Hawa sejuk membuat Langit sedikit bermalas-malasan dengan selonjoran di karpet ruang tengah depan kamar. Ada TV berukuran besar di sana. Dinyalakan namun sama sekali tak menarik bagi Langit. Ia sibuk berkutat dengan ponsel dan laptop sekaligus. Sesekali menelpon seseorang atau dia yang ditelpon.
Ada beberapa kerjaan yang akan dibereskannya hari itu. Meski jauh di desa, ia tetap harus mampu menganalisa masalah dan membereskan banyak hal pekerjan kantor. Ah, ya, kantornya sekarang ada di sini. Tanpa sekretaris, tanpa orang yang membantunya kecuali Pakde Tejo serta Bude Siti. Dan Bumi! Ah Bumi! Sekejap Langit menghentikan kesibukannya. Apa Bumi tinggal bersama pakde dan bude?
Kenapa tadi tak langsung menanyakannya? Fiuh, Langit menepuk jidatnya pelan. Betapa lambatnya dia. Mata Bumi, dingin dan irit bicaranya, serta tubuh semampainya mampu membuat kebekuan Langit mencair sepersen. Ya, hanya satu persen saja. Di sisi lain, masih ada Dara. Dara! Ngapain memikirkan gadis cantik itu? Cantik? Cantik apanya? Hatinya sudah membekas oleh pengkhiatan muram Dara. Perselingkuhan di depan matanya, dengan lelaki yang membuatnya gila di club itu. Beruntung ia masih mendengarkan kata-kata Adit.“Ahrgg...!” Langit mengangkat kedua tangannya ke atas. Menyelonjorkan kakinya di karpet tebal di depan TV tersebut. Lalu menyandarkan kepala di bantal bulat besar dengan memejamkan mata.Drrttt, drrt... ponselnya berkedip pasti. Langit menyambarnya cepat tanpa melihat layar, langsung menempelkan di samping telinga kanan. Pasti Adit yang ingin mengabarkan laporan penjualan hari ini.“Ya?” sahutnya cepat.“...”“Apa?” Langit menjauhkan ponselnya, mengamati foto yang tertera di sana dengan melotot. Ditutupnya telpon lalu dilemparkan asal ke karpet.“S**t!” umpatnya sambil meraup muka kasar. Drrttt drrttt, ponsel terus berbunyi dengan kedipan yang mengganggu mata Langit. Tak mau peduli, Langit berdiri, mangacuhkan serasa ingin membanting ponsel itu ke kolam lele di belakang rumah. Ia hanya melirik. Kemudian mendorong travel bag dan tas ransel yang sudah dibawa masuk oleh Pakde Tejo ke kamar. Tadi, Langit belum sempat membereskannya. Sebetulnya ia bisa meminta tolong Pakde Tejo dan istrinya untuk menaruh semuanya di lemari dan membereskan kamar. Pakde dan istrinya sudah tahu kebiasaan Langit. Hanya saja, Langit ingin membereskannya sendiri. Ia sedang ingin sendiri. Benarkah seperti itu?Ponsel terus berbunyi tanpa ampun. Sesekali Langit mengela nafas, mengeluarkan kasar. Tetap saja berdering. Setelah 6 kali berbunyi, akhirnya mati juga. Semakin tak peduli, Langit terus masuk ke kamar. Menaruh beberapa baju ke lemari jati berpintu besar yang ada di depan tempat tidurnya, samping pintu kamar mandi. Kemudian menaruh tas ransel ke nakas kecil di samping tempat tidur. Di sampingnya lagi, ada meja kerja lengkap dengan kursi. Langit memang tak minta ruangan kerja khusus. Lagian buat apa. Dia bisa kerja dimana saja. Toh, hanya dia sendiri di rumah itu. Semua perabotan rumah berbahan kayu jati tua pilihan ukiran Jepara. Aroma dan peliturannya khas sekali. Papanya memang penyuka seni, mebel berbahan jati selalu menjadi pilihan ketika memilih perabotan keperluan rumah. Dijatuhkannya tubuh atletis itu ke tempat tidur, telungkup. Dengan bertumpu kedua lengan yang ditekuk. Memejamkan mata beberapa saat. Bayangan Dara melintas, ia menggelengkan kepala keras. Tubuhnya berbalik, saat tak sengaja tubuhnya menyentuh sesuatu. Dompet itu!Langit terduduk segera. Ia hampir lupa. Dibukanya dompet coklat itu lagi, ada beberapa lembar uang seratusan dan limapuluhan ribu, ATM, KTP, SIM dan beberapa nota pesanan yang Langit tak membaca lengkap. Netra Langit tertuju pada nama di sana Bumi Bayu Asmara. Nama yang manis, semanis orangnya, sejudes sifatnya. Hihihi, Langit tersenyum-senyum sendiri. Entahlah, kenapa gadis itu mampu mengunci persendian Langit. Walau baru ketemu beberapa jam yang lalu. Kebekuannya membuat Langit penasaran, sungguh!Langit menyugar rambutnya beberapa kali, ia masih kesal dengan telepon tadi.“Kirain Adit, huh!” gumamnya payah.Bagaimana bisa Dara masih berani menghubinginya setelah dia benar-benar membuat remuk redam di titik terendah? Harusnya ia memblokirnya. Namun itu bukan solusi, ia bisa menelepon dengan nomor lain. Belum tepat blokir memblokir untuk saat ini. Suatu hari nanti, Langit pasti akan memblokirnya. Kapan? Entah.“Huh!”Di sini semua hening. Nyaman dan sejuk udaranya, tak seperti di kota. Interaksi Langit otomatis sempit, hanya dengan Pakde Tejo dan Bude Siti. Oh, ya, tentu saja Bumi. Ada keanehan di tatapan mata bulat gadis berkulit sawo matang itu. Kebenciannya benar-benar kentara. Langit merasakannya. Padahal baru kali ini ia bertemu Bumi. Langit mendekati jendela besar kamar, menatap keluar. Tepat di depan sana... ia lihat Bumi sedang uplek dengan motornya yang meraung-raung. Sepertinya dia akan pergi, ada bunga krisan yang ditaruh plastik cantelan motor di depan. Namun, kenapa tak pergi-pergi juga? Langit mengernyitkan dahi. Dilihatnya Bumi mencoba menyetater tapi gagal. Malah tubuhnya jongkok, melihat ke bawah, lalu mengulik sesuatu di sana. Memencet ban motornya itu beberapa kali. Kemudan berdiri lagi, melihat ke tempat bensin. Menggoyangkannya. Dan menyetaternya, berhasil, mesin motor itu hidup. Senyum segula madu tersungging di sana. Manisnya! Langit termlongo tak percaya. Mungkinkah ia kembang desa di sini? Selama ini ia belum pernah melihatnya, dan tak pernah tahu Pakde Tejo punya keponakan segula aren itu! Rung rung rhung... suara knalpot menulikan telinga Langit. Bumi pergi, semakin lama semakin hilang dari pintu gerbang yang diapit kebun krisan. Kabut turun makin menebal padahal baru pukul 4 sore. Langit menimbang-nimbang sejenak, ia ingin jalan keliling desa. Akhirnya, Langit mengambil jaket jins, memakainya cepat. Masih dengan setelan jins hitam dan kaus hitam karena ia belum ganti baju sejak sampai sini tadi. Hawa dingin memang tak pas kalau memakai jaket jins, tapi tak apa, belum terlalu malam hingga dingin memuncak nanti. Keluar kamar, diambilnya ponsel yang tadi dilempar sembatangan. Lalu memasukkan ke saku celana. Mengambil kontak KLX yang ada di bufet kecil dekat TV. Kemudian keluar lewat pintu di samping ruang tengah yang menghubungkan dengan garasi. Di sebelah mobil yang sudah dimasukkan Pakde Tejo ke garasi, ada 2 motor, matic dan KLX, motor yang sering digunakan Langit untuk jalan keliling desa bila ia mampir ke rumah yang mirip vila itu. Distaternya motor lalu keluar garasi. Tepat saat Pakde Tejo berjalan dari kebun setelah karyawan kebun pulang.“Mau jalan?” tanya Pakde Tejo mendekati Langit.“Iya, keliling desa sebentar,” sahut Langit tersenyum.“Sepertinya mendung, nggak bawa mobil aja?” Pakde Tejo menatap langit. “Mendung tak berarti hujan Pakde,” jawab Langit yang langsung membuat keduanya tertawa bareng. Dipakainya helm di kepala.“Ati-ati,” kata Pakde Tejo akhirnya.“Assalamualaikum,” salam Langit mulai menjalankan KLX pelan keluar pintu gerbang yang separuh terbuka.@@@Motor melaju pelan, membelah jalanan desa nan sepi. Di kanan kiri hanya sawah yang menyepi karena para petani sudah pulang ke rumah. Beberapa kebun krisan tampak menarik dengan warna warni bunga beraneka macam. Jalanan yang berkelak kelok membutuhkan kererampilan khusus. Tak masalah bagi Langit, ia sudah terbiasa dan hapal jalanan daerah sini. Semakin ke utara, jalanan makin menanjak. Mendung semakin menggelayut, awan hitam mulai berarak. Tak menunggu lama, tetes-tetas air menyeruak menghantam tanah, pelan, lalu mulai keras. Hujan menderas. Langit menggas motor cepat. Daerah sepi, hanya ada satu rumah dan terlanjur terlewat. Di depan tampak sebuah gubuk kecil, mungkin bekas orang jualan yang tak digunakan lagi. Citt, Langit menghentikan motornya di sana. Berteduh di tengah derasnya hujan yang menggila. Gubuk yang hanya berukuran tak lebih dari 3 meter x 2 meter itu terdapat meja dan kursi reyot. Langit membuka helm, duduk di meja, menyedekapkan kedua tangan di depan dada menahan dingin. Beberapa saat kemudian, dari arah berlawan mendadak motor datang dan berhenti di gubuk yang sama. Kedua netra orang itu bertumbukan dengan jelas. Langit melongo!“Bumi!”@@@Gadis itu, Bumi memandang Langit tak percaya. Kenapa juga ketemu cowok ini lagi? Cowok yang membuatnya terpaku beberapa saat lamanya. Bumi terdiam. Menyetandarkan motornya, tetap duduk di motor, bersedekap sambil menatap ke luar gubuk.Hanya berteman suara hujan. Terus menggila dengan angin yang deras. Langit menatap Bumi dari samping. Gadis semanis madu membuatnya terlena untuk sepersekian detik. Masih dengan pakaian yang tadi. Flanel panjangnya telah basah oleh air hujan.“Kau bisa duduk di sampingku,” kata Langit setelah kesenyapan membosankan. Bumi bergeming. Ya ampun terbuat dari apa cewek ini? Langit mengibaskan rambutnya yang mulai memanjang dan menyugarnya, mencoba sabar.“Bumi!”Tak ada suara, Bumi hanya membuka helm, menaruh di stang motor sebelah kanan. Dari ekor mata dilihatnya Langit menghujaninya dengan tatapan penuh. Senyum langit membuat Bumi kembali menatap luar gubuk. Badai yang
Pelan tapi pasti, tubuh Bumi dengan helm masih di kepala itu melorot ke bawah. Segera Langit menangkap tubuh semampainya yang terkulai.“Kau kenapa? Bumi?” seru Langit bingung. Tubuhnya terkulai. Wajahnya yang tadi sudah pucat, makin pasi dengan tubuh dingin. Ya Tuhan ada apa dengan Bumi? Batin Langit bergejolak.Hujan yang tadi sudah berhenti mulai menderas lagi di luar sana.Langit melepas helm dengan cepat dan segera membopongnya. Pintu sesudah pintu garasi itu terkunci. Tubuh Bumi ditahan Langit agak kesusahan sambil mengambil kunci yang terjatuh saat Bumi pingsan. Otak Langit berputar cepat memperkirakan kunci mana yang sekiranya tepat di antara beberapa kunci itu. Kunci pertama gagal, untunglah di kunci kedua Langit menemukan kunci yang pas untuk membuka pintu bagian dalam. Langit bergegas masuk ke dalam dengan Bumi terkulai lemas.Ruangan pertama sebuah pantry mungil. Langit tolah toleh sebe
Masih di Bumi POV“Mau kopi?” tawarku menutup rasa salah tingkah yang hinggap begitu saja.“Kuat bikinin aku kopi?”Pertanyaan yang sedikit menggoda, kan? Segera aku beranjak, tapi tanganku dicekal olehnya.“Mau kemana?”“Bikin kopi,” jawabku linglung. Gimana sih ini orang? Terpaksa aku duduk kembali.“Kamu nggak papa? Beneran, nih?” Pertanyaan penuh kekhawatiran.Tuhanku, bukannya sudah kubilang aku capek doang? Kenapa tak percaya dengan ucapanku?“Aku baik saja,” sahutku tegas langsung menuju dapur. Untunglah Mas Langit hanya manggut-manggut dan segera kubuatkan kopi. Kulihat Mas Langit tetap mengikuti langkahku lewat ekor matanya.“Kopi hitam?” tanyaku tertahan.“Ya, sedikit gula,” jawabnya ringan.Kepala kuanggukkan dan mulai kubuatkan kopi sesuai keinginannya. Sedangkan untukku send
“Dompetmu...,” sahut Langit disabar-sabarkan.“Oh, eh, biar aku sendiri, sekalian ambil bunga....”Bumi tersadar berkata-kata agak panjang dan tiba-tiba Langit mengunci mulutnya dengan jari telunjuk.“Stt, aku pingin anterin ke sini. Nggak boleh?” kalimat Langit yang tepat di telinga Bumi membuatnya merinding. Tubuhnya mundur lagi. Ia tak ingin kejadian barusan terulang kembali. Sungguh tatapan Langit kadang membuatnya murka, tapi juga benci. Herannya, kenapa ia tak mampu menolaknya?“Terserah, deh...” itulah yang akhirnya keluar dari mulut Bumi. Jawaban membuat Langit tersenyum di atas angin.“Oke, aku pulang dulu, jaga dirimu baik-baik,” kata Langit pelan tapi tegas. Disambut anggukan Bumi.Keduanya menuju garasi. Dengan cepat Langit mengeluarkan KLX, memakai helm dan melajukan motor segera setelah m
Bumi menunduk. Dilepaskannya kungkungan itu perlahan, Langit mengikutinya, melepaskan wajah Bumi dari jemarinya.Wajah bak madu itu mengangkat wajah. Mengawasi tiap inci wajah Langit. Dalam remang, Langit melihat sinar kebencian di iris hitam netra Bumi. Ia tahu, walau tak sekejam awal mereka bertemu. Kembali wajah Bumi menunduk. Langit mengangkat dagu gadis manis itu. Mendekatkan bibirnya ke bibir mungil yang kian membuatnya tak kuasa menolak hasrat kelelakiannya. Dalam sepersekian detik, ia melumatnya penuh rasa.Begitu juga Bumi, ia menyambutnya. Meski kaku, Langit membuatnya lebih nyaman. Tubuh Langit meringsek makin dekat. Lidahnya bermain, membuka rongga mulut Bumi. Mengobrak abrik bagian dalam dengan jilatan, gigitan, sesekali menyesap gemas tanpa jeda. Ketika Bumi seolah tak mampu bernafas, ia melepaskannya. Namun, kembali dikulumnya bibir mungil itu dengan segenap jiwa. Panas!Tangan kiri Langit menarik ma
Langit bertanya serius. Membalas tatapan Bumi dan mampu menundukkan wajah gadis itu. Tak butuh waktu lebih lama lagi, Langit tak kuasa menahan perasaan. Apalagi untuk mendiamkannya. Ngomong terus terang lebih baik, kan?“Bumi,” diangkatnya wajah Bumi. Kedua netra mereka beradu.“A... aku...,” kata Bumi bingung. Bergetar tak mampu mengucap apapun. Kenapa mulutnya terkunci?“Kau tak perlu menjawabnya sekarang.”“Tapi....”Langit menaruh telunjuknya di mulut Bumi. Langsung dijauhkan Bumi.“Aku nggak bisa,” lirih sekali suaranya.“Kenapa?” Langit menuntut jawaban.Bumi menunduk.“Karena mantan?” selidik Langit tapi justru membuat Bumi terhenyak.“Maksudmu?”“Ya, maksudku, kau tahu maksudku, kan?” Langit ganti bertanya. Mata Bumi membulat.“Ah, sudahlah. Sudah malam, aku harus pulang.&rd
Di dalam Langit mengacak rambutnya kesal dan marah jadi satu.Dara gila! Bagaimana bisa ia berani datang padaku hanya dengan kata minta maaf setelah nyata-nyata di luar dia...? Langit tak mampu melanjutkan pikirannya sendiri. Mungkin karena terlalu mencintainya. Sayang, ia tak bisa menerimanya. Walau Langit menyadari dirinya bukan lelaki bersih.Langit bergulat dengan perasaannya sendiri. Merutuki diri sendiri, kenapa ia begitu terpesona pada wanita seperti Dara, yang notabene suka dunia malam, foya-foya dan kehidupan yang tidak baik untuk seorang gadis. Sampai mamanya saja begitu bersikeras tetap mempertahankan hubungan Langit dengan Dara walau Langit sudah menutuskan untuk mengakhir semuanya. Mama akhirnya setuju setelah Adit sendiri bilang kalau kondisi Dara yang sebenarnya. Dengan lelaki yang pasti bukan Lagit!Dan bumi? Mungkinkah Bumi menyaksikan kejadian tadi bersama Dara. Tak hanya mungkin. Pasti melihat semua barusan. Oh, Langi
Suara Dara yang memanggil terdengar di telinga. Namun, kuacuhkan. Tak peduli lagi piring yang berantakan di lantai. Besok aku akan meminta maaf pada Bude Siti kalau piringnya kupecahkan satu. Meskipun rasanya tak perlu minta maaf juga untuk urusan sepele ini.Yang kumampu hanya berbalik arah, menuju motor. Aku ingin secepatnya pergi dari tempat Mas Langit.Setelah itu, kudengar suara Mas Langit memanggil berkali-kali. Jelas, suara Mas Langit tak mampu menghentikanku. Kujalankan motor cepat. Wes embuhlah. Rasanya ada yang mengiris-iris jiwa ini, ngilu rasanya. Dadaku sesak, air mata siap mengalir. Namun, tidak! Aku tak akan menangis untuk kejadian konyol seperti ini. Sayang air mataku menangisi hal yang tak jelas bagiku.Tak ada satupun yang ingin kulakukan selain ingin pergi menjauh. Kupikir semua lelaki sama saja. Kulajukan motor mengikuti naik turun jalanan dan kelokan tajam dengan genangan air mata, hanya genangan, bukan tumpahan. Aku tak
“Lagi hmmm?” tanya Langit dengan suaranya yang masih parau di telinga Bumi. “Mau?” tanya Bumi menggoda dan melirik Langit yang memeluk tubuh polosnya erat. Tanpa banyak kata, Langit mengecup bibir eksotis itu dalam-dalam lalu melepasnya sekejap. “Nggak capek?” Bumi terdiam, meraba lembut bibir Langit dan memandangnya penuh kasih. “Hmmm, aku lapar,” sahut Bumi tak menjawab pertanyaan Langit. Mendengarnya, Langit terkekeh, lalu mengecup kening Bumi dan keluar dari selimut yang menyelubungi mereka berdua.
“Mas,” pekik Bumi kaget mendadak diangkat Langit. Langit terkekeh, lalu menempelkan hidung bangirnya ke hidung Bumi dengan sedikit menunduk. Digerakkannya perlahan dan cewek eksotis tersebut kegelian, ia mengelakkan wajahnya agak ke belakang. “Nggak berat?” tanya Bumi mengeratkan rangkulannya ke leher lelaki di hadapannya. “Berat? Segini aja?” “Segini kata Mas Langit?” sahut Bumi melotot. “Haha,” Langit terbahak. Cepat, dibawanya gadis itu masuk ke dalam, melewati dapur, dan menuju ruang tengah. Masih menggendong Bumi, Langit duduk di sofa. Sekarang, Bumi berad
“Apa yang kau lakukan?” tanya lelaki itu masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di depannya, terlihat Dara masih dengan baju tak karuan di atas pangkuan Langit. Roknya tersingkap ke atas, asetnya masih terlihat jelas dengan warna merah hati di bagian dalam. Mulut Dara melongo, ia sama sekali tak menduga lelaki itu akan ke sini, ke tempatnya Langit. Secepat kilat, Langit melepaskan diri dari lengan Dara, ia berdiri sehingga mau tidak mau Dara turun dari pangkuan. Dara membetulkan letak roknya, kemudian kemeja yang sudah hampir memperlihatkan gunung kembar itu secara keseluruhan. Mata Langit menatap Dara tak habis pikir, lalu ke lelaki yang masih berdiri mematung. Ia menahan kemarahannya, tapi lebih dari itu, melihat ke Langit tak percaya. Begitu juga dengan Langit, menatap lelaki di hadapannya masih tak percaya.
Bab 60Sang Penggoda “Mas...,” desahan demi desahan keluar dari bibir mungil gadis manis itu. Tanpa disadari, ia menekan kepala Langit yang tengah mencium lembut aset yang dicandui Langit itu. Tangan Langit mulai bergerilya, wajahnya mendongak menatap mata Bumi yang penuh kabut. Dilepaskannya kancing kemeja teratas, lalu kancing kedua. Dari situ saja, sudah terlihat aset memikat yang masih tertutup b** warna merah. Tangan Langit menekan ujungnya, menatap lembut mata Bumi yang terpejam. “Aku ingin memilikimu, Bumi, seutuhnya,” desis Langit lirih, sangat lirih. Namun, Bumi mampu mendengarnya, membuka mata, dan menggigit bibir bawahnya pelan. Pemandangan yang mampu meluluhkan kewarasan Lang
Pagi masih berkabut, Langit dan Bumi berjalan di jalan setapak dengan kanan dan kiri tumbuhan pinus menjulang. Terkadang, mereka melewati kebun mawar yang makin ke atas makin menipis dan tersisa hanya pinus dengan aroma khasnya. “Nah, itu tempatnya, Mas,” seru Bumi kegirangan melihat ke sebelah kiri. Ada tempat landai dengan bagian atas tanaman pinus. Tapi di depannya terlihat seperti jurang menganga. Langit hanya tersenyum, ia ikuti arah jalan Bumi yang tak sabar sampai di tempat tersebut. Ada batu besar di sana, Bumi segera duduk dan merenggangkan kedua tangan ke atas. “Huh, capeknya,” serunya dengan memutar pandangan ke seluruh area berhawa sejuk itu. Belakangnya pinus rimbun menghijau dan depannya jurang, sejauh mata memandang terlihat r
“Mati lampu,” bisik Bumi. Byar! Langit menyalakan senter ponsel bersamaa hujan deras mengguyur bumi. “Ada lampu emergency?” tanya Langit menyapu seluruh ruangan. Hanya gelengan kepala dari Bumi. “Aku jarang ke sini.” “Lha ini ke sini.” “Hmmm....” Meskipun senter Langit membantu penerangan, tetap saja kurang maksimal. Beranjak dari sofa, Bumi menuju ke dalam.&nb
Tok tok tok... “Bumi, aku...” Tok tok tok. “Ga, ma... maaf,” kata Bumi menarik tubuh dari pelukan Raga. Mundur ke belakang, menyisakan tatapan Raga yang masih tetap penuh kabut. “Bumi, aku masih menginginkanmu,” ujar Raga mengabaikan kalimat yang keluar dari mulut Bumi. Tok rok tok. “Bentar Ga, ada yang ketuk pintu,” kata Bumi lagi lalu meminggirkan tubuhnya dari hadapan Raga yang terus menatapnya intens. Ia membungkukkan badan, menyambar kemeja dan memakainya dengan tergesa tanpa mengancingkan kanci
Menghela nafas dalam-dalam, Bumi memandang ke depan. Tak boleh terpengaruh Dara, tak boleh! “Minggir Dara, aku mau pergi.” “Aku nggak akan pergi sebelum kau janji tak akan mengganggu Langit!” Mengedikkan bahu, Bumi tersenyum tipis. “Maumu apa?” “Mauku, aku nggak mau lihat kamu ganggu Langit,” ucap Dara dengan tekanan penuh, telunjuknya menunjuk wajah Bumi dengan pongah. “Ganggu? Nggak salah denger aku?” Tanya Bumi melirik Dara yang masih berada di samping mobilnya.&nbs
Dara melengos.“Aku nggak ada urusan sama kamu!” katanya sombong.Mendengar jawaban Dara yang tak mengenakkan hati, muka Adit berubah.“Eh apa kau bilang?”“Aku nggak ada urusan sama kamu!” seru Dara dengan tangan bertolak pinggang.Mengabaikan kata-kata Dara, Adit bergegas melewati dengan sengaja menyenggol bahunya. Kelakuan yang membuat Dara naik pitam.“Apaan, sih?”“Nggak apa-apa, aku cuma ngak mau Bos tambah sakit dengan kedatanganmu!”“Huh, siapa bilang?”“Aku!”Dara menatap Adit dengan mata membola.“Denger, ya, bilang ke bosmu, aku akan mendapatkannya!” kata Dara bernada serius. Tanpa menunggu jawaban Adit, Dara menghentakkan kaki untuk menunjukkan kemarahannya lalu berjalan cepat. Melewati ruang tengah, ruang tamu dan keluar rumah.Melihat itu, Adit hanya menggelengkan kepala beberapa kali.