Yudhistira ingin menenggelamkan dirinya di laut Antartika detik ini juga.
Bagaimana bisa dia bertindak impulsif seperti yang dilakukannya semalam? Meskipun dia juga tidak memungkirinya, akhir-akhir ini Julia terlalu mempengaruhinya. Seolah tak cukup dengan tindakannya, Yudhistira selalu menghabiskan malamnya selama seminggu lebih untuk berdiam diri tanpa melakukan apa-apa di depan rumah Julia. Seolah ada yang menarik paksa dirinya untuk tenggelam ke dalam rumitnya hubungan perempuan itu dan kekasihnya. Menghela nafas panjang, Yudistira menyandarkan punggungnya ke belakang. Mendadak kepalanya terasa pening, bersamaan dengan seseorang yang baru saja muncul dari balik pintu ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Siapa lagi kalau bukan Bayusuta atau anggota Diamond Squad lainnya? Tidak orang yang berani melakukannya, sekalipun itu Julia. “Kenapa lo lesu gitu?” tanya Bayusuta sembari mengangsurkan paper cup ke arah Yudhistira, seolah tahu jika pria itu membutuhkan energi untuk memulai hari ini. “Nggak apa-apa,” ujar Yudistira dengan santai. “Gimana perkembangannya?” “Aman. Tinggal nunggu keputusan dari pihak kepolisian saja. Tapi sebelum keputusan itu keluar, gue sih, udah memastikan kalau mereka bakalan membusuk di penjara.” “Bagus lah. Mereka harus mendapatkan ganjaran yang setimpal atas tindakannya." Yudhistira menyesap kopinya. "Lo mau ke rumah sakit sekarang?” “Iya. Gue mau gantiin J buat jagain si Anak Singa. Sejak semalam dia belum tidur, gue nggak mau teman gue mati gara-gara nggak tidur.” “Sialan lo!” “Oh, ya Dhis. Gue minta tolong hari ini gantiin meeting sama Pak Yosha, ya? Julia udah ada bilang sama lo? "Belum." "Ya itu tadi. Siang ini di Continental Restaurant. Asli, gara-gara masalah ini gue lupa buat ngurusin. Wait, Julia jadi belum kasih proposal sama lo, ya? Habis ini gue mampir ke Julia biar ngasih ke lo, ya?” “Elah, harus mendadak banget gini?” Bayusuta hanya nyengir. “Santai, Nyet. Nanti lo ditemenin sama Julia, kok. Lo tahu, kan Julia bisa diandalkan?” Yudhistira menghela napas panjang. “Dia nggak sibuk?” “Mahesa lagi koma, Nyet. Semua project yang kita kerjaan untuk sementara waktu ditunda. Cuma untuk yang satu ini aja, sih. Gue nggak bisa menundanya karena udah janji sama Pak Yosha, sejak berbulan-bulan yang lalu. Mahesa sudah approved, kok.” “Ngomong-ngomong soal kantor, nyokapnya Mahesa nggak turun gunung, kan?” Bayusuta mengedikan bahunya dengan santai. “Kayaknya yang kali ini Ibu Suri nggak bakalan ikut campur. Cuma nggak tahu ya, kalau doi berubah pikiran.” “Ya udah kalau gitu. Lo udah pastikan bahan buat meeting-nya udah ada di Julia, kan?” “Udah. Gue udah bilang sama dia juga kalau lo bakalan gantiin posisi gue.” Bayusuta lantas menepuk pundak Yudhistira. “Gue Cabut ya, kalau semisal ada apa-apa, kasih tahu gue aja.” “Oke.” Sepeninggalnya Bayusuta dari ruangannya, Yudistira mendesah pelan. Pria itu lantas melirik line telepon yang ada di atas mejanya, ragu untuk menghubungi Julia atau sebaliknya. Bukan tanpa alasan Yudhistira meragukan dirinya. Semenjak kejadian semalam, bahkan dia sama sekali belum bertemu dengan perempuan itu. Namun baru saja Yudhistira hendak menekan line teleponnya, suara ketukan dari luar sudah lebih dulu mengalihkan perhatiannya. “Permisi, Pak?” Yudhistira mengatupkan bibirnya, lalu mengerjap. “Ya?” “Saya mau mengantarkan bahan meeting untuk siang nanti dengan Pak Yosha.” Perempuan itu berjalan mendekati meja Yudhistira, lalu menggeser sebuah berkas ke arah pria itu. “Oke. Pukul sebelas, kan?” Julia menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Ya, kalau begitu permisi dulu, Pak.” Tanpa mengatakan apa-apa Julia lantas meninggalkan ruangan Yudistira. Mendadak rasa canggung menyelimuti keduanya. Mendengar bagaimana Julia menolaknya secara terang-terangan, membuat hati kecil Yudhistira tersentil karenanya. Namun siapa yang akan menduga jika Yudhistira justru semakin ingin gencar mengambilnya. Meskipun perasaan Yudhistira masih abu-abu, namun dia dengan sadar mengatakan semua itu semalam, dan dia sama sekali tidak menyesal. Bukankah cinta akan datang karena terbiasa? Yudhistira pria normal, dia pasti bisa membuat dirinya jatuh cinta saat dia memutuskan untuk mengusahakan segalanya. Waktu sudah menunjuk angka sebelas siang, saat Yudhistira keluar dari ruangannya. Pria itu mengayunkan langkahnya, bersamaan dengan Julia yang sudah menunggunya di depan meja kerjanya. “Berangkat sekarang?” Julia mengangguk. Perempuan itu lantas meraih tas dan berkas yang ada di mejanya, lalu keduanya berjalan beriringan menyusuri koridor yang tampak tapi siang itu. Pun begitu dengan Yudhistira yang tidak tahu harus bicara apa dengan Julia. Begitu mereka tiba di parkiran, mereka lantas masuk ke dalam mobil. Sedetik kemudian Yudhistira mulai melajukan mobilnya meninggalkan area basement, dan segera bergegas menuju Continental Restaurant detik itu juga. Sepanjang perjalanan mobil melaju membelah kemacetan siang itu. Laju mobilnya yang lambat, tak lantas membuat keduanya saling bicara satu sama lain. Entah sudah berapa kali Yudhistira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tidak tahu harus mulai bicara dari mana. “Jul?” “Iya, Pak?” Julia yang semula fokus ke depan, lantas menoleh. “Saya nyalakan musiknya, ya?” Julia mengangguk. “Boleh silakan, Pak.” Yudhistira kemudian menjulur tangannya ke depan, jarinya menekan beberapa tombol yang ada di sana. Lalu tak berselang lama salah satu lantunan lagu The Beatles terdengar. Sesekali Yudhistira mengetuk-ngetukkan jarinya di atas kemudi, kemudian menoleh ke arah Julia. “Kamu juga suka sama The Beatles, Jul?” Merasa diperhatikan, Julia kemudian menoleh. “Hah? Gimana, Pak?” “Saya sering nggak sengaja lewat di depan meja kamu, lalu dengerin lagu-lagunya The Beatles. Saya nggak tahu kalau kamu menyukai musik aliran seperti ini.” “Gimana saya nggak suka, Pak? Bukannya Pak Mahesa dan yang lainnya juga suka? Bapak kebayang, dong gimana kalau kerjaan yang dikasih Pak Mahesa ke saya itu adalah minta saya ngumpulin playlist The Beatles dan diklasifikasikan per album? Saya pikir apa waktu itu, dan saya baru tahu kalau Diamond Squad menyukainya.” Julia hanya menggeleng jika mengingat hal itu. “Dan saking seringnya saya dengerin lagu itu, saya nggak sadar kalau jadi suka sama lagu-lagunya. Not bad lah, Pak.” Yudistira tersenyum kecil. "Jul?” “Hm-mm?” “Saya minta maaf, ya?” Julia mengatupkan bibirnya. “Minta maaf untuk apa, Pak?” “Kamu nggak lagi menghindari saya, kan Jul?" tembak Yudhistira tanpa memalingkan wajahnya dari depan. Julia lantas mengerjap, lalu tersenyum canggung. "Nggak, kok Pak. Lagipula kenapa saya harus menghindari Bapak?” "Saya khawatir kamu marah sama saya soal semalam. Maaf kalau yang semalam itu—” “Bapak cuma bercanda gitu, kan Pak? Saya udah nggak memikirkannya, kok Pak. Jadi Bapak nggak usah khawatir,” potong Julia dengan cepat. Yudhistira tak langsung menjawab. Pria itu menghentikan laju mobilnya saat lampu lalu lintas menyala merah, lalu dia menoleh ke arah perempuan itu. “Nggak, Jul. Saya nggak bercanda soal apa yang saya katakan ke kamu semalam.” Mendengar hal itu, Julia lantas mengerjap. "Maksudnya?" “Soal yang saya katakan ke kamu semalam, saya benar-benar dalam keadaan sadar saat mengatakannya, Julia. Saya serius, dan saya mau kamu sama saya saja.” Julia menganga begitu mendengar ucapan Yudhistira. "Bapak tahu, kan kalau saya sudah punya pacar?" Yudhistira menganggukkan kepalanya. "Tahu, tapi masih ada kemungkinan untuk bisa ditikung, kan?" "Jangan bikin saya ingin menyebut Bapak orang gila, ya!" sungut Julia tampak kesal. "Sebut saja boleh, kok Jul.” Yudhistira tertawa, sebelum kembali menginjak pedal mobilnya. “Anggap saja saya memang sedang gila. Saya lebih rela disebut orang gila, kalau itu artinya kamu mengizinkan saya merebut kamu dari dia.” “Dasar gila!” Beruntung tak lama setelahnya mereka tiba di Continental Restaurant. Baik Yudhistira dan Julia lantas turun dari mobil dan langsung bergegas masuk ke dalam. Setelah mengatakan kepada petugas resepsionis, rupanya tamu yang diundang belum datang. Mau tidak mau Yudhistira dan Julia menunggu di salah satu meja yang sudah sudah direservasi mereka sebelumnya. "Mau pesan minum dulu?" tawar Yudhistira memecah keheningan. "Boleh, Pak. Kebetulan saya juga haus." "Kenapa nggak bilang kalau haus, kan bisa pesan duluan, Julia." "Biasanya nggak dibolehin, Pak," tanya Julia sedikit heran. "Emang kenapa nggak ngebolehin?" "Pak Mahesa Yang Maha Benar lah, siapa lagi? Saya tuh, gampang haus, Pak. Apalagi udara Jakarta panas begini. Kalau meeting di luar sama Pak Mahesa itu paling malesin, mesti nunggu kliennya dulu baru boleh pesan. Jadinya, ya saya suka nyolong-nyolong minum di toilet." "Minum air keran wastafel maksud kamu?" "Eh, bukan. Maksudnya saya pesan mineral water, terus saya bawa ke toilet, Pak." Yudhistira sontak tergelak. "Astaga, Jul. Sampai sebegitunya Mahesa?” “Iya, Pak. Mr. Perfectionist paling nyebelin sedunia, tapi juga malang sekarang!” “Meeting sama saya, kamu boleh pesan minum sekarang, kok. Kamu mau pesan apa?” Yudhistira lantas melambaikan tangannya ke arah waiter, lalu meminta Julia memesan minuman lebih dulu. "Bapak sekalian?" tanya Julia saat menggulirkan halaman menu yang ada di tangannya. "Boleh. Saya mineral biasa saja satu." “Saya juga, deh.” Tak lama setelahnya, minuman yang dipesan mereka akhirnya tiba di meja. Julia mengangsurkan satu botol minuman ke arah Yudhistira, baru kemudian dia meraih miliknya sendiri. Namun, Yudhistira yang kini tengah membuka botol minuman itu lebih dulu, kemudian mengangsurkannya ke arah Julia. Baru setelahnya Yudhistira meraih botol yang ada di tangan Julia. Dan tindakan pria itu sejenak membuat perempuan itu tertegun. “Sebenarnya project dengan Pak Yosha ini sudah sampai tahap final saja, sih Jul. Jadi kayaknya meeting nggak bakalan lama,” ujar Yudhistira, pria itu lantas meneguk air mineral itu langsung, tanpa menggunakan gelasnya. “Jul?” Baru sedetik kemudian Julia mengerjap. “Ya? Em… iya maksudnya, Pak.” “Lagi mikirin apa, sih?” “Ng… nggak ada, kok Pak.” Cepat-cepat Julia menuangkan mineral water itu ke dalam gelas. "Kamu lucu," kata Yudhistira tiba-tiba “Maafkan saya, ya?” “Maaf soal apa lagi ini, Pak?” tanya Julia dengan mata memicing. “Maaf kalau setelah ini saya akan berusaha keras untuk merebut kamu dari dia. Jadi… jangan lengah, ya?” Mendadak kepala Julia terasa pening, ingin rasanya dia mengumpati Yudhistira detik ini juga, namun kehadiran tamu yang ditunggu mereka, sudah lebih dulu menghentikannya. Julia ikut bangkit dari duduknya, lalu bersalaman dengan Yosha. Namun tubuhnya mendadak kaku, begitu Julia sadar bahwa tamunya datang bersama orang lain yang cukup familiar baginya. Dengan cepat Julia menundukkan wajahnya. *** Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya!“Julia?”Perempuan itu lantas menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya. “Ya, Pak?”Yudhistira yang saat ini terlihat lelah berjalan menghampirinya. “Pulang sama siapa?” tanyanya saat sadar Julia tengah bersiap-siap untuk pulang.“Dijemput, Pak,” jawab Julia dengan suara tercekat.Pertemuan siang tadi berlangsung baik-baik saja. Julia hanya tidak menyangka jika Aditya yang merupakan keponakan Yosha, akan turut hadir dalam pertemuan tersebut.Dan tentu saja suasana meja makan siang tadi berubah menjadi tak nyaman. Pun begitu dengan Yudhistira yang sadar siapa sosok Aditya. Seolah ingin menunjukkan posisinya, pria itu secara terang-terangan merayu Julia, di hadapan Aditya. Dasar orang gila!“Sama pacar kamu, ya?”Julia mengangguk.“Boleh nggak, sih kalau saya khawatir?” ujar Yudhistira dengan tenang. “Boleh nggak, kamu pulang sama saya saja?”“Saya sudah punya pacar, Pak.” Seolah Julia ingin mengingatkan posisi Yudhistira sekali lagi. “Lagipula saya baik-baik saja. Jadi Bapak nggak pe
Yudhistira merasa gusar sekarang. Melihat Julia dan Aditya baru saja meninggalkan kantor, entah kenapa hatinya mendadak berubah jadi tak tenang.Oleh Yudhistira, katakan saja dia benar-benar gila sekarang. Kegusarannya kali ini benar-benar tak lagi bisa dikendalikannya. Pria itu lantas melajukan mobilnya, membuntuti mobil yang sudah lebih dulu berjalan di depan sana yang diyakini adalah mobil Aditya.Sampai akhirnya Yudhistira menghentikan mobilnya tak jauh dari rumah Julia. Berkali-kali pria itu membuang napas, bahkan dia tidak menyadari apa yang sedang dilakukannya sekarang."Lo gila, Dhis!" gumam pria itu pada dirinya sendiri.Bayangan bagaimana Julia dilukai sebanyak itu, mengingatkannya pada seseorang. Dan entah mengapa Yudhistira bisa tenggelam sampai sejauh ini.Entah sudah berapa lama, Yudhistira berdiam diri tanpa melakukan apa-apa di sana. Sesekali dia menoleh, dan berharap jika Aditya akan segera bergegas pergi. Semakin lama pria itu berada di sana, semakin membuat pertahan
"Kamu pengen tahu rasanya senikmat apa bercinta yang sebenarnya?"Julia seketika membelalak."Begini, Julia."Kedua tangan Yudhistira lantas melingkar di pinggang Julia, lalu pria itu mulai mendekatkan wajahnya untuk melekatkan bibirnya di atas bibir perempuan itu. Julia sempat menahan napas selama beberapa detik. Dia berusaha untuk memberontak, namun kedua tangan Yudhistira yang melingkar di pinggangnya sudah lebih dulu menahannya agar tidak bisa mengelak.Jantungnya mendadak berdebar begitu kencang. Julia masih mencoba mencerna apa yang saat ini tengah terjadi, namun saat perempuan itu bisa merasakan desiran hebat yang memenuhi hatinya, Julia akhirnya memejamkan matanya.Dibiarkannya Yudhistira menyapu bibirnya dengan penuh kelembutan. Kedua tangannya mengusap punggung Julia dengan pelan, bersamaan dengan desahan pelan meluncur dari bibir perempuan itu.Yudhistira yang lebih dulu menarik diri. Dia sadar sepenuhnya dengan kegilaan macam apa yang baru saja dilakukannya. Sepasang mata
[Yudhistira Ghautama: Saya sudah di depan.]Melihat ponselnya bergetar, Julia yang tadinya sibuk memoleskan concealer di lehernya, seketika melebarkan matanya. Cepat-cepat perempuan itu mengetikkan pesan balasan di sana.[Sebentar, ya Pak. Saya ganti pakaian dulu.][Yudhistira Ghautama: Santai saja, Syg.][Yudhistira Ghautama: Eh, apa terlalu cepat saya memanggil kamu dengan sebutan ‘sayang’ ya?]Alih-alih membalas pesan itu, Julia diam-diam tersenyum melihat tingkah Yudhistira. Terus terang dia tidak menyangka jika Yudhistira akan… semanis itu. Selama ini dia mengenal banyak pria di kantornya, hanya saja, dia tidak pernah mengira akan sedekat ini dengan Yudhistira.“OMG! Kamu pasti gila, Jul. Semalam kamu ngapain, coba?”Julia ingin sekali mengutuk dalam hatinya. Entah mengapa bersama pria itu, Julia merasa berbeda. Lebih ke… Julia merasa benar-benar dihargai olehnya sekaligus dia merasa nyaman.“Ingat Julia, kamu nggak boleh kebablasan. Kamu sudah punya Aditya,” cegahnya pada diriny
Julia tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat tiba-tiba Marsya memeluknya. Terlebih saat dia diperkenalkan sebagai calon istri Yudhistira. Apakah pria-pria yang ada di sekitarnya akan segila ini pada waktunya? Julia memaksakan dirinya untuk tersenyum.“Saya Marsya, Mamanya Yudhis.” Marsya yang pertama kali menarik diri, lalu menggenggam kedua tangan Julia dengan hangat.“Saya Julia, Tante.”“Julia ini sekretarisnya Yudhis di kantor, Ma.”Marsya menoleh ke arah Yudhistira dan Julia secara bergantian. “Oh, ya? Jangan bilang kamu di kantor genit-genit, ya? Sampai-sampai bilang Julia ini calon istri kamu.”Yudhistira tertawa. “Nggak, Ma. Yudhis memang maunya sama dia, kok.”“Tapi dia mau, nggak sama kamu? Jangan-jangan kamu paksa lagi, Dhis?”Lagi-lagi Yudhistira hanya tertawa. Marsya lantas mengusap lengan Julia, yang sepertinya tampak kesal mendengar penuturan Yudhistira yang terlalu percaya diri.“Maafin anak Tante, ya Julia. Yudhis memang nggak pandai berbasa-basi, tapi anaknya bai
"Mbak Julia?"Suara vokal seorang perempuan, sejenak membuat Julia dan Yudhistira lantas menoleh."Karina?"Perempuan yang dipanggil Karina itu lantas menghampiri Julia, lalu mendaratkan kecupan di wajah perempuan itu. Julia tidak menyangka jika akan dipertemukan dengan adik sang kekasih di tempat seperti ini."Aku pikir, Mbak Julia jalan sama Mas Adit. Mbak Julia sama siapa?" tanya Karina penasaran.Julia lantas menoleh ke belakang. Dia tampak sedikit gelagapan. "Oh, ya Rin. Kenalkan ini atasan saya di kantor.""Yudhistira.""Saya Karina, calon adik iparnya Mbak Julia." Karina lantas menoleh ke arah Julia. "Mbak kenapa nggak bilang, sih kalau bos Mbak ganteng begini? Beda, ya sama yang Pak Mahesa itu? Mbak udah pindah divisi?""Beliau salah satu petinggi di kantor juga, Rin. Satu tim dengan Pak Mahesa juga, kok."Karina manggut-manggut, tatapannya tak lepas dari menatap Yudhistira."Single, kan Mbak?" bisik Karina lirih."Rin…" Lalu Karina terkekeh."Mbak duduk bentar, deh. Ada yang
"MBAK JULIAAAAAA!" Suara teriakan Rayya seketika menarik perhatian banyak orang yang ada di sekitarnya. Perempuan itu lantas melotot tajam ke arah Rayya, Julia benar-benar sibuk sekarang dan dia malas menanggapi ocehan Rayya dan teman-temannya."Nggak mau pakai toa sekalian teriaknya, Ray?"Rayya meringis, bersamaan dengan satu temannya di belakang menyusulnya. Bergelayut manja seperti biasa, dengan satu tujuan yang sama.“Dih, Mbak Julia sensitif amat kayak pantat bayi. Lagi PMS, ya?”“Saya kalau berhadapan sama kamu bawaannya mens terus, Ray. Udah buruan to the point saja, ada apa?” sungut Julia tak terima."Pak Mahesa sakit, ya Mbak?" tanya Rayya dengan lembut. "Sakit apa, sih? Apa ini ada hubungannya dengan kekacauan yang terjadi antara Pak Mahesa dan Pak Daniel?""Nggak ada, Ray. Bahkan saya saja belum jenguk beliau. Mana saya tahu dia sakit apa?”"Aduh, Mbak Julia. Emang mau jenguk kapan? Aku ikut, ya Mbak? Ramean gitu? Pak Mahesa suka apa? Buah? Cake? Atau—""Jangan mimpi kamu,
“Wah, kita kedatangan tamu istimewa kayaknya, nih?” Anggun kemudian bangkit menghampiri Karina dan sosok pria yang ada di sampingnya. Perempuan itu memeluk putri bungsunya, lalu beralih menatap Yudhistira. “Siapa ini, Rin?”“Teman, Ma.” Karina lantas menoleh ke arah Yudhistira. “Kenalin, Ma, Pa, Mbak Alexa, Mas Aditya, ini Mas Yudhistira.”“Selamat malam Om, Tante, dan semuanya. Maaf kalau saya jadi mengganggu acara makan malamnya.”“Eh, nggak kok.” Anggun lantas menggandeng Yudhistira, dan mengajak pria itu untuk duduk di salah satu kursi yang kosong. “Gabung aja, nggak apa-apa. Nak Yudhistira sekalian makan malam, ya?”Sementara Yudhistira tersenyum sungkan, tetapi dia tetap menuruti Anggun saat dia diajak untuk bergabung bersama mereka. Bahkan disambut hangat oleh mereka.“Kami lagi ngadain makan malam, membicarakan soal rencana pernikahannya Aditya dan Julia. Aditya ini anak kedua Tante, Nak Yudhis.”“Oh, ya Tante. Kebetulan saya kenal dengan Julia.”“Oh, ya?” Anggun menatap Julia