Masih di Bumi POV
“Mau kopi?” tawarku menutup rasa salah tingkah yang hinggap begitu saja.
“Kuat bikinin aku kopi?” Pertanyaan yang sedikit menggoda, kan? Segera aku beranjak, tapi tanganku dicekal olehnya.“Mau kemana?” “Bikin kopi,” jawabku linglung. Gimana sih ini orang? Terpaksa aku duduk kembali. “Kamu nggak papa? Beneran, nih?” Pertanyaan penuh kekhawatiran.Tuhanku, bukannya sudah kubilang aku capek doang? Kenapa tak percaya dengan ucapanku?“Aku baik saja,” sahutku tegas langsung menuju dapur. Untunglah Mas Langit hanya manggut-manggut dan segera kubuatkan kopi. Kulihat Mas Langit tetap mengikuti langkahku lewat ekor matanya.“Kopi hitam?” tanyaku tertahan.“Ya, sedikit gula,” jawabnya ringan.Kepala kuanggukkan dan mulai kubuatkan kopi sesuai keinginannya. Sedangkan untukku sendiri cukup jahe hangat, andalan di kala tubuh remuk redam kecapekan. Sirup jahe tinggal kutuang dan kutambahkan air panas, tambah gula sedikit kalau dirasa kurang manis, sudah siap diminum.Kusodorkan padanya yang langsung disambut hangat dan membaui aromanya dengan mata merem melek. Disesapnya sekali. Wedang jahe juga menentramkan tenggorokanku, hangat langsung merajai tubuh.“Pahit,” ucapnya tersenyum memandangku. Ujung mulutku terangkat ke atas. Kubereskan laptop di meja kecil dekat sofa, membuat ruang di sana sehingga dapat digunakan Mas Langit menaruh cangkir kopinya serta cangkir wedang jaheku.Jam dinding di atas TV berdentang 7 kali. Jam segini seharusnya aku sudah makan malam. Namun, tadi aku hanya bikin sup, sambal dan goreng tempe. Mana mungkin aku menghidangkan makanan super sederhanaku untuk seorang CEO seganteng Mas Langit?Mau pesan makanan, hujan badai gini, kasihan kurir. Pas di rumah nggak ada camilan pula. Uwh, jadi tidak enak, nih. Namun, ada mi instan. Sodorin mi instan gitu? Atau, aku telpon Pakde Tejo saja biar menjemput Mas Langit. Biar makan malamnya tidak terlambat?“Eng, kutelpon Pakde Tejo biar jemput Mas Langit?” ucapku ragu menatap Mas Langit yang kembali menyesap kopinya dalam-dalam. Pertanyaanku membuatnya terbatuk kecil dan menoleh cepat.“Kau mengusirku?” Jawaban sekaligus pertanyaan yang menohok. Bukan maksudku....“Eng... enggak, maksudku... ini saat makan malam. Nanti Mas Langit telat makan. Eng, atau makan sini?” jawabku sedikit menjelaskan. Senyum tersungging di bibirnya. “Tapi... aku cuma bikin sup,” sambarku cepat. Ya, gitu kan kebenarannya?“Bolehhhh banget, aku memang lapar,” jawabnya melirikku.“Oh!” gantian aku melongo.“Aku bukan anak kecil lagi, tak perlu telpon Pakde Tejo segala,” lanjutnya kesal. Aku manggut-manggut mengiyakan, merasa tak enak sendiri. Baiklah, lebih baik kupanaskan dulu supnya. Nasiku aman, masih ada kerupuk terung di stoples.Segera kupanaskan sup ceker sayur sederhanaku, sambal, tempe goreng yang kupanaskan sebentar di teflon. Ditambah kerupuk terung yang hanya tinggal 5 biji di toples. Kutata rapi di meja makan mungilku. “Yuk, makan dulu,” kataku yang langsung membuat Mas Langit beranjak dari karpet menuju kursi panjang yang memang hanya cukup untuk 2 orang. Kami duduk bersisian dan mulai makan. Kuambilkan nasi dan Mas Langit mengambil sendiri sayur serta lauk beserta kerupuk. Selanjutnya, mulai kusantap makananku dalam diam. Sama seperti Mas Langit. Satu kali suapannya lalu menatapku tajam. Matanya, aku benci. Kualihkan pandanganku ke piring. Aku tak mau melihatnya, sungguh.“Pandai masak rupanya,” katanya membuatku mengerjapkan mata.“Hmmm,” gumamku datar. Masakan rumahan. Dari kecil aku sudah dididik ibu bisa masak. “Serius, lho,” katanya lagi menahan lengan kananku yang akan memasukkan makanan ke mulut.“Sagitarius,” jawabku asal. “Haha,” Mas Langit tergelak. Melepaskan tangannya dan kulanjutkan makanku cepat.Demikian dengan Mas Langit, sampai nambah dia. Kok bisa, ya? Lapar atau enak? Entahlah, yang jelas aku suka dengan orang yang makan lahap karena masakanku. Tak lupa kuminum vitamin, biar tubuhku segera segar seperti sedia kala.@@@Author POV
Makan malam yang tak disangka itu membuat Langit tahu sisi lain Bumi. Sedingin apapun Bumi, ia dapat melihat kalau Bumi menyenangkan, hanya saja masih irit kata. Menjawab kalau ditanya, ngomong kalau memang benar-benar butuh ngomong. Langit, meskipun tak begitu suka banyak omong akhirnya mendominasi pembicaraan.Keduanya kembali duduk di karpet, menonton televisi, setelah Bumi membereskan meja makan mungilnya. Hujan yang menggila di luar masih terus menggila. Padahal waktu tak bisa dikompromi. Hanya suara televisi yang terdengar, hening kembali menyapa.“Bumi, kau....” Langit memulai pembicaraan.“Eng...,” dalam waktu bersamaan, keduanya berbarengan ngomong. Akhirnya tertawa renyah berdua.“Kamu dulu,” kata langit.Bumi menggelengkan kepala, diam seperti biasa.“Kamu sama siapa di sini?” tanya Elang penuh selidik.“Sendiri,” jawab Bumi cepat. Namun mampu membuat Langit melongo beberapa saat lamanya.“Orang tuamu?” tanya Langit kembali. “Di tempat lain.”“Oh...,” jawab Langit manggut-manggut. “Nggak tinggal sama Pakde Tejo saja?” tanya Langit lagi. Gelengan kepala Bumi membuat Langit manggut-manggut kembali.“Kenapa?”“Eng... ditawarin sama Pakde, tapi akunya yang nggak mau. Mereka sudah kayak orang tuaku sendiri,” jawab Bumi lumayan panjang.“Oh,” jawab Langit singkat.Hujan makin mereda, sebenarnya Langit mau saja menginap tempat Bumi, tapi mana boleh, ngimpi kalik, ya. Keduanya ngobrol tidak jelas. Lebih tepatnya Langit yang banyak bicara. Bumi hanya mengangguk, menggeleng, tersenyum, sesekali menunduk. Sesederhana itu, tapi, mampu membuat jantung Langit berderap-derap menuju ujung tak jelas.“Udah reda,” kata Bumi tertahan. Membuat Langit terbahak karenanya.“Ngusir aku?” sahut Langit menggoda.“Kalau perlu,” Bumi menjawab cuek.Ya Tuhan, kenapa suaranya makin seksi saja di telingakuku? Batin langit yang hampir jantungan karenanya.“Oke, makasih jamuan makan malamnya, Bumi. Aku bakal sering main sini, boleh?” ucap Langit to the point. Keduanya beranjak berdiri bersamaan. Sangat dekat saling berhadapan.“Terserah,” dingin lagi. Langit ingin melotot tapi dinormalkan kembali. Ya ampun sedingin es inikah Bumi? Bumi sepertinya menyadari perkataannya.“Oh, eh betewe makasih udah nolongin aku,” katanya pelan. Kembali menunduk melihat hujaman netra Langit yang selalu menyelam menuju ujung paling dasar hatinya. Hati? Fiuh, Bumi melepas udara dari hidungnya agak keras. Saat wajahnya diangkat, tepat saat itulah wajah Bumi di hadapannya. Agak menunduk, hidung keduanya menempel.Bumi mematung, tatapan Langit membuatnya makin membeku. Langit melihat itu, ada kebencian di sana, tak berkurang walau ia dan bumi telah melalui perkenalan tanpa sengaja ini.Tangan kanan Langit menyentuh leher jenjang bumi, ia dekatkan wajah oval semadu pasir itu mendekati wajahnya. Bibir mungil itu membuat Langit tak mampu menjauh, disentuhnya dengan bibirnya, ragu. Hanya kuluman sesaat. Masih dalam posisi semula, Bumi terlihat makin dingin, ia tak merespon apapun, matanya terpejam beberapa saat. Ketika kedua tangan Langit memegang kedua pipinya, melumat halus bibir mungil itu dengan sedikit paksaan. Tetap saja, kaku.Tubuh Langit maju, merapat tubuh semampai Bumi. Tangan kirinya ke bawah memeluk pinggang Bumi, tangan kanannya menarik tengkuk Bumi mendekat. “Ah,” tak kuasa Bumi mendesah. Kuluman bibir Langit, cuaca dingin yang menggigit, membuatnya tak mampu menahan semua ini. Situasi kondisi yang susah ditolak. Kediaman dalam sentuhan yang sama-sama diharapkan namun ditolak Bumi. Lidah Langit mencoba membuka mulut Bumi. Saat terbuka sedikit, ia mulai mengoyak bagian dalam. Mengurai dan membelit lidah Bumi sepenuh rasa. Tak mampu menolak lagi, Bumi mulai memainkan perannya. Ditanggapinya ciuman Langit perlahan, ragu. Tapi, makin lama ia menikmatinya. Langit mengulum bibir bawah Bumi, bagian atas, menelisik bagian dalam perlahan, memainkannya dan Bumi mampu menyainginya dengan desahan. Ritmenya makin cepat. Keduanya hanyut dalam kediaman kenikmatan. Menelusur ke bawah, leher Bumi dipilih Langit, dimainkan lidahnya di sana. Menggigit, sedikit menghisap, dikecupnya dengan rasa sempurna. Ditatapnya Bumi dengan mata yang terus terpejam. “Mas... aku... ahhh,” desahan Bumi makin terdengar seksi. Ia ingin menolak tapi tubuhnya menerima semua sentuhan lembut Langit. Sekarang tangan Langit makin ke bawah, kedua gunung kembar Bumi yang menegang di ujung membuatnya tak mampu bertahan lagi. Diremasnya lagi dari luar yang hanya tertutup kaos dan bra. Menekannya, memelintirnya pelan, lalu meremas lagi secara melingkar. Ia kembali meremas, baru sekali....“Ah, Mas..., cukup, a... aku...,” pelan Bumi menarik tangan Langit. Langit terkesiap.“Sh*t, maaf,” kata Langit dengan mata berkabut. Bagian bawahnya terasa sesak. Ia tak mampu menguasainya. Tangan Bumi menahan tangan Langit di samping. Keduanya bertatapan lama. Seperti biasa, Bumi akhirnya menunduk, menggelengkan kepala beberapa kali. “Baiklah, aku pulang,” kata Langit dan mengangkat dagu Bumi.“Maaf,” kata langit singkat, menyentuh bibir basah Bumi dengan jarinya perlahan. Ia menyesal membawa Bumi ke liarannya. Baru berapa jam mereka kenal? Layak kalau Bumi....Bumi mundur, melangkah ke kamar. Keluar lagi membawa sweater hitam.“Pakai ini, dingin di luar,” katanya sambil menyerahkannya ke Langit. Suasana jadi terasa canggung. Langit diam, ia masih berusaha menguasai dirinya sendiri. “Atau mau bawa pick up-ku?” tawarnya kemudian. Langit menggelengkan kepala, memakai sweater pemberian Bumi. Pas sekali di tubuh. Pasti kedodoran kalau dipakai Bumi.“Hujan sudah reda, naik motor saja. Mana ponselmu?” tanya Langit. Bumi kelihatan heran, kemudian tersadar.“A... aku lupa,” katanya terlihat panik.“Kenapa?” tanya Langit bingung.“Ponselku di jok motor,” jawaban yang membuat Langit tepuk jidat berkali-kali.“Ya ampun Bumi! Teledornya!”“Aku lupa tadi.. badanku nggak enak, a... aku,” suaranya yang bergetar, setengah panik, setengah kesal sendiri membuat Langit menahan tawa. Saat panik kenapa muka madu ini terasa membuat tubuhnya meremang kembali?“Terus, kalau kamu entar kenapa-kenapa kamu gimana?” tanya Langit miring.“Aku baik saja,” jawab Bumi, dingin kembali. Walau terlihat kalau wajahnya tak baik-baik saja.“Yakin?” Langit memastikan.Bumi mengangguk.“Atau aku nginep sini?” Kalimat manis penggoda iman. Bumi melongo, lalu menggeleng secepatnya.“Nggak!”“Lalu?”“Mas Langit pulang.” “Kalau aku nggak mau?” tubuh Langit maju. Bumi mundur selangkah, kesal.“A... aku baik aja,” jawab Bumi bergetar.“Awas kalau nggak baik-baik saja,” kata Langit tegas mengancam. Bumi mendengus keras.“Motormu sudah diurus, biar ditaruh bengkel sekalian. Ponselmu aman di motor. Besok pagi aku ke sini,” kata Langit membuat Bumi melongo sekali lagi. Wajah polos itu mampu menggetarkan Langit.“Ngapain?” pertanyaan Bumi yang membuat Langit kesal bukan main.@@@
“Dompetmu...,” sahut Langit disabar-sabarkan.“Oh, eh, biar aku sendiri, sekalian ambil bunga....”Bumi tersadar berkata-kata agak panjang dan tiba-tiba Langit mengunci mulutnya dengan jari telunjuk.“Stt, aku pingin anterin ke sini. Nggak boleh?” kalimat Langit yang tepat di telinga Bumi membuatnya merinding. Tubuhnya mundur lagi. Ia tak ingin kejadian barusan terulang kembali. Sungguh tatapan Langit kadang membuatnya murka, tapi juga benci. Herannya, kenapa ia tak mampu menolaknya?“Terserah, deh...” itulah yang akhirnya keluar dari mulut Bumi. Jawaban membuat Langit tersenyum di atas angin.“Oke, aku pulang dulu, jaga dirimu baik-baik,” kata Langit pelan tapi tegas. Disambut anggukan Bumi.Keduanya menuju garasi. Dengan cepat Langit mengeluarkan KLX, memakai helm dan melajukan motor segera setelah m
Bumi menunduk. Dilepaskannya kungkungan itu perlahan, Langit mengikutinya, melepaskan wajah Bumi dari jemarinya.Wajah bak madu itu mengangkat wajah. Mengawasi tiap inci wajah Langit. Dalam remang, Langit melihat sinar kebencian di iris hitam netra Bumi. Ia tahu, walau tak sekejam awal mereka bertemu. Kembali wajah Bumi menunduk. Langit mengangkat dagu gadis manis itu. Mendekatkan bibirnya ke bibir mungil yang kian membuatnya tak kuasa menolak hasrat kelelakiannya. Dalam sepersekian detik, ia melumatnya penuh rasa.Begitu juga Bumi, ia menyambutnya. Meski kaku, Langit membuatnya lebih nyaman. Tubuh Langit meringsek makin dekat. Lidahnya bermain, membuka rongga mulut Bumi. Mengobrak abrik bagian dalam dengan jilatan, gigitan, sesekali menyesap gemas tanpa jeda. Ketika Bumi seolah tak mampu bernafas, ia melepaskannya. Namun, kembali dikulumnya bibir mungil itu dengan segenap jiwa. Panas!Tangan kiri Langit menarik ma
Langit bertanya serius. Membalas tatapan Bumi dan mampu menundukkan wajah gadis itu. Tak butuh waktu lebih lama lagi, Langit tak kuasa menahan perasaan. Apalagi untuk mendiamkannya. Ngomong terus terang lebih baik, kan?“Bumi,” diangkatnya wajah Bumi. Kedua netra mereka beradu.“A... aku...,” kata Bumi bingung. Bergetar tak mampu mengucap apapun. Kenapa mulutnya terkunci?“Kau tak perlu menjawabnya sekarang.”“Tapi....”Langit menaruh telunjuknya di mulut Bumi. Langsung dijauhkan Bumi.“Aku nggak bisa,” lirih sekali suaranya.“Kenapa?” Langit menuntut jawaban.Bumi menunduk.“Karena mantan?” selidik Langit tapi justru membuat Bumi terhenyak.“Maksudmu?”“Ya, maksudku, kau tahu maksudku, kan?” Langit ganti bertanya. Mata Bumi membulat.“Ah, sudahlah. Sudah malam, aku harus pulang.&rd
Di dalam Langit mengacak rambutnya kesal dan marah jadi satu.Dara gila! Bagaimana bisa ia berani datang padaku hanya dengan kata minta maaf setelah nyata-nyata di luar dia...? Langit tak mampu melanjutkan pikirannya sendiri. Mungkin karena terlalu mencintainya. Sayang, ia tak bisa menerimanya. Walau Langit menyadari dirinya bukan lelaki bersih.Langit bergulat dengan perasaannya sendiri. Merutuki diri sendiri, kenapa ia begitu terpesona pada wanita seperti Dara, yang notabene suka dunia malam, foya-foya dan kehidupan yang tidak baik untuk seorang gadis. Sampai mamanya saja begitu bersikeras tetap mempertahankan hubungan Langit dengan Dara walau Langit sudah menutuskan untuk mengakhir semuanya. Mama akhirnya setuju setelah Adit sendiri bilang kalau kondisi Dara yang sebenarnya. Dengan lelaki yang pasti bukan Lagit!Dan bumi? Mungkinkah Bumi menyaksikan kejadian tadi bersama Dara. Tak hanya mungkin. Pasti melihat semua barusan. Oh, Langi
Suara Dara yang memanggil terdengar di telinga. Namun, kuacuhkan. Tak peduli lagi piring yang berantakan di lantai. Besok aku akan meminta maaf pada Bude Siti kalau piringnya kupecahkan satu. Meskipun rasanya tak perlu minta maaf juga untuk urusan sepele ini.Yang kumampu hanya berbalik arah, menuju motor. Aku ingin secepatnya pergi dari tempat Mas Langit.Setelah itu, kudengar suara Mas Langit memanggil berkali-kali. Jelas, suara Mas Langit tak mampu menghentikanku. Kujalankan motor cepat. Wes embuhlah. Rasanya ada yang mengiris-iris jiwa ini, ngilu rasanya. Dadaku sesak, air mata siap mengalir. Namun, tidak! Aku tak akan menangis untuk kejadian konyol seperti ini. Sayang air mataku menangisi hal yang tak jelas bagiku.Tak ada satupun yang ingin kulakukan selain ingin pergi menjauh. Kupikir semua lelaki sama saja. Kulajukan motor mengikuti naik turun jalanan dan kelokan tajam dengan genangan air mata, hanya genangan, bukan tumpahan. Aku tak
Hai, bab ini mengandung konten dewasa, ya. === Ada sesuatu yang berbeda, Bumi menarik bibirnya, mundur. Langit terkesiap. “Lebih baik Mas Langit pulang,” ujar Bumi pelan. Ia tak mau hanyut terjerat Langit, sungguh, walaupun ia begitu ingin. Langit terpana, menatap tak percaya. Bumi kembali dingin. Tarikan berat nafas keduanya hampir bersamaan. “Kau tak memaafkanku?” “Aku bukan siapa-siapa,” gumam Bumi. Sontak membuat Langit mendekat. “Bumi, aku....” Langit tak mampu menyelesaikan kalimatnya. “Aku ingin sendiri,” sahut Bumi teramat pelan. Langit menatap Bumi, mengangkat dagu gadis itu. Segera Bumi menarik diri, mundur selangkah. Tak ada yang perlu diperbincangkan lagi. Bumi hanya ingin sendiri. Seharusnya dari awal ia meminta Langit pulang, tidak dalam situasi di tengah-tengah begini. Bumi menyesali keputusannya. Sudah terlanjur. &
Mata Bumi membola, kemudian mengerjap beberapa kali. Huh! Bumi mengacak rambut ikalnya kesal. Apa urusannya? Ia tak pernah mengurusi urusan orang lain. Jadi bodo amat, kan? [Kau tak mau membalas pesanku?] Buat apa? [Tak mau angkat telponku?] Haha, bukan urusanmu! [Kau takut?] Maksudmu? [Jangan ganggu hubungan kami! Ingat itu!] Bodo amat! Bumi menutup ponselnya. Tak ada niat membalas pesan-pesan gila itu. Toh, buat apa juga? Ia benar-benar tak mengerti kenapa musti berhubungan lagi dengan wanita yang menyebalkan itu. Senyum sinis di bibir Bumi tersungging. Apa maksudnya? Kalau memang mau, sana buatmu. Aku juga nggak mau. Eh benarkah seperti itu? Bumi seolah bermonolog dengan diri sendiri. Meski apapun itu, ia belum merasa ingin berhubungan dengan lelaki lain. Dan pesan-pesan yang datang tadi benar-benar membuatnya tak habis pikir. Memangn
Hai, ada adegan dewasa, ya :)Selamat membaca...Masih di BUMI POVAku masih menatap tak percaya, kemudian melanjutkan merangkai bunga dengan santai. Ya, kubuat sesantai mungkin. Aku tak mau malah mengikuti permainan wanita di depan tokoku itu. Yakin sekali, ia memperhatikanku yang mencueki kehadirannya.“Hei!” katanya kesal melihat aku tak peduli akan kehadirannya.Hanya melirik, itulah yang kulakukan, menahan nafas dan mengeluarkannya perlahan.“Bumi, aku mau ngomong!” katanya hampir berteriak. Kudongakkan wajah kembali menatap iris matanya. Bajunya yang kekurangan bahan membuatku memiringkan senyuman. Dari dulu, ia tak berubah. Cantik, sih, semua orang mengakuinya, akupun mengakui. Bodinya bak gitar Spanyol, hidungnya mancung, wajahnya kinclong, nggak ada kekurangan urusan penampakan, tapi....“Bumi!” suaranya setengah meledak.“Mau pesan bunga?” tanyaku tak acuh.
“Lagi hmmm?” tanya Langit dengan suaranya yang masih parau di telinga Bumi. “Mau?” tanya Bumi menggoda dan melirik Langit yang memeluk tubuh polosnya erat. Tanpa banyak kata, Langit mengecup bibir eksotis itu dalam-dalam lalu melepasnya sekejap. “Nggak capek?” Bumi terdiam, meraba lembut bibir Langit dan memandangnya penuh kasih. “Hmmm, aku lapar,” sahut Bumi tak menjawab pertanyaan Langit. Mendengarnya, Langit terkekeh, lalu mengecup kening Bumi dan keluar dari selimut yang menyelubungi mereka berdua.
“Mas,” pekik Bumi kaget mendadak diangkat Langit. Langit terkekeh, lalu menempelkan hidung bangirnya ke hidung Bumi dengan sedikit menunduk. Digerakkannya perlahan dan cewek eksotis tersebut kegelian, ia mengelakkan wajahnya agak ke belakang. “Nggak berat?” tanya Bumi mengeratkan rangkulannya ke leher lelaki di hadapannya. “Berat? Segini aja?” “Segini kata Mas Langit?” sahut Bumi melotot. “Haha,” Langit terbahak. Cepat, dibawanya gadis itu masuk ke dalam, melewati dapur, dan menuju ruang tengah. Masih menggendong Bumi, Langit duduk di sofa. Sekarang, Bumi berad
“Apa yang kau lakukan?” tanya lelaki itu masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di depannya, terlihat Dara masih dengan baju tak karuan di atas pangkuan Langit. Roknya tersingkap ke atas, asetnya masih terlihat jelas dengan warna merah hati di bagian dalam. Mulut Dara melongo, ia sama sekali tak menduga lelaki itu akan ke sini, ke tempatnya Langit. Secepat kilat, Langit melepaskan diri dari lengan Dara, ia berdiri sehingga mau tidak mau Dara turun dari pangkuan. Dara membetulkan letak roknya, kemudian kemeja yang sudah hampir memperlihatkan gunung kembar itu secara keseluruhan. Mata Langit menatap Dara tak habis pikir, lalu ke lelaki yang masih berdiri mematung. Ia menahan kemarahannya, tapi lebih dari itu, melihat ke Langit tak percaya. Begitu juga dengan Langit, menatap lelaki di hadapannya masih tak percaya.
Bab 60Sang Penggoda “Mas...,” desahan demi desahan keluar dari bibir mungil gadis manis itu. Tanpa disadari, ia menekan kepala Langit yang tengah mencium lembut aset yang dicandui Langit itu. Tangan Langit mulai bergerilya, wajahnya mendongak menatap mata Bumi yang penuh kabut. Dilepaskannya kancing kemeja teratas, lalu kancing kedua. Dari situ saja, sudah terlihat aset memikat yang masih tertutup b** warna merah. Tangan Langit menekan ujungnya, menatap lembut mata Bumi yang terpejam. “Aku ingin memilikimu, Bumi, seutuhnya,” desis Langit lirih, sangat lirih. Namun, Bumi mampu mendengarnya, membuka mata, dan menggigit bibir bawahnya pelan. Pemandangan yang mampu meluluhkan kewarasan Lang
Pagi masih berkabut, Langit dan Bumi berjalan di jalan setapak dengan kanan dan kiri tumbuhan pinus menjulang. Terkadang, mereka melewati kebun mawar yang makin ke atas makin menipis dan tersisa hanya pinus dengan aroma khasnya. “Nah, itu tempatnya, Mas,” seru Bumi kegirangan melihat ke sebelah kiri. Ada tempat landai dengan bagian atas tanaman pinus. Tapi di depannya terlihat seperti jurang menganga. Langit hanya tersenyum, ia ikuti arah jalan Bumi yang tak sabar sampai di tempat tersebut. Ada batu besar di sana, Bumi segera duduk dan merenggangkan kedua tangan ke atas. “Huh, capeknya,” serunya dengan memutar pandangan ke seluruh area berhawa sejuk itu. Belakangnya pinus rimbun menghijau dan depannya jurang, sejauh mata memandang terlihat r
“Mati lampu,” bisik Bumi. Byar! Langit menyalakan senter ponsel bersamaa hujan deras mengguyur bumi. “Ada lampu emergency?” tanya Langit menyapu seluruh ruangan. Hanya gelengan kepala dari Bumi. “Aku jarang ke sini.” “Lha ini ke sini.” “Hmmm....” Meskipun senter Langit membantu penerangan, tetap saja kurang maksimal. Beranjak dari sofa, Bumi menuju ke dalam.&nb
Tok tok tok... “Bumi, aku...” Tok tok tok. “Ga, ma... maaf,” kata Bumi menarik tubuh dari pelukan Raga. Mundur ke belakang, menyisakan tatapan Raga yang masih tetap penuh kabut. “Bumi, aku masih menginginkanmu,” ujar Raga mengabaikan kalimat yang keluar dari mulut Bumi. Tok rok tok. “Bentar Ga, ada yang ketuk pintu,” kata Bumi lagi lalu meminggirkan tubuhnya dari hadapan Raga yang terus menatapnya intens. Ia membungkukkan badan, menyambar kemeja dan memakainya dengan tergesa tanpa mengancingkan kanci
Menghela nafas dalam-dalam, Bumi memandang ke depan. Tak boleh terpengaruh Dara, tak boleh! “Minggir Dara, aku mau pergi.” “Aku nggak akan pergi sebelum kau janji tak akan mengganggu Langit!” Mengedikkan bahu, Bumi tersenyum tipis. “Maumu apa?” “Mauku, aku nggak mau lihat kamu ganggu Langit,” ucap Dara dengan tekanan penuh, telunjuknya menunjuk wajah Bumi dengan pongah. “Ganggu? Nggak salah denger aku?” Tanya Bumi melirik Dara yang masih berada di samping mobilnya.&nbs
Dara melengos.“Aku nggak ada urusan sama kamu!” katanya sombong.Mendengar jawaban Dara yang tak mengenakkan hati, muka Adit berubah.“Eh apa kau bilang?”“Aku nggak ada urusan sama kamu!” seru Dara dengan tangan bertolak pinggang.Mengabaikan kata-kata Dara, Adit bergegas melewati dengan sengaja menyenggol bahunya. Kelakuan yang membuat Dara naik pitam.“Apaan, sih?”“Nggak apa-apa, aku cuma ngak mau Bos tambah sakit dengan kedatanganmu!”“Huh, siapa bilang?”“Aku!”Dara menatap Adit dengan mata membola.“Denger, ya, bilang ke bosmu, aku akan mendapatkannya!” kata Dara bernada serius. Tanpa menunggu jawaban Adit, Dara menghentakkan kaki untuk menunjukkan kemarahannya lalu berjalan cepat. Melewati ruang tengah, ruang tamu dan keluar rumah.Melihat itu, Adit hanya menggelengkan kepala beberapa kali.