Pelan tapi pasti, tubuh Bumi dengan helm masih di kepala itu melorot ke bawah. Segera Langit menangkap tubuh semampainya yang terkulai.
“Kau kenapa? Bumi?” seru Langit bingung. Tubuhnya terkulai. Wajahnya yang tadi sudah pucat, makin pasi dengan tubuh dingin. Ya Tuhan ada apa dengan Bumi? Batin Langit bergejolak. Hujan yang tadi sudah berhenti mulai menderas lagi di luar sana. Langit melepas helm dengan cepat dan segera membopongnya. Pintu sesudah pintu garasi itu terkunci. Tubuh Bumi ditahan Langit agak kesusahan sambil mengambil kunci yang terjatuh saat Bumi pingsan. Otak Langit berputar cepat memperkirakan kunci mana yang sekiranya tepat di antara beberapa kunci itu. Kunci pertama gagal, untunglah di kunci kedua Langit menemukan kunci yang pas untuk membuka pintu bagian dalam. Langit bergegas masuk ke dalam dengan Bumi terkulai lemas. Ruangan pertama sebuah pantry mungil. Langit tolah toleh sebentar kemudian menerobos masuk ke sebelah kiri dengan penjeda meja agak tinggi dan kursi panjang. Ada sofa di sana. Gegas, diletakkannya tubuh lunglai Bumi di sofa. Menaruh bantal sofa untuk sandaran kepalanya. Secepat kilat melepas Converse yang basah oleh air hujan serta kaos kaki yang tak kalah basahnya. Celingukan mencari selimut. Tak ada. Pelan, Langit menempelkan tangan ke dahi Bumi, lumayan panas. Namun, Langit ragu sendiri, bukankah tangannya basah dan dingin? Mata Langit tertumpu ke wajah Bumi yang masih memucat. Matanya ke sana kemari mencari minyak kayu putih. Membuka beberapa laci yang entah laci apa yang ada di sekitar situ. Sayang, tak ditemukannya juga.Akhirnya, Langit mendudukkan tubuh di samping Bumi. Apa yang harus dilakukannya? Kenapa pikirannya jadi panik tak karuan tidak dapat berpikir jernih melihat Bumi seperti ini? Oh, lebih baik telepon Pakde Tejo, untuk meminta tolong tenaga medis melihat kondisi Bumi. Langit masih awam di tinggal di desa, ia belum mengenal banyak orang, apalagi dokter pribadi. Dielusnya pipi Bumi, duh Langit makin khawatir. Dikeluarkannya ponsel dari saku. Suara lemah Bumi mengurungkan Langit menelepon.“M... mas....”Pipi Bumi ditepuk pelan oleh Langit.“Bumi!” kata Langit hampir berseru. Wajah pucat itu menoleh ke sekitar, bingung.“Syukurlah, kau sudah sadar Bumi!” Lega bukan main dilihatnya Bumi tersadar. Duh, entahlah, kenapa si Bumi ini?Netra Bumi mengerjap beberapa kali, memandang Langit bingung. Perlahan, Bumi duduk dengan bantuan Langit.“Kau baik saja?” tanya Langit penuh kekhawatiran.Anggukannya malah membuat Langit ragu. Dilihatnya dispenser dan Langit segera mengambil air putih kemudian disodorkannya ke Bumi.“Minumlah, biar nggak lemas,” kata Langit lalu duduk di samping Bumi kembali. Bumi hanya meneguk sedikit, diberikannya gelas pada Langit yang kemudian menaruhnya di meja.“Bajumu basah kuyup, lebih baik ganti baju dulu. Tak perlu mandi,” saran Langit melihatnya mulai menggigil kembali. Lagi-lagi Bumi mengangguk. Kemudian berdiri.“Mau kemana?” “Ganti baju,” jawabnya bingung. Langit menyugar rambutnya pelan. Ya ampun, baru saja menyuruh ganti baju. Kenapa harus ditanya kembali? Bumi berjalan sempoyongan, Langit berdiri menahan tubuhnya.“Biar aku bantu,” ujar langit memapah tubuh lemas itu. “Hmmm,” jawab Bumi lemah.Pelan, Bumi membuka pintu kamar, ragu memandang Langit.“Aku tunggu di sini kalau nggak boleh masuk,” papar Langit segera. Entah yang keberapa kali Bumi hanya mengangguk. Lalu masuk ke dalam tanpa menutup pintu. Langit menyandarkan tubuh di pintu kamar, menunggu Bumi.Diliriknya Bumi mengambil baju dari dalam lemari lalu ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Lumayan lama, Mungkin mandi sekalian. Meskipun lama, tetap saja Langit tak beranjak di pintu kamar. Was-was kalau Bumi pingsan lagi di dalam sana. Bahaya, kan?
Tak berapa lama Bumi keluar dengan celana pendek coklat dipadu kaos hitam. Setelah menaruh baju kotor di keranjang rotan yang tertutup di samping depan pintu kamar mandi. Ditambah cardigan warna pastel yang diambilnya dari balik pintu. Langit tersenyum melihatnya sudah segar kembali. Rambut bergelombangnya basah, namun tetap tak menutupi kemanisannya. Maduuuu... Netra elang Langit tak mampu untuk mengabaikannya. Makhluk termanis yang membuat Langit kebat kebit tak karuan.Sungguh Langit terpana dibuatnya.“Mas,” kata Bumi menyenggol lengan Langit. Di depan Langit, Bumi sudah berdiri dengan anggunnya, bak bidadari nyasar ke desa. Ah, ini nyata. Mata Langit mengerjap beberapa kali, mulut auto melongo namun tersadar segera dikatupkannya cepat.“Eh,” kata Langit deg deg ser.“Makasih,” suara Bumi masih dingin. Walau begitu tetap seksi di telinga Langit.Reflek diamatinya setiap inci wajah polos gadis semampai di hadapannya itu. Terasa jengah melihat pandangan Langit, Bumi menunduk. Mata Langit berkabut, melangsirkan beberapa helai rambut basah Bumi ke belakang. Meski terkesan menolak, Bumi diam saja. Tangan kanan Langit terus ke belakang, tepat di leher belakang.Bumi menarik nafas panjang. Tak ada penolakan dari Bumi, Langit mengangkat dagu gadis itu ke atas dengan tangan kiri. Tak kuasa, Langit menelan salivanya beberapa kali. Ya ampun, otak dan pikiran waras mendadak lenyap begitu saja. Ingin sekali ia meredam semua gemuruh di dada menyatu dengan tubuh semampai yang membuatnya berderit tak karuan ini. Gunung kembar di bawahnya mampu membuat Langit melirik. Duh, gila!!! Mendadak tubuh Bumi menegang. Mundur selangkah. Menarik tangan Langit dari leher dan dagunya. Ada marah di bola api bulatnya. Ough, Langit terlampau liar buatnya! “....” Suara Bumi tak jelas.Langit tersadar, ia bisa khilaf kalau otak tak warasnya tetap dibiarkan berjalan.“Kau baik saja?” Tanya Langit setelah beberapa saat saling terdiam. “Atau kupanggilkan dokter?” lanjut Langit menekan keraguan yang mendadak muncul. Di depan gadis desa seperti ini bisa-bisanya ia tak karuan. Biasanya, sifat arogannya keluar.“Nggak,” jawab Bumi sambil menggelengkan kepala.“Yakin?” kuusap dahinya pelan. Hangat, sedikit.“Aku ada vitamin,” sahut Bumi menarik tangan Langit ke bawah. Semuanya mendadak kaku.“Duduk, yuk,” ajaknya salah tingkah. Dagunya diarahkan ke sofa. Kemudian ia mendahului duduk di karpet bawah. Sofa agak basah karena tubuh semampainya tadi dibaringkan di sana.“Maaf di bawah,” lanjutnya lagi.“Santai aja,” kata Langit mengikuti Bumi duduk. Persis di sampingnya.Langit mengamati wajahnya yang sudah tak sepucat tadi.“Beneran nggak perlu kupanggilkan dokter?” Langit memperjelas pertanyaan.Kepala Bumi menggeleng, lalu netra hitamnya menyudut iris mata Langit. Masih ada, ada sesuatu yang membuatnya tampak tak menyukai keberadaan Langit.“Nggak perlu,” jawab Bumi singkat.“Hmmm,” keras kepala, batin Langit bergumam.“Capek saja, dari pagi aku antar pesanan, tadi malam begadang,” kata Bumi. Kalimat yang lumayan panjang untuk Bumi yang sangat irit kata.“Oh.” Langit manggut-manggut.Pandangan Langit beredar, tertumpu pada meja kecil depan keduanya dengan laptop yang kondisinya masih terbuka. Pertanyaan yang harusnya bisa langsung ditanyakan tapi urung keluar dari bibir Langit. Terlalu banyak ingin tahu yang mungkin, bisa jadi Bumi malah tidak suka Langit menanyainya. Netra Langit beradu dengan mata Bumi. Lagi-lagi ada ketidaksukaan di sana. Ada apa bumi? Bukankah mereka belum pernah kenal sebelumnya? Kenapa?@@@Bumi POVGunungan capek membuat tubuhku tak mau kompromi. Pesanan bunga yang datang beruntun, harus diantar semuanya dan membantu Pakde Tejo karena anak majikannya bakalan menetap di rumah utama. Bukan rumah, sih, lebih tepatnya villa dengan segenap kemewahannya dibandingkan dengan banguan sederhana di desa seperti ini. Membuat pertahanan tubuhku yang setrong ambruk di titik nol. Pingsan. Ya, Tuhan! Ini memalukan sekali. Yang paling kusesalkan adalah pingsanku di depan Mas Langit! Awalnya aku mengantar sedikit pesanan krisan ke teman. Pulangnya rintik hujan dengan kabut itu berubah menderas. Hari hampir malam ketika kuputuskan untuk berteduh di sebuah gubuk. Secara aku tak bawa mantel. Tahukah pemirsa, ternyata di gubug itu telah ada Mas langit. Mau keluar lagi tak mungkin. Hujan menggila. akhirnya kuputuskan tetap berteduh di sana, dengan jaga jarak dan mulutku yang manyun tiada henti.Kenapa juga bertemu dengan cowok brengsek ini? Setelah tadi aku nyaris jatuh karena mobilnya terlalu nyelonong ke kanan dan dompetku disanderanya. Dompet itu, yang membuatku bingung karena bolak balik sehabis mengantar pesanan kurunut di jalanan. Mungkin saja orang membuangnya setelah mengambil rupiah di dalamnya. Tak ketemu juga. Aku sudah pasrah saja setelah kuputuskan untuk membolokir atm supaya tetap aman.Ternyata dompet itu ditemukan Mas langit. Mas Langit lagi, Mas Langit lagi. Berteduhpun bersama Mas Langit. Ingin protes tapi kebetulan selalu saja membuatku kesal tiada tara.Air hujan membuat persendian ngilu, dingin. Kepalaku mulai pusing, tapi gengsi. Kutahan-tahan, kusadari tubuhku mulai menggigil saat akhirnya Mas Langit menyerahkan jaket jinsnya untukku setelah kemeja flanelku kulepas saking basahnya. Aku tahu banget netra Mas Langit beberapa kali memperhatikanku. Beberapa kali pula aku memergokinya sedang menelanjangiku dengan mata elangku utuh. Uh, aku tak suka. Cara ia memandang membuat kebencianku selalu muncul bila berhadapan dengannya. Padahal aku belum pernah kenal dia sebelumnya. Hanya kuketahui dari cerita pakde yang telah berpuluh tahun bekerja pada papanya Mas Langit. Mataku memburam membuatku diam saja ketika ia mendekat dan menarik kepalaku di bahunya. Aku merasa lemas. Tapi kukuat-kuatkan. Akhirnya reda juga titik bayu yang turun dari langit, aku harus segera balik. Sayang, motor jadulku macet! Sungguh kesialan beruntun. Kesalnya lagi Mas Langit memaksa untuk mengantarkanku. Tak ada pilihan lain setelah ia pasrahkan motor ke Pakde Tejo. Wes embuhlah, aku tak bisa mikir. Nggak suka, tapi tak ada jalan lain, kecuali nurut waktu Mas Langit akhirnya mengantar sampai ruko sekaligus rumahku kecilku ini. Ia ingin mampir. Sebetulnya aku malas, tapi tak enak rasanya. Ia sudah mau mengantar, masa mampir saja tak kubolehin, sih? Akhirnya kupersilakan di masuk, meski kepalaku sudah pening sekali, dan yakin wajahku sudah pucat tak tentu arah.Dan inilah yang terjadi, tubuhku sudah lemas sekali. Mataku mulai berkunang. Tanpa kusadari tubuhku melorot dan pandanganku berubah jelaga. Aku pingsan di pinggir pintu garasi. Saat sadar, Mas Langit sudah ada di depanku. Kekhawatiran terlihat jelas di mukanya. Aku terbangun. Mencoba mengingat apa yang terjadi dalam sepersekian detik. Untunglah aku mengingatnya. Ah, agak menyesal juga aku begitu cuek padanya. Nyatanya, ia begitu baik padaku. Hanya saja, tiap kulihat netranya, kenapa kebencian itu muncul. Kenapa ya Tuhan?Padahal dia begitu sabar menungguku untuk berganti pakaian. Meskipun dimintanya tak mandi. Bagaimana mungkin? Seharian aku kemana-mana, rambutku basah oleh air hujan. Mending aku mandi. Saat keluar kamar mandi, masih kulihat Mas Langit setia menungguiku. Mungkin ia khawatir aku bakal pingsan lagi. Untunglah tak seperti itu. Kami berhadapan di depan pintu kamar. Saling bertatapan, dan langsung kutundukkan wajahku. Netranya mampu membunuhku andai aku tak mengalah. Beberapa helai anak rambutku disibakkannya ke belakang, lalu tangannya ke leher belakang. Sumpah aku meremang. Mungkinkah ia akan... ah, otakku terlalu mesum. Aku menikmatinya. Namun, tubuh menegang dengan sendirinya. Mundur beberapa langkah dan membuat Mas Langit terpaku ketika kulangsirkan kedua tangannya dari leher serta daguku. Aku bisa khilaf kalau tak mengihindarinya. Sekarang, kami duduk di karpet depan sofa. Sofaku basah karena tadi dibaringkan di situ oleh Mas Langit. Keheningan memuncak. Aku bingung mau ngomong apa. Mas langit yang biasanya ngomong duluan hanya diam. Kusodorkan remote TV, ia menyalakan TV, menayangkan berita yang kupikir isinya itu-itu saja.Dari samping, kuamati. Sepagi tadi, aku tak begitu tertarik dengannya. Bagiku ia biasa saja. Makanya aku heran kenapa pakde dan bude begitu semangat kalau cerita tentang Mas Langit. Katanya orangnya tidak sombong walau CEO dan kaya. Wajahnya setampan cowok yang sering iklan wangi-wangian buat ketek. Haha, aku ngakak mendengarnya. Semoga saja tidak secakep Bon Jovi, aku bisa klepek-klepek kalau seperti itu. Ternyata lebih dari bayanganku, tak mudah mengungkapkan. Rahangnya kokoh, matanya kubilang tadi, setajam mata elang. Rambutnya agak gondrong, dengan hidung mancung. Kulit bersih dengan tubuh atletis, aku yakin tingginya lebih dari 175 cm. Aku saja 169 cm, hanya menyamai kupingnya. Pakaiannya juga sederhana, jins hitam dan kaos hitam, ditambah lagi jaket jins yang dipinjamkannya padaku dan sudah masuk keranjang rotan baju kotor depan kamar mandiku.Tiba-tiba wajahnya menoleh, membuatku gelagapan.@@@Masih di Bumi POV“Mau kopi?” tawarku menutup rasa salah tingkah yang hinggap begitu saja.“Kuat bikinin aku kopi?”Pertanyaan yang sedikit menggoda, kan? Segera aku beranjak, tapi tanganku dicekal olehnya.“Mau kemana?”“Bikin kopi,” jawabku linglung. Gimana sih ini orang? Terpaksa aku duduk kembali.“Kamu nggak papa? Beneran, nih?” Pertanyaan penuh kekhawatiran.Tuhanku, bukannya sudah kubilang aku capek doang? Kenapa tak percaya dengan ucapanku?“Aku baik saja,” sahutku tegas langsung menuju dapur. Untunglah Mas Langit hanya manggut-manggut dan segera kubuatkan kopi. Kulihat Mas Langit tetap mengikuti langkahku lewat ekor matanya.“Kopi hitam?” tanyaku tertahan.“Ya, sedikit gula,” jawabnya ringan.Kepala kuanggukkan dan mulai kubuatkan kopi sesuai keinginannya. Sedangkan untukku send
“Dompetmu...,” sahut Langit disabar-sabarkan.“Oh, eh, biar aku sendiri, sekalian ambil bunga....”Bumi tersadar berkata-kata agak panjang dan tiba-tiba Langit mengunci mulutnya dengan jari telunjuk.“Stt, aku pingin anterin ke sini. Nggak boleh?” kalimat Langit yang tepat di telinga Bumi membuatnya merinding. Tubuhnya mundur lagi. Ia tak ingin kejadian barusan terulang kembali. Sungguh tatapan Langit kadang membuatnya murka, tapi juga benci. Herannya, kenapa ia tak mampu menolaknya?“Terserah, deh...” itulah yang akhirnya keluar dari mulut Bumi. Jawaban membuat Langit tersenyum di atas angin.“Oke, aku pulang dulu, jaga dirimu baik-baik,” kata Langit pelan tapi tegas. Disambut anggukan Bumi.Keduanya menuju garasi. Dengan cepat Langit mengeluarkan KLX, memakai helm dan melajukan motor segera setelah m
Bumi menunduk. Dilepaskannya kungkungan itu perlahan, Langit mengikutinya, melepaskan wajah Bumi dari jemarinya.Wajah bak madu itu mengangkat wajah. Mengawasi tiap inci wajah Langit. Dalam remang, Langit melihat sinar kebencian di iris hitam netra Bumi. Ia tahu, walau tak sekejam awal mereka bertemu. Kembali wajah Bumi menunduk. Langit mengangkat dagu gadis manis itu. Mendekatkan bibirnya ke bibir mungil yang kian membuatnya tak kuasa menolak hasrat kelelakiannya. Dalam sepersekian detik, ia melumatnya penuh rasa.Begitu juga Bumi, ia menyambutnya. Meski kaku, Langit membuatnya lebih nyaman. Tubuh Langit meringsek makin dekat. Lidahnya bermain, membuka rongga mulut Bumi. Mengobrak abrik bagian dalam dengan jilatan, gigitan, sesekali menyesap gemas tanpa jeda. Ketika Bumi seolah tak mampu bernafas, ia melepaskannya. Namun, kembali dikulumnya bibir mungil itu dengan segenap jiwa. Panas!Tangan kiri Langit menarik ma
Langit bertanya serius. Membalas tatapan Bumi dan mampu menundukkan wajah gadis itu. Tak butuh waktu lebih lama lagi, Langit tak kuasa menahan perasaan. Apalagi untuk mendiamkannya. Ngomong terus terang lebih baik, kan?“Bumi,” diangkatnya wajah Bumi. Kedua netra mereka beradu.“A... aku...,” kata Bumi bingung. Bergetar tak mampu mengucap apapun. Kenapa mulutnya terkunci?“Kau tak perlu menjawabnya sekarang.”“Tapi....”Langit menaruh telunjuknya di mulut Bumi. Langsung dijauhkan Bumi.“Aku nggak bisa,” lirih sekali suaranya.“Kenapa?” Langit menuntut jawaban.Bumi menunduk.“Karena mantan?” selidik Langit tapi justru membuat Bumi terhenyak.“Maksudmu?”“Ya, maksudku, kau tahu maksudku, kan?” Langit ganti bertanya. Mata Bumi membulat.“Ah, sudahlah. Sudah malam, aku harus pulang.&rd
Di dalam Langit mengacak rambutnya kesal dan marah jadi satu.Dara gila! Bagaimana bisa ia berani datang padaku hanya dengan kata minta maaf setelah nyata-nyata di luar dia...? Langit tak mampu melanjutkan pikirannya sendiri. Mungkin karena terlalu mencintainya. Sayang, ia tak bisa menerimanya. Walau Langit menyadari dirinya bukan lelaki bersih.Langit bergulat dengan perasaannya sendiri. Merutuki diri sendiri, kenapa ia begitu terpesona pada wanita seperti Dara, yang notabene suka dunia malam, foya-foya dan kehidupan yang tidak baik untuk seorang gadis. Sampai mamanya saja begitu bersikeras tetap mempertahankan hubungan Langit dengan Dara walau Langit sudah menutuskan untuk mengakhir semuanya. Mama akhirnya setuju setelah Adit sendiri bilang kalau kondisi Dara yang sebenarnya. Dengan lelaki yang pasti bukan Lagit!Dan bumi? Mungkinkah Bumi menyaksikan kejadian tadi bersama Dara. Tak hanya mungkin. Pasti melihat semua barusan. Oh, Langi
Suara Dara yang memanggil terdengar di telinga. Namun, kuacuhkan. Tak peduli lagi piring yang berantakan di lantai. Besok aku akan meminta maaf pada Bude Siti kalau piringnya kupecahkan satu. Meskipun rasanya tak perlu minta maaf juga untuk urusan sepele ini.Yang kumampu hanya berbalik arah, menuju motor. Aku ingin secepatnya pergi dari tempat Mas Langit.Setelah itu, kudengar suara Mas Langit memanggil berkali-kali. Jelas, suara Mas Langit tak mampu menghentikanku. Kujalankan motor cepat. Wes embuhlah. Rasanya ada yang mengiris-iris jiwa ini, ngilu rasanya. Dadaku sesak, air mata siap mengalir. Namun, tidak! Aku tak akan menangis untuk kejadian konyol seperti ini. Sayang air mataku menangisi hal yang tak jelas bagiku.Tak ada satupun yang ingin kulakukan selain ingin pergi menjauh. Kupikir semua lelaki sama saja. Kulajukan motor mengikuti naik turun jalanan dan kelokan tajam dengan genangan air mata, hanya genangan, bukan tumpahan. Aku tak
Hai, bab ini mengandung konten dewasa, ya. === Ada sesuatu yang berbeda, Bumi menarik bibirnya, mundur. Langit terkesiap. “Lebih baik Mas Langit pulang,” ujar Bumi pelan. Ia tak mau hanyut terjerat Langit, sungguh, walaupun ia begitu ingin. Langit terpana, menatap tak percaya. Bumi kembali dingin. Tarikan berat nafas keduanya hampir bersamaan. “Kau tak memaafkanku?” “Aku bukan siapa-siapa,” gumam Bumi. Sontak membuat Langit mendekat. “Bumi, aku....” Langit tak mampu menyelesaikan kalimatnya. “Aku ingin sendiri,” sahut Bumi teramat pelan. Langit menatap Bumi, mengangkat dagu gadis itu. Segera Bumi menarik diri, mundur selangkah. Tak ada yang perlu diperbincangkan lagi. Bumi hanya ingin sendiri. Seharusnya dari awal ia meminta Langit pulang, tidak dalam situasi di tengah-tengah begini. Bumi menyesali keputusannya. Sudah terlanjur. &
Mata Bumi membola, kemudian mengerjap beberapa kali. Huh! Bumi mengacak rambut ikalnya kesal. Apa urusannya? Ia tak pernah mengurusi urusan orang lain. Jadi bodo amat, kan? [Kau tak mau membalas pesanku?] Buat apa? [Tak mau angkat telponku?] Haha, bukan urusanmu! [Kau takut?] Maksudmu? [Jangan ganggu hubungan kami! Ingat itu!] Bodo amat! Bumi menutup ponselnya. Tak ada niat membalas pesan-pesan gila itu. Toh, buat apa juga? Ia benar-benar tak mengerti kenapa musti berhubungan lagi dengan wanita yang menyebalkan itu. Senyum sinis di bibir Bumi tersungging. Apa maksudnya? Kalau memang mau, sana buatmu. Aku juga nggak mau. Eh benarkah seperti itu? Bumi seolah bermonolog dengan diri sendiri. Meski apapun itu, ia belum merasa ingin berhubungan dengan lelaki lain. Dan pesan-pesan yang datang tadi benar-benar membuatnya tak habis pikir. Memangn
“Lagi hmmm?” tanya Langit dengan suaranya yang masih parau di telinga Bumi. “Mau?” tanya Bumi menggoda dan melirik Langit yang memeluk tubuh polosnya erat. Tanpa banyak kata, Langit mengecup bibir eksotis itu dalam-dalam lalu melepasnya sekejap. “Nggak capek?” Bumi terdiam, meraba lembut bibir Langit dan memandangnya penuh kasih. “Hmmm, aku lapar,” sahut Bumi tak menjawab pertanyaan Langit. Mendengarnya, Langit terkekeh, lalu mengecup kening Bumi dan keluar dari selimut yang menyelubungi mereka berdua.
“Mas,” pekik Bumi kaget mendadak diangkat Langit. Langit terkekeh, lalu menempelkan hidung bangirnya ke hidung Bumi dengan sedikit menunduk. Digerakkannya perlahan dan cewek eksotis tersebut kegelian, ia mengelakkan wajahnya agak ke belakang. “Nggak berat?” tanya Bumi mengeratkan rangkulannya ke leher lelaki di hadapannya. “Berat? Segini aja?” “Segini kata Mas Langit?” sahut Bumi melotot. “Haha,” Langit terbahak. Cepat, dibawanya gadis itu masuk ke dalam, melewati dapur, dan menuju ruang tengah. Masih menggendong Bumi, Langit duduk di sofa. Sekarang, Bumi berad
“Apa yang kau lakukan?” tanya lelaki itu masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di depannya, terlihat Dara masih dengan baju tak karuan di atas pangkuan Langit. Roknya tersingkap ke atas, asetnya masih terlihat jelas dengan warna merah hati di bagian dalam. Mulut Dara melongo, ia sama sekali tak menduga lelaki itu akan ke sini, ke tempatnya Langit. Secepat kilat, Langit melepaskan diri dari lengan Dara, ia berdiri sehingga mau tidak mau Dara turun dari pangkuan. Dara membetulkan letak roknya, kemudian kemeja yang sudah hampir memperlihatkan gunung kembar itu secara keseluruhan. Mata Langit menatap Dara tak habis pikir, lalu ke lelaki yang masih berdiri mematung. Ia menahan kemarahannya, tapi lebih dari itu, melihat ke Langit tak percaya. Begitu juga dengan Langit, menatap lelaki di hadapannya masih tak percaya.
Bab 60Sang Penggoda “Mas...,” desahan demi desahan keluar dari bibir mungil gadis manis itu. Tanpa disadari, ia menekan kepala Langit yang tengah mencium lembut aset yang dicandui Langit itu. Tangan Langit mulai bergerilya, wajahnya mendongak menatap mata Bumi yang penuh kabut. Dilepaskannya kancing kemeja teratas, lalu kancing kedua. Dari situ saja, sudah terlihat aset memikat yang masih tertutup b** warna merah. Tangan Langit menekan ujungnya, menatap lembut mata Bumi yang terpejam. “Aku ingin memilikimu, Bumi, seutuhnya,” desis Langit lirih, sangat lirih. Namun, Bumi mampu mendengarnya, membuka mata, dan menggigit bibir bawahnya pelan. Pemandangan yang mampu meluluhkan kewarasan Lang
Pagi masih berkabut, Langit dan Bumi berjalan di jalan setapak dengan kanan dan kiri tumbuhan pinus menjulang. Terkadang, mereka melewati kebun mawar yang makin ke atas makin menipis dan tersisa hanya pinus dengan aroma khasnya. “Nah, itu tempatnya, Mas,” seru Bumi kegirangan melihat ke sebelah kiri. Ada tempat landai dengan bagian atas tanaman pinus. Tapi di depannya terlihat seperti jurang menganga. Langit hanya tersenyum, ia ikuti arah jalan Bumi yang tak sabar sampai di tempat tersebut. Ada batu besar di sana, Bumi segera duduk dan merenggangkan kedua tangan ke atas. “Huh, capeknya,” serunya dengan memutar pandangan ke seluruh area berhawa sejuk itu. Belakangnya pinus rimbun menghijau dan depannya jurang, sejauh mata memandang terlihat r
“Mati lampu,” bisik Bumi. Byar! Langit menyalakan senter ponsel bersamaa hujan deras mengguyur bumi. “Ada lampu emergency?” tanya Langit menyapu seluruh ruangan. Hanya gelengan kepala dari Bumi. “Aku jarang ke sini.” “Lha ini ke sini.” “Hmmm....” Meskipun senter Langit membantu penerangan, tetap saja kurang maksimal. Beranjak dari sofa, Bumi menuju ke dalam.&nb
Tok tok tok... “Bumi, aku...” Tok tok tok. “Ga, ma... maaf,” kata Bumi menarik tubuh dari pelukan Raga. Mundur ke belakang, menyisakan tatapan Raga yang masih tetap penuh kabut. “Bumi, aku masih menginginkanmu,” ujar Raga mengabaikan kalimat yang keluar dari mulut Bumi. Tok rok tok. “Bentar Ga, ada yang ketuk pintu,” kata Bumi lagi lalu meminggirkan tubuhnya dari hadapan Raga yang terus menatapnya intens. Ia membungkukkan badan, menyambar kemeja dan memakainya dengan tergesa tanpa mengancingkan kanci
Menghela nafas dalam-dalam, Bumi memandang ke depan. Tak boleh terpengaruh Dara, tak boleh! “Minggir Dara, aku mau pergi.” “Aku nggak akan pergi sebelum kau janji tak akan mengganggu Langit!” Mengedikkan bahu, Bumi tersenyum tipis. “Maumu apa?” “Mauku, aku nggak mau lihat kamu ganggu Langit,” ucap Dara dengan tekanan penuh, telunjuknya menunjuk wajah Bumi dengan pongah. “Ganggu? Nggak salah denger aku?” Tanya Bumi melirik Dara yang masih berada di samping mobilnya.&nbs
Dara melengos.“Aku nggak ada urusan sama kamu!” katanya sombong.Mendengar jawaban Dara yang tak mengenakkan hati, muka Adit berubah.“Eh apa kau bilang?”“Aku nggak ada urusan sama kamu!” seru Dara dengan tangan bertolak pinggang.Mengabaikan kata-kata Dara, Adit bergegas melewati dengan sengaja menyenggol bahunya. Kelakuan yang membuat Dara naik pitam.“Apaan, sih?”“Nggak apa-apa, aku cuma ngak mau Bos tambah sakit dengan kedatanganmu!”“Huh, siapa bilang?”“Aku!”Dara menatap Adit dengan mata membola.“Denger, ya, bilang ke bosmu, aku akan mendapatkannya!” kata Dara bernada serius. Tanpa menunggu jawaban Adit, Dara menghentakkan kaki untuk menunjukkan kemarahannya lalu berjalan cepat. Melewati ruang tengah, ruang tamu dan keluar rumah.Melihat itu, Adit hanya menggelengkan kepala beberapa kali.