Gadis itu, Bumi memandang Langit tak percaya. Kenapa juga ketemu cowok ini lagi? Cowok yang membuatnya terpaku beberapa saat lamanya. Bumi terdiam. Menyetandarkan motornya, tetap duduk di motor, bersedekap sambil menatap ke luar gubuk.
Hanya berteman suara hujan. Terus menggila dengan angin yang deras. Langit menatap Bumi dari samping. Gadis semanis madu membuatnya terlena untuk sepersekian detik. Masih dengan pakaian yang tadi. Flanel panjangnya telah basah oleh air hujan.“Kau bisa duduk di sampingku,” kata Langit setelah kesenyapan membosankan. Bumi bergeming. Ya ampun terbuat dari apa cewek ini? Langit mengibaskan rambutnya yang mulai memanjang dan menyugarnya, mencoba sabar.“Bumi!” Tak ada suara, Bumi hanya membuka helm, menaruh di stang motor sebelah kanan. Dari ekor mata dilihatnya Langit menghujaninya dengan tatapan penuh. Senyum langit membuat Bumi kembali menatap luar gubuk. Badai yang menggila mau tak mau tempias ke tubuh Bumi. Langit berdiri, mendekati Bumi.“Kamu bisa basah kuyup,” katanya tegas.Bukannya menjawab, Bumi hanya melihat kecil ke arah Langit. Terkesima, itulah yang membuat Langit menelan salivanya langsung.“Lepas flanelmu,” kata Langit akhirnya melihat Bumi tetap bergeming, padahal air hujan benar-benar membuatnya makin basah. Walau tak dianggap, Langit melepas jakit jinsnya. Cuek, Bumi hanya melirik sekilas. Ia kedinginan, tapi terlalu malas menanggapi Langit. Coba ada tempat berteduh lain, tak bakal ia berhenti di sini. Kenapa juga tak bawa mantel tadi? Bumi hanya menekan kekesalannya sendiri.“Bumi,” kata Langit lembut. Walau bagaimanpaun ia tak ingin Bumi sakit karena kedinginan. Melihat ke atas, sepertinya hujan bakalan awet. Tetap diam, Langit akhirnya menarik tangan Bumi setengah memaksa.“Turun, duduk sini Bumi, kau bisa sakit nanti!” ungkapnya tegas.Akhirnya Bumi dengan terpaksa turun dari motor dan duduk di meja. “Lepas flanelmu,” kata Langit lagi. Meskipun malas, Bumi melepas juga kemeja flanel yang telah basah itu. Hanya dengan t-shirt hitam ngepas di tubuh semampainya, lekuk tubuh Bumi terlihat lebih jelas. Langit dibuat tak percaya karenanya. Gunung kembar itu tampak menantang sesuai tubuh tingginya, dengan rambut setengah basah. Menambah keseksian si gadis desa yang mungkin nyasar ini. Harusnya ia berada di antara bidadari kayangan. Langit dibuat termangu untuk terus menatap kemolekan di hadapannya. Bagaimanapun ia harus bertahan untuk tak tergoda, tapi, mana bisa?Bumi merunduk, lalu mengangkat muka. Tepat saat Langit mendekatnya. Hidung mereka hampir beradu. Ya ampun ada makhluk indah seperti ini di hadapannya! Langit menggelengkan kepalanya beberapa saat, lalu menarik nafas dalam-dalam. Tuhan, beri aku kekuatan, batin Langit.“Pakai ini,” kata Langit sembari menarik kemeja flanel Bumi dan menaruh di stang KLX-nya. Pelan, menjauh dari wajah Bumi, kemudian memakaikan jaket jins miliknya ke bahu Bumi.
“Makasih.” Akhirnya, keluar juga kata itu dari mulut Bumi. Setelah beberapa menit keduanya hanya diam. Kemudian Langit duduk di samping kirinya. Tak ada jarak, karena meja tak lebih dari 1,5 meter, keduanya diam kembali. Sama-sama diam mambuat Langit dipacu geregetan. Dengan ekor mata, Langit menatap sepuasnya wajah eksotis sawo matang itu. Hidung mbangirnya, bibir mungilnya, memporakporandakan otak nakal Langit. Bagaimanapun ia lelaki normal. Angannya sudah kemana-mana, betapa ingin menyentuh dan melumat sepenuhnya. Ah....Dalam hati, Langit berdoa, hujan saja terus hingga subuh, biar ia bisa bersama Bumi yang beku ini semalaman. Haha, pemikiran gila. Mungkin ia harus mulai ngomong, walaupun sebenarnya, Langit bukan tipe orang yang kurang suka banyak ngomong. Daripada sunyi begini?“Kamu tinggal sama Pakde dan Bude Tejo?” tanya Langit memulai obrolan.
Gelengan kepala Bumi membuat Langit meringis.“Lalu?” tanya Langit menuntut jawaban.Akhirnya wajah segula aren pasir itu menoleh.“Maksudnya?” Hujan, parau, dingin terdengar suara Bumi nan seksi. Tengkuk Langit meremang, sebeku ini, bagaimana Langit mampu menekan rasa ingin tahunya?“Tinggal dimana?” lanjut Langit.“Deket,” jawab Bumi singkat.“Mana?” tanya Langit lagi.“Kenapa?” Malah ganti nanya. Bumi mengerling, melihat ke arah Langit yang makin terpaku pada tatapan mata jernih Bumi.“Aku nggak boleh tahu?” suara Langit menggantung.“Boleh.”“Dimana?” Bumi menarik nafas cukup panjang, melihat tepat iris mata Langit sejenak. Meskipun begitu mampu menggelegakkan jantung Langit seolah copot dari lantai 5 gedung pencakar langit. Pencakar langit lantainya 5 doang? Haha....“Kenapa?” Langit bertanya dengan suara parau. Ia bingung mau ngomong apa dengan tatapan Bumi yang takjub itu. Bukan menjawab, Bumi mengalihkan pandangannya ke arah berlainan.“Aku cuma mau ngembaliin dompetmu, nggak boleh?” Wajah Bumi menoleh kembali ke Langit mulutnya terbuka sedikit, kaget.“Oh,” jawab Bumi mengangguk-angguk. Sudut bibirnya tertarik ke atas, senyuman singkat!“Titipkan saja ke Bude atau Pakde tejo.”Jawab yang membuat Langit melongo akut. “Atau kuambil besok,” lanjutnya membuat tampang Langit berubah-ubah tak karuan.“Aku mau antar saja,” jawab Langit bersikeras.“Ngerepotin entar,” sambar Bumi cepat.“Aku nggak merasa repot.” Langit menekankan suaranya. Bumi mendelik sewot, seakan heran dan berkata mengapa.“Biar aku tahu rumahmu,” jawab Langit akhirnya, seolah tahu isi hati Bumi.Ya ampun ini cewek bener-bener, deh, gerutu Langit dalam hati sambil mengetuk-ketukkan jari di atas meja.Mulut mungil itu tersenyum kembali. Maduuuu!Hening kembali. Langit melirik Bumi beberapa kali, wajahnya tetap dingin, menatap hujan yang tak kunjung berhenti. Semakin menggelap, air masih tumpah ruah dari atas. Drrt... drrt..., suara ponsel berbunyi. Langit segera mengambil ponsel dan membuka layar. “Waalaikumsalam,” jawab Langit serius.“....”“Nggak usah Pakde, tak apa, sudah berteduh dari tadi, kok.”“....”“Aman.”“....”“Makasih Pakde, nggak usah, aku bisa balik sendiri entar nunggu hujan agak reda.”“....”“Oke, waalaikumsalam.” “Pakde Tejo,” kata Langit pada Bumi yang melihatnya penuh tanya.“Oh,” kepalanya mengangguk.Langit masih ingin berlama-lama dengan Bumi, gadis yang aneh dan dingin ini. Udara yang benar-benar dingin memang membuat suasana makin gelap dan buram, suram. Membeku. Langit menggeser tubuh, merapat tubuh Bumi. “Dingin?” tanya Langit. Dilihatnya bibir Bumi mulai membiru. Duh, Langit jadi khawatir, harusnya tadi ia mengiyakan saran Pakde Tejo yang berniat menjemput. Kalau sampai Bumi sakit? Langit pasti tak akan memaafkan dirinya sendiri.Bumi diam, tapi Langit tahu dia sangat kedinginan. Perlahan, Langit merangkul bahunya, mendekatkan ke tubuhnya. Tenang, bagaimanapun juga, ia masih waras, tak bakal menyakiti cewek siapapun itu. Tubuh Bumi menolak, tapi akhirnya diam saja dengan perlakuan Langit. Langit memegang kepala Bumi, menyandarkan ke bahu kekarnya. Bumi diam, manut, tak ada penolakan apapun. Mungkin karena terlalu kedinginan atau apa Langit tak tahu. Bukannya ia mengambil kesempatan dalam kesempitan tapi suasana mendudkung. Duh... gimana coba? Langit menggeram sendiri.Diaturnya detak jantung yang berderap bagai tap-tap aneh yang makin tak karuan. Hujan makin mereda dan tinggal sedikit rintik. Bumi menegakkan tubuhnya, sedikit menjauh. Rangkulan Langit kulepas.“Makasih,” kata Bumi lalu melepaskan jaket jins.“Kau pakai saja,” kata Langit segera dan menahan Bumi melepaskan jaket itu.“Tapi,” desisnya pelan. Suaranya bergetar, dingin.“Tak apa, pakai aja,” jawab Langit.Hening.“Aku antar kamu pulang,” ujar Langit setengah memaksa. Bumi menggelengkan kepala tapi udara menjelang malam gini, mana bisa Langit membiarkan Bumi sendirian pulang? Jalanan sudah sepi senyap dari tadi. “Tak perlu,” jawab Bumi bersikeras. Ia menaiki motor, memakai helm, lalu menghidupkan mesin motor. Dicobanya menyetater dengan kaki kanan. Namun, grek, grek, mesin mati. Diulang lagi, sama saja. Langit menahan senyum. Kan makanya mending manut saja kenapa sih biar kuanterin pulang? Batin Langit berpikir miring. Tapi, faktanya....“Biar aku, deh,” kata Langit mengambil alih stang motor sebelah kanan, lalu mulai menyetaternya. Beberapa kali dicoba, tetap tidak bisa. Bumi turun dari motor, gantian Langit ke atas motor. Dicobanya sekali lagi, gagal lagi. Ditolehnya Bumi.“Ayolah, biar aku hubungi Pakde Tejo untuk urus motormu ini, aku antar kamu pulang,” kata Langit. “Toh nggak nyala juga kucoba.”Tak ada jawaban dari Bumi. Langit turun dari motor, melihat ke bagian bawah. Cek mesin motor, mungkin ada yang tidak beres? Ah, sama saja, mending biar diurus Pakde Tejo. Melihat wajah Bumi, Langit mana tega? Dicobanya menyetater ulang entah untuk keberapa kali. Tetap saja tak bisa nyala.“Kuantar pulang, ya,” ujar Langit setelah motor tetap macet.Menyerah, Bumi akhirnya setuju dengan anggukan kepalanya pasrah.Segera Langit telepon Pakde Tejo.“Ya, assalamualaim. Pakde, motor Bumi macet di persimpangan agak utara.”“....”“Di gubuk bekas orang jualan....”“....”“Oh, baiklah.”“....”“Tak apa, nunggu hujan reda tadi, kebetulan saja, kok.”“....”“Tak perlu, biar aku antar Bumi.”“....”“Dekat kebun krisan kedua. Pakde suruh pekerja Pakde urusin motor bumi, ya.”“....”“Iya, di gubuk.”“....”“Oke.”Langit menoleh ke Bumi.“Beres,” kata Langit. Bumi hanya mengangguk kecil.Segera Langit memakai helm lalu naik ke KLX. Kemeja flanel bumi ditaruhnya di stang depan. Ribet juga tapi tak apalah. Bumi membonceng di belakang, itupun tak ada acara pegang tangan. Hmmm, dasar ini cewek sebeku es. Dilajukannya motor perlahan, lalu mulai cepat karena jalanan sepi. Menembus kebun alpukat, sawah, lalu perkebunan krisan. Beberapa kali lengkungan jalan dilewatinya.“Rumahmu dimana?” tanya Langit menoleh ke belakang setelah sampai di pusat desa.“Maju lagi, perempatan itu belok kanan,” jawab Bumi sedikit teriak serak karena suara deru motor. Langit mengangguk kemudian melajukan motor ke arah seperti yang dikatakan Bumi. Setelah melewati pasar desa, motor menuju perempatan. Ada 4 ruko berjejer di situ. “Situ,” tangan kirinya menunjuk sebuah ruko, bagian pojok kiri. Ada tulisan Bumi Florist di bagian atas ruko. Motor berhenti. Bumi turun dari boncengan, mengambil flanel yang ditaruh di depan.“Makasih,” kata Bumi perlahan.Beberapa saat Langit terdiam.“Nggak suruh aku mampir?” tanya Langit menggoda. Pertanyaan itu mampu membuat Bumi salah tingkah sendiri. Desahan nafasnya terlihat berat. Wajahnya memucat. “Boleh,” akhirnya keluar juga jawaban yang diharapkan Langit.“Lewat belakang saja,” katanya kemudian. Lalu berjalan ke belakang ruko. Ada garasi terbuka di sana. Bumi membuka pintu lewat garasi. “Kumasukkan motornya?” tanya Langit ragu.“Boleh,” sahut Bumi sambil membuka pintu garasi agak besar. Pelan, Langit mengikuti langkahnya dengan menuntun motor kemudian diparkirnya motor di garasi. Melalui sudut netra, Langit melihat Bumi menunggu bersandar di pintu. Cepat Langit melepas helm, menaruhnya di motor. Tubuh Langit berbalik saat pemandangan di hadapan membuat Langit terpekik panik.“Bumi!”@@@Pelan tapi pasti, tubuh Bumi dengan helm masih di kepala itu melorot ke bawah. Segera Langit menangkap tubuh semampainya yang terkulai.“Kau kenapa? Bumi?” seru Langit bingung. Tubuhnya terkulai. Wajahnya yang tadi sudah pucat, makin pasi dengan tubuh dingin. Ya Tuhan ada apa dengan Bumi? Batin Langit bergejolak.Hujan yang tadi sudah berhenti mulai menderas lagi di luar sana.Langit melepas helm dengan cepat dan segera membopongnya. Pintu sesudah pintu garasi itu terkunci. Tubuh Bumi ditahan Langit agak kesusahan sambil mengambil kunci yang terjatuh saat Bumi pingsan. Otak Langit berputar cepat memperkirakan kunci mana yang sekiranya tepat di antara beberapa kunci itu. Kunci pertama gagal, untunglah di kunci kedua Langit menemukan kunci yang pas untuk membuka pintu bagian dalam. Langit bergegas masuk ke dalam dengan Bumi terkulai lemas.Ruangan pertama sebuah pantry mungil. Langit tolah toleh sebe
Masih di Bumi POV“Mau kopi?” tawarku menutup rasa salah tingkah yang hinggap begitu saja.“Kuat bikinin aku kopi?”Pertanyaan yang sedikit menggoda, kan? Segera aku beranjak, tapi tanganku dicekal olehnya.“Mau kemana?”“Bikin kopi,” jawabku linglung. Gimana sih ini orang? Terpaksa aku duduk kembali.“Kamu nggak papa? Beneran, nih?” Pertanyaan penuh kekhawatiran.Tuhanku, bukannya sudah kubilang aku capek doang? Kenapa tak percaya dengan ucapanku?“Aku baik saja,” sahutku tegas langsung menuju dapur. Untunglah Mas Langit hanya manggut-manggut dan segera kubuatkan kopi. Kulihat Mas Langit tetap mengikuti langkahku lewat ekor matanya.“Kopi hitam?” tanyaku tertahan.“Ya, sedikit gula,” jawabnya ringan.Kepala kuanggukkan dan mulai kubuatkan kopi sesuai keinginannya. Sedangkan untukku send
“Dompetmu...,” sahut Langit disabar-sabarkan.“Oh, eh, biar aku sendiri, sekalian ambil bunga....”Bumi tersadar berkata-kata agak panjang dan tiba-tiba Langit mengunci mulutnya dengan jari telunjuk.“Stt, aku pingin anterin ke sini. Nggak boleh?” kalimat Langit yang tepat di telinga Bumi membuatnya merinding. Tubuhnya mundur lagi. Ia tak ingin kejadian barusan terulang kembali. Sungguh tatapan Langit kadang membuatnya murka, tapi juga benci. Herannya, kenapa ia tak mampu menolaknya?“Terserah, deh...” itulah yang akhirnya keluar dari mulut Bumi. Jawaban membuat Langit tersenyum di atas angin.“Oke, aku pulang dulu, jaga dirimu baik-baik,” kata Langit pelan tapi tegas. Disambut anggukan Bumi.Keduanya menuju garasi. Dengan cepat Langit mengeluarkan KLX, memakai helm dan melajukan motor segera setelah m
Bumi menunduk. Dilepaskannya kungkungan itu perlahan, Langit mengikutinya, melepaskan wajah Bumi dari jemarinya.Wajah bak madu itu mengangkat wajah. Mengawasi tiap inci wajah Langit. Dalam remang, Langit melihat sinar kebencian di iris hitam netra Bumi. Ia tahu, walau tak sekejam awal mereka bertemu. Kembali wajah Bumi menunduk. Langit mengangkat dagu gadis manis itu. Mendekatkan bibirnya ke bibir mungil yang kian membuatnya tak kuasa menolak hasrat kelelakiannya. Dalam sepersekian detik, ia melumatnya penuh rasa.Begitu juga Bumi, ia menyambutnya. Meski kaku, Langit membuatnya lebih nyaman. Tubuh Langit meringsek makin dekat. Lidahnya bermain, membuka rongga mulut Bumi. Mengobrak abrik bagian dalam dengan jilatan, gigitan, sesekali menyesap gemas tanpa jeda. Ketika Bumi seolah tak mampu bernafas, ia melepaskannya. Namun, kembali dikulumnya bibir mungil itu dengan segenap jiwa. Panas!Tangan kiri Langit menarik ma
Langit bertanya serius. Membalas tatapan Bumi dan mampu menundukkan wajah gadis itu. Tak butuh waktu lebih lama lagi, Langit tak kuasa menahan perasaan. Apalagi untuk mendiamkannya. Ngomong terus terang lebih baik, kan?“Bumi,” diangkatnya wajah Bumi. Kedua netra mereka beradu.“A... aku...,” kata Bumi bingung. Bergetar tak mampu mengucap apapun. Kenapa mulutnya terkunci?“Kau tak perlu menjawabnya sekarang.”“Tapi....”Langit menaruh telunjuknya di mulut Bumi. Langsung dijauhkan Bumi.“Aku nggak bisa,” lirih sekali suaranya.“Kenapa?” Langit menuntut jawaban.Bumi menunduk.“Karena mantan?” selidik Langit tapi justru membuat Bumi terhenyak.“Maksudmu?”“Ya, maksudku, kau tahu maksudku, kan?” Langit ganti bertanya. Mata Bumi membulat.“Ah, sudahlah. Sudah malam, aku harus pulang.&rd
Di dalam Langit mengacak rambutnya kesal dan marah jadi satu.Dara gila! Bagaimana bisa ia berani datang padaku hanya dengan kata minta maaf setelah nyata-nyata di luar dia...? Langit tak mampu melanjutkan pikirannya sendiri. Mungkin karena terlalu mencintainya. Sayang, ia tak bisa menerimanya. Walau Langit menyadari dirinya bukan lelaki bersih.Langit bergulat dengan perasaannya sendiri. Merutuki diri sendiri, kenapa ia begitu terpesona pada wanita seperti Dara, yang notabene suka dunia malam, foya-foya dan kehidupan yang tidak baik untuk seorang gadis. Sampai mamanya saja begitu bersikeras tetap mempertahankan hubungan Langit dengan Dara walau Langit sudah menutuskan untuk mengakhir semuanya. Mama akhirnya setuju setelah Adit sendiri bilang kalau kondisi Dara yang sebenarnya. Dengan lelaki yang pasti bukan Lagit!Dan bumi? Mungkinkah Bumi menyaksikan kejadian tadi bersama Dara. Tak hanya mungkin. Pasti melihat semua barusan. Oh, Langi
Suara Dara yang memanggil terdengar di telinga. Namun, kuacuhkan. Tak peduli lagi piring yang berantakan di lantai. Besok aku akan meminta maaf pada Bude Siti kalau piringnya kupecahkan satu. Meskipun rasanya tak perlu minta maaf juga untuk urusan sepele ini.Yang kumampu hanya berbalik arah, menuju motor. Aku ingin secepatnya pergi dari tempat Mas Langit.Setelah itu, kudengar suara Mas Langit memanggil berkali-kali. Jelas, suara Mas Langit tak mampu menghentikanku. Kujalankan motor cepat. Wes embuhlah. Rasanya ada yang mengiris-iris jiwa ini, ngilu rasanya. Dadaku sesak, air mata siap mengalir. Namun, tidak! Aku tak akan menangis untuk kejadian konyol seperti ini. Sayang air mataku menangisi hal yang tak jelas bagiku.Tak ada satupun yang ingin kulakukan selain ingin pergi menjauh. Kupikir semua lelaki sama saja. Kulajukan motor mengikuti naik turun jalanan dan kelokan tajam dengan genangan air mata, hanya genangan, bukan tumpahan. Aku tak
Hai, bab ini mengandung konten dewasa, ya. === Ada sesuatu yang berbeda, Bumi menarik bibirnya, mundur. Langit terkesiap. “Lebih baik Mas Langit pulang,” ujar Bumi pelan. Ia tak mau hanyut terjerat Langit, sungguh, walaupun ia begitu ingin. Langit terpana, menatap tak percaya. Bumi kembali dingin. Tarikan berat nafas keduanya hampir bersamaan. “Kau tak memaafkanku?” “Aku bukan siapa-siapa,” gumam Bumi. Sontak membuat Langit mendekat. “Bumi, aku....” Langit tak mampu menyelesaikan kalimatnya. “Aku ingin sendiri,” sahut Bumi teramat pelan. Langit menatap Bumi, mengangkat dagu gadis itu. Segera Bumi menarik diri, mundur selangkah. Tak ada yang perlu diperbincangkan lagi. Bumi hanya ingin sendiri. Seharusnya dari awal ia meminta Langit pulang, tidak dalam situasi di tengah-tengah begini. Bumi menyesali keputusannya. Sudah terlanjur. &
“Lagi hmmm?” tanya Langit dengan suaranya yang masih parau di telinga Bumi. “Mau?” tanya Bumi menggoda dan melirik Langit yang memeluk tubuh polosnya erat. Tanpa banyak kata, Langit mengecup bibir eksotis itu dalam-dalam lalu melepasnya sekejap. “Nggak capek?” Bumi terdiam, meraba lembut bibir Langit dan memandangnya penuh kasih. “Hmmm, aku lapar,” sahut Bumi tak menjawab pertanyaan Langit. Mendengarnya, Langit terkekeh, lalu mengecup kening Bumi dan keluar dari selimut yang menyelubungi mereka berdua.
“Mas,” pekik Bumi kaget mendadak diangkat Langit. Langit terkekeh, lalu menempelkan hidung bangirnya ke hidung Bumi dengan sedikit menunduk. Digerakkannya perlahan dan cewek eksotis tersebut kegelian, ia mengelakkan wajahnya agak ke belakang. “Nggak berat?” tanya Bumi mengeratkan rangkulannya ke leher lelaki di hadapannya. “Berat? Segini aja?” “Segini kata Mas Langit?” sahut Bumi melotot. “Haha,” Langit terbahak. Cepat, dibawanya gadis itu masuk ke dalam, melewati dapur, dan menuju ruang tengah. Masih menggendong Bumi, Langit duduk di sofa. Sekarang, Bumi berad
“Apa yang kau lakukan?” tanya lelaki itu masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di depannya, terlihat Dara masih dengan baju tak karuan di atas pangkuan Langit. Roknya tersingkap ke atas, asetnya masih terlihat jelas dengan warna merah hati di bagian dalam. Mulut Dara melongo, ia sama sekali tak menduga lelaki itu akan ke sini, ke tempatnya Langit. Secepat kilat, Langit melepaskan diri dari lengan Dara, ia berdiri sehingga mau tidak mau Dara turun dari pangkuan. Dara membetulkan letak roknya, kemudian kemeja yang sudah hampir memperlihatkan gunung kembar itu secara keseluruhan. Mata Langit menatap Dara tak habis pikir, lalu ke lelaki yang masih berdiri mematung. Ia menahan kemarahannya, tapi lebih dari itu, melihat ke Langit tak percaya. Begitu juga dengan Langit, menatap lelaki di hadapannya masih tak percaya.
Bab 60Sang Penggoda “Mas...,” desahan demi desahan keluar dari bibir mungil gadis manis itu. Tanpa disadari, ia menekan kepala Langit yang tengah mencium lembut aset yang dicandui Langit itu. Tangan Langit mulai bergerilya, wajahnya mendongak menatap mata Bumi yang penuh kabut. Dilepaskannya kancing kemeja teratas, lalu kancing kedua. Dari situ saja, sudah terlihat aset memikat yang masih tertutup b** warna merah. Tangan Langit menekan ujungnya, menatap lembut mata Bumi yang terpejam. “Aku ingin memilikimu, Bumi, seutuhnya,” desis Langit lirih, sangat lirih. Namun, Bumi mampu mendengarnya, membuka mata, dan menggigit bibir bawahnya pelan. Pemandangan yang mampu meluluhkan kewarasan Lang
Pagi masih berkabut, Langit dan Bumi berjalan di jalan setapak dengan kanan dan kiri tumbuhan pinus menjulang. Terkadang, mereka melewati kebun mawar yang makin ke atas makin menipis dan tersisa hanya pinus dengan aroma khasnya. “Nah, itu tempatnya, Mas,” seru Bumi kegirangan melihat ke sebelah kiri. Ada tempat landai dengan bagian atas tanaman pinus. Tapi di depannya terlihat seperti jurang menganga. Langit hanya tersenyum, ia ikuti arah jalan Bumi yang tak sabar sampai di tempat tersebut. Ada batu besar di sana, Bumi segera duduk dan merenggangkan kedua tangan ke atas. “Huh, capeknya,” serunya dengan memutar pandangan ke seluruh area berhawa sejuk itu. Belakangnya pinus rimbun menghijau dan depannya jurang, sejauh mata memandang terlihat r
“Mati lampu,” bisik Bumi. Byar! Langit menyalakan senter ponsel bersamaa hujan deras mengguyur bumi. “Ada lampu emergency?” tanya Langit menyapu seluruh ruangan. Hanya gelengan kepala dari Bumi. “Aku jarang ke sini.” “Lha ini ke sini.” “Hmmm....” Meskipun senter Langit membantu penerangan, tetap saja kurang maksimal. Beranjak dari sofa, Bumi menuju ke dalam.&nb
Tok tok tok... “Bumi, aku...” Tok tok tok. “Ga, ma... maaf,” kata Bumi menarik tubuh dari pelukan Raga. Mundur ke belakang, menyisakan tatapan Raga yang masih tetap penuh kabut. “Bumi, aku masih menginginkanmu,” ujar Raga mengabaikan kalimat yang keluar dari mulut Bumi. Tok rok tok. “Bentar Ga, ada yang ketuk pintu,” kata Bumi lagi lalu meminggirkan tubuhnya dari hadapan Raga yang terus menatapnya intens. Ia membungkukkan badan, menyambar kemeja dan memakainya dengan tergesa tanpa mengancingkan kanci
Menghela nafas dalam-dalam, Bumi memandang ke depan. Tak boleh terpengaruh Dara, tak boleh! “Minggir Dara, aku mau pergi.” “Aku nggak akan pergi sebelum kau janji tak akan mengganggu Langit!” Mengedikkan bahu, Bumi tersenyum tipis. “Maumu apa?” “Mauku, aku nggak mau lihat kamu ganggu Langit,” ucap Dara dengan tekanan penuh, telunjuknya menunjuk wajah Bumi dengan pongah. “Ganggu? Nggak salah denger aku?” Tanya Bumi melirik Dara yang masih berada di samping mobilnya.&nbs
Dara melengos.“Aku nggak ada urusan sama kamu!” katanya sombong.Mendengar jawaban Dara yang tak mengenakkan hati, muka Adit berubah.“Eh apa kau bilang?”“Aku nggak ada urusan sama kamu!” seru Dara dengan tangan bertolak pinggang.Mengabaikan kata-kata Dara, Adit bergegas melewati dengan sengaja menyenggol bahunya. Kelakuan yang membuat Dara naik pitam.“Apaan, sih?”“Nggak apa-apa, aku cuma ngak mau Bos tambah sakit dengan kedatanganmu!”“Huh, siapa bilang?”“Aku!”Dara menatap Adit dengan mata membola.“Denger, ya, bilang ke bosmu, aku akan mendapatkannya!” kata Dara bernada serius. Tanpa menunggu jawaban Adit, Dara menghentakkan kaki untuk menunjukkan kemarahannya lalu berjalan cepat. Melewati ruang tengah, ruang tamu dan keluar rumah.Melihat itu, Adit hanya menggelengkan kepala beberapa kali.