Hai, ada adegan dewasa, ya :)
Selamat membaca...
Masih di BUMI POV
Aku masih menatap tak percaya, kemudian melanjutkan merangkai bunga dengan santai. Ya, kubuat sesantai mungkin. Aku tak mau malah mengikuti permainan wanita di depan tokoku itu. Yakin sekali, ia memperhatikanku yang mencueki kehadirannya.
“Hei!” katanya kesal melihat aku tak peduli akan kehadirannya.
Hanya melirik, itulah yang kulakukan, menahan nafas dan mengeluarkannya perlahan.
“Bumi, aku mau ngomong!” katanya hampir berteriak. Kudongakkan wajah kembali menatap iris matanya. Bajunya yang kekurangan bahan membuatku memiringkan senyuman. Dari dulu, ia tak berubah. Cantik, sih, semua orang mengakuinya, akupun mengakui. Bodinya bak gitar Spanyol, hidungnya mancung, wajahnya kinclong, nggak ada kekurangan urusan penampakan, tapi....
“Bumi!” suaranya setengah meledak.
“Mau pesan bunga?” tanyaku tak acuh.
Terdapat adegan dewasa, ya.Selamat membaca.“Kau menyukainya?” tanya Langit. Tak bergeming.“Bumi!”“Aku nggak tahu,” jawab Bumi, tapi ia mengeratkan pelukan Langit.“Kita pacaran!” tegas Langit yang langsung membuat Bumi merenggangkan pelukan.“Mas.” Bumi hendak protes. Tapi telunjuk Langit segera menutup mulut mungilnya.“Nggak ada penolakan!”Digandengnya tangan Bumi menuju meja makan.“Kita makan dulu, aku lapar menahan diri lihat kamu,” ujar Langit kembali menatap Bumi tanpa kedip. Mau tak mau Bumi ikut duduk, berpangku tangan bingung. Ia masih kenyang dan merasa canggung dengan kejadian barusan.“Temenein aku saja,” pinta Langit, akhirnya Bumi mengangguk. Menatap gerak gerik Langit saat mengambil nasi, mengambil lauk, lalapan dan sambal. Kemudian makan dengan semangat. Kadang, Lang
Author POV Langit terus terlelap, sedangkan Bumi duduk lesehan di karpet dan mulai serius mengetik. Sesekali ia menoleh ke Langit, kemudian fokus lagi ke laptop. Mata yang berat membuatnya mulai tak fokus. Diselesaikannya 2 buah artikel dan langsung dikirim melalui email. “Done,” bisiknya segera mematikan laptop. Melihat layar ponsel dan membalas beberapa chat dengan cepat. Dingin yang menyeruak membuatnya sedikit menarik selimut besar yang dipakai Langit. Menutupi tubuh dan matanya mulai terpejam. Dengan kepala disandarkan di sofa, tepat di bagian pinggang Langit. Kakinya berselonjor begitu saja. Tak butuh lama, Bumi langsung tertidur nyenyak, dengan posisi tak enak yang nyaman saja dalam kondisi ngantuk berat. Menjelang mentari muncul, kebekuan hadir tanpa ampun. Netra Langit membuka perlahan. Awalnya biasa saja, kemudian menatap nanar sekeliling, tampak berpikir jernih, menyatukan nyawa. Melihat ke samping kanan, dan melotot mendapa
Tatapan itu, membuat Langit tak karuan, ia ingat waktu Bumi pingsan dan lemas saat kehujanan di awal mereka kenalan.“Udah sarapan?”Menggeleng.“Ya ampun Bumi!”Gegas Langit berdiri.“Kamu di sini aja, nggak boleh kemana-mana,” titah Langit tegas. Kemudian keluar tanpa mengucap sapatah katapun lagi. Terdengar suara KLX membelah keheningan pagi menuju siang. Sebetulnya Bumi ingin bertanya, tapi tak mampu mengeluarkan suara sedikitpun. Entahlah kenapa tubuhnya mendadak menggigil. Dinaikkannya kaki ke atas sofa, duduk bersila dengan tangan memeluk bantal sofa kecil yang ada di sana.Tak berapa lama, suara KLX terdengar kembali. Langit datang membawa bungkusan dan ditaruhnya di meja ruang TV. Memandang Bumi khawatir.“Kau pucat sekali, Bumi, makan, ya,” katanya dengan punggung tangan ditaruh ke kening Bumi. Hangat. Bumi diam saja.“Tak apa, paling karena
“Maksudnya?” tanya Bumi bingung.“Kamu punya musuh?” tanya Langit lebih jelas.Bumi tampak berpikir sambil menatap Langit masih kebingungan kemudian menggelengkan kepala.“Beneran?” Langit memastikan.“Musuh?” Bumi bergumam sendiri, menggelengkan kepala lagi. Rasa-rasanya ia tak pernah memiliki musuh. Aneh sekali pertanyaan Langit.“Baiklah kalau begitu,” kata Langit tersenyum. Diusapnya pipi gadis eksotis itu lembut. Bumi menjauhkan wajahnya, membuat Langit tertawa.“Udah makan?” tanya Langit penuh perhatian.Drrttt, drttt. Langit membuka ponselnya.“....”“Dicantel depan?”“....”“Oke, oke, makasih.”“....”Langit menutup ponsel.“Aku pesan makanan, tak suruh taruh d
Ada adegan dewasanya, ya.Bijak yuk memilih bacaan. Selamat membaca.“Ya,” sahut suara itu tak kalah pelan.Bumi mematung. Kenapa lelaki itu datang kembali, setelah kemarin ke ruko, ketemu di minimarket dan sekarang? Dihelanya nafas kuat-kuat, lalu menghembuskannya pelan. Raga sudah tahu rukonya, entahlah ia tahu darimana. Namun, tak perlu dipertanyakan, banyak cara, lagipula Bumi tak berniat sama sekali untuk lenyap. Ia hanya ingin menjauh, dan menghindar. Ia dulu, sempat menjadi bagian dari Raga, jadi kenapa harus panik jika bertemu lelaki itu? Karena gagal nikah, karena belum mampu memaafkan, karena belum bisa melupakan?Tak diperhatikannya ketika Raga telah melewati sisi kecil dan berada tepat di depannya, menatap sepenuhnya.“Maaf, mengganggumu,” kata Raga masih dengan tatapan intensnya ke Bumi. Bumi mendongak, menatap mata elang itu sesaat. Tuhan, bagaimanapun juga ia masih m
Bumi menoleh, melotot kesal. Bagaimanapun juga pikirannya jadi kemana-mana. Minuman enak?“Haha, mau?” kembali Langit menarik tangan lengan Bumi, Bumi mengabaikan terus berjalan ke dispenser mengambil air minum dan meneguknya beberapa teguk. Langit menunggu di sampingya.“Kau mau bilang kita tak ada komitmen?” tanya Langit.Lirikan Bumi tepat di mata Langit, kemudian mengerling. Ah, dia tak ingin larut dalam kesedihan, tak mau!Namun kerlingan mata itu, ya ampun, hanya begitu saja mampu membuat Langit berpikiran liar kembali. Madu banget di hadapannya gadis eksotis ini.“Atau kau takut berkomitmen?” Langit bertanya lebih tegas.Kembali Bumi melirik, meneguk air putih kembali. Sedangkan Langit malah melihat bagian bawah leher Bumi, kemeja Bumi masih terlepas, masih terpampang jelas di sana, membuat gai**h Langit muncul kembali. Merasa dilihat, Bumi terkesiap, menaruh gelas dan menutup kedua sisi
Langit mengantar Bumi dan ia sebenarnya tak ingin langsung pulang, tapi Bumi harus menyelesaikan beberapa tulisannya. “Jadi aku harus langsung balik?” tanya Langit sedikit kecewa. Dilepaskannya helm Bumi dan keduanya berada di depan garasi belakang ruko. “Hmmm,” sahut Bumi berdehem. “Baiklah,” kata Langit setelah beberapa saat berpikir. “Jaga dirimu baik-baik,” lanjut Langit kemudian mengacak rambut Bumi dan segera bersiap di atas KLX. “Bye,” ucap Langit disertai lambaian tangan ke Bumi dan dibalas lambaian tangan serta senyuman madu. Dibukanya pintu garasi, Bumi masuk dan segera menutupnya kembali. Hari ini dia merasakan kesedihan tapi juga kegembiraan membuncah. Karena Langit? @@@ Desau angin pagi masih kentara sekali ketika Bumi bangun keesokan harinya. Rencananya hari ini ia akan ke pasar tradisional, memasak kemudian mengambil bunga krisan dan mawar ke tempat Pakde Tejo. Dengan daster batik selutut, di
“Apa-apaan kau?” Langit bergerak cepat mendekat, menarik Raga untuk berdiri. Sebuah pukulan mengena telak di wajah tanpa bisa dielak Raga.“Arg!” Raga terpukul mundur, mengusap ujung bibirnya, menahan murka.“Mas!” Bumi berdiri susah payah, mencoba berdiri di antara Langit dan Raga. Menoleh ke keduanya dengan bingung.Sedangkan Raga, tak terima, mendekat Langit ingin membalas. Waspada, Langit pasang kuda-kuda. Nafasnya memburu tak beraturan.“Hentikan, Mas, hentikan Raga!” teriak Bumi bingung dan jengkel jadi satu.“Minggir,” seru Langit ke Bumi, mencoba menarik gadis itu untuk minggir.“Aduh.” Bumi meringis, melihat ke sikunya yang terluka, bagian lengan terdapat sobek sedikit membuat Langit ternganga.“Kenapa kau?” tanyanya memegang lengan Bumi, mengamatinya dengan jelas. Sedangkan Raga, dengan su
“Lagi hmmm?” tanya Langit dengan suaranya yang masih parau di telinga Bumi. “Mau?” tanya Bumi menggoda dan melirik Langit yang memeluk tubuh polosnya erat. Tanpa banyak kata, Langit mengecup bibir eksotis itu dalam-dalam lalu melepasnya sekejap. “Nggak capek?” Bumi terdiam, meraba lembut bibir Langit dan memandangnya penuh kasih. “Hmmm, aku lapar,” sahut Bumi tak menjawab pertanyaan Langit. Mendengarnya, Langit terkekeh, lalu mengecup kening Bumi dan keluar dari selimut yang menyelubungi mereka berdua.
“Mas,” pekik Bumi kaget mendadak diangkat Langit. Langit terkekeh, lalu menempelkan hidung bangirnya ke hidung Bumi dengan sedikit menunduk. Digerakkannya perlahan dan cewek eksotis tersebut kegelian, ia mengelakkan wajahnya agak ke belakang. “Nggak berat?” tanya Bumi mengeratkan rangkulannya ke leher lelaki di hadapannya. “Berat? Segini aja?” “Segini kata Mas Langit?” sahut Bumi melotot. “Haha,” Langit terbahak. Cepat, dibawanya gadis itu masuk ke dalam, melewati dapur, dan menuju ruang tengah. Masih menggendong Bumi, Langit duduk di sofa. Sekarang, Bumi berad
“Apa yang kau lakukan?” tanya lelaki itu masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di depannya, terlihat Dara masih dengan baju tak karuan di atas pangkuan Langit. Roknya tersingkap ke atas, asetnya masih terlihat jelas dengan warna merah hati di bagian dalam. Mulut Dara melongo, ia sama sekali tak menduga lelaki itu akan ke sini, ke tempatnya Langit. Secepat kilat, Langit melepaskan diri dari lengan Dara, ia berdiri sehingga mau tidak mau Dara turun dari pangkuan. Dara membetulkan letak roknya, kemudian kemeja yang sudah hampir memperlihatkan gunung kembar itu secara keseluruhan. Mata Langit menatap Dara tak habis pikir, lalu ke lelaki yang masih berdiri mematung. Ia menahan kemarahannya, tapi lebih dari itu, melihat ke Langit tak percaya. Begitu juga dengan Langit, menatap lelaki di hadapannya masih tak percaya.
Bab 60Sang Penggoda “Mas...,” desahan demi desahan keluar dari bibir mungil gadis manis itu. Tanpa disadari, ia menekan kepala Langit yang tengah mencium lembut aset yang dicandui Langit itu. Tangan Langit mulai bergerilya, wajahnya mendongak menatap mata Bumi yang penuh kabut. Dilepaskannya kancing kemeja teratas, lalu kancing kedua. Dari situ saja, sudah terlihat aset memikat yang masih tertutup b** warna merah. Tangan Langit menekan ujungnya, menatap lembut mata Bumi yang terpejam. “Aku ingin memilikimu, Bumi, seutuhnya,” desis Langit lirih, sangat lirih. Namun, Bumi mampu mendengarnya, membuka mata, dan menggigit bibir bawahnya pelan. Pemandangan yang mampu meluluhkan kewarasan Lang
Pagi masih berkabut, Langit dan Bumi berjalan di jalan setapak dengan kanan dan kiri tumbuhan pinus menjulang. Terkadang, mereka melewati kebun mawar yang makin ke atas makin menipis dan tersisa hanya pinus dengan aroma khasnya. “Nah, itu tempatnya, Mas,” seru Bumi kegirangan melihat ke sebelah kiri. Ada tempat landai dengan bagian atas tanaman pinus. Tapi di depannya terlihat seperti jurang menganga. Langit hanya tersenyum, ia ikuti arah jalan Bumi yang tak sabar sampai di tempat tersebut. Ada batu besar di sana, Bumi segera duduk dan merenggangkan kedua tangan ke atas. “Huh, capeknya,” serunya dengan memutar pandangan ke seluruh area berhawa sejuk itu. Belakangnya pinus rimbun menghijau dan depannya jurang, sejauh mata memandang terlihat r
“Mati lampu,” bisik Bumi. Byar! Langit menyalakan senter ponsel bersamaa hujan deras mengguyur bumi. “Ada lampu emergency?” tanya Langit menyapu seluruh ruangan. Hanya gelengan kepala dari Bumi. “Aku jarang ke sini.” “Lha ini ke sini.” “Hmmm....” Meskipun senter Langit membantu penerangan, tetap saja kurang maksimal. Beranjak dari sofa, Bumi menuju ke dalam.&nb
Tok tok tok... “Bumi, aku...” Tok tok tok. “Ga, ma... maaf,” kata Bumi menarik tubuh dari pelukan Raga. Mundur ke belakang, menyisakan tatapan Raga yang masih tetap penuh kabut. “Bumi, aku masih menginginkanmu,” ujar Raga mengabaikan kalimat yang keluar dari mulut Bumi. Tok rok tok. “Bentar Ga, ada yang ketuk pintu,” kata Bumi lagi lalu meminggirkan tubuhnya dari hadapan Raga yang terus menatapnya intens. Ia membungkukkan badan, menyambar kemeja dan memakainya dengan tergesa tanpa mengancingkan kanci
Menghela nafas dalam-dalam, Bumi memandang ke depan. Tak boleh terpengaruh Dara, tak boleh! “Minggir Dara, aku mau pergi.” “Aku nggak akan pergi sebelum kau janji tak akan mengganggu Langit!” Mengedikkan bahu, Bumi tersenyum tipis. “Maumu apa?” “Mauku, aku nggak mau lihat kamu ganggu Langit,” ucap Dara dengan tekanan penuh, telunjuknya menunjuk wajah Bumi dengan pongah. “Ganggu? Nggak salah denger aku?” Tanya Bumi melirik Dara yang masih berada di samping mobilnya.&nbs
Dara melengos.“Aku nggak ada urusan sama kamu!” katanya sombong.Mendengar jawaban Dara yang tak mengenakkan hati, muka Adit berubah.“Eh apa kau bilang?”“Aku nggak ada urusan sama kamu!” seru Dara dengan tangan bertolak pinggang.Mengabaikan kata-kata Dara, Adit bergegas melewati dengan sengaja menyenggol bahunya. Kelakuan yang membuat Dara naik pitam.“Apaan, sih?”“Nggak apa-apa, aku cuma ngak mau Bos tambah sakit dengan kedatanganmu!”“Huh, siapa bilang?”“Aku!”Dara menatap Adit dengan mata membola.“Denger, ya, bilang ke bosmu, aku akan mendapatkannya!” kata Dara bernada serius. Tanpa menunggu jawaban Adit, Dara menghentakkan kaki untuk menunjukkan kemarahannya lalu berjalan cepat. Melewati ruang tengah, ruang tamu dan keluar rumah.Melihat itu, Adit hanya menggelengkan kepala beberapa kali.