Share

Jerat Cinta Sang CEO
Jerat Cinta Sang CEO
Author: IKYURA

BAB 1

Berangkat dari kecurigaannya akhir-akhir ini, Yudhistira Gautama—Chief Operating Officer di Diamond Grup—yang tidak sengaja berpapasan dengan Julie Lavanya—sekretarisnya, lantas berjalan menghampiri perempuan itu. Entah apa yang menggerakkan hati pria itu. Mungkin dia sedang gila karena saat ini dia sengaja menunggu kepulangan Julia.

“Sudah malam, Jul. Belum pulang?”

Julia lantas mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. “Bentar lagi, Pak. Saya masih ngerjain laporannya Pak Mahesa biar besok saya nggak terlalu banyak kerjaan.”

Yudhistira manggut-manggut mendengar ucapan Julia.

“Bapak sendiri kenapa belum pulang?”

Pria itu lantas melirik jam yang melingkar di tangannya, lalu dia kembali bersuara. “Saya juga barusan menyelesaikan revisi berkas yang diminta Mahesa tadi pagi.”

“Butuh bantuan?” tawar perempuan itu.

Yudhistira lantas menggeleng. “Nggak perlu, Jul. Sudah selesai, kok.”

“Ya udah kalau gitu, Pak. Kalau begitu saya siap-siap pulang dulu.”

“Pulang sama siapa?” tanya Yudhistira dengan cepat, dan secepat itu pula Julia menghentikan aktivitas berkemasnya. Atau lebih tepatnya tengah bingung mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Yudhistira.

“Sendirian, Pak,” jawabnya kemudian.

“Pacar kamu nggak jemput?”

Julia menggeleng. “Nggak, Pak. Dia kebetulan nggak bisa jemput hari ini.”

“Kalau begitu saya antar, ya?”

Julia lantas membelalak, lalu perempuan itu menggeleng dengan cepat. “Nggak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri, kok.”

“Kamu berangkat nggak bawa mobil, kan?”

Julia menelan ludahnya dengan susah payah, dari mana Yudhistira tahu?

"Nggak usah, Pak. Saya nggak mau ngerepotin Bapak." Julia mencoba mencari alasan yang tepat untuk menolak tawaran Yudhistira. “Saya bisa naik taksi.”

“Saya anterin gratis, kok Jul. Lagipula kita searah. Kalau begitu saya ambil jas saya dulu, ya?”

Tidak memberikan Julia kesempatan untuk menolaknya lagi, Yudhistira berlalu begitu saja meninggalkan perempuan itu. Sementara Julia justru mulai kebingungan.

Malam ini, Julia sengaja pulang larut untuk menghindari kekasihnya. Bukan tanpa alasan dia menghindarinya, sekujur tubuhnya yang terasa remuk redam akibat perbuatan Aditya semalam bahkan belum sembuh. Julia tidak akan sanggup jika dia harus menuruti kemauan kekasihnya lagi.

“Jul?”

Julia lantas mengerjapkan matanya, melihat Yudhistira berdiri di sana, sejenak membuat perempuan itu gamang.

“Ngelamunin apa? Ayo pulang!”

Julia tidak mengatakan apa-apa, perempuan itu lantas meraih tas dan berkas laporan yang tadi dikerjakannya dan langsung bergegas turun menuju area basement bersama Yudhistira.

Dalam hati Julia, dia berharap Aditya tidak menunggunya. Atau tamat sudah riwayatnya kali ini.

“Bapak seharusnya nggak perlu repot-repot nganterin saya, Pak. Saya nggak apa-apa pulang sendirian, kok.”

“Saya tidak merasa direpotkan, kok Jul. Jadi kamu nggak perlu khawatir,” jawab Yudhistira dengan tenang.

Dibandingkan dengan Mahesa, Arjuna, dan Bayu yang cenderung dominan, Yudhistira dan Antasena adalah anggota Diamond Squad yang paling pendiam. Sejujurnya Julia merasa kikuk lantaran selama ini dia tidak pernah sedekat ini sebelumnya dengan Yudhistira di luar pekerjaan.

Begitu mereka tiba di basement, Yudhistira lantas menekan tombol untuk membuka kunci mobilnya. Membiarkan Julia masuk ke kursi penumpang, sementara Yudhistira duduk di kursi kemudi.

“Udah makan?” tanya Yudhistira memecah kecanggungan yang sempat hadir di antara mereka.

Mobil itu mulai melaju meninggalkan gedung kantor itu.

“Sudah, Pak. Saya diet,” jawab Julia tak kalah canggungnya.

“Badan kamu sekecil itu, masih dibilang diet, Jul? Kamu mau sekurus apa?”

Julia melipat bibirnya, untuk pertama kalinya dia bicara seintens ini dengan Yudhistira. Rasanya canggung sekali, lantaran Julia curiga jika Yudhistira melihat apa yang dilakukan Aditya semalam.

“Pagi tadi kamu pucat sekali,” ujar Yudhistira memecah keheningan lagi. “Kamu baik-baik saja, kan?”

“Saya baik-baik saja, kok Pak.”

Pria itu menarik ujung bibirnya ke atas, sesekali dia melirik ke arah Julia yang duduk di sampingnya dengan canggung. “Saya malah ngiranya kamu bakalan izin pulang, Jul. I mean, Mahesa nggak mungkin setega itu nyuruh kamu buat kerja, sementara kamu sedang sakit, kan?”

Julia tidak menyangka jika Yudhistira akan sepengertian itu kepadanya. “Nggak, kok Pak. Saya benar-benar baik saja.”

“Bagus kalau begitu. Karena saya nggak yakin, kantor bakalan sesepi apa kalau nggak ada kamu di sana.”

Seolah tidak mengacuhkan rasa curiganya, Julia memberanikan diri menoleh ke arah pria yang saat ini tengah fokus mengemudi. “Saya baru kali ini mendengar Bapak banyak bicara.”

Yudhistira lantas terkekeh. “Kalau lawannya Bayusuta atau Arjuna, saya nggak ada apa-apanya, Jul. Ditambah Mahesa dan kamu. Tanpa saya, suasana kantor sudah ramai duluan.”

“Bapak juga bisa ketawa juga ternyata.”

Lagi-lagi Yudhistira terkekeh. “Kenapa? Aneh, ya?”

Julia kembali menoleh ke depan, lalu menghela napas panjang. “Saya bertahun-tahun kerja sama Pak Mahesa. Dari gaji saya satu digit sampai dua digit sekarang, melihat Pak Yudhistira bicara banyak kayak gini, rasa-rasanya saya baru saja menemukan keajaiban dunia kedelapan.”

“Kamu berlebihan, Jul.”

“Faktanya memang begitu, Pak.”

Yudhistira tidak bisa menyembunyikan senyumannya kali ini. “Saya akan banyak bicara jika diperlukan, Jul. Lagipula biar apa banyak bicara, hm? Yang ada cuma bikin capek.”

Julia tersenyum membenarkan ucapan Yudhistira. Dia terkadang merasa lelah berdebat dengan Mahesa akhir-akhir ini. Atau ini hanya sebuah alasan?

“Jangan sakit, ya Jul. Saya yang pendiam begini kalau nggak ada kamu di kantor, rasanya seperti lagi di kuburan.”

Julia terkekeh. Sepanjang jalan yang mereka lalui terlihat sangat sepi lantaran waktu sudah menunjuk angka sebelas malam. Dengan kecepatan rata-rata, Yudhistira melajukan mobilnya. Seolah tak rela jika mobilnya sebentar lagi akan tiba di tujuan mereka.

“Berhenti di depan situ saja, Pak.”

“Nggak sekalian di depan rumah aja?” tanyanya heran.

Julia menggeleng. “Nggak usah, Pak. Saya—”

“Kenapa? Kamu tinggal sendirian di sana, kan?” ujar Yudhistira dengan cepat. “Atau pacar kamu udah nungguin di rumah kamu, ya?”

“Nggak kok, Pak.”

Yudhistira tersenyum kecil. Pria itu tidak mengindahkan ucapan Julia. Dia tetap melajukan mobilnya memasuki sebuah komplek perumahan, lalu berhenti tepat di depan rumah Julia.

Mendadak raut wajah Julia berubah pias. Tatapannya nanar ke depan, dan Yudhistira menyadarinya tetapi dia enggan bertanya.

Dengan tangan gemetar, Julia melepaskan seat belt-nya. Dia menundukkan wajah, seolah tengah mengulur waktu. Lalu…

“Jul? Are you okay?”

Julia mengerjap, lalu mengangguk dengan cepat. “Ya, Pak. Saya turun dulu, ya? Terima kasih banyak untuk tumpangannya, Pak.”

“Sama-sama, Julia.”

Julia lantas turun dari mobil, lalu mengisyaratkan pada pria itu untuk segera bergegas meninggalkan komplek rumahnya. Pun dengan Yudhistira yang langsung menurutinya. Pria itu lantas menginjak pedal mobilnya, lalu mobil itu bergerak mundur.

Saat dia hampir tiba di persimpangan jalan, kehadiran seseorang yang tiba-tiba saja muncul di depan sana, membuat Yudhistira seketika menghentikan laju mobilnya. Dari tempatnya, Yudhistira bisa melihat pria itu berjalan menghampiri Julia. Kening Yudhistira mengernyit.

Dia tidak tahu apa yang tengah dibicarakan Julia dengan kekasihnya di sana, tak lama kemudian pria itu merangkul Julia dan langsung membawanya masuk ke rumah.

Dalam hatinya, pikiran buruk Yudhistira tentang Julia terus berputar di kepalanya. Apa yang terjadi dengan perempuan itu, sedikit banyaknya membuat pria itu menaruh curiga, bahwa ada yang tidak beres dengan Julia.

“Shit!” umpat Yudhistira frustasi. Bahkan dia tidak tahu apa yang tengah dipikirkannya. “Lo mikirin apa sih, Dhis?”

Memilih untuk tidak mengacuhkannya, Yudhistira kembali melajukan mobilnya dan langsung meninggalkan komplek rumah Julia. Sepanjang perjalanan, dia hanya berharap pikirannya saja yang terlalu berlebihan. Bukankah tidak seharusnya Yudhistira melanggar batas personal bawahannya?

Tetapi anehnya semakin Yudhistira berusaha mengenyahkan pikiran itu, hal-hal buruk justru semakin membuat pening kepalanya.

[Jul, saya lupa minta berkas laporan yang kamu bawa tadi, besok pagi-pagi sekali saya mampir ke rumah kamu, ya? Thank you, selamat beristirahat, Julia.]

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status