Gadis itu, menghentikan langkah, mendengar gumaman Langit sepertinya. Menoleh dan menajamkan netra ke iris netra Langit. Raut mukanya penuh tanya. Kenapa pula cowok ini?
Hanya detik yang membeku, Langit menepuk jidatnya sendiri. Duh, apa-apaan, sih, kenapa mata bulat gadis itu begitu menyita perhatiannya? Hening beberapa saat, sang gadis menghembuskan nafas pelan dan berbalik menuju pintu belakang.“Eh, mau kemana?” tanyanya reflek melihat gadis itu urung pergi. “Balik,” sahutnya menoleh lagi, heran. Langit melongo.“Balik mana?” tanya Langit seperti terkunci mau bilang apa.Gadis itu menunjuk rumah Pakde Tejo yang terlihat dari dapur dengan dagu terangkat sedikit. Langit menggaruk kepala dengan tangan kirinya bingung. Lalu berdiri mendekati gadis itu. Sangat dekat. “Ehm, makanan segini banyak, aku nggak bakalan habis. Temenin aku makan?” Entahlah ini ajakan atau apalah namanya, tapi Langit belum ingin gadis madu yang menyita perhatiannya ini pergi. Sejenak semuanya hening. Dengan tak percaya, si gadis menatap Langit. Netra keduanya beradu.“Hmm?” tanya gadis eksotis itu masih bingung.Lengannya cepat disambar Langit. Mendudukannya di kursi makan terdekat.“Ish,” dikibaskannya lengan Langit cepat. Meskipun akhirnya duduk terdiam. Membuat Langit hampir muntab. Ini cewek beneran, ya, dingin dan sinis. Bukannya dia si tuan rumah, dan bebas meminta apa saja yang dibutuhkan? Langit mencoba bersabar. Sabar, ini cewek memang tak seperti cewek lain yang biasa Langit kenal.“Oke, oke, maaf. Kau belum makan, kan?”Gelengan kepala gadis itu membuat Langit hampir tertawa. Kenapa irit bicara baget sih nih orang. Tadi mengesalkan, tapi bikin gemas saja. Gadis itu masih menatap Langit heran dan kesal. Baru jam sebelas. Masih terlalu pagi untuk makan siang.“Temenin aku makan,” kata Langit akhirnya setelah beberapa saat keduanya dalam diam. Gelengan kepala kembali. Sepertinya ia tak suka melihat Langit. Betulkah begitu?“Ya udah, temenin aja, biasanya aku makan sama mama, kalau sendiri, aku nggak minat,” ujar Langit beralasan. Segera mengambil tempat duduk di samping gadis itu, mengamati wajah manis sepenuhnya.“Eng, kalau gitu kupanggilin bude aja,” jawabnya dingin lalu beranjak dari tempat duduknya dengan jawaban yang agak panjang. Namun lengannya segera ditarik Langit.“Eh, aku nggak suka ditolak,” ujarnya cepat. Kepala gadis menengok kesal ke Langit. Langit ikut berdiri. Mendudukkannya kembali, kali ini gadis manis itu menolak. Ia berusaha berdiri, hingga keduanya berhadapan dalam jarak amat dekat. Terasa nafas gadis itu di penciuman Langit. Saling tatap dan gadis desa itulah yang akhirnya menudukkan kepala. Ekstra membuat jantung Langit kebat-kebit terkena angin lesus dan menahan nafas berat. Hai, ada apa ini?Lalu tanpa disadari, gadis semampai itu berbalik pergi meninggalkan Langit tanpa bicara apapun. Punggungnya berlalu ketika Langit membeku beberapa saat. Semburan nafasnya keluar dengan susah payah.Tapi ups, ketergesaannya membuat kaki kiri gadis itu menabrak ujung meja kecil tempat dispenser. “Aw,” teriaknya dengan tubuh sedikit oleng. Yaelah, nih cewek, batin Langit sambil geleng kepala. Hendak menolong tapi sang gadis terburu menegakkan badan, berjalan kembali.“Nggak jalan, nggak naik motor, sama aja. Makanya naik motor juga jangan ngebut, jalan kelokan pula.” Suara Langit segera dikeraskan sambil menyunggingkan senyum simpul. Gadis itu berhenti, menoleh kesal ke Langit. Sedangkan Langit dengan santai menyandarkan tubuhnya ke meja makan. Tak disangka, gadis yang irit bicara itu berbalik arah dan berjalan mendekat dengan tampang yang susah diartikan.Kena, deh, pancingannya kena, Langit tersenyum miring, hihihi. Gadis cuek dan dingin ini! Lihat saja.“Jadi...,” kata gadis itu kesal memandang Langit dari atas ke bawah.“Ya, jadi kamu kan tadi yang sembarangan naik motor, hingga hampir nabrak mobilku,” ujar Langit santai.“Hah?” sambarnya menahan emosi. Terlihat perubahan raut mukanya yang nyaris membuat Langit tertawa. Kebalik, kan, dia yang ngebut, batinnya kesal.“Nggak mau ngaku?” Langit cengengesan, membuat gadis itu manahan kesabaran level sejuta. Gerahamnya mengeras, mulutnya terbuka tapi tak mampu mengucap apapun. Kemudian mengatup kembali. Bibir bawahnya saja yang digigit kecil. Langit tertawa puas, aduh makin manis kalau seperti itu. Tanpa berkata apapun gadis itu membalikkan, membuat Langit geleng kepala.“Kau kehilangan sesuatu?” tanya Langit segera. Tak menggubris, gadis itu terus berjalan dengan hentakan kaki yang diperjelas, marah.“Cek dompetmu!” Belum sampai pintu, wajah semanis madu itu berpaling. Ada tanya di sana. Aha, kena, kan?“Kau...,” mulut mungilnya berucap tak jelas. Langit tetap mendengarnya. Sok cuek dan duduk di kursi makan. Melanjutkan acara makan yang tertunda dengan piring yang tadi sudah diisinya nasi dan lauk. Mengambil lalapan, sambal dan mulai makan perlahan.Seperti dugaannya, gadis itu berbalik lagi. Berdiri tak nyaman di samping Langit yang mulai makan tanpa menggunakan sendok.“Ada syaratnya, Bumi,” kata Langit cepat. Panggilan nama yang sumpah, bikin gadis itu terpana juga kesal sekaligus. Bumi! Hanya Pakde Tejo dan Bude Siti yang memanggilnya Mimi.“Ada beberapa syarat.”Sengaja Langit membuat penasaran, jeda yang menyebalkan untuk Bumi, gadis yang dikenal awal tadi bernama Mimi. Tetap saja Bumi diam seribu bahasa, mematung di tempatnya semula.“Salah satunya temani aku makan,” lanjut Langit di atas angin.Hih, Bumi mendesah kesal. Menggelengkan kepala yang membuat Langit makin gemas.“Simku....” Bumi berujar pelan. Memang sih aman kalau masih sekitar desa. Kalau ke kota mengantar pesanan? Duh... bisa berabe tanpa surat-surat lengkap. Namun, makan bersama cowok yang hampir saja menabraknya tadi, wajahnya, tatapannya. Uh! mana sudi, geram Bumi menahan marah. “Hmmm,” deheman Bumi agak keras, diketuknya meja makan pelan. Ia bukannya tak punya sopan santun, namun Langit membuat darahnya mendidih.Ditunggu, tak ada kata yang keluar. Dengan cuek Langit terus melanjutkan makan. “Makan dulu.”“Huh!”“Bumi!”“Plis!” suaranya memohon. Akhirnya ada juga kalimat yang keluar dari mulut Bumi.“Ya ampun, minta nemenin makan aja nggak mau,” sungut Langit. Bumi bergeming, Langit santai terus makan, kemudian Bumi berbalik. Pergi berlalu begitu saja. Kali ini benar-benar meninggalkannya. Hembusan nafas Langit kesal. Hanya punggung yang masih mampu dilihat Langit. Dasar cewek keras kepala.Tatapan netra, sikap dingin dan hemat bicara Bumi membuat Langit penasaran. Ada misteri yang terekam di sana. Entah apa. Langit ingin mencari tahu. Ada apa denganmu Bumi? Kenapa kau begitu misterius.Tiba-tiba suara langkah membuat Langit kaget.“Lhah, Mas Langit,” Bude Siti sudah ada di hadapan Langit dengan heran. “Ya ampun kirain Mas Langit nggak mau makan. Kata Mimi Mas Langit minta ditemenin makan Bude?” katanya terburu penuh tanda tanya.Langit menghentikan makan bengong. Ya Tuhan, beneran Bumi bilang dia butuh teman makan? Adududuh, dasar cewek!“Ah nggak Bude, hanya iseng aja gangguin Bumi,” sahutnya cepat. Tapi Bude Siti, mendekat berkata pelan.“Katanya Mas Langit nemuin dompet Mimi?” tanyanya ragu.Pertanyaan sepele bikin Langit auto tersedak kaget.“Uhuk, uhuk,” diambilnya air putih yang sudah ada di situ. Membuat Bude Siti tak enak hati banget.“Eyalah, maaf Mas Langit...,” disodorkannya tisu yang langsung juga diterima Langit.“Tak apa,” katanya meringis.“Benar dompet Mimi...,” netra Bude Siti menuntut jawaban. “Biar nanti aja, aku mau makan terus istirahat,” kelaknya halus. “Walah, ya sudah, Bude balik dulu, lanjutkan makannya Mas Langit,” ujar Bude Siti segera.Langit hanya mengangguk dan tersenyum miring setelah Bude Siti meninggalkannya. Dilanjutkannya makan siang ini dengan nikmat. Ia membayangkan Bumi merayu Bude Siti mengambil dompetnya. Haha, never, batin Langit di atas langit. Cewek sedingin es batu itu....@@@Hawa sejuk membuat Langit sedikit bermalas-malasan dengan selonjoran di karpet ruang tengah depan kamar. Ada TV berukuran besar di sana. Dinyalakan namun sama sekali tak menarik bagi Langit. Ia sibuk berkutat dengan ponsel dan laptop sekaligus. Sesekali menelpon seseorang atau dia yang ditelpon.Ada beberapa kerjaan yang akan dibereskannya hari itu. Meski jauh di desa, ia tetap harus mampu menganalisa masalah dan membereskan banyak hal pekerjan kantor. Ah, ya, kantornya sekarang ada di sini. Tanpa sekretaris, tanpa orang yang membantunya kecuali Pakde Tejo serta Bude Siti. Dan Bumi! Ah Bumi! Sekejap Langit menghentikan kesibukannya. Apa Bumi tinggal bersama pakde dan bude?Kenapa tadi tak langsung menanyakannya? Fiuh, Langit menepuk jidatnya pelan. Betapa lambatnya dia. Mata Bumi, dingin dan irit bicaranya, serta tubuh semampainya mampu membuat kebekuan Langit mencair sepersen. Ya, hanya satu persen saja. Di sisi lain, masih ada Dara. Dara! Ngapain memikirkan gadis
Gadis itu, Bumi memandang Langit tak percaya. Kenapa juga ketemu cowok ini lagi? Cowok yang membuatnya terpaku beberapa saat lamanya. Bumi terdiam. Menyetandarkan motornya, tetap duduk di motor, bersedekap sambil menatap ke luar gubuk.Hanya berteman suara hujan. Terus menggila dengan angin yang deras. Langit menatap Bumi dari samping. Gadis semanis madu membuatnya terlena untuk sepersekian detik. Masih dengan pakaian yang tadi. Flanel panjangnya telah basah oleh air hujan.“Kau bisa duduk di sampingku,” kata Langit setelah kesenyapan membosankan. Bumi bergeming. Ya ampun terbuat dari apa cewek ini? Langit mengibaskan rambutnya yang mulai memanjang dan menyugarnya, mencoba sabar.“Bumi!”Tak ada suara, Bumi hanya membuka helm, menaruh di stang motor sebelah kanan. Dari ekor mata dilihatnya Langit menghujaninya dengan tatapan penuh. Senyum langit membuat Bumi kembali menatap luar gubuk. Badai yang
Pelan tapi pasti, tubuh Bumi dengan helm masih di kepala itu melorot ke bawah. Segera Langit menangkap tubuh semampainya yang terkulai.“Kau kenapa? Bumi?” seru Langit bingung. Tubuhnya terkulai. Wajahnya yang tadi sudah pucat, makin pasi dengan tubuh dingin. Ya Tuhan ada apa dengan Bumi? Batin Langit bergejolak.Hujan yang tadi sudah berhenti mulai menderas lagi di luar sana.Langit melepas helm dengan cepat dan segera membopongnya. Pintu sesudah pintu garasi itu terkunci. Tubuh Bumi ditahan Langit agak kesusahan sambil mengambil kunci yang terjatuh saat Bumi pingsan. Otak Langit berputar cepat memperkirakan kunci mana yang sekiranya tepat di antara beberapa kunci itu. Kunci pertama gagal, untunglah di kunci kedua Langit menemukan kunci yang pas untuk membuka pintu bagian dalam. Langit bergegas masuk ke dalam dengan Bumi terkulai lemas.Ruangan pertama sebuah pantry mungil. Langit tolah toleh sebe
Masih di Bumi POV“Mau kopi?” tawarku menutup rasa salah tingkah yang hinggap begitu saja.“Kuat bikinin aku kopi?”Pertanyaan yang sedikit menggoda, kan? Segera aku beranjak, tapi tanganku dicekal olehnya.“Mau kemana?”“Bikin kopi,” jawabku linglung. Gimana sih ini orang? Terpaksa aku duduk kembali.“Kamu nggak papa? Beneran, nih?” Pertanyaan penuh kekhawatiran.Tuhanku, bukannya sudah kubilang aku capek doang? Kenapa tak percaya dengan ucapanku?“Aku baik saja,” sahutku tegas langsung menuju dapur. Untunglah Mas Langit hanya manggut-manggut dan segera kubuatkan kopi. Kulihat Mas Langit tetap mengikuti langkahku lewat ekor matanya.“Kopi hitam?” tanyaku tertahan.“Ya, sedikit gula,” jawabnya ringan.Kepala kuanggukkan dan mulai kubuatkan kopi sesuai keinginannya. Sedangkan untukku send
“Dompetmu...,” sahut Langit disabar-sabarkan.“Oh, eh, biar aku sendiri, sekalian ambil bunga....”Bumi tersadar berkata-kata agak panjang dan tiba-tiba Langit mengunci mulutnya dengan jari telunjuk.“Stt, aku pingin anterin ke sini. Nggak boleh?” kalimat Langit yang tepat di telinga Bumi membuatnya merinding. Tubuhnya mundur lagi. Ia tak ingin kejadian barusan terulang kembali. Sungguh tatapan Langit kadang membuatnya murka, tapi juga benci. Herannya, kenapa ia tak mampu menolaknya?“Terserah, deh...” itulah yang akhirnya keluar dari mulut Bumi. Jawaban membuat Langit tersenyum di atas angin.“Oke, aku pulang dulu, jaga dirimu baik-baik,” kata Langit pelan tapi tegas. Disambut anggukan Bumi.Keduanya menuju garasi. Dengan cepat Langit mengeluarkan KLX, memakai helm dan melajukan motor segera setelah m
Bumi menunduk. Dilepaskannya kungkungan itu perlahan, Langit mengikutinya, melepaskan wajah Bumi dari jemarinya.Wajah bak madu itu mengangkat wajah. Mengawasi tiap inci wajah Langit. Dalam remang, Langit melihat sinar kebencian di iris hitam netra Bumi. Ia tahu, walau tak sekejam awal mereka bertemu. Kembali wajah Bumi menunduk. Langit mengangkat dagu gadis manis itu. Mendekatkan bibirnya ke bibir mungil yang kian membuatnya tak kuasa menolak hasrat kelelakiannya. Dalam sepersekian detik, ia melumatnya penuh rasa.Begitu juga Bumi, ia menyambutnya. Meski kaku, Langit membuatnya lebih nyaman. Tubuh Langit meringsek makin dekat. Lidahnya bermain, membuka rongga mulut Bumi. Mengobrak abrik bagian dalam dengan jilatan, gigitan, sesekali menyesap gemas tanpa jeda. Ketika Bumi seolah tak mampu bernafas, ia melepaskannya. Namun, kembali dikulumnya bibir mungil itu dengan segenap jiwa. Panas!Tangan kiri Langit menarik ma
Langit bertanya serius. Membalas tatapan Bumi dan mampu menundukkan wajah gadis itu. Tak butuh waktu lebih lama lagi, Langit tak kuasa menahan perasaan. Apalagi untuk mendiamkannya. Ngomong terus terang lebih baik, kan?“Bumi,” diangkatnya wajah Bumi. Kedua netra mereka beradu.“A... aku...,” kata Bumi bingung. Bergetar tak mampu mengucap apapun. Kenapa mulutnya terkunci?“Kau tak perlu menjawabnya sekarang.”“Tapi....”Langit menaruh telunjuknya di mulut Bumi. Langsung dijauhkan Bumi.“Aku nggak bisa,” lirih sekali suaranya.“Kenapa?” Langit menuntut jawaban.Bumi menunduk.“Karena mantan?” selidik Langit tapi justru membuat Bumi terhenyak.“Maksudmu?”“Ya, maksudku, kau tahu maksudku, kan?” Langit ganti bertanya. Mata Bumi membulat.“Ah, sudahlah. Sudah malam, aku harus pulang.&rd
Di dalam Langit mengacak rambutnya kesal dan marah jadi satu.Dara gila! Bagaimana bisa ia berani datang padaku hanya dengan kata minta maaf setelah nyata-nyata di luar dia...? Langit tak mampu melanjutkan pikirannya sendiri. Mungkin karena terlalu mencintainya. Sayang, ia tak bisa menerimanya. Walau Langit menyadari dirinya bukan lelaki bersih.Langit bergulat dengan perasaannya sendiri. Merutuki diri sendiri, kenapa ia begitu terpesona pada wanita seperti Dara, yang notabene suka dunia malam, foya-foya dan kehidupan yang tidak baik untuk seorang gadis. Sampai mamanya saja begitu bersikeras tetap mempertahankan hubungan Langit dengan Dara walau Langit sudah menutuskan untuk mengakhir semuanya. Mama akhirnya setuju setelah Adit sendiri bilang kalau kondisi Dara yang sebenarnya. Dengan lelaki yang pasti bukan Lagit!Dan bumi? Mungkinkah Bumi menyaksikan kejadian tadi bersama Dara. Tak hanya mungkin. Pasti melihat semua barusan. Oh, Langi
“Lagi hmmm?” tanya Langit dengan suaranya yang masih parau di telinga Bumi. “Mau?” tanya Bumi menggoda dan melirik Langit yang memeluk tubuh polosnya erat. Tanpa banyak kata, Langit mengecup bibir eksotis itu dalam-dalam lalu melepasnya sekejap. “Nggak capek?” Bumi terdiam, meraba lembut bibir Langit dan memandangnya penuh kasih. “Hmmm, aku lapar,” sahut Bumi tak menjawab pertanyaan Langit. Mendengarnya, Langit terkekeh, lalu mengecup kening Bumi dan keluar dari selimut yang menyelubungi mereka berdua.
“Mas,” pekik Bumi kaget mendadak diangkat Langit. Langit terkekeh, lalu menempelkan hidung bangirnya ke hidung Bumi dengan sedikit menunduk. Digerakkannya perlahan dan cewek eksotis tersebut kegelian, ia mengelakkan wajahnya agak ke belakang. “Nggak berat?” tanya Bumi mengeratkan rangkulannya ke leher lelaki di hadapannya. “Berat? Segini aja?” “Segini kata Mas Langit?” sahut Bumi melotot. “Haha,” Langit terbahak. Cepat, dibawanya gadis itu masuk ke dalam, melewati dapur, dan menuju ruang tengah. Masih menggendong Bumi, Langit duduk di sofa. Sekarang, Bumi berad
“Apa yang kau lakukan?” tanya lelaki itu masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di depannya, terlihat Dara masih dengan baju tak karuan di atas pangkuan Langit. Roknya tersingkap ke atas, asetnya masih terlihat jelas dengan warna merah hati di bagian dalam. Mulut Dara melongo, ia sama sekali tak menduga lelaki itu akan ke sini, ke tempatnya Langit. Secepat kilat, Langit melepaskan diri dari lengan Dara, ia berdiri sehingga mau tidak mau Dara turun dari pangkuan. Dara membetulkan letak roknya, kemudian kemeja yang sudah hampir memperlihatkan gunung kembar itu secara keseluruhan. Mata Langit menatap Dara tak habis pikir, lalu ke lelaki yang masih berdiri mematung. Ia menahan kemarahannya, tapi lebih dari itu, melihat ke Langit tak percaya. Begitu juga dengan Langit, menatap lelaki di hadapannya masih tak percaya.
Bab 60Sang Penggoda “Mas...,” desahan demi desahan keluar dari bibir mungil gadis manis itu. Tanpa disadari, ia menekan kepala Langit yang tengah mencium lembut aset yang dicandui Langit itu. Tangan Langit mulai bergerilya, wajahnya mendongak menatap mata Bumi yang penuh kabut. Dilepaskannya kancing kemeja teratas, lalu kancing kedua. Dari situ saja, sudah terlihat aset memikat yang masih tertutup b** warna merah. Tangan Langit menekan ujungnya, menatap lembut mata Bumi yang terpejam. “Aku ingin memilikimu, Bumi, seutuhnya,” desis Langit lirih, sangat lirih. Namun, Bumi mampu mendengarnya, membuka mata, dan menggigit bibir bawahnya pelan. Pemandangan yang mampu meluluhkan kewarasan Lang
Pagi masih berkabut, Langit dan Bumi berjalan di jalan setapak dengan kanan dan kiri tumbuhan pinus menjulang. Terkadang, mereka melewati kebun mawar yang makin ke atas makin menipis dan tersisa hanya pinus dengan aroma khasnya. “Nah, itu tempatnya, Mas,” seru Bumi kegirangan melihat ke sebelah kiri. Ada tempat landai dengan bagian atas tanaman pinus. Tapi di depannya terlihat seperti jurang menganga. Langit hanya tersenyum, ia ikuti arah jalan Bumi yang tak sabar sampai di tempat tersebut. Ada batu besar di sana, Bumi segera duduk dan merenggangkan kedua tangan ke atas. “Huh, capeknya,” serunya dengan memutar pandangan ke seluruh area berhawa sejuk itu. Belakangnya pinus rimbun menghijau dan depannya jurang, sejauh mata memandang terlihat r
“Mati lampu,” bisik Bumi. Byar! Langit menyalakan senter ponsel bersamaa hujan deras mengguyur bumi. “Ada lampu emergency?” tanya Langit menyapu seluruh ruangan. Hanya gelengan kepala dari Bumi. “Aku jarang ke sini.” “Lha ini ke sini.” “Hmmm....” Meskipun senter Langit membantu penerangan, tetap saja kurang maksimal. Beranjak dari sofa, Bumi menuju ke dalam.&nb
Tok tok tok... “Bumi, aku...” Tok tok tok. “Ga, ma... maaf,” kata Bumi menarik tubuh dari pelukan Raga. Mundur ke belakang, menyisakan tatapan Raga yang masih tetap penuh kabut. “Bumi, aku masih menginginkanmu,” ujar Raga mengabaikan kalimat yang keluar dari mulut Bumi. Tok rok tok. “Bentar Ga, ada yang ketuk pintu,” kata Bumi lagi lalu meminggirkan tubuhnya dari hadapan Raga yang terus menatapnya intens. Ia membungkukkan badan, menyambar kemeja dan memakainya dengan tergesa tanpa mengancingkan kanci
Menghela nafas dalam-dalam, Bumi memandang ke depan. Tak boleh terpengaruh Dara, tak boleh! “Minggir Dara, aku mau pergi.” “Aku nggak akan pergi sebelum kau janji tak akan mengganggu Langit!” Mengedikkan bahu, Bumi tersenyum tipis. “Maumu apa?” “Mauku, aku nggak mau lihat kamu ganggu Langit,” ucap Dara dengan tekanan penuh, telunjuknya menunjuk wajah Bumi dengan pongah. “Ganggu? Nggak salah denger aku?” Tanya Bumi melirik Dara yang masih berada di samping mobilnya.&nbs
Dara melengos.“Aku nggak ada urusan sama kamu!” katanya sombong.Mendengar jawaban Dara yang tak mengenakkan hati, muka Adit berubah.“Eh apa kau bilang?”“Aku nggak ada urusan sama kamu!” seru Dara dengan tangan bertolak pinggang.Mengabaikan kata-kata Dara, Adit bergegas melewati dengan sengaja menyenggol bahunya. Kelakuan yang membuat Dara naik pitam.“Apaan, sih?”“Nggak apa-apa, aku cuma ngak mau Bos tambah sakit dengan kedatanganmu!”“Huh, siapa bilang?”“Aku!”Dara menatap Adit dengan mata membola.“Denger, ya, bilang ke bosmu, aku akan mendapatkannya!” kata Dara bernada serius. Tanpa menunggu jawaban Adit, Dara menghentakkan kaki untuk menunjukkan kemarahannya lalu berjalan cepat. Melewati ruang tengah, ruang tamu dan keluar rumah.Melihat itu, Adit hanya menggelengkan kepala beberapa kali.