“Bagaimana kondisinya Mahesa, J?”
Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Yudhistira, membuat Arjuna yang tadinya sibuk dengan iPad miliknya, lantas menoleh. Baru saja dia tiba di sana bersama Antasena usai jam kerja berakhir. “Belum ada perkembangan apa-apa. Gue kayaknya bakalan di sini nemenin Tante Citra.” Yudhistira meraup wajahnya dengan gusar. “Terus Sasi? Dia dirawat di sini juga, kan? Bagaimana kondisinya?” Arjuna mengangguk. “Iya. Sejak tadi dia sama Yura dan Krisna. Gue nggak berani nemuin dia, karena dia pasti masih terguncang dan jelas membutuhkan waktu untuk sendiri.” “Benar. Mending biarin dia tenang dulu, deh.” “Terus komplotannya Bara?” “Semua tersangka sudah ditangkap. Bahkan termasuk Abhimana dan Dinar yang ikut terseret dalam kasus ini untuk penyidikan. Bayu lagi ngurusin semuanya.” “Bangsat memang. Motifnya apa, coba?” “Kalau dari rekaman yang gue ambil dari yang dibawa Mahesa, Bara ingin balas dendam atas hancurnya Diandra, dan karirnya. Termasuk Saras, news anchor yang dekat sama Abhimana, dia termasuk tersangka.” “Diandra bukannya dirawat karena depresi?” Arjuna mengangguk sekali lagi. “Iya, itulah kenapa Bara balas dendam sama Mahesa. Ternyata Bara, Diandra, dan Saras dulu sahabatan. Termasuk orang yang pernah mencelakai Yura saat dia kecelakaan waktu itu, dia salah satunya.” “Anjir, cari mati orang-orang ini. Lihat saja gimana Mahesa nanti kalau dia sadar. Minimal mereka bakalan dipenjara seumur hidup,” desis Yudhistira kelihatan frustasi. “Terus media gimana, J?” tanya Sena ikut menimbrung. “Sementara gue udah melempar sebagian berita itu. Tapi gue masih sesekali ngecek juga, takut kalau-kalau gue kecolongan kayak yang waktu itu.” Jeda selama beberapa saat suasana koridor malam itu terasa begitu sepi. Ruang rawat Mahesa yang berada di ruang VVIP, menjadikan lantai ruangan itu menjadi tak berpenghuni. Seluruh ruangan VVIP sengaja disewa khusus oleh keluarga Daniswara untuk penjagaan ketat Mahesa. Bahkan mulai di lantai lobi. Beberapa bodyguard sengaja dikerahkan oleh beberapa orang kepercayaan keluarga Daniswara untuk menjaga keamanan sekitar. “Gue cuma berharap Mahesa baik-baik saja.” Arjuna menyandarkan punggungnya ke belakang, lalu mengembuskan napas perlahan. “I hope so. Tapi melihat kondisi Mahesa yang benar-benar parah. Gue—” “Please, J. Mahesa pasti baik-baik saja!” ujar Sena dengan yakin. “Kasih tahu kita aja kalau lo butuh bantuan, J.” “Okay, Dhis, Sen. Mending kalian balik, besok kita atur buat gantian jaga kantor dan Mahesa.” Waktu sudah menunjuk angka sembilan malam saat akhirnya Yudhistira dan Antasena pamit untuk pulang. Untuk malam ini, Arjuna yang akan menjaga Mahesa, dan besok mereka akan secara bergantian berjaga. Biar bagaimanapun kantor tidak boleh diabaikan begitu saja. “Gue balik duluan, Dhis.” “Take care, Sen.” Setelah tiba di lobi, mereka akhirnya berpisah. Yudhistira perlu mengambil sesuatu dari Arjuna yang sempat tertinggal, sementara Antasena sudah lebih dulu berpamitan untuk pulang. Dengan langkah tenang, Yudhistira berjalan kembali menuju lantai VVIP. Baru saja pria itu hendak memasuki lift, pandangannya yang kini tertuju pada seseorang. Sejenak perempuan itu mengalihkan perhatian Yudhistira. Pria itu lantas berjalan mendekat. Samar-samar dia menoleh, hanya ingin memastikan apa yang dilihatnya sekarang benar adalah Julia. "Maafin aku, ya Sayang. Maaf, aku benar-benar nggak bermaksud untuk melukai kamu." Julia mengangguk kecil saat melihat penyesalan yang berkelebat di mata Aditya. Bukankah sudah seharusnya dia memaafkan kekasihnya—untuk kesekian kalinya? "Nggak apa-apa." "Aku janji nggak akan mengulanginya lagi, Sayang. Aku janji akan berubah." Dan perkataan itu selalu membuat Julia ketakutan. Karena perubahan itu hanya akan diucapkan Aditya saat setelah dia melukainya. Tapi begitu dia membutuhkan pelampiasan nafsunya, Aditya lagi-lagi akan menyakitinya, dan Julia akan memakluminya. Begitu seterusnya. Saat seorang perawat tengah memanggil nama Julia, perempuan itu lantas bangkit dari duduknya untuk menghampiri perawat tersebut. “Ini obatnya buat diolesin, ya. Memar-memarnya memang masih ada. Tapi Mbak yakin kalau itu hanya terbentur saja?” “Iya, Sus. Saya hanya terbentur saja, kok,” ujar Julia berbohong. Sang perawat itu mengangguk sekali lagi, lalu memberikan obat itu kepada Julia. Sementara Yudhistira, lantas merapat ke dinding agar tidak terlihat Julia yang saat ini tengah berjalan bersama kekasihnya. “Bajingan! Sadomasokis sialan!” desis Yudhistira dengan gemuruh di dadanya. Kedua tangan Yudhistira mengepal dengan erat. Sangat menyayangkan kenapa Julia harus bertahan dengan kekasihnya yang memiliki kelainan semacam itu. Yudhistira mencoba mengenyahkan perasaan tak nyamannya saat ini, namun nyaris gagal. Sejak tadi pria itu tak henti-hentinya memikirkan Julia. Melihat luka-luka yang ada di sekujur tubuhnya tadi siang, sejenak membuat pria itu kepikiran. “Tolol banget, sih Jul. Itu namanya bunuh diri,” ujar Yudhistira bermonolog ria. Entah bagaimana segalanya terjadi begitu saja. Yudhistira yang seharusnya menemui Arjuna saat ini, namun langkah kaki pria itu justru berkehendak lain. Dia membuntuti kepergian Julia bersama kekasihnya saat ini. Mobil yang dikendarai Julia berhenti tepat di depan rumah Julia. Di depan sana, Yudhistira bisa melihat Julia bersama kekasihnya tengah bercengkrama di depan pagar rumahnya. Yudhistira sengaja menghentikan laju mobilnya tak jauh dari mereka. Pria itu yakin, jika saat ini Julia mengenali mobilnya begitu perempuan itu menoleh ke arahnya. Tepat saat kekasihnya meninggalkan Julia, Yudhistira lantas turun dari mobil dan langsung menghampiri perempuan itu. Julia ingin sekali mengabaikannya dan langsung masuk ke dalam rumah, tetapi tangan Yudhistira sudah lebih dulu menahan tangannya. "Pak, lepaskan tangan saya!" "Nggak, sebelum kita bicara," ujar Yudhistira dengan cepat. "Bapak mau bicara apa sama saya? Tapi bisa, nggak lepaskan tangan saya dulu?" Refleks Yudhistira melepaskan cengkraman tangannya. Matanya terus memindai, seolah ingin melihat sebanyak apa luka yang didapat Julia dari Bajingan itu. "Bapak mau bicara apa sama saya? Sudah malam, Pak. Saya capek dan segera ingin tidur." Yudhistira menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. "Saya tadi nggak sengaja lihat kamu di rumah sakit." Julia bahkan lupa jika Mahesa tengah dirawat di Wijaya Hospital. "Lalu?" "Sadomasokis," kata Yudhistira, yang seketika membuat raut Julia berubah ketakutan. Tentu saja Julia tahu maksud dari perkataan Yudhistira barusan. Namun... "Bapak bicara apa, sih?" "Saya nggak bisa tutup mata dan telinga saya, Jul. Saya melihat semuanya. Kamu bisa bilang ke saya apa yang sedang terjadi sama kamu. Dan akan lebih baik kalau kamu meninggalkan pria itu. Dia mengancam kamu? Atau dia melakukan sesuatu sampai-sampai kamu nggak bisa menolaknya?" "Bapak siapa saya sampai-sampai mengatur hidup saya?" tembak Julia dengan cepat. Dan Yudhistira tahu jika dia sudah kalah telak. "Jul…" "Saya dengan sadar memutuskan untuk jatuh cinta sama dia, Pak. Dan apapun itu, saya akan mencintai dia apa adanya." "Cuma orang sinting saja yang memutuskan untuk jatuh cinta sama orang yang kemungkinan besar akan membunuh kamu, Jul." Julia mendecak pelan. "Well, kalau begitu sebut saja saya orang sinting." Yudhistira tercenung mendengar jawaban sinis Julia. Seolah belum cukup membuat pria itu terkejut dengan semua itu, Julia lagi-lagi bersuara. "Lagipula apa urusannya hidup saya dengan Bapak? Bapak tertarik sama saya?" Kontan, Yudhistira kehilangan kata-kata. Bahkan pria itu juga tidak tahu mengapa dia sampai melangkah sampai sejauh ini. Selama ini dia tidak sampai segila ini. Namun, saat dia melihat kondisi Julia, Yudhistira seolah ditarik paksa untuk menyelamatkannya. Julia menghela napas panjang. "Saya tahu mana yang baik dan tidak baik untuk hidup saya, Pak. Dan Bapak sama sekali tidak memiliki hak apapun untuk mencampurinya. Tolong, Pak. Jangan sampai hubungan rekanan kerja kita jadi terganggu hanya karena sikap Bapak yang membuat saya kebingungan. Saya mau Bapak berhenti melakukan semua ini, karena saya mulai nggak nyaman!" tandas Julia dengan lugas. Perempuan itu lantas membalikkan badan. Dia baru saja hendak melangkah meninggalkan Yudhistira saat suara pria itu kembali terdengar dan membuat Julia kehilangan kata-kata. "Bagaimana kalau apa yang barusan kamu katakan benar? Bagaimana kalau saya memang tertarik sama kamu? Bagaimana kalau saya mau kamu meninggalkan dia, dan memilih saya?" Julia tertegun. Dia lantas membalikkan badan untuk menghadap ke arah Yudhistira, bersamaan dengan pria itu yang melanjutkan ucapannya. "Saya nggak akan menyakiti kamu seperti apa yang telah dia lakukan sama kamu, Jul." Yudhistira serak terdengar. "Kalau itu alasan kamu bahagia, saya akan berusaha mencari cara lain untuk menjamin kebahagiaan untuk kamu—dengan tidak membuatmu terluka. "Dengan saya, kamu akan mendapatkan kebahagiaan itu dengan cara yang berbeda." *** Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya :PYudhistira ingin menenggelamkan dirinya di laut Antartika detik ini juga.Bagaimana bisa dia bertindak impulsif seperti yang dilakukannya semalam? Meskipun dia juga tidak memungkirinya, akhir-akhir ini Julia terlalu mempengaruhinya.Seolah tak cukup dengan tindakannya, Yudhistira selalu menghabiskan malamnya selama seminggu lebih untuk berdiam diri tanpa melakukan apa-apa di depan rumah Julia.Seolah ada yang menarik paksa dirinya untuk tenggelam ke dalam rumitnya hubungan perempuan itu dan kekasihnya.Menghela nafas panjang, Yudistira menyandarkan punggungnya ke belakang. Mendadak kepalanya terasa pening, bersamaan dengan seseorang yang baru saja muncul dari balik pintu ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Siapa lagi kalau bukan Bayusuta atau anggota Diamond Squad lainnya? Tidak orang yang berani melakukannya, sekalipun itu Julia.“Kenapa lo lesu gitu?” tanya Bayusuta sembari mengangsurkan paper cup ke arah Yudhistira, seolah tahu jika pria itu membutuhkan energi untuk me
“Julia?”Perempuan itu lantas menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya. “Ya, Pak?”Yudhistira yang saat ini terlihat lelah berjalan menghampirinya. “Pulang sama siapa?” tanyanya saat sadar Julia tengah bersiap-siap untuk pulang.“Dijemput, Pak,” jawab Julia dengan suara tercekat.Pertemuan siang tadi berlangsung baik-baik saja. Julia hanya tidak menyangka jika Aditya yang merupakan keponakan Yosha, akan turut hadir dalam pertemuan tersebut.Dan tentu saja suasana meja makan siang tadi berubah menjadi tak nyaman. Pun begitu dengan Yudhistira yang sadar siapa sosok Aditya. Seolah ingin menunjukkan posisinya, pria itu secara terang-terangan merayu Julia, di hadapan Aditya. Dasar orang gila!“Sama pacar kamu, ya?”Julia mengangguk.“Boleh nggak, sih kalau saya khawatir?” ujar Yudhistira dengan tenang. “Boleh nggak, kamu pulang sama saya saja?”“Saya sudah punya pacar, Pak.” Seolah Julia ingin mengingatkan posisi Yudhistira sekali lagi. “Lagipula saya baik-baik saja. Jadi Bapak nggak pe
Yudhistira merasa gusar sekarang. Melihat Julia dan Aditya baru saja meninggalkan kantor, entah kenapa hatinya mendadak berubah jadi tak tenang.Oleh Yudhistira, katakan saja dia benar-benar gila sekarang. Kegusarannya kali ini benar-benar tak lagi bisa dikendalikannya. Pria itu lantas melajukan mobilnya, membuntuti mobil yang sudah lebih dulu berjalan di depan sana yang diyakini adalah mobil Aditya.Sampai akhirnya Yudhistira menghentikan mobilnya tak jauh dari rumah Julia. Berkali-kali pria itu membuang napas, bahkan dia tidak menyadari apa yang sedang dilakukannya sekarang."Lo gila, Dhis!" gumam pria itu pada dirinya sendiri.Bayangan bagaimana Julia dilukai sebanyak itu, mengingatkannya pada seseorang. Dan entah mengapa Yudhistira bisa tenggelam sampai sejauh ini.Entah sudah berapa lama, Yudhistira berdiam diri tanpa melakukan apa-apa di sana. Sesekali dia menoleh, dan berharap jika Aditya akan segera bergegas pergi. Semakin lama pria itu berada di sana, semakin membuat pertahan
"Kamu pengen tahu rasanya senikmat apa bercinta yang sebenarnya?"Julia seketika membelalak."Begini, Julia."Kedua tangan Yudhistira lantas melingkar di pinggang Julia, lalu pria itu mulai mendekatkan wajahnya untuk melekatkan bibirnya di atas bibir perempuan itu. Julia sempat menahan napas selama beberapa detik. Dia berusaha untuk memberontak, namun kedua tangan Yudhistira yang melingkar di pinggangnya sudah lebih dulu menahannya agar tidak bisa mengelak.Jantungnya mendadak berdebar begitu kencang. Julia masih mencoba mencerna apa yang saat ini tengah terjadi, namun saat perempuan itu bisa merasakan desiran hebat yang memenuhi hatinya, Julia akhirnya memejamkan matanya.Dibiarkannya Yudhistira menyapu bibirnya dengan penuh kelembutan. Kedua tangannya mengusap punggung Julia dengan pelan, bersamaan dengan desahan pelan meluncur dari bibir perempuan itu.Yudhistira yang lebih dulu menarik diri. Dia sadar sepenuhnya dengan kegilaan macam apa yang baru saja dilakukannya. Sepasang mata
[Yudhistira Ghautama: Saya sudah di depan.]Melihat ponselnya bergetar, Julia yang tadinya sibuk memoleskan concealer di lehernya, seketika melebarkan matanya. Cepat-cepat perempuan itu mengetikkan pesan balasan di sana.[Sebentar, ya Pak. Saya ganti pakaian dulu.][Yudhistira Ghautama: Santai saja, Syg.][Yudhistira Ghautama: Eh, apa terlalu cepat saya memanggil kamu dengan sebutan ‘sayang’ ya?]Alih-alih membalas pesan itu, Julia diam-diam tersenyum melihat tingkah Yudhistira. Terus terang dia tidak menyangka jika Yudhistira akan… semanis itu. Selama ini dia mengenal banyak pria di kantornya, hanya saja, dia tidak pernah mengira akan sedekat ini dengan Yudhistira.“OMG! Kamu pasti gila, Jul. Semalam kamu ngapain, coba?”Julia ingin sekali mengutuk dalam hatinya. Entah mengapa bersama pria itu, Julia merasa berbeda. Lebih ke… Julia merasa benar-benar dihargai olehnya sekaligus dia merasa nyaman.“Ingat Julia, kamu nggak boleh kebablasan. Kamu sudah punya Aditya,” cegahnya pada diriny
Julia tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat tiba-tiba Marsya memeluknya. Terlebih saat dia diperkenalkan sebagai calon istri Yudhistira. Apakah pria-pria yang ada di sekitarnya akan segila ini pada waktunya? Julia memaksakan dirinya untuk tersenyum.“Saya Marsya, Mamanya Yudhis.” Marsya yang pertama kali menarik diri, lalu menggenggam kedua tangan Julia dengan hangat.“Saya Julia, Tante.”“Julia ini sekretarisnya Yudhis di kantor, Ma.”Marsya menoleh ke arah Yudhistira dan Julia secara bergantian. “Oh, ya? Jangan bilang kamu di kantor genit-genit, ya? Sampai-sampai bilang Julia ini calon istri kamu.”Yudhistira tertawa. “Nggak, Ma. Yudhis memang maunya sama dia, kok.”“Tapi dia mau, nggak sama kamu? Jangan-jangan kamu paksa lagi, Dhis?”Lagi-lagi Yudhistira hanya tertawa. Marsya lantas mengusap lengan Julia, yang sepertinya tampak kesal mendengar penuturan Yudhistira yang terlalu percaya diri.“Maafin anak Tante, ya Julia. Yudhis memang nggak pandai berbasa-basi, tapi anaknya bai
"Mbak Julia?"Suara vokal seorang perempuan, sejenak membuat Julia dan Yudhistira lantas menoleh."Karina?"Perempuan yang dipanggil Karina itu lantas menghampiri Julia, lalu mendaratkan kecupan di wajah perempuan itu. Julia tidak menyangka jika akan dipertemukan dengan adik sang kekasih di tempat seperti ini."Aku pikir, Mbak Julia jalan sama Mas Adit. Mbak Julia sama siapa?" tanya Karina penasaran.Julia lantas menoleh ke belakang. Dia tampak sedikit gelagapan. "Oh, ya Rin. Kenalkan ini atasan saya di kantor.""Yudhistira.""Saya Karina, calon adik iparnya Mbak Julia." Karina lantas menoleh ke arah Julia. "Mbak kenapa nggak bilang, sih kalau bos Mbak ganteng begini? Beda, ya sama yang Pak Mahesa itu? Mbak udah pindah divisi?""Beliau salah satu petinggi di kantor juga, Rin. Satu tim dengan Pak Mahesa juga, kok."Karina manggut-manggut, tatapannya tak lepas dari menatap Yudhistira."Single, kan Mbak?" bisik Karina lirih."Rin…" Lalu Karina terkekeh."Mbak duduk bentar, deh. Ada yang
"MBAK JULIAAAAAA!" Suara teriakan Rayya seketika menarik perhatian banyak orang yang ada di sekitarnya. Perempuan itu lantas melotot tajam ke arah Rayya, Julia benar-benar sibuk sekarang dan dia malas menanggapi ocehan Rayya dan teman-temannya."Nggak mau pakai toa sekalian teriaknya, Ray?"Rayya meringis, bersamaan dengan satu temannya di belakang menyusulnya. Bergelayut manja seperti biasa, dengan satu tujuan yang sama.“Dih, Mbak Julia sensitif amat kayak pantat bayi. Lagi PMS, ya?”“Saya kalau berhadapan sama kamu bawaannya mens terus, Ray. Udah buruan to the point saja, ada apa?” sungut Julia tak terima."Pak Mahesa sakit, ya Mbak?" tanya Rayya dengan lembut. "Sakit apa, sih? Apa ini ada hubungannya dengan kekacauan yang terjadi antara Pak Mahesa dan Pak Daniel?""Nggak ada, Ray. Bahkan saya saja belum jenguk beliau. Mana saya tahu dia sakit apa?”"Aduh, Mbak Julia. Emang mau jenguk kapan? Aku ikut, ya Mbak? Ramean gitu? Pak Mahesa suka apa? Buah? Cake? Atau—""Jangan mimpi kamu,