tak minat, bahkan terkesan ada kebencian sinis di sana.“Kau?” desisnya takjub. Netranya menyamping memandang mobil Langit. Kembali arahnya ke Langit.Langit tak kalah tertegun. Di desa nan jauh dari hingar bingar kota, ada makhluk manis bak bidadari super polos turun dari kahyangan tanpa make up. Hanya memakai jins belel sana sini dan kaos hitam ketat dipadu hem kotak flanel panjang dengan kancing terbuka semua. Dipadu Sneakers biru bertali. Simpel dan madu!Cewek itu, lebih tepatnya gadis itu, tingginya setelinga Langit, Rambut hitam ikalnya
Gadis itu, menghentikan langkah, mendengar gumaman Langit sepertinya. Menoleh dan menajamkan netra ke iris netra Langit. Raut mukanya penuh tanya. Kenapa pula cowok ini?Hanya detik yang membeku, Langit menepuk jidatnya sendiri. Duh, apa-apaan, sih, kenapa mata bulat gadis itu begitu menyita perhatiannya? Hening beberapa saat, sang gadis menghembuskan nafas pelan dan berbalik menuju pintu belakang.“Eh, mau kemana?” tanyanya reflek melihat gadis itu urung pergi.“Balik,” sahutnya menoleh lagi, heran.Langit melongo.“Balik mana?” tanya Langit seperti terkunci mau bilang apa.Gadis itu menunjuk rumah Pakde Tejo yang terlihat dari dapur dengan dagu terangkat sedikit.Langit menggaruk kepala dengan tangan kirinya bingung. Lalu berdiri mendekati gadis itu. Sangat dekat.“Ehm, makanan segini banyak, aku nggak bakalan habis. Temenin aku makan?” En
Hawa sejuk membuat Langit sedikit bermalas-malasan dengan selonjoran di karpet ruang tengah depan kamar. Ada TV berukuran besar di sana. Dinyalakan namun sama sekali tak menarik bagi Langit. Ia sibuk berkutat dengan ponsel dan laptop sekaligus. Sesekali menelpon seseorang atau dia yang ditelpon.Ada beberapa kerjaan yang akan dibereskannya hari itu. Meski jauh di desa, ia tetap harus mampu menganalisa masalah dan membereskan banyak hal pekerjan kantor. Ah, ya, kantornya sekarang ada di sini. Tanpa sekretaris, tanpa orang yang membantunya kecuali Pakde Tejo serta Bude Siti. Dan Bumi! Ah Bumi! Sekejap Langit menghentikan kesibukannya. Apa Bumi tinggal bersama pakde dan bude?Kenapa tadi tak langsung menanyakannya? Fiuh, Langit menepuk jidatnya pelan. Betapa lambatnya dia. Mata Bumi, dingin dan irit bicaranya, serta tubuh semampainya mampu membuat kebekuan Langit mencair sepersen. Ya, hanya satu persen saja. Di sisi lain, masih ada Dara. Dara! Ngapain memikirkan gadis
Gadis itu, Bumi memandang Langit tak percaya. Kenapa juga ketemu cowok ini lagi? Cowok yang membuatnya terpaku beberapa saat lamanya. Bumi terdiam. Menyetandarkan motornya, tetap duduk di motor, bersedekap sambil menatap ke luar gubuk.Hanya berteman suara hujan. Terus menggila dengan angin yang deras. Langit menatap Bumi dari samping. Gadis semanis madu membuatnya terlena untuk sepersekian detik. Masih dengan pakaian yang tadi. Flanel panjangnya telah basah oleh air hujan.“Kau bisa duduk di sampingku,” kata Langit setelah kesenyapan membosankan. Bumi bergeming. Ya ampun terbuat dari apa cewek ini? Langit mengibaskan rambutnya yang mulai memanjang dan menyugarnya, mencoba sabar.“Bumi!”Tak ada suara, Bumi hanya membuka helm, menaruh di stang motor sebelah kanan. Dari ekor mata dilihatnya Langit menghujaninya dengan tatapan penuh. Senyum langit membuat Bumi kembali menatap luar gubuk. Badai yang
Pelan tapi pasti, tubuh Bumi dengan helm masih di kepala itu melorot ke bawah. Segera Langit menangkap tubuh semampainya yang terkulai.“Kau kenapa? Bumi?” seru Langit bingung. Tubuhnya terkulai. Wajahnya yang tadi sudah pucat, makin pasi dengan tubuh dingin. Ya Tuhan ada apa dengan Bumi? Batin Langit bergejolak.Hujan yang tadi sudah berhenti mulai menderas lagi di luar sana.Langit melepas helm dengan cepat dan segera membopongnya. Pintu sesudah pintu garasi itu terkunci. Tubuh Bumi ditahan Langit agak kesusahan sambil mengambil kunci yang terjatuh saat Bumi pingsan. Otak Langit berputar cepat memperkirakan kunci mana yang sekiranya tepat di antara beberapa kunci itu. Kunci pertama gagal, untunglah di kunci kedua Langit menemukan kunci yang pas untuk membuka pintu bagian dalam. Langit bergegas masuk ke dalam dengan Bumi terkulai lemas.Ruangan pertama sebuah pantry mungil. Langit tolah toleh sebe
Masih di Bumi POV“Mau kopi?” tawarku menutup rasa salah tingkah yang hinggap begitu saja.“Kuat bikinin aku kopi?”Pertanyaan yang sedikit menggoda, kan? Segera aku beranjak, tapi tanganku dicekal olehnya.“Mau kemana?”“Bikin kopi,” jawabku linglung. Gimana sih ini orang? Terpaksa aku duduk kembali.“Kamu nggak papa? Beneran, nih?” Pertanyaan penuh kekhawatiran.Tuhanku, bukannya sudah kubilang aku capek doang? Kenapa tak percaya dengan ucapanku?“Aku baik saja,” sahutku tegas langsung menuju dapur. Untunglah Mas Langit hanya manggut-manggut dan segera kubuatkan kopi. Kulihat Mas Langit tetap mengikuti langkahku lewat ekor matanya.“Kopi hitam?” tanyaku tertahan.“Ya, sedikit gula,” jawabnya ringan.Kepala kuanggukkan dan mulai kubuatkan kopi sesuai keinginannya. Sedangkan untukku send
“Dompetmu...,” sahut Langit disabar-sabarkan.“Oh, eh, biar aku sendiri, sekalian ambil bunga....”Bumi tersadar berkata-kata agak panjang dan tiba-tiba Langit mengunci mulutnya dengan jari telunjuk.“Stt, aku pingin anterin ke sini. Nggak boleh?” kalimat Langit yang tepat di telinga Bumi membuatnya merinding. Tubuhnya mundur lagi. Ia tak ingin kejadian barusan terulang kembali. Sungguh tatapan Langit kadang membuatnya murka, tapi juga benci. Herannya, kenapa ia tak mampu menolaknya?“Terserah, deh...” itulah yang akhirnya keluar dari mulut Bumi. Jawaban membuat Langit tersenyum di atas angin.“Oke, aku pulang dulu, jaga dirimu baik-baik,” kata Langit pelan tapi tegas. Disambut anggukan Bumi.Keduanya menuju garasi. Dengan cepat Langit mengeluarkan KLX, memakai helm dan melajukan motor segera setelah m
Bumi menunduk. Dilepaskannya kungkungan itu perlahan, Langit mengikutinya, melepaskan wajah Bumi dari jemarinya.Wajah bak madu itu mengangkat wajah. Mengawasi tiap inci wajah Langit. Dalam remang, Langit melihat sinar kebencian di iris hitam netra Bumi. Ia tahu, walau tak sekejam awal mereka bertemu. Kembali wajah Bumi menunduk. Langit mengangkat dagu gadis manis itu. Mendekatkan bibirnya ke bibir mungil yang kian membuatnya tak kuasa menolak hasrat kelelakiannya. Dalam sepersekian detik, ia melumatnya penuh rasa.Begitu juga Bumi, ia menyambutnya. Meski kaku, Langit membuatnya lebih nyaman. Tubuh Langit meringsek makin dekat. Lidahnya bermain, membuka rongga mulut Bumi. Mengobrak abrik bagian dalam dengan jilatan, gigitan, sesekali menyesap gemas tanpa jeda. Ketika Bumi seolah tak mampu bernafas, ia melepaskannya. Namun, kembali dikulumnya bibir mungil itu dengan segenap jiwa. Panas!Tangan kiri Langit menarik ma
“Lagi hmmm?” tanya Langit dengan suaranya yang masih parau di telinga Bumi. “Mau?” tanya Bumi menggoda dan melirik Langit yang memeluk tubuh polosnya erat. Tanpa banyak kata, Langit mengecup bibir eksotis itu dalam-dalam lalu melepasnya sekejap. “Nggak capek?” Bumi terdiam, meraba lembut bibir Langit dan memandangnya penuh kasih. “Hmmm, aku lapar,” sahut Bumi tak menjawab pertanyaan Langit. Mendengarnya, Langit terkekeh, lalu mengecup kening Bumi dan keluar dari selimut yang menyelubungi mereka berdua.
“Mas,” pekik Bumi kaget mendadak diangkat Langit. Langit terkekeh, lalu menempelkan hidung bangirnya ke hidung Bumi dengan sedikit menunduk. Digerakkannya perlahan dan cewek eksotis tersebut kegelian, ia mengelakkan wajahnya agak ke belakang. “Nggak berat?” tanya Bumi mengeratkan rangkulannya ke leher lelaki di hadapannya. “Berat? Segini aja?” “Segini kata Mas Langit?” sahut Bumi melotot. “Haha,” Langit terbahak. Cepat, dibawanya gadis itu masuk ke dalam, melewati dapur, dan menuju ruang tengah. Masih menggendong Bumi, Langit duduk di sofa. Sekarang, Bumi berad
“Apa yang kau lakukan?” tanya lelaki itu masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di depannya, terlihat Dara masih dengan baju tak karuan di atas pangkuan Langit. Roknya tersingkap ke atas, asetnya masih terlihat jelas dengan warna merah hati di bagian dalam. Mulut Dara melongo, ia sama sekali tak menduga lelaki itu akan ke sini, ke tempatnya Langit. Secepat kilat, Langit melepaskan diri dari lengan Dara, ia berdiri sehingga mau tidak mau Dara turun dari pangkuan. Dara membetulkan letak roknya, kemudian kemeja yang sudah hampir memperlihatkan gunung kembar itu secara keseluruhan. Mata Langit menatap Dara tak habis pikir, lalu ke lelaki yang masih berdiri mematung. Ia menahan kemarahannya, tapi lebih dari itu, melihat ke Langit tak percaya. Begitu juga dengan Langit, menatap lelaki di hadapannya masih tak percaya.
Bab 60Sang Penggoda “Mas...,” desahan demi desahan keluar dari bibir mungil gadis manis itu. Tanpa disadari, ia menekan kepala Langit yang tengah mencium lembut aset yang dicandui Langit itu. Tangan Langit mulai bergerilya, wajahnya mendongak menatap mata Bumi yang penuh kabut. Dilepaskannya kancing kemeja teratas, lalu kancing kedua. Dari situ saja, sudah terlihat aset memikat yang masih tertutup b** warna merah. Tangan Langit menekan ujungnya, menatap lembut mata Bumi yang terpejam. “Aku ingin memilikimu, Bumi, seutuhnya,” desis Langit lirih, sangat lirih. Namun, Bumi mampu mendengarnya, membuka mata, dan menggigit bibir bawahnya pelan. Pemandangan yang mampu meluluhkan kewarasan Lang
Pagi masih berkabut, Langit dan Bumi berjalan di jalan setapak dengan kanan dan kiri tumbuhan pinus menjulang. Terkadang, mereka melewati kebun mawar yang makin ke atas makin menipis dan tersisa hanya pinus dengan aroma khasnya. “Nah, itu tempatnya, Mas,” seru Bumi kegirangan melihat ke sebelah kiri. Ada tempat landai dengan bagian atas tanaman pinus. Tapi di depannya terlihat seperti jurang menganga. Langit hanya tersenyum, ia ikuti arah jalan Bumi yang tak sabar sampai di tempat tersebut. Ada batu besar di sana, Bumi segera duduk dan merenggangkan kedua tangan ke atas. “Huh, capeknya,” serunya dengan memutar pandangan ke seluruh area berhawa sejuk itu. Belakangnya pinus rimbun menghijau dan depannya jurang, sejauh mata memandang terlihat r
“Mati lampu,” bisik Bumi. Byar! Langit menyalakan senter ponsel bersamaa hujan deras mengguyur bumi. “Ada lampu emergency?” tanya Langit menyapu seluruh ruangan. Hanya gelengan kepala dari Bumi. “Aku jarang ke sini.” “Lha ini ke sini.” “Hmmm....” Meskipun senter Langit membantu penerangan, tetap saja kurang maksimal. Beranjak dari sofa, Bumi menuju ke dalam.&nb
Tok tok tok... “Bumi, aku...” Tok tok tok. “Ga, ma... maaf,” kata Bumi menarik tubuh dari pelukan Raga. Mundur ke belakang, menyisakan tatapan Raga yang masih tetap penuh kabut. “Bumi, aku masih menginginkanmu,” ujar Raga mengabaikan kalimat yang keluar dari mulut Bumi. Tok rok tok. “Bentar Ga, ada yang ketuk pintu,” kata Bumi lagi lalu meminggirkan tubuhnya dari hadapan Raga yang terus menatapnya intens. Ia membungkukkan badan, menyambar kemeja dan memakainya dengan tergesa tanpa mengancingkan kanci
Menghela nafas dalam-dalam, Bumi memandang ke depan. Tak boleh terpengaruh Dara, tak boleh! “Minggir Dara, aku mau pergi.” “Aku nggak akan pergi sebelum kau janji tak akan mengganggu Langit!” Mengedikkan bahu, Bumi tersenyum tipis. “Maumu apa?” “Mauku, aku nggak mau lihat kamu ganggu Langit,” ucap Dara dengan tekanan penuh, telunjuknya menunjuk wajah Bumi dengan pongah. “Ganggu? Nggak salah denger aku?” Tanya Bumi melirik Dara yang masih berada di samping mobilnya.&nbs
Dara melengos.“Aku nggak ada urusan sama kamu!” katanya sombong.Mendengar jawaban Dara yang tak mengenakkan hati, muka Adit berubah.“Eh apa kau bilang?”“Aku nggak ada urusan sama kamu!” seru Dara dengan tangan bertolak pinggang.Mengabaikan kata-kata Dara, Adit bergegas melewati dengan sengaja menyenggol bahunya. Kelakuan yang membuat Dara naik pitam.“Apaan, sih?”“Nggak apa-apa, aku cuma ngak mau Bos tambah sakit dengan kedatanganmu!”“Huh, siapa bilang?”“Aku!”Dara menatap Adit dengan mata membola.“Denger, ya, bilang ke bosmu, aku akan mendapatkannya!” kata Dara bernada serius. Tanpa menunggu jawaban Adit, Dara menghentakkan kaki untuk menunjukkan kemarahannya lalu berjalan cepat. Melewati ruang tengah, ruang tamu dan keluar rumah.Melihat itu, Adit hanya menggelengkan kepala beberapa kali.