“Dompetmu...,” sahut Langit disabar-sabarkan.
“Oh, eh, biar aku sendiri, sekalian ambil bunga....”
Bumi tersadar berkata-kata agak panjang dan tiba-tiba Langit mengunci mulutnya dengan jari telunjuk.
“Stt, aku pingin anterin ke sini. Nggak boleh?” kalimat Langit yang tepat di telinga Bumi membuatnya merinding. Tubuhnya mundur lagi. Ia tak ingin kejadian barusan terulang kembali. Sungguh tatapan Langit kadang membuatnya murka, tapi juga benci. Herannya, kenapa ia tak mampu menolaknya?
“Terserah, deh...” itulah yang akhirnya keluar dari mulut Bumi. Jawaban membuat Langit tersenyum di atas angin.
“Oke, aku pulang dulu, jaga dirimu baik-baik,” kata Langit pelan tapi tegas. Disambut anggukan Bumi.
Keduanya menuju garasi. Dengan cepat Langit mengeluarkan KLX, memakai helm dan melajukan motor segera setelah melambaikan tangan ke Bumi. Malam merayap, gerimis mulai turun lagi.
@@@
Langit POV
Kejadian di ruko membuat hatiku terpenjara sempurna. Dara memang belum sepenuhnya kulupakan, tapi kebekuan dan sikap dingin Bumi mampu memunculkan keingintahuanku akan gadis manis itu. Bibir mungilnya ketika kulumat dan cara lembut dia menghadapi ciuman mautku serta tubuhnya yang menegang ketika bersentuhan denganku. Aku tahu tubuhnya tak bisa menolak. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya ingin menolak, meski tak bisa. Aku merasakannya.
“Argg...!” teriakanku toh tak membuatnya ke sini menemani malamku, bukan? Terlalu berharap hal yang berlebihan. Baru sehari ini aku kenal, dengan berbagai hal serba tak terduga. Telah sebegitu berani aku menciumnya? Cowok macam apa aku, huh! Yang kutahu, aku mulai menyukainya. Menyukainya?
Besok pagi sekali, aku akan mengembalikan dompetnya. Ini salah satu caraku agar ada alasan untuk ke tempatnya. Ia sendirian di ruko. Kemana orang tuanya? Kenapa? Haruskah bertanya pada Pakde Tejo? Ada misteri di sana.
Malam ini, aku harus cek semua email perusahaan yang masuk. Hingga besok bisa leluasa ke tempat Bumi.
@@@
Author POV
Namun, itulah yang terjadi. Rencana tidak seperti harapan yang diharapkan. Hari berikutnya, Langit mulai sibuk dengan segala acara dadakan, yang mau tak mau harus diselesaikan. Pagi sekali, Pakde Tejo sudah memberitahu Langit panenan alpukat yang bermasalah karena pembelinya ada masalah dengan bank. Akan mempengaruhi pembayaran.
Sebetulnya bukan tugas utamanya, tapi, tinggal di desa seperti ini, seorang CEO sepertinya hanya label semata. Toh, semua harus diselesaikannya sendirian. Langit mendesah, mengumpat, tapi tetap membereskan semua dengan sebaik-baiknya. Tak ada gunanya mengumpat atau menunda pekerjaan, akhirnya akan bermuara kembali kepadanya. Sungguh, Langit harus bersahabat dengan keadaan, pekerjaan dan kekosongan hatinya.
Setelah menyelesaikannya, Langit ditelepon papanya harus cek tentang perkebunan krisan yang sekarang mulai beranjak membaik penjualannya. Setelah turun dan oleng karena adanya pandemi yang belum selesai keberadaannya.
Mau tak mau, Langit sibuk sampai tak bisa memikirkan hal lain. Bagaimanapun ia diberi kepercayaan oleh papanya dan tak boleh menyia-nyiakanya.
Sore hari, ketika pulang dari mengecek kebun krisan di beberapa tempat, Langit baru tersadar akan janjinya pada Bumi. Diselonjorkannya kaki di sofa ruang tengah. Mengeluarkan ponsel dan mencoba telpon lewat WA Bumi. Tidak diangkat. Diulangnya beberapa kali. Tetap saja tidak diangkat.
“Sh*t,” umpat Langit lalu berdiri mondar mandir. Kenapa juga harus lupa? Tadi Pakde Tejo juga terlalu sibuk. Langit sampai tak ingat bertanya akan Bumi padanya, motor Bumi, ponsel Bumi! Saking sibuknya? Keluh Langit tak habis pikir dengan dirinya sendiri.
Digantinya menelpon seseorang.
“Pakde?”
“....”
“Motor Bumi sudah diantar?”
“....”
“Ponsel?”
“....”
“Oh baiklah. Jadi sudah beres, ya?”
“....”
“Bebankan semuanya ke aku.”
Atau, haruskah ia membelikan motor baru untuk Bumi? Motor? Terlalu murah. Mobil! Otak Langit berputar hebat.
“....”
“Baik.”
Ditutupnya ponsel itu. Artinya, Bumi sudah mendapatkan ponselnya kembali. Langit bergegas membersihkan diri. Besok, ia ingin ke tempat Bumi. Dompet Bumi, ia telah berjanji ingin mengembalikannya.
Tapi yang terjadi di hari berikutnya adalah kesibukan yang menyita semua waktunya. Dari pagi hingga sore, cek kebun secara langsung. Membenahi yang perlu dibenahi. Hingga sore menderap dan malam menyapa. Meskipun dialah sang pemilik, Langit tidak dengan mudah meninggalkan pekerjaan. Di awal ini harus membuatnya lebih berjuang memajukan perusahaan yang telah dipasrahkan papa kepadanya.
Hanya desahan Langit saja tiap telepon bahkan video call tak pernah diangkat Bumi. Berpesan melalui WA juga hanya centang biru dua. Bumi tetap bergeming, dingin, kembali tak tersentuh olehnya. Iapun tak pernah melihat Bumi mampir ke rumah Pakde Tejo. Padahal Langit selalu ingat malam itu. Malam ia benar-benar merasa dekat dengan Bumi. Kenapa Bumi?
@@@
Akhirnya, setelah sekian hari berlalu tanpa ia mampu bergerak sedikitpun untuk Bumi, pekerjaan mulai terkondisikan dengan baik. Sore itu, setelah bersahabat dengan kerjaan yang menggunung, Langit duduk sejenak di ruang tengah.
“Tehnya Mas Langit,” kata Bude Siti dari dapur yang disambut senyum kecil Langit. Diletakkannya secangkir teh itu di meja depan sofa. Bersama pisang goreng yang masih mengepul.
“Makasih.”
Bude Siti hanya mengangguk.
“Apa Bumi tadi ke sini?” tanya Langit.
“Mboten Mas Langit. Tumben juga. Biasanya anak itu wira wiri ke sini tiap hari. Ini kok berhari-hari tidak mampir. Nggak ambil bunga juga. Apa masuk angin ya katanya kapan hari kehujanan barengan Mas Langit?” terdengar nada khawatir suara Bude Siti.
“Waktu itu baik saja, sih,” sahut Langit tanpa cerita kalau saking capeknya Bumi pingsan.
“Baikah, mungkin dia sibuk.”
“Bisa jadi,” Langit mengangguk mengiyakan. “Eh sebenarnya Bumi itu anaknya siapa Bude?”
“Mimi itu anak kakaknya Mas Tejo. Sebenanya Mimi dulu tinggal di Semarang. Tapi karena ... eng... dia ditinggal calon suaminya, jadi....” Bude Siti menghentikan kalimatnya. Tampak sekali keraguan untuk melanjutkannya.
“Ditinggal calon suaminya?” Langit terhenyak.
Anggukan Bude Siti sukses membuat Langit melongo sempurna.
“Nggih.”
“Sudah lama?” keingintauan Langit tak terbendung lagi.
“Lumayanlah,” sahut Bude Siti cepat.
Jawaban itu mampu melunakkan netra Langit beberapa saat. Hembusan nafasnya tajam terasa.
“Terus?” tanya Langit setelah beberapa saat mematung.
“Mimi kecewa sekali, entahlah kenapa calonnya membatalkan pernikahan. Malu kan sekeluarga. Akhirnya daripada stres Bumi diminta Mas Tejo ke sini. Bumi juga keluar dari pekerjaannya.”
“Oh....”
“Hanya saja, ia tak mau tinggal di rumah bareng Bude. Akhirnya dibelikan ruko sama papanya. Untuk jualan bunga sekaligus tempat tinggal Mimi.”
“Oh,” kembali Langit ber ohhh panjang sembari manggut-manggut. Tak disangka kisah Mimi sebelas dua belas dengannya. Iapun merasakan hal yang sama. Betapa sakitnya. Tanpa sengaja, sengalan nafasnya terdengar keras.
“Makanya Bumi pendiam.” Langit berbicara pelan.
“Sebetulnya Mimi itu anak yang ceria dan menyenangkan. Setelah kejadian itu, ia jadi tertutup. Sekarang sudah mendingan Mas Langit. Anaknya sudah bisa senyum, bahkan tertawa.”
“Begitu, ya?” tukas Langit. Baginya Bumi tetap sosok yang dingin.
“Sepertinya dia sekarang gemar menulis kembali. Sibuk sama laptopnya. Bude juga tak tahu Mas Langit. Tapi, Bude sering lihat kalau pas mampir rukonya, Mimi sedang sibuk ngetik sambil nungguin tokonya. Kalau bude tanya, katanya lagi sibuk dikejar det.. det....”
“Deadline?” Lanjut langit.
“Nah, itu dia Mas, beneran Mas Langit. Bude ora ngerti boso Londo ngono kui,” Bude Siti terkekeh sendiri. Yang artinya dia tak mengerti bahasa luar seperti itu, diikuti senyum Langit.
“Yowes ya Mas Langit, Bude tak balik, sik,” kata Bude Siti sambil mengangguk sedikit ke arah Langit.
“O, ya, Bude, habis ini tolong siapin makan malam. Aku mau pergi nanti,” ujar Langit sebelum Bude Siti berlalu.
“Baik, Mas Langit,” sahut Bude Siti lalu mengangguk dan segera berlalu melalui dapur menuju pintu belakang untuk kembali ke rumah.
@@@
Malam beringsut mendekat, kabut memekat, pelan dan pasti. Gerimis mengundang. Langit sudah makan malam setelah tadi ia pesan ke Bude Siti ingin makan lebih awal. Ia ingin segera menemui Bumi. Gadis yang telah menyita seluruh perhatiannya.
Dalam mobil, langit ditemani lagi lawas Sting, Fields of Gold.
“You’ll remember me, when the west wind moves. Upon the fields of barley. You’ll forget the sun in his jealous sky. As we walk in fields of gold....” Langit lirih bergumam.
Lagu dengan ritme enak didengar di telinga. Gerimis sudah berganti hujan menderas. Di lereng pegunungan seperti ini, hampir tiap sore setelah kabut, rintik gerimis selalu menjadi teman setia. Apalagi di musim hujan.
Tak butuh waktu lama, Langit sampai di ruko Bumi. Mobil dibawanya langsung melewati belakang. Parkir tepat di depan garasi ruko Bumi. Terlihat pintu garasi tertutup.
Mesin mobil dimatikan dan keluar dari CRV. Berlari ke sudut garasi agar tak terkena rintik air. Diambilnya ponsel dan mulai menekan nomor Bumi. Namun diurungkannya. Terdapat bel berbentuk lonceng tepat di samping pintu garasi. Ia membunyikannya.
Sekali, hening.
Dua kali, sepi.
Tiga kali.
Terdengar suara langkah kaki mendekat. Mengintip dari lubang kecil di pintu. Kemudian dibukanya pintu garasi. Kepala Bumi muncul begitu saja.
“Hmmm.”
Langit melihat sebal. Bukannya dibuka lebar malah di hmm doang?
“Boleh aku masuk?”
Hanya pintu yang dibuka lebih lebar, menyilakan Langit masuk ke dalam. Pintu garasi ditutup Bumi kembali. Baru terpampang jelas begitu manisnya Bumi dengan baju kesehariannya. Hanya memakai kemeja gombreng lebar hingga tampaknya ia tak memakai bawahan. Langit melotot dibuatnya. Rambutnya digerai berantakan begitu saja. Ya ampun, mau dari posisi manapun juga Bumi tetaplah gadis yang madu. Langit menelan salivanya berkali-kali.
Terlihat kaku, Langit tak menuju dalam. Bumi yang berjalan terlebih dahulu menuju pintu yang berhubungan dengan dapur menghentkan langkah, menoleh ke belakang.
“Beneran aku boleh masuk?”
Pertanyaan Langit sedikit menggoda.
“Atau mas Langit mau pulang?”
Jawaban sekaligus pertanyaan itu mampu menggumpalkan kekesalan buat Langit. Namun ditahannya. Nih, cewek, bisa sejutek itu? Langit benar-benar tak habis pikir.
“Hei,” Langit tak tahan lagi. Ditariknya lengan Bumi mendekat ke tubuhnya. Bumi menegang beberapa saat. Kemudian mundur beberapa senti. Bukannya diam, Langit terus mendekat hingga Bumi terus mundur sampai ke pintu dapur yang terbuka.
“Stop, deh,” ujarnya perlahan menahan dada Langit. Suaranya bergetar tak karuan.
“Haha....” Langit terbahak. Kena deh, Bumi. Mulut Bumi mengerucut. Ia tak menyangka Langit mempermainkannya. Sial!
“Pasti kamu udah mikir macam-macam, kan?”
“Huh!”
Bukannya marah, Langit makin terbahak. Diacaknya rambut Bumi pelan. Awalnya ragu, ketika Bumi tetap diam dengan wajah cemberut, Langit terus mengacaknya. Lalu, senyap menggantung. Ditatapnya wajah Bumi yang langsung melengos dan masuk ke dapur mungil, langsung ke kiri menuju ruang tengah. Langit mengikutinya masih menahan tawa.
Keduanya duduk di sofa. Laptop Bumi hidup di atas meja kecil. Sepertinya Bumi sedang sibuk.
“Ehm, kopi?” tanya Bumi pelan.
“Wedang jahe aja kayak kamu,” tunjuk Langit ke mug di samping laptop. Ada wedang jahe masih mengepul di sana.
Bumi mengangguk langsung ke dapur membuatkan wedang jahe. Sedangkan Langit, tanpa sengaja menatap layar laptop yang masih menyala. Melihatnya sekilas. Lebih jelas. Ada beberapa foto di sana. Dan ia tertumpu pada seseorang. Dahi langit berkerut. Kedua alisnya terlihat hampir menyatu.
“Mas,” suara Bumi mengejutkan Langit. Ia menyodorkan mug berisi wedang jahe yang panas mengepul.
“Makasih,” sahut Langit dan langsung menerima kemudian meminumnya perlahan.
Bumi duduk di karpet, menggeser kursor segera. Hanya tampilan layar menu bergambar Bumi memegang mawar dan krisan. Maduuuu.
“Harumnya,” puji Langit untuk wedang jahe Bumi.
“Hmmm,” dehem Bumi jutek.
“Haha, kenapa suka wedang jahe?”
“Harum.”
“Itu saja?”
“Hangat.”
Jeduerrr! Suara petir tanpa prolog. Tubuh Bumi sampai terlonjak kaget. Langit segera menaruh mug di samping wedang jahe Bumi.
Pet!
Mati lampu. Hanya nyala layar laptop menerangi ruangan. Bumi dan Langit saling melirik. Tak berapa lama, hujan tercurah semakin deras. Petir menyambar tiada henti. Langit segera menyalakan senter ponsel. Sedangkan Bumi sibuk mematikan laptopnya, dalam diam. Mengambil ponsel yang berada di samping laptop, lalu mendesis lirih.
“Kenapa?”
“Low bat,” sahut Bumi lirih. “Entar kuambil lilin.”
Bumi beranjak ke dapur, diikuti Langit dengan senter ponselnya. Lilin yang berada di laci itu dinyalakanya di atas meja makan. Kemudian dibawa kembali ke meja tengah.
Keduanya duduk di sofa dalam diam. Sesekali, Bumi menarik nafas panjang. Netra Langit memperhatikan dalam bayang besar lilin yang menerangi. Terlihat manis sekali dalam keremangan hanya bersinarkan nyala lilin begini. Kelihatannya, Bumi melamun.
“Kamu nggak takut tinggal sendiri? Mati lampu gini?” Langit memulai pembicaraan. Tetap tanpa jawaban.
“Bumi,” disentuhnya pundak Bumi.
“Ya?”
Ya Tuhan, cewek ini, masih sempat melamun ada aku di sampingnya? Rutuk Langit tak habis pikir.
“Kamu tak takut tinggal sendiri...?” ulangnya sekali lagi.
Bumi hanya menggelengkan kepala. Senyap makin menggantung. Detak jantung Langit seperti kuda berkejaran di lapangan. Ada apa dengan dirinya?
“Bawa dompetku?” tanya Bumi akhirnya. Disambut Langit dengan menepuk jidatnya beberapa kali. Mata Bumi membelalak.
“Nggak bawa?” cecarnya ketus.
“Ehm....”
“Mas,” netra Bumi menajam. Bukannya menjawab, Langit menatap intens mata Bumi, terus dan mengungkung wajah Bumi dengan kedua tangannya.
“Kubawa.”
Badan Bumi mundur. Mencoba menarik tangan Langit ke bawah. Bukannya melepas, tapi malah membuat Langit makin mengungkung wajahnya. Dimajukannya wajah tampan itu persis di wajah Bumi. Sampai hidung kedunya berhimpitan.
“Aku pasti kasih ke kamu tapi ada syaratnya,” desis Langit parau.
@@@
Bumi menunduk. Dilepaskannya kungkungan itu perlahan, Langit mengikutinya, melepaskan wajah Bumi dari jemarinya.Wajah bak madu itu mengangkat wajah. Mengawasi tiap inci wajah Langit. Dalam remang, Langit melihat sinar kebencian di iris hitam netra Bumi. Ia tahu, walau tak sekejam awal mereka bertemu. Kembali wajah Bumi menunduk. Langit mengangkat dagu gadis manis itu. Mendekatkan bibirnya ke bibir mungil yang kian membuatnya tak kuasa menolak hasrat kelelakiannya. Dalam sepersekian detik, ia melumatnya penuh rasa.Begitu juga Bumi, ia menyambutnya. Meski kaku, Langit membuatnya lebih nyaman. Tubuh Langit meringsek makin dekat. Lidahnya bermain, membuka rongga mulut Bumi. Mengobrak abrik bagian dalam dengan jilatan, gigitan, sesekali menyesap gemas tanpa jeda. Ketika Bumi seolah tak mampu bernafas, ia melepaskannya. Namun, kembali dikulumnya bibir mungil itu dengan segenap jiwa. Panas!Tangan kiri Langit menarik ma
Langit bertanya serius. Membalas tatapan Bumi dan mampu menundukkan wajah gadis itu. Tak butuh waktu lebih lama lagi, Langit tak kuasa menahan perasaan. Apalagi untuk mendiamkannya. Ngomong terus terang lebih baik, kan?“Bumi,” diangkatnya wajah Bumi. Kedua netra mereka beradu.“A... aku...,” kata Bumi bingung. Bergetar tak mampu mengucap apapun. Kenapa mulutnya terkunci?“Kau tak perlu menjawabnya sekarang.”“Tapi....”Langit menaruh telunjuknya di mulut Bumi. Langsung dijauhkan Bumi.“Aku nggak bisa,” lirih sekali suaranya.“Kenapa?” Langit menuntut jawaban.Bumi menunduk.“Karena mantan?” selidik Langit tapi justru membuat Bumi terhenyak.“Maksudmu?”“Ya, maksudku, kau tahu maksudku, kan?” Langit ganti bertanya. Mata Bumi membulat.“Ah, sudahlah. Sudah malam, aku harus pulang.&rd
Di dalam Langit mengacak rambutnya kesal dan marah jadi satu.Dara gila! Bagaimana bisa ia berani datang padaku hanya dengan kata minta maaf setelah nyata-nyata di luar dia...? Langit tak mampu melanjutkan pikirannya sendiri. Mungkin karena terlalu mencintainya. Sayang, ia tak bisa menerimanya. Walau Langit menyadari dirinya bukan lelaki bersih.Langit bergulat dengan perasaannya sendiri. Merutuki diri sendiri, kenapa ia begitu terpesona pada wanita seperti Dara, yang notabene suka dunia malam, foya-foya dan kehidupan yang tidak baik untuk seorang gadis. Sampai mamanya saja begitu bersikeras tetap mempertahankan hubungan Langit dengan Dara walau Langit sudah menutuskan untuk mengakhir semuanya. Mama akhirnya setuju setelah Adit sendiri bilang kalau kondisi Dara yang sebenarnya. Dengan lelaki yang pasti bukan Lagit!Dan bumi? Mungkinkah Bumi menyaksikan kejadian tadi bersama Dara. Tak hanya mungkin. Pasti melihat semua barusan. Oh, Langi
Suara Dara yang memanggil terdengar di telinga. Namun, kuacuhkan. Tak peduli lagi piring yang berantakan di lantai. Besok aku akan meminta maaf pada Bude Siti kalau piringnya kupecahkan satu. Meskipun rasanya tak perlu minta maaf juga untuk urusan sepele ini.Yang kumampu hanya berbalik arah, menuju motor. Aku ingin secepatnya pergi dari tempat Mas Langit.Setelah itu, kudengar suara Mas Langit memanggil berkali-kali. Jelas, suara Mas Langit tak mampu menghentikanku. Kujalankan motor cepat. Wes embuhlah. Rasanya ada yang mengiris-iris jiwa ini, ngilu rasanya. Dadaku sesak, air mata siap mengalir. Namun, tidak! Aku tak akan menangis untuk kejadian konyol seperti ini. Sayang air mataku menangisi hal yang tak jelas bagiku.Tak ada satupun yang ingin kulakukan selain ingin pergi menjauh. Kupikir semua lelaki sama saja. Kulajukan motor mengikuti naik turun jalanan dan kelokan tajam dengan genangan air mata, hanya genangan, bukan tumpahan. Aku tak
Hai, bab ini mengandung konten dewasa, ya. === Ada sesuatu yang berbeda, Bumi menarik bibirnya, mundur. Langit terkesiap. “Lebih baik Mas Langit pulang,” ujar Bumi pelan. Ia tak mau hanyut terjerat Langit, sungguh, walaupun ia begitu ingin. Langit terpana, menatap tak percaya. Bumi kembali dingin. Tarikan berat nafas keduanya hampir bersamaan. “Kau tak memaafkanku?” “Aku bukan siapa-siapa,” gumam Bumi. Sontak membuat Langit mendekat. “Bumi, aku....” Langit tak mampu menyelesaikan kalimatnya. “Aku ingin sendiri,” sahut Bumi teramat pelan. Langit menatap Bumi, mengangkat dagu gadis itu. Segera Bumi menarik diri, mundur selangkah. Tak ada yang perlu diperbincangkan lagi. Bumi hanya ingin sendiri. Seharusnya dari awal ia meminta Langit pulang, tidak dalam situasi di tengah-tengah begini. Bumi menyesali keputusannya. Sudah terlanjur. &
Mata Bumi membola, kemudian mengerjap beberapa kali. Huh! Bumi mengacak rambut ikalnya kesal. Apa urusannya? Ia tak pernah mengurusi urusan orang lain. Jadi bodo amat, kan? [Kau tak mau membalas pesanku?] Buat apa? [Tak mau angkat telponku?] Haha, bukan urusanmu! [Kau takut?] Maksudmu? [Jangan ganggu hubungan kami! Ingat itu!] Bodo amat! Bumi menutup ponselnya. Tak ada niat membalas pesan-pesan gila itu. Toh, buat apa juga? Ia benar-benar tak mengerti kenapa musti berhubungan lagi dengan wanita yang menyebalkan itu. Senyum sinis di bibir Bumi tersungging. Apa maksudnya? Kalau memang mau, sana buatmu. Aku juga nggak mau. Eh benarkah seperti itu? Bumi seolah bermonolog dengan diri sendiri. Meski apapun itu, ia belum merasa ingin berhubungan dengan lelaki lain. Dan pesan-pesan yang datang tadi benar-benar membuatnya tak habis pikir. Memangn
Hai, ada adegan dewasa, ya :)Selamat membaca...Masih di BUMI POVAku masih menatap tak percaya, kemudian melanjutkan merangkai bunga dengan santai. Ya, kubuat sesantai mungkin. Aku tak mau malah mengikuti permainan wanita di depan tokoku itu. Yakin sekali, ia memperhatikanku yang mencueki kehadirannya.“Hei!” katanya kesal melihat aku tak peduli akan kehadirannya.Hanya melirik, itulah yang kulakukan, menahan nafas dan mengeluarkannya perlahan.“Bumi, aku mau ngomong!” katanya hampir berteriak. Kudongakkan wajah kembali menatap iris matanya. Bajunya yang kekurangan bahan membuatku memiringkan senyuman. Dari dulu, ia tak berubah. Cantik, sih, semua orang mengakuinya, akupun mengakui. Bodinya bak gitar Spanyol, hidungnya mancung, wajahnya kinclong, nggak ada kekurangan urusan penampakan, tapi....“Bumi!” suaranya setengah meledak.“Mau pesan bunga?” tanyaku tak acuh.
Terdapat adegan dewasa, ya.Selamat membaca.“Kau menyukainya?” tanya Langit. Tak bergeming.“Bumi!”“Aku nggak tahu,” jawab Bumi, tapi ia mengeratkan pelukan Langit.“Kita pacaran!” tegas Langit yang langsung membuat Bumi merenggangkan pelukan.“Mas.” Bumi hendak protes. Tapi telunjuk Langit segera menutup mulut mungilnya.“Nggak ada penolakan!”Digandengnya tangan Bumi menuju meja makan.“Kita makan dulu, aku lapar menahan diri lihat kamu,” ujar Langit kembali menatap Bumi tanpa kedip. Mau tak mau Bumi ikut duduk, berpangku tangan bingung. Ia masih kenyang dan merasa canggung dengan kejadian barusan.“Temenein aku saja,” pinta Langit, akhirnya Bumi mengangguk. Menatap gerak gerik Langit saat mengambil nasi, mengambil lauk, lalapan dan sambal. Kemudian makan dengan semangat. Kadang, Lang
“Lagi hmmm?” tanya Langit dengan suaranya yang masih parau di telinga Bumi. “Mau?” tanya Bumi menggoda dan melirik Langit yang memeluk tubuh polosnya erat. Tanpa banyak kata, Langit mengecup bibir eksotis itu dalam-dalam lalu melepasnya sekejap. “Nggak capek?” Bumi terdiam, meraba lembut bibir Langit dan memandangnya penuh kasih. “Hmmm, aku lapar,” sahut Bumi tak menjawab pertanyaan Langit. Mendengarnya, Langit terkekeh, lalu mengecup kening Bumi dan keluar dari selimut yang menyelubungi mereka berdua.
“Mas,” pekik Bumi kaget mendadak diangkat Langit. Langit terkekeh, lalu menempelkan hidung bangirnya ke hidung Bumi dengan sedikit menunduk. Digerakkannya perlahan dan cewek eksotis tersebut kegelian, ia mengelakkan wajahnya agak ke belakang. “Nggak berat?” tanya Bumi mengeratkan rangkulannya ke leher lelaki di hadapannya. “Berat? Segini aja?” “Segini kata Mas Langit?” sahut Bumi melotot. “Haha,” Langit terbahak. Cepat, dibawanya gadis itu masuk ke dalam, melewati dapur, dan menuju ruang tengah. Masih menggendong Bumi, Langit duduk di sofa. Sekarang, Bumi berad
“Apa yang kau lakukan?” tanya lelaki itu masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di depannya, terlihat Dara masih dengan baju tak karuan di atas pangkuan Langit. Roknya tersingkap ke atas, asetnya masih terlihat jelas dengan warna merah hati di bagian dalam. Mulut Dara melongo, ia sama sekali tak menduga lelaki itu akan ke sini, ke tempatnya Langit. Secepat kilat, Langit melepaskan diri dari lengan Dara, ia berdiri sehingga mau tidak mau Dara turun dari pangkuan. Dara membetulkan letak roknya, kemudian kemeja yang sudah hampir memperlihatkan gunung kembar itu secara keseluruhan. Mata Langit menatap Dara tak habis pikir, lalu ke lelaki yang masih berdiri mematung. Ia menahan kemarahannya, tapi lebih dari itu, melihat ke Langit tak percaya. Begitu juga dengan Langit, menatap lelaki di hadapannya masih tak percaya.
Bab 60Sang Penggoda “Mas...,” desahan demi desahan keluar dari bibir mungil gadis manis itu. Tanpa disadari, ia menekan kepala Langit yang tengah mencium lembut aset yang dicandui Langit itu. Tangan Langit mulai bergerilya, wajahnya mendongak menatap mata Bumi yang penuh kabut. Dilepaskannya kancing kemeja teratas, lalu kancing kedua. Dari situ saja, sudah terlihat aset memikat yang masih tertutup b** warna merah. Tangan Langit menekan ujungnya, menatap lembut mata Bumi yang terpejam. “Aku ingin memilikimu, Bumi, seutuhnya,” desis Langit lirih, sangat lirih. Namun, Bumi mampu mendengarnya, membuka mata, dan menggigit bibir bawahnya pelan. Pemandangan yang mampu meluluhkan kewarasan Lang
Pagi masih berkabut, Langit dan Bumi berjalan di jalan setapak dengan kanan dan kiri tumbuhan pinus menjulang. Terkadang, mereka melewati kebun mawar yang makin ke atas makin menipis dan tersisa hanya pinus dengan aroma khasnya. “Nah, itu tempatnya, Mas,” seru Bumi kegirangan melihat ke sebelah kiri. Ada tempat landai dengan bagian atas tanaman pinus. Tapi di depannya terlihat seperti jurang menganga. Langit hanya tersenyum, ia ikuti arah jalan Bumi yang tak sabar sampai di tempat tersebut. Ada batu besar di sana, Bumi segera duduk dan merenggangkan kedua tangan ke atas. “Huh, capeknya,” serunya dengan memutar pandangan ke seluruh area berhawa sejuk itu. Belakangnya pinus rimbun menghijau dan depannya jurang, sejauh mata memandang terlihat r
“Mati lampu,” bisik Bumi. Byar! Langit menyalakan senter ponsel bersamaa hujan deras mengguyur bumi. “Ada lampu emergency?” tanya Langit menyapu seluruh ruangan. Hanya gelengan kepala dari Bumi. “Aku jarang ke sini.” “Lha ini ke sini.” “Hmmm....” Meskipun senter Langit membantu penerangan, tetap saja kurang maksimal. Beranjak dari sofa, Bumi menuju ke dalam.&nb
Tok tok tok... “Bumi, aku...” Tok tok tok. “Ga, ma... maaf,” kata Bumi menarik tubuh dari pelukan Raga. Mundur ke belakang, menyisakan tatapan Raga yang masih tetap penuh kabut. “Bumi, aku masih menginginkanmu,” ujar Raga mengabaikan kalimat yang keluar dari mulut Bumi. Tok rok tok. “Bentar Ga, ada yang ketuk pintu,” kata Bumi lagi lalu meminggirkan tubuhnya dari hadapan Raga yang terus menatapnya intens. Ia membungkukkan badan, menyambar kemeja dan memakainya dengan tergesa tanpa mengancingkan kanci
Menghela nafas dalam-dalam, Bumi memandang ke depan. Tak boleh terpengaruh Dara, tak boleh! “Minggir Dara, aku mau pergi.” “Aku nggak akan pergi sebelum kau janji tak akan mengganggu Langit!” Mengedikkan bahu, Bumi tersenyum tipis. “Maumu apa?” “Mauku, aku nggak mau lihat kamu ganggu Langit,” ucap Dara dengan tekanan penuh, telunjuknya menunjuk wajah Bumi dengan pongah. “Ganggu? Nggak salah denger aku?” Tanya Bumi melirik Dara yang masih berada di samping mobilnya.&nbs
Dara melengos.“Aku nggak ada urusan sama kamu!” katanya sombong.Mendengar jawaban Dara yang tak mengenakkan hati, muka Adit berubah.“Eh apa kau bilang?”“Aku nggak ada urusan sama kamu!” seru Dara dengan tangan bertolak pinggang.Mengabaikan kata-kata Dara, Adit bergegas melewati dengan sengaja menyenggol bahunya. Kelakuan yang membuat Dara naik pitam.“Apaan, sih?”“Nggak apa-apa, aku cuma ngak mau Bos tambah sakit dengan kedatanganmu!”“Huh, siapa bilang?”“Aku!”Dara menatap Adit dengan mata membola.“Denger, ya, bilang ke bosmu, aku akan mendapatkannya!” kata Dara bernada serius. Tanpa menunggu jawaban Adit, Dara menghentakkan kaki untuk menunjukkan kemarahannya lalu berjalan cepat. Melewati ruang tengah, ruang tamu dan keluar rumah.Melihat itu, Adit hanya menggelengkan kepala beberapa kali.