Yudhistira merasa gusar sekarang. Melihat Julia dan Aditya baru saja meninggalkan kantor, entah kenapa hatinya mendadak berubah jadi tak tenang.
Oleh Yudhistira, katakan saja dia benar-benar gila sekarang. Kegusarannya kali ini benar-benar tak lagi bisa dikendalikannya. Pria itu lantas melajukan mobilnya, membuntuti mobil yang sudah lebih dulu berjalan di depan sana yang diyakini adalah mobil Aditya. Sampai akhirnya Yudhistira menghentikan mobilnya tak jauh dari rumah Julia. Berkali-kali pria itu membuang napas, bahkan dia tidak menyadari apa yang sedang dilakukannya sekarang. "Lo gila, Dhis!" gumam pria itu pada dirinya sendiri. Bayangan bagaimana Julia dilukai sebanyak itu, mengingatkannya pada seseorang. Dan entah mengapa Yudhistira bisa tenggelam sampai sejauh ini. Entah sudah berapa lama, Yudhistira berdiam diri tanpa melakukan apa-apa di sana. Sesekali dia menoleh, dan berharap jika Aditya akan segera bergegas pergi. Semakin lama pria itu berada di sana, semakin membuat pertahanan diri Yudhistira perlahan terkikis. Hatinya mendadak berubah menjadi kalut. "Brengsek!" umpat pria itu cemas. Untuk menuntaskan rasa cemasnya itu, Yudhistira mulai memikirkan alasan yang tepat untuk menemui Julia. Dia berniat untuk turun dari mobilnya, namun samar-samar di depan sana, Yudhistira bisa melihat Aditya baru saja keluar dari rumah itu. Tatapan Yudhistira lurus ke depan, melihat pria itu tengah mengenakan ikat pinggangnya, Yudhistira bisa menebak apa yang baru saja dilakukan Bajingan itu. "Bajingan!" desis Yudhistira masih mencoba mengendalikan diri. Setelah mobil itu meninggalkan kediaman Julia, Yudhistira dengan cepat melajukan mobilnya dan berhenti tepat di depan rumah itu. Pria itu lantas turun dengan cepat. Tidak peduli dengan bagaimana pendapat Julia nanti, dia hanya ingin memastikan kondisi Julia sekarang. Yudhistira berdiri dengan pikiran berkecamuk. Tangannya terangkat ke atas, lalu dia mulai mengetuk pintu itu dengan pelan. Dia telah bersumpah akan mendobrak pintu yang ada di hadapannya sekarang, jika Julia tidak membukakan pintu untuknya. Namun, tak berselang lama, suara derap langkah dari dalam terdengar, Yudhistira tidak perlu repot-repot untuk mendobrak pintu tersebut. Yudhistira baru saja membuka mulutnya, namun pemandangan yang ada di hadapannya seketika membuat hati pria itu mencelos. "Julia?" Julia dengan wajah penuh luka lebam, kini berdiri di hadapannya dan hal itu membuat sekujur tubuh Yudhistira bergidik ngeri. Perempuan itu baru saja ingin mengeluarkan suaranya, tetapi Yudhistira yang mendadak memeluk Julia, seketika membuatnya urung. Matanya melebar seketika, perempuan itu kehilangan kata-kata. Julia tidak mengerti mengapa tiba-tiba Yudhistira ada di rumahnya sekarang. Yang ingin dilakukannya saat ini, hanyalah memikirkan alasan yang tepat untuk menutupi semua ini, namun sepertinya gagal lantaran ucapan Yudhistira justru membenarkan dugaannya. "Saya akan membunuh Bajingan itu, Julia," desis Yudhistira sembari menggertakkan rahangnya. "Bapak, ada apa ke sini?" Julia mencoba mengalihkan. Yudhistira menarik diri. Dia berdiri di hadapan Julia dengan tatapan tak lepas dari perempuan itu. "Berhenti berpura-pura, Julia. Kamu pikir saya nggak tahu apa yang barusan terjadi sama kamu, hm?" Dadanya bergemuruh hebat, emosi Yudhistira mulai meledak-ledak di dada. "Pak, saya—" "Katakan apa saja yang dia lakukan sama kamu barusan. Dan saya akan membunuh dia, Julia. Saya—" "Pak, tolong jangan melewati batas," potong Julia dengan cepat. "Kamu yang memaksa saya untuk melewati batas, Julia," desis Yudhistira tak terima. "Fine, kalau kamu nggak mau mengaku, saya bisa mencari tahu sendiri." "Pak, saya mohon jangan lakukan itu," rengek perempuan itu lirih, tidak ada lagi yang bisa ditutupi Julia dari Yudhistira. "BERHENTI MEMBELANYA, JULIA! KAMU MAU MATI, HAH?" sentak Yudhistira sekali lagi. Kepala Julia mendadak berdengung begitu mendengar Yudhistira berteriak. Dadanya berdenyut perih dan dia tak lagi mampu menahan air mata yang sejak tadi tertahan untuk tidak jatuh sekarang. Yudhistira sontak tergamam. Pria itu lantas meraup wajahnya dengan gusar. Lalu mengusap lengan Julia untuk menenangkan perempuan itu. Dia benar-benar menyesal. "Maaf, Julia. Saya nggak bermaksud untuk membentak kamu, tapi—" Yudhistira mendesah kasar. "—dia udah kelewatan. Kalau kamu mempertahankan dia, kamu bisa mati, Julia!" "Saya baik-baik saja, Pak." "Baik-baik saja kamu bilang?" sengal Yudhistira naik pitam. "Well, kalau kamu bilang baik-baik saja, jangan salahkan saya unt—" "Please, Pak. Jangan. Saya akan melakukan apa saja untuk Bapak. Jadi saya mohon, berhenti sekarang juga," cegah Julia dengan cepat. Yudhistira terhenyak selama beberapa saat. Melihat betapa rapuhnya Julia saat ini, seolah dia sama sekali tidak mengenal sosok perempuan yang kini berdiri di hadapannya. “Kamu harus membayar mahal semua ini, karena kamu berhasil membuat saya mati-matian menahan diri untuk tidak menghabisi Bajingan itu, Julia.” “Apapun, Pak. Saya akan melakukan apa saja, asal jangan apa-apakan dia.” “Brengsek!” umpat Yudhistira mencoba menelan habis-habisan emosinya. Yudhistira lantas menggandeng tangan Julia untuk masuk ke dalam rumah. Langkahnya yang sedikit terseok membuat Yudhistira memelankan langkahnya. Dibiarkannya perempuan itu duduk di sofa, sementara dia berjalan menuju dapur untuk mengambil batu es. Seolah tak peduli jika si tuan rumah kini tengah memperhatikannya, Yudhistira dengan cekatan menemukan apa yang dicarinya. Pria itu mengambil sebuah mangkuk, lalu mengambil batu es dari dalam lemari pendingin. Dia juga meraih handuk kecil yang rupanya sudah disiapkan Julia di sana, lalu membawanya mendekati perempuan itu. Untuk selama beberapa saat, tidak ada yang berbicara. Pun begitu dengan Yudhistira yang tampak kacau pikirannya. Dia menggulung lengan kemeja putih yang terlihat lusuh sekarang. Lalu tangannya mulai sibuk membungkus batu es itu dengan handuk hingga membentuknya seperti bongkahan kecil. Sebelum akhirnya Yudhistira menjulurkannya ke arah Julia. "Biar saya saja, Pak." Yudhistira menggeleng. Tangan Julia yang tadinya hendak meraih bongkahan batu es itu, ditangkap Yudhistira, lalu digenggamnya dengan erat. Julia sempat tercenung selama beberapa saat. Sikap pria itu sejujurnya membuat Julia tak nyaman. Di waktu yang bersamaan, anehnya, Julia bisa merasakan hangat menjalar di tubuhnya. Terlebih saat tatapan Yudhistira tak lepas dari menatapnya. "Kamu sudah berjanji akan melakukan apapun untuk saya, kan Jul?" ujar Yudhistira mulai memecah keheningan yang sempat hadir di antara mereka. Julia menunduk, menatap tangannya yang masih digenggam Yudhistira. Perempuan itu termenung selama beberapa saat, sebelum ucapan Yudhistira kembali terdengar. "Dan saya berharap kamu bisa menepatinya." "Apapun, Pak. Kecuali untuk yang satu itu." Gerakan tangan Yudhistira kontan terhenti. Matanya menatap lurus ke arah Julia yang kini terlihat tak gentar menatapnya. Seolah ingin menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. "Well, kalau kamu nggak mau ninggalin dia, nggak apa-apa, Julia. Tapi kamu tahu sendiri bagaimana cara kerja saya selama ini, kan?" "Bapak ngancem saya?" desis Julia lirih. "Anggap saja begitu, karena kamu nggak menuruti ucapan atasan kamu." "Atasan mana yang mencampuri urusan bawahannya, Pak? Ini ranah pribadi saya, Pak. Tidak seharusnya Bapak melibatkan diri," sanggah Julia tak terima. Julia menarik tangannya dari genggaman Yudhistira. Perempuan itu menundukkan wajahnya, dan dia mendadak merasa nyeri hebat. "Saya nggak bisa ninggalin dia, Pak," kata Julia setelah tak kunjung mendapatkan tanggapan dari Yudhistira. "Kenapa? Dia mengancam kamu? Atau dia berusaha memaksa kamu?" sahut Yudhistira tak sabaran. Julia menggeleng. "Aditya sebenarnya orang baik, Pak. Dia sangat mencintai saya. Hanya saja… dia sedikit berbeda dan istimewa." Yudhistira mencebikkan bibirnya. "Istimewa untuk menyebut seorang sadomasokis itu terlalu berlebihan, Julia." "Kenyataannya memang begitu, kan Pak? Tolong jangan ikut campur. Saya melakukannya dengan sadar sepenuhnya, Pak. Saya sama sekali nggak keberatan kalau—" "Dan dengan membiarkan kamu mati, begitu?" potong Yudhistira dengan cepat. "Cara mencintai seseorang itu nggak begini, Julia. Dia sakit dan harus segera diselamatkan. Bukan malah kamu manjakan dengan menuruti apa maunya dia!" "Pak, bisa nggak kalau Bapak nggak usah ikut campur sama urusan saya? Tolong, untuk yang satu ini saja," rengek Julia mencoba membujuk Yudhistira. "Saya sudah telanjur tahu sebanyak ini, Julia. Saya juga sudah bilang ke kamu kalau saya akan mengusahakannya, kan? "Saya mau kamu memilih saya. Tidak masalah kalau kamu belum tertarik sama saya, bukankah semuanya perlu waktu?" "Bapak tertarik sama saya?" tembak Julia dengan cepat. Tentu saja Yudhistira tidak bisa menjawabnya. Bahkan perasaannya masih terasa abu-abu, dan dia tidak tahu seperti apa hatinya saat ini. "Nggak, kan Pak? Saya nggak suka dikasihani, Pak. Kalau apa yang Bapak lakukan sekarang hanya karena kasihan dengan saya, lebih baik Bapak berhenti," ujar Julia menohok hingga ke ulu hatinya. "Bukan begitu, Julia. Kamu… sempat mengingatkan saya dengan seseorang." "Jadi Bapak menyamakan saya dengan orang itu?" Yudhistira menelan ludah dengan susah payah, lalu dia menatap Julia sesaat, sebelum dia menganggukkan kepalanya. "Kamu mengingatkan saya dengan Mama." Seketika bibir Julia terkatup rapat. Ada raut kesedihan yang terpancar di mata Yudhistira, dan Julia bisa merasakannya. "Jadi tolong, bisa kan kamu berhenti?" Julia menggeleng. "Saya nggak bisa ninggalin dia, Pak." "Saya akan menukarnya dengan hidup yang jauh lebih baik, lebih layak, dan aman buat kamu, Julia. Tapi bukan dengan cara seperti ini. Kasih saya celah sedikit saja, dan saya akan memenangkan hati kamu dari dia. Percaya dengan saya." "Maaf, Pak. Saya nggak bisa meninggalkan Aditya," ujar perempuan itu bersikeras. "Saya nggak bisa untuk tidak menuruti permintaan terakhir Mama saya, Pak. Beliau mau saya menikah dengan Aditya." "Mama kamu pasti akan menyalahkan dirinya kalau melihat kamu menderita begini, Julia." Julia menggeleng. "Keluarga Aditya selama ini baik sama saya, Pak. Ibunya Aditya adalah teman dekat mendiang Mama saya. Dan saya nggak mau menyakiti banyak orang, Mama, Tante Anggun, dan keluarga lainnya yang berharap saya bersama Aditya." "Mereka baik, tapi tidak dengan Aditya. Saya nggak peduli, kamu mau berhenti atau dia berakhir di penjara dengan cara saya?" Julia menggeleng dengan cepat. "Jangan, Pak. Saya mohon. Tolong jangan apa-apakan dia." "Tinggalkan dia segera." Julia menghela napas panjang. "Jangan persulit saya, Pak. Semua akan rumit kalau saya meninggalkannya. "Jawab pertanyaan saya dengan jujur, Julia." Julia memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya. "Apa?" "Apa yang kamu rasakan saat melakukannya, hm? Kamu merasa puas? Kamu merasa bahagia? Atau kamu juga menikmatinya, hm?" Julia tak mampu membendung air matanya. Terlalu bingung untuk menjawab pertanyaan Yudhistira, lantaran apa yang dirasakannya justru sebaliknya. "Kamu menikmatinya? Jawab, Julia!" desak Yudhistira sekali lagi. "Sakit, Pak." Tangisan Julia semakin menggugu. "Kalau Bapak pikir, saya menikmatinya, Bapak salah besar. Dari mana orang normal seperti saya bisa merasa terpuaskan dengan hal-hal yang menyakitkan, hm? Hati saya sudah membeku, Pak. Bahkan untuk sekadar menikmati saja, rasanya tidak pernah ada." Hati Yudhistira terasa dicabik-cabik sekarang. Pria itu meraup wajahnya dengan kasar, sebelum akhirnya dia menarik Julia untuk duduk di pangkuannya dan membuat Julia terkesiap. "Kamu pengen tahu rasanya senikmat apa bercinta yang sebenarnya?" Julia seketika membelalak. "Begini, Julia." Belum sempat Julia memberontak, Yudhistira sudah lebih dulu membungkam Julia dengan bibirnya. *** Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya!"Kamu pengen tahu rasanya senikmat apa bercinta yang sebenarnya?"Julia seketika membelalak."Begini, Julia."Kedua tangan Yudhistira lantas melingkar di pinggang Julia, lalu pria itu mulai mendekatkan wajahnya untuk melekatkan bibirnya di atas bibir perempuan itu. Julia sempat menahan napas selama beberapa detik. Dia berusaha untuk memberontak, namun kedua tangan Yudhistira yang melingkar di pinggangnya sudah lebih dulu menahannya agar tidak bisa mengelak.Jantungnya mendadak berdebar begitu kencang. Julia masih mencoba mencerna apa yang saat ini tengah terjadi, namun saat perempuan itu bisa merasakan desiran hebat yang memenuhi hatinya, Julia akhirnya memejamkan matanya.Dibiarkannya Yudhistira menyapu bibirnya dengan penuh kelembutan. Kedua tangannya mengusap punggung Julia dengan pelan, bersamaan dengan desahan pelan meluncur dari bibir perempuan itu.Yudhistira yang lebih dulu menarik diri. Dia sadar sepenuhnya dengan kegilaan macam apa yang baru saja dilakukannya. Sepasang mata
[Yudhistira Ghautama: Saya sudah di depan.]Melihat ponselnya bergetar, Julia yang tadinya sibuk memoleskan concealer di lehernya, seketika melebarkan matanya. Cepat-cepat perempuan itu mengetikkan pesan balasan di sana.[Sebentar, ya Pak. Saya ganti pakaian dulu.][Yudhistira Ghautama: Santai saja, Syg.][Yudhistira Ghautama: Eh, apa terlalu cepat saya memanggil kamu dengan sebutan ‘sayang’ ya?]Alih-alih membalas pesan itu, Julia diam-diam tersenyum melihat tingkah Yudhistira. Terus terang dia tidak menyangka jika Yudhistira akan… semanis itu. Selama ini dia mengenal banyak pria di kantornya, hanya saja, dia tidak pernah mengira akan sedekat ini dengan Yudhistira.“OMG! Kamu pasti gila, Jul. Semalam kamu ngapain, coba?”Julia ingin sekali mengutuk dalam hatinya. Entah mengapa bersama pria itu, Julia merasa berbeda. Lebih ke… Julia merasa benar-benar dihargai olehnya sekaligus dia merasa nyaman.“Ingat Julia, kamu nggak boleh kebablasan. Kamu sudah punya Aditya,” cegahnya pada diriny
Julia tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat tiba-tiba Marsya memeluknya. Terlebih saat dia diperkenalkan sebagai calon istri Yudhistira. Apakah pria-pria yang ada di sekitarnya akan segila ini pada waktunya? Julia memaksakan dirinya untuk tersenyum.“Saya Marsya, Mamanya Yudhis.” Marsya yang pertama kali menarik diri, lalu menggenggam kedua tangan Julia dengan hangat.“Saya Julia, Tante.”“Julia ini sekretarisnya Yudhis di kantor, Ma.”Marsya menoleh ke arah Yudhistira dan Julia secara bergantian. “Oh, ya? Jangan bilang kamu di kantor genit-genit, ya? Sampai-sampai bilang Julia ini calon istri kamu.”Yudhistira tertawa. “Nggak, Ma. Yudhis memang maunya sama dia, kok.”“Tapi dia mau, nggak sama kamu? Jangan-jangan kamu paksa lagi, Dhis?”Lagi-lagi Yudhistira hanya tertawa. Marsya lantas mengusap lengan Julia, yang sepertinya tampak kesal mendengar penuturan Yudhistira yang terlalu percaya diri.“Maafin anak Tante, ya Julia. Yudhis memang nggak pandai berbasa-basi, tapi anaknya bai
"Mbak Julia?"Suara vokal seorang perempuan, sejenak membuat Julia dan Yudhistira lantas menoleh."Karina?"Perempuan yang dipanggil Karina itu lantas menghampiri Julia, lalu mendaratkan kecupan di wajah perempuan itu. Julia tidak menyangka jika akan dipertemukan dengan adik sang kekasih di tempat seperti ini."Aku pikir, Mbak Julia jalan sama Mas Adit. Mbak Julia sama siapa?" tanya Karina penasaran.Julia lantas menoleh ke belakang. Dia tampak sedikit gelagapan. "Oh, ya Rin. Kenalkan ini atasan saya di kantor.""Yudhistira.""Saya Karina, calon adik iparnya Mbak Julia." Karina lantas menoleh ke arah Julia. "Mbak kenapa nggak bilang, sih kalau bos Mbak ganteng begini? Beda, ya sama yang Pak Mahesa itu? Mbak udah pindah divisi?""Beliau salah satu petinggi di kantor juga, Rin. Satu tim dengan Pak Mahesa juga, kok."Karina manggut-manggut, tatapannya tak lepas dari menatap Yudhistira."Single, kan Mbak?" bisik Karina lirih."Rin…" Lalu Karina terkekeh."Mbak duduk bentar, deh. Ada yang
"MBAK JULIAAAAAA!" Suara teriakan Rayya seketika menarik perhatian banyak orang yang ada di sekitarnya. Perempuan itu lantas melotot tajam ke arah Rayya, Julia benar-benar sibuk sekarang dan dia malas menanggapi ocehan Rayya dan teman-temannya."Nggak mau pakai toa sekalian teriaknya, Ray?"Rayya meringis, bersamaan dengan satu temannya di belakang menyusulnya. Bergelayut manja seperti biasa, dengan satu tujuan yang sama.“Dih, Mbak Julia sensitif amat kayak pantat bayi. Lagi PMS, ya?”“Saya kalau berhadapan sama kamu bawaannya mens terus, Ray. Udah buruan to the point saja, ada apa?” sungut Julia tak terima."Pak Mahesa sakit, ya Mbak?" tanya Rayya dengan lembut. "Sakit apa, sih? Apa ini ada hubungannya dengan kekacauan yang terjadi antara Pak Mahesa dan Pak Daniel?""Nggak ada, Ray. Bahkan saya saja belum jenguk beliau. Mana saya tahu dia sakit apa?”"Aduh, Mbak Julia. Emang mau jenguk kapan? Aku ikut, ya Mbak? Ramean gitu? Pak Mahesa suka apa? Buah? Cake? Atau—""Jangan mimpi kamu,
“Wah, kita kedatangan tamu istimewa kayaknya, nih?” Anggun kemudian bangkit menghampiri Karina dan sosok pria yang ada di sampingnya. Perempuan itu memeluk putri bungsunya, lalu beralih menatap Yudhistira. “Siapa ini, Rin?”“Teman, Ma.” Karina lantas menoleh ke arah Yudhistira. “Kenalin, Ma, Pa, Mbak Alexa, Mas Aditya, ini Mas Yudhistira.”“Selamat malam Om, Tante, dan semuanya. Maaf kalau saya jadi mengganggu acara makan malamnya.”“Eh, nggak kok.” Anggun lantas menggandeng Yudhistira, dan mengajak pria itu untuk duduk di salah satu kursi yang kosong. “Gabung aja, nggak apa-apa. Nak Yudhistira sekalian makan malam, ya?”Sementara Yudhistira tersenyum sungkan, tetapi dia tetap menuruti Anggun saat dia diajak untuk bergabung bersama mereka. Bahkan disambut hangat oleh mereka.“Kami lagi ngadain makan malam, membicarakan soal rencana pernikahannya Aditya dan Julia. Aditya ini anak kedua Tante, Nak Yudhis.”“Oh, ya Tante. Kebetulan saya kenal dengan Julia.”“Oh, ya?” Anggun menatap Julia
“Sayang…”Julia lantas mengangkat wajahnya, lalu menoleh ke belakang dan mendapati Aditya berdiri di sana. Perempuan itu sedang menunggu Yudhistira mengambil mobilnya lantaran masih turun hujan, pria itu meminta Julia untuk menunggu di sini.“Hei,” sahut Julia agak terkejut dengan sikap Aditya, pria itu lantas memeluk Julia dari belakang.“Aku padahal kangen banget sama kamu, Sayang. Kenapa, sih saat aku pengen berduaan sama kamu, ada aja gangguannya?”Entah Julia harus bersyukur atau sebaliknya.“Masih ada hari lain, Dit. Lagipula kamu harus nganterin Mbak Alexa, kan? Kasihan kalau dia nyetir sendirian.”“Kamu tahu, kan aku gampang cemburu?”Julia tersenyum kecut. Tahu ke mana arah pembicaraan Adit sekarang. “Aku sama Pak Yudhistira nggak ada apa-apa, Dit. Dia memang seperti itu wataknya.”“Saya jadi khawatir kalau dia deketin Karina. Dia sama kamu aja sok dekat gini. Apa nggak menutup kemungkinan dia dekat sama cewek lain juga?”“Nggak, Dit.” Nggak tahu lebih tepatnya.Mobil yang di
“Julie…”Suara Yudhistira yang terdengar berat menyapa indera pendengaran perempuan itu. Terlebih saat dress yang dikenakan Julia sudah merosot ke lantai dan kini hanya menyisakan pakaian dalam hitamnya. Dan detik itu juga Yudhistira hampir menggila.Seolah tidak mengacuhkan peringatan yang meluncur dari bibir pria itu, Julia lantas melingkarkan tangannya ke belakang tengkuk leher Yudhistira, kemudian dia berjinjit, dan selanjutnya perempuan itu mencium bibirnya lebih dulu.Barangkali ini adalah pertama—atau lebih tepatnya, kedua kalinya Julia berciuman dengan pria asing. Gerakan bibirnya yang terasa lembut seketika membuat Yudhistira luluh lantak.Dibalasnya ciuman itu dengan sedikit menuntut. Kedua tangan Yudhistira sudah melingkar di pinggang Julia. Lidahnya saling berkelit satu sama lain, seolah tengah berlomba-lomba ingin menunjukkan bahwa dialah yang lebih lihai dalam hal ini.Yudhistira jadi yang pertama menarik diri. Napas keduanya terengah-engah, keningnya saling beradu sambi