Berangkat dari kecurigaannya akhir-akhir ini, Yudhistira Gautama—Chief Operating Officer di Diamond Grup—yang tidak sengaja berpapasan dengan Julie Lavanya—sekretarisnya, lantas berjalan menghampiri perempuan itu. Entah apa yang menggerakkan hati pria itu. Mungkin dia sedang gila karena saat ini dia sengaja menunggu kepulangan Julia.
“Sudah malam, Jul. Belum pulang?” Julia lantas mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. “Bentar lagi, Pak. Saya masih ngerjain laporannya Pak Mahesa biar besok saya nggak terlalu banyak kerjaan.” Yudhistira manggut-manggut mendengar ucapan Julia. “Bapak sendiri kenapa belum pulang?” Pria itu lantas melirik jam yang melingkar di tangannya, lalu dia kembali bersuara. “Saya juga barusan menyelesaikan revisi berkas yang diminta Mahesa tadi pagi.” “Butuh bantuan?” tawar perempuan itu. Yudhistira lantas menggeleng. “Nggak perlu, Jul. Sudah selesai, kok.” “Ya udah kalau gitu, Pak. Kalau begitu saya siap-siap pulang dulu.” “Pulang sama siapa?” tanya Yudhistira dengan cepat, dan secepat itu pula Julia menghentikan aktivitas berkemasnya. Atau lebih tepatnya tengah bingung mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Yudhistira. “Sendirian, Pak,” jawabnya kemudian. “Pacar kamu nggak jemput?” Julia menggeleng. “Nggak, Pak. Dia kebetulan nggak bisa jemput hari ini.” “Kalau begitu saya antar, ya?” Julia lantas membelalak, lalu perempuan itu menggeleng dengan cepat. “Nggak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri, kok.” “Kamu berangkat nggak bawa mobil, kan?” Julia menelan ludahnya dengan susah payah, dari mana Yudhistira tahu? "Nggak usah, Pak. Saya nggak mau ngerepotin Bapak." Julia mencoba mencari alasan yang tepat untuk menolak tawaran Yudhistira. “Saya bisa naik taksi.” “Saya anterin gratis, kok Jul. Lagipula kita searah. Kalau begitu saya ambil jas saya dulu, ya?” Tidak memberikan Julia kesempatan untuk menolaknya lagi, Yudhistira berlalu begitu saja meninggalkan perempuan itu. Sementara Julia justru mulai kebingungan. Malam ini, Julia sengaja pulang larut untuk menghindari kekasihnya. Bukan tanpa alasan dia menghindarinya, sekujur tubuhnya yang terasa remuk redam akibat perbuatan Aditya semalam bahkan belum sembuh. Julia tidak akan sanggup jika dia harus menuruti kemauan kekasihnya lagi. “Jul?” Julia lantas mengerjapkan matanya, melihat Yudhistira berdiri di sana, sejenak membuat perempuan itu gamang. “Ngelamunin apa? Ayo pulang!” Julia tidak mengatakan apa-apa, perempuan itu lantas meraih tas dan berkas laporan yang tadi dikerjakannya dan langsung bergegas turun menuju area basement bersama Yudhistira. Dalam hati Julia, dia berharap Aditya tidak menunggunya. Atau tamat sudah riwayatnya kali ini. “Bapak seharusnya nggak perlu repot-repot nganterin saya, Pak. Saya nggak apa-apa pulang sendirian, kok.” “Saya tidak merasa direpotkan, kok Jul. Jadi kamu nggak perlu khawatir,” jawab Yudhistira dengan tenang. Dibandingkan dengan Mahesa, Arjuna, dan Bayu yang cenderung dominan, Yudhistira dan Antasena adalah anggota Diamond Squad yang paling pendiam. Sejujurnya Julia merasa kikuk lantaran selama ini dia tidak pernah sedekat ini sebelumnya dengan Yudhistira di luar pekerjaan. Begitu mereka tiba di basement, Yudhistira lantas menekan tombol untuk membuka kunci mobilnya. Membiarkan Julia masuk ke kursi penumpang, sementara Yudhistira duduk di kursi kemudi. “Udah makan?” tanya Yudhistira memecah kecanggungan yang sempat hadir di antara mereka. Mobil itu mulai melaju meninggalkan gedung kantor itu. “Sudah, Pak. Saya diet,” jawab Julia tak kalah canggungnya. “Badan kamu sekecil itu, masih dibilang diet, Jul? Kamu mau sekurus apa?” Julia melipat bibirnya, untuk pertama kalinya dia bicara seintens ini dengan Yudhistira. Rasanya canggung sekali, lantaran Julia curiga jika Yudhistira melihat apa yang dilakukan Aditya semalam. “Pagi tadi kamu pucat sekali,” ujar Yudhistira memecah keheningan lagi. “Kamu baik-baik saja, kan?” “Saya baik-baik saja, kok Pak.” Pria itu menarik ujung bibirnya ke atas, sesekali dia melirik ke arah Julia yang duduk di sampingnya dengan canggung. “Saya malah ngiranya kamu bakalan izin pulang, Jul. I mean, Mahesa nggak mungkin setega itu nyuruh kamu buat kerja, sementara kamu sedang sakit, kan?” Julia tidak menyangka jika Yudhistira akan sepengertian itu kepadanya. “Nggak, kok Pak. Saya benar-benar baik saja.” “Bagus kalau begitu. Karena saya nggak yakin, kantor bakalan sesepi apa kalau nggak ada kamu di sana.” Seolah tidak mengacuhkan rasa curiganya, Julia memberanikan diri menoleh ke arah pria yang saat ini tengah fokus mengemudi. “Saya baru kali ini mendengar Bapak banyak bicara.” Yudhistira lantas terkekeh. “Kalau lawannya Bayusuta atau Arjuna, saya nggak ada apa-apanya, Jul. Ditambah Mahesa dan kamu. Tanpa saya, suasana kantor sudah ramai duluan.” “Bapak juga bisa ketawa juga ternyata.” Lagi-lagi Yudhistira terkekeh. “Kenapa? Aneh, ya?” Julia kembali menoleh ke depan, lalu menghela napas panjang. “Saya bertahun-tahun kerja sama Pak Mahesa. Dari gaji saya satu digit sampai dua digit sekarang, melihat Pak Yudhistira bicara banyak kayak gini, rasa-rasanya saya baru saja menemukan keajaiban dunia kedelapan.” “Kamu berlebihan, Jul.” “Faktanya memang begitu, Pak.” Yudhistira tidak bisa menyembunyikan senyumannya kali ini. “Saya akan banyak bicara jika diperlukan, Jul. Lagipula biar apa banyak bicara, hm? Yang ada cuma bikin capek.” Julia tersenyum membenarkan ucapan Yudhistira. Dia terkadang merasa lelah berdebat dengan Mahesa akhir-akhir ini. Atau ini hanya sebuah alasan? “Jangan sakit, ya Jul. Saya yang pendiam begini kalau nggak ada kamu di kantor, rasanya seperti lagi di kuburan.” Julia terkekeh. Sepanjang jalan yang mereka lalui terlihat sangat sepi lantaran waktu sudah menunjuk angka sebelas malam. Dengan kecepatan rata-rata, Yudhistira melajukan mobilnya. Seolah tak rela jika mobilnya sebentar lagi akan tiba di tujuan mereka. “Berhenti di depan situ saja, Pak.” “Nggak sekalian di depan rumah aja?” tanyanya heran. Julia menggeleng. “Nggak usah, Pak. Saya—” “Kenapa? Kamu tinggal sendirian di sana, kan?” ujar Yudhistira dengan cepat. “Atau pacar kamu udah nungguin di rumah kamu, ya?” “Nggak kok, Pak.” Yudhistira tersenyum kecil. Pria itu tidak mengindahkan ucapan Julia. Dia tetap melajukan mobilnya memasuki sebuah komplek perumahan, lalu berhenti tepat di depan rumah Julia. Mendadak raut wajah Julia berubah pias. Tatapannya nanar ke depan, dan Yudhistira menyadarinya tetapi dia enggan bertanya. Dengan tangan gemetar, Julia melepaskan seat belt-nya. Dia menundukkan wajah, seolah tengah mengulur waktu. Lalu… “Jul? Are you okay?” Julia mengerjap, lalu mengangguk dengan cepat. “Ya, Pak. Saya turun dulu, ya? Terima kasih banyak untuk tumpangannya, Pak.” “Sama-sama, Julia.” Julia lantas turun dari mobil, lalu mengisyaratkan pada pria itu untuk segera bergegas meninggalkan komplek rumahnya. Pun dengan Yudhistira yang langsung menurutinya. Pria itu lantas menginjak pedal mobilnya, lalu mobil itu bergerak mundur. Saat dia hampir tiba di persimpangan jalan, kehadiran seseorang yang tiba-tiba saja muncul di depan sana, membuat Yudhistira seketika menghentikan laju mobilnya. Dari tempatnya, Yudhistira bisa melihat pria itu berjalan menghampiri Julia. Kening Yudhistira mengernyit. Dia tidak tahu apa yang tengah dibicarakan Julia dengan kekasihnya di sana, tak lama kemudian pria itu merangkul Julia dan langsung membawanya masuk ke rumah. Dalam hatinya, pikiran buruk Yudhistira tentang Julia terus berputar di kepalanya. Apa yang terjadi dengan perempuan itu, sedikit banyaknya membuat pria itu menaruh curiga, bahwa ada yang tidak beres dengan Julia. “Shit!” umpat Yudhistira frustasi. Bahkan dia tidak tahu apa yang tengah dipikirkannya. “Lo mikirin apa sih, Dhis?” Memilih untuk tidak mengacuhkannya, Yudhistira kembali melajukan mobilnya dan langsung meninggalkan komplek rumah Julia. Sepanjang perjalanan, dia hanya berharap pikirannya saja yang terlalu berlebihan. Bukankah tidak seharusnya Yudhistira melanggar batas personal bawahannya? Tetapi anehnya semakin Yudhistira berusaha mengenyahkan pikiran itu, hal-hal buruk justru semakin membuat pening kepalanya. [Jul, saya lupa minta berkas laporan yang kamu bawa tadi, besok pagi-pagi sekali saya mampir ke rumah kamu, ya? Thank you, selamat beristirahat, Julia.] ***“Pak, ada apa?"Julia yang sejak tadi tidak tenang bekerja setelah kekacauan yang terjadi, mendadak ikut panik begitu melihat Arjuna berlari menuju ruangan Yudhistira. Dan memintanya untuk ikut dengannya.“Jul, ke sini sebentar.”Julia menuruti Arjuna. Perempuan itu lantas mengekori Arjuna untuk menuju ruangan Yudhistira sekarang.Baru saja Arjuna mendorong pintu ruangan Yudhistira, pria itu langsung bangkit dan berjalan mendekati Arjuna.“Gimana?” tanya Yudhistira saat itu.“Mahesa kritis sekarang, Dhis. Gue minta tolong lo sama Sena standby di kantor, sama Julia. Gue sama Bayu mau ke rumah sakit sekarang."Tiba-tiba kepala Yudhistira berdengung. Pun begitu dengan Julia yang membuka mulutnya lebar-lebar seolah tidak percaya dengan ucapan Arjuna baru saja."Gimana kejadiannya, Pak?"“Mahesa dikeroyok sama orang-orang suruhannya Bara, dan gue terlambat datang untuk menyelamatkannya. Sekarang dia sedang ditangani oleh dokter di rumah sakit, dan saya mau ke sana.”“OMG! Pak Mahesa,” kata
“Bagaimana kondisinya Mahesa, J?”Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Yudhistira, membuat Arjuna yang tadinya sibuk dengan iPad miliknya, lantas menoleh. Baru saja dia tiba di sana bersama Antasena usai jam kerja berakhir.“Belum ada perkembangan apa-apa. Gue kayaknya bakalan di sini nemenin Tante Citra.”Yudhistira meraup wajahnya dengan gusar. “Terus Sasi? Dia dirawat di sini juga, kan? Bagaimana kondisinya?”Arjuna mengangguk. “Iya. Sejak tadi dia sama Yura dan Krisna. Gue nggak berani nemuin dia, karena dia pasti masih terguncang dan jelas membutuhkan waktu untuk sendiri.”“Benar. Mending biarin dia tenang dulu, deh.”“Terus komplotannya Bara?”“Semua tersangka sudah ditangkap. Bahkan termasuk Abhimana dan Dinar yang ikut terseret dalam kasus ini untuk penyidikan. Bayu lagi ngurusin semuanya.”“Bangsat memang. Motifnya apa, coba?”“Kalau dari rekaman yang gue ambil dari yang dibawa Mahesa, Bara ingin balas dendam atas hancurnya Diandra, dan karirnya. Termasuk Saras, news anch
Yudhistira ingin menenggelamkan dirinya di laut Antartika detik ini juga.Bagaimana bisa dia bertindak impulsif seperti yang dilakukannya semalam? Meskipun dia juga tidak memungkirinya, akhir-akhir ini Julia terlalu mempengaruhinya.Seolah tak cukup dengan tindakannya, Yudhistira selalu menghabiskan malamnya selama seminggu lebih untuk berdiam diri tanpa melakukan apa-apa di depan rumah Julia.Seolah ada yang menarik paksa dirinya untuk tenggelam ke dalam rumitnya hubungan perempuan itu dan kekasihnya.Menghela nafas panjang, Yudistira menyandarkan punggungnya ke belakang. Mendadak kepalanya terasa pening, bersamaan dengan seseorang yang baru saja muncul dari balik pintu ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Siapa lagi kalau bukan Bayusuta atau anggota Diamond Squad lainnya? Tidak orang yang berani melakukannya, sekalipun itu Julia.“Kenapa lo lesu gitu?” tanya Bayusuta sembari mengangsurkan paper cup ke arah Yudhistira, seolah tahu jika pria itu membutuhkan energi untuk me
“Julia?”Perempuan itu lantas menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya. “Ya, Pak?”Yudhistira yang saat ini terlihat lelah berjalan menghampirinya. “Pulang sama siapa?” tanyanya saat sadar Julia tengah bersiap-siap untuk pulang.“Dijemput, Pak,” jawab Julia dengan suara tercekat.Pertemuan siang tadi berlangsung baik-baik saja. Julia hanya tidak menyangka jika Aditya yang merupakan keponakan Yosha, akan turut hadir dalam pertemuan tersebut.Dan tentu saja suasana meja makan siang tadi berubah menjadi tak nyaman. Pun begitu dengan Yudhistira yang sadar siapa sosok Aditya. Seolah ingin menunjukkan posisinya, pria itu secara terang-terangan merayu Julia, di hadapan Aditya. Dasar orang gila!“Sama pacar kamu, ya?”Julia mengangguk.“Boleh nggak, sih kalau saya khawatir?” ujar Yudhistira dengan tenang. “Boleh nggak, kamu pulang sama saya saja?”“Saya sudah punya pacar, Pak.” Seolah Julia ingin mengingatkan posisi Yudhistira sekali lagi. “Lagipula saya baik-baik saja. Jadi Bapak nggak pe
Yudhistira merasa gusar sekarang. Melihat Julia dan Aditya baru saja meninggalkan kantor, entah kenapa hatinya mendadak berubah jadi tak tenang.Oleh Yudhistira, katakan saja dia benar-benar gila sekarang. Kegusarannya kali ini benar-benar tak lagi bisa dikendalikannya. Pria itu lantas melajukan mobilnya, membuntuti mobil yang sudah lebih dulu berjalan di depan sana yang diyakini adalah mobil Aditya.Sampai akhirnya Yudhistira menghentikan mobilnya tak jauh dari rumah Julia. Berkali-kali pria itu membuang napas, bahkan dia tidak menyadari apa yang sedang dilakukannya sekarang."Lo gila, Dhis!" gumam pria itu pada dirinya sendiri.Bayangan bagaimana Julia dilukai sebanyak itu, mengingatkannya pada seseorang. Dan entah mengapa Yudhistira bisa tenggelam sampai sejauh ini.Entah sudah berapa lama, Yudhistira berdiam diri tanpa melakukan apa-apa di sana. Sesekali dia menoleh, dan berharap jika Aditya akan segera bergegas pergi. Semakin lama pria itu berada di sana, semakin membuat pertahan
"Kamu pengen tahu rasanya senikmat apa bercinta yang sebenarnya?"Julia seketika membelalak."Begini, Julia."Kedua tangan Yudhistira lantas melingkar di pinggang Julia, lalu pria itu mulai mendekatkan wajahnya untuk melekatkan bibirnya di atas bibir perempuan itu. Julia sempat menahan napas selama beberapa detik. Dia berusaha untuk memberontak, namun kedua tangan Yudhistira yang melingkar di pinggangnya sudah lebih dulu menahannya agar tidak bisa mengelak.Jantungnya mendadak berdebar begitu kencang. Julia masih mencoba mencerna apa yang saat ini tengah terjadi, namun saat perempuan itu bisa merasakan desiran hebat yang memenuhi hatinya, Julia akhirnya memejamkan matanya.Dibiarkannya Yudhistira menyapu bibirnya dengan penuh kelembutan. Kedua tangannya mengusap punggung Julia dengan pelan, bersamaan dengan desahan pelan meluncur dari bibir perempuan itu.Yudhistira yang lebih dulu menarik diri. Dia sadar sepenuhnya dengan kegilaan macam apa yang baru saja dilakukannya. Sepasang mata
[Yudhistira Ghautama: Saya sudah di depan.]Melihat ponselnya bergetar, Julia yang tadinya sibuk memoleskan concealer di lehernya, seketika melebarkan matanya. Cepat-cepat perempuan itu mengetikkan pesan balasan di sana.[Sebentar, ya Pak. Saya ganti pakaian dulu.][Yudhistira Ghautama: Santai saja, Syg.][Yudhistira Ghautama: Eh, apa terlalu cepat saya memanggil kamu dengan sebutan ‘sayang’ ya?]Alih-alih membalas pesan itu, Julia diam-diam tersenyum melihat tingkah Yudhistira. Terus terang dia tidak menyangka jika Yudhistira akan… semanis itu. Selama ini dia mengenal banyak pria di kantornya, hanya saja, dia tidak pernah mengira akan sedekat ini dengan Yudhistira.“OMG! Kamu pasti gila, Jul. Semalam kamu ngapain, coba?”Julia ingin sekali mengutuk dalam hatinya. Entah mengapa bersama pria itu, Julia merasa berbeda. Lebih ke… Julia merasa benar-benar dihargai olehnya sekaligus dia merasa nyaman.“Ingat Julia, kamu nggak boleh kebablasan. Kamu sudah punya Aditya,” cegahnya pada diriny
Julia tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat tiba-tiba Marsya memeluknya. Terlebih saat dia diperkenalkan sebagai calon istri Yudhistira. Apakah pria-pria yang ada di sekitarnya akan segila ini pada waktunya? Julia memaksakan dirinya untuk tersenyum.“Saya Marsya, Mamanya Yudhis.” Marsya yang pertama kali menarik diri, lalu menggenggam kedua tangan Julia dengan hangat.“Saya Julia, Tante.”“Julia ini sekretarisnya Yudhis di kantor, Ma.”Marsya menoleh ke arah Yudhistira dan Julia secara bergantian. “Oh, ya? Jangan bilang kamu di kantor genit-genit, ya? Sampai-sampai bilang Julia ini calon istri kamu.”Yudhistira tertawa. “Nggak, Ma. Yudhis memang maunya sama dia, kok.”“Tapi dia mau, nggak sama kamu? Jangan-jangan kamu paksa lagi, Dhis?”Lagi-lagi Yudhistira hanya tertawa. Marsya lantas mengusap lengan Julia, yang sepertinya tampak kesal mendengar penuturan Yudhistira yang terlalu percaya diri.“Maafin anak Tante, ya Julia. Yudhis memang nggak pandai berbasa-basi, tapi anaknya bai