Share

BAB 3

“Bagaimana kondisinya Mahesa, J?”

Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Yudhistira, membuat Arjuna yang tadinya sibuk dengan iPad miliknya, lantas menoleh. Baru saja dia tiba di sana bersama Antasena usai jam kerja berakhir.

“Belum ada perkembangan apa-apa. Gue kayaknya bakalan di sini nemenin Tante Citra.”

Yudhistira meraup wajahnya dengan gusar. “Terus Sasi? Dia dirawat di sini juga, kan? Bagaimana kondisinya?”

Arjuna mengangguk. “Iya. Sejak tadi dia sama Yura dan Krisna. Gue nggak berani nemuin dia, karena dia pasti masih terguncang dan jelas membutuhkan waktu untuk sendiri.”

“Benar. Mending biarin dia tenang dulu, deh.”

“Terus komplotannya Bara?”

“Semua tersangka sudah ditangkap. Bahkan termasuk Abhimana dan Dinar yang ikut terseret dalam kasus ini untuk penyidikan. Bayu lagi ngurusin semuanya.”

“Bangsat memang. Motifnya apa, coba?”

“Kalau dari rekaman yang gue ambil dari yang dibawa Mahesa, Bara ingin balas dendam atas hancurnya Diandra, dan karirnya. Termasuk Saras, news anchor yang dekat sama Abhimana, dia termasuk tersangka.”

“Diandra bukannya dirawat karena depresi?”

Arjuna mengangguk sekali lagi. “Iya, itulah kenapa Bara balas dendam sama Mahesa. Ternyata Bara, Diandra, dan Saras dulu sahabatan. Termasuk orang yang pernah mencelakai Yura saat dia kecelakaan waktu itu, dia salah satunya.”

“Anjir, cari mati orang-orang ini. Lihat saja gimana Mahesa nanti kalau dia sadar. Minimal mereka bakalan dipenjara seumur hidup,” desis Yudhistira kelihatan frustasi.

“Terus media gimana, J?” tanya Sena ikut menimbrung.

“Sementara gue udah melempar sebagian berita itu. Tapi gue masih sesekali ngecek juga, takut kalau-kalau gue kecolongan kayak yang waktu itu.”

Jeda selama beberapa saat suasana koridor malam itu terasa begitu sepi. Ruang rawat Mahesa yang berada di ruang VVIP, menjadikan lantai ruangan itu menjadi tak berpenghuni. Seluruh ruangan VVIP sengaja disewa khusus oleh keluarga Daniswara untuk penjagaan ketat Mahesa.

Bahkan mulai di lantai lobi. Beberapa bodyguard sengaja dikerahkan oleh beberapa orang kepercayaan keluarga Daniswara untuk menjaga keamanan sekitar.

“Gue cuma berharap Mahesa baik-baik saja.”

Arjuna menyandarkan punggungnya ke belakang, lalu mengembuskan napas perlahan. “I hope so. Tapi melihat kondisi Mahesa yang benar-benar parah. Gue—”

“Please, J. Mahesa pasti baik-baik saja!” ujar Sena dengan yakin.

“Kasih tahu kita aja kalau lo butuh bantuan, J.”

“Okay, Dhis, Sen. Mending kalian balik, besok kita atur buat gantian jaga kantor dan Mahesa.”

Waktu sudah menunjuk angka sembilan malam saat akhirnya Yudhistira dan Antasena pamit untuk pulang. Untuk malam ini, Arjuna yang akan menjaga Mahesa, dan besok mereka akan secara bergantian berjaga. Biar bagaimanapun kantor tidak boleh diabaikan begitu saja.

“Gue balik duluan, Dhis.”

“Take care, Sen.”

Setelah tiba di lobi, mereka akhirnya berpisah. Yudhistira perlu mengambil sesuatu dari Arjuna yang sempat tertinggal, sementara Antasena sudah lebih dulu berpamitan untuk pulang.

Dengan langkah tenang, Yudhistira berjalan kembali menuju lantai VVIP. Baru saja pria itu hendak memasuki lift, pandangannya yang kini tertuju pada seseorang. Sejenak perempuan itu mengalihkan perhatian Yudhistira.

Pria itu lantas berjalan mendekat. Samar-samar dia menoleh, hanya ingin memastikan apa yang dilihatnya sekarang benar adalah Julia.

"Maafin aku, ya Sayang. Maaf, aku benar-benar nggak bermaksud untuk melukai kamu."

Julia mengangguk kecil saat melihat penyesalan yang berkelebat di mata Aditya. Bukankah sudah seharusnya dia memaafkan kekasihnya—untuk kesekian kalinya?

"Nggak apa-apa."

"Aku janji nggak akan mengulanginya lagi, Sayang. Aku janji akan berubah."

Dan perkataan itu selalu membuat Julia ketakutan. Karena perubahan itu hanya akan diucapkan Aditya saat setelah dia melukainya. Tapi begitu dia membutuhkan pelampiasan nafsunya, Aditya lagi-lagi akan menyakitinya, dan Julia akan memakluminya.

Begitu seterusnya.

Saat seorang perawat tengah memanggil nama Julia, perempuan itu lantas bangkit dari duduknya untuk menghampiri perawat tersebut.

“Ini obatnya buat diolesin, ya. Memar-memarnya memang masih ada. Tapi Mbak yakin kalau itu hanya terbentur saja?”

“Iya, Sus. Saya hanya terbentur saja, kok,” ujar Julia berbohong.

Sang perawat itu mengangguk sekali lagi, lalu memberikan obat itu kepada Julia.

Sementara Yudhistira, lantas merapat ke dinding agar tidak terlihat Julia yang saat ini tengah berjalan bersama kekasihnya.

“Bajingan! Sadomasokis sialan!” desis Yudhistira dengan gemuruh di dadanya.

Kedua tangan Yudhistira mengepal dengan erat. Sangat menyayangkan kenapa Julia harus bertahan dengan kekasihnya yang memiliki kelainan semacam itu.

Yudhistira mencoba mengenyahkan perasaan tak nyamannya saat ini, namun nyaris gagal. Sejak tadi pria itu tak henti-hentinya memikirkan Julia. Melihat luka-luka yang ada di sekujur tubuhnya tadi siang, sejenak membuat pria itu kepikiran.

“Tolol banget, sih Jul. Itu namanya bunuh diri,” ujar Yudhistira bermonolog ria.

Entah bagaimana segalanya terjadi begitu saja. Yudhistira yang seharusnya menemui Arjuna saat ini, namun langkah kaki pria itu justru berkehendak lain. Dia membuntuti kepergian Julia bersama kekasihnya saat ini.

Mobil yang dikendarai Julia berhenti tepat di depan rumah Julia. Di depan sana, Yudhistira bisa melihat Julia bersama kekasihnya tengah bercengkrama di depan pagar rumahnya.

Yudhistira sengaja menghentikan laju mobilnya tak jauh dari mereka. Pria itu yakin, jika saat ini Julia mengenali mobilnya begitu perempuan itu menoleh ke arahnya.

Tepat saat kekasihnya meninggalkan Julia, Yudhistira lantas turun dari mobil dan langsung menghampiri perempuan itu.

Julia ingin sekali mengabaikannya dan langsung masuk ke dalam rumah, tetapi tangan Yudhistira sudah lebih dulu menahan tangannya.

"Pak, lepaskan tangan saya!"

"Nggak, sebelum kita bicara," ujar Yudhistira dengan cepat.

"Bapak mau bicara apa sama saya? Tapi bisa, nggak lepaskan tangan saya dulu?"

Refleks Yudhistira melepaskan cengkraman tangannya. Matanya terus memindai, seolah ingin melihat sebanyak apa luka yang didapat Julia dari Bajingan itu.

"Bapak mau bicara apa sama saya? Sudah malam, Pak. Saya capek dan segera ingin tidur."

Yudhistira menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. "Saya tadi nggak sengaja lihat kamu di rumah sakit."

Julia bahkan lupa jika Mahesa tengah dirawat di Wijaya Hospital. "Lalu?"

"Sadomasokis," kata Yudhistira, yang seketika membuat raut Julia berubah ketakutan.

Tentu saja Julia tahu maksud dari perkataan Yudhistira barusan. Namun...

"Bapak bicara apa, sih?"

"Saya nggak bisa tutup mata dan telinga saya, Jul. Saya melihat semuanya. Kamu bisa bilang ke saya apa yang sedang terjadi sama kamu. Dan akan lebih baik kalau kamu meninggalkan pria itu. Dia mengancam kamu? Atau dia melakukan sesuatu sampai-sampai kamu nggak bisa menolaknya?"

"Bapak siapa saya sampai-sampai mengatur hidup saya?" tembak Julia dengan cepat.

Dan Yudhistira tahu jika dia sudah kalah telak.

"Jul…"

"Saya dengan sadar memutuskan untuk jatuh cinta sama dia, Pak. Dan apapun itu, saya akan mencintai dia apa adanya."

"Cuma orang sinting saja yang memutuskan untuk jatuh cinta sama orang yang kemungkinan besar akan membunuh kamu, Jul."

Julia mendecak pelan. "Well, kalau begitu sebut saja saya orang sinting."

Yudhistira tercenung mendengar jawaban sinis Julia. Seolah belum cukup membuat pria itu terkejut dengan semua itu, Julia lagi-lagi bersuara.

"Lagipula apa urusannya hidup saya dengan Bapak? Bapak tertarik sama saya?"

Kontan, Yudhistira kehilangan kata-kata. Bahkan pria itu juga tidak tahu mengapa dia sampai melangkah sampai sejauh ini. Selama ini dia tidak sampai segila ini. Namun, saat dia melihat kondisi Julia, Yudhistira seolah ditarik paksa untuk menyelamatkannya.

Julia menghela napas panjang. "Saya tahu mana yang baik dan tidak baik untuk hidup saya, Pak. Dan Bapak sama sekali tidak memiliki hak apapun untuk mencampurinya. Tolong, Pak. Jangan sampai hubungan rekanan kerja kita jadi terganggu hanya karena sikap Bapak yang membuat saya kebingungan. Saya mau Bapak berhenti melakukan semua ini, karena saya mulai nggak nyaman!" tandas Julia dengan lugas.

Perempuan itu lantas membalikkan badan. Dia baru saja hendak melangkah meninggalkan Yudhistira saat suara pria itu kembali terdengar dan membuat Julia kehilangan kata-kata.

"Bagaimana kalau apa yang barusan kamu katakan benar? Bagaimana kalau saya memang tertarik sama kamu? Bagaimana kalau saya mau kamu meninggalkan dia, dan memilih saya?"

Julia tertegun. Dia lantas membalikkan badan untuk menghadap ke arah Yudhistira, bersamaan dengan pria itu yang melanjutkan ucapannya.

"Saya nggak akan menyakiti kamu seperti apa yang telah dia lakukan sama kamu, Jul." Yudhistira serak terdengar. "Kalau itu alasan kamu bahagia, saya akan berusaha mencari cara lain untuk menjamin kebahagiaan untuk kamu—dengan tidak membuatmu terluka.

"Dengan saya, kamu akan mendapatkan kebahagiaan itu dengan cara yang berbeda."

***

Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya :P

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status