“Julie…”Suara Yudhistira yang terdengar berat menyapa indera pendengaran perempuan itu. Terlebih saat dress yang dikenakan Julia sudah merosot ke lantai dan kini hanya menyisakan pakaian dalam hitamnya. Dan detik itu juga Yudhistira hampir menggila.Seolah tidak mengacuhkan peringatan yang meluncur dari bibir pria itu, Julia lantas melingkarkan tangannya ke belakang tengkuk leher Yudhistira, kemudian dia berjinjit, dan selanjutnya perempuan itu mencium bibirnya lebih dulu.Barangkali ini adalah pertama—atau lebih tepatnya, kedua kalinya Julia berciuman dengan pria asing. Gerakan bibirnya yang terasa lembut seketika membuat Yudhistira luluh lantak.Dibalasnya ciuman itu dengan sedikit menuntut. Kedua tangan Yudhistira sudah melingkar di pinggang Julia. Lidahnya saling berkelit satu sama lain, seolah tengah berlomba-lomba ingin menunjukkan bahwa dialah yang lebih lihai dalam hal ini.Yudhistira jadi yang pertama menarik diri. Napas keduanya terengah-engah, keningnya saling beradu sambi
Tidak ada yang bisa menjabarkan seperti apa yang saat ini tengah dirasakan Julia. Jantungnya berdebar kencang, sensasi mendebarkan di dalam dadanya seolah hampir meledak sekarang.Bibirnya yang saling bertautan, membimbing langkah mereka menuju pada sebuah ruang yang gelap. Mereka membiarkan pintu itu tetap terbuka, agar lampu dari dapur sana sedikit membias di ruangan itu.Di sana, Yudhistira meninggalkan bibir Julia. Lalu dia merebahkan tubuh ringkih perempuan itu dengan tatapannya tak lepas darinya. Napas keduanya masih terengah-engah, dalam kebingungannya kali ini Yudhistira sudah mulai kehilangan kendali.“Kenapa?” tanya Julia menyentak lamunan pria itu.Yudhistira terlihat gamang, seolah ragu untuk melanjutkan apa yang akan dilakukannya setelah ini.Meskipun tubuhnya justru berkata lain. Yudhistira begitu menginginkan Julia sekarang. Dia ingin merasakan bercumbu dengannya, ingin sekali memujanya, dan juga mendambanya.Pria itu tidak pernah merasa setersiksa ini saat menginginkan
“Mahesa akhirnya bangun.”Dengan napasnya yang terengah-engah, Arjuna yang berlari dari lobi menuju lantai lima puluh dua, lantas masuk ke dalam ruangan Yudhistira. Di sana ketiga sahabatnya tengah bercengkrama bersama.“Lo serius?” tanya Bayusuta memastikan.Arjuna mengangguk. “Keajaiban banget. Gue sampai ampek waktu lihat alat bantu kehidupan Mahesa dilepas dan Sasi menangis di ruang rawatnya. Dan tiba-tiba si Anak Singa itu bangun. Asli, gue sampai merinding, Nyet.”“Maksud lo apaan?” tanya Yudhistira tampak heran. "Duduk lo!"Arjuna lantas menarik kursi yang ada di depan meja, lalu duduk di sana. Tatapannya masih sedikit tak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi.“Rama sempat bilang sama gue kalau harapan hidup Mahesa nggak ada dua puluh persen. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menyerah. Tapi tadi, Mahesa benar-benar bangun. Sumpah! Gue masih nggak percaya aja gitu.”“Jadi Mahesa sekarang udah sadar dari koma?” sahut Antasena bertanya.Arjuna mengangguk. “Dia bangun sete
[Tante Anggun: Sayang, Tante udah dapat tanggal buat pernikahan kamu sama Adit. Kira-kira tiga bulan lagi. Terlalu cepat, nggak? Kalau menurut Tante nggak, sih. Kalau kamu udah oke, Tante sama Om dan Aditya, bakalan terbang ke Jogja untuk melamar kamu secara resmi. Gimana?]Lalu sedetik kemudian Julia sudah kehilangan kata-kata."Julie, Are you okay?"Julia lantas menyimpan ponselnya ke belakang, lalu menoleh ke arah Yudhistira yang kini tengah menatapnya."Ada apa?" tanyanya sekali lagi.Perempuan itu lantas menggeleng, lalu mengulas senyum kecil. "Nggak ada apa-apa, Pak.""Kamu yakin?"Julia mengangguk. "Iya.""Kalau begitu kita makan siang ke kantin dulu, ya? Baru setelahnya kita jalan ke rumah sakit.""Emangnya harus banget, ya Pak saya ikut ke rumah sakit?""Kenapa? Kamu udah ada acara?""Nggak ada, Pak. Cuma harus banget perginya bareng sama Bapak, ya?""Oh, jadi kamu mau bilang, kalau kamu nggak mau pergi sama saya, begitu?"Julia membelalak. "Nggak gitu. Nanti kalau yang lainn
“Mbak Julia sama Mas Yudhistira nggak kenapa-napa, kan?”Pertanyaan Sasi itu tak membuat Julia langsung menjawab. Perempuan itu menoleh ke arah Sasi, lalu tersenyum. “Nggak ada apa-apa, kok Mbak. Emang kenapa?”“Nggak, sih. Saya lihat kalian berdua saling bersitegang gitu, kali aja ada masalah.” Keduanya saat ini tengah berjalan menyusuri koridor rumah sakit untuk menuju membeli kopi.Julia tersenyum sekaligus lega. Setidaknya Sasi tidak mencurigai apa yang ada di antara mereka. “Nggak, kok Mbak Mawar Eva. Ini cuma soal pekerjaan. Seperti yang tadi dibilang sama Pak Bayusuta, Pak Yudhistira kan, ngajak saya ke Jogja buat market survey, kan? Dia sempat ngebahas tadi sebentar.”Sasi manggut-manggut di sela langkahnya. “Saya pikir, Mas Yudhistira naksir sama Mbak Julia,” tembaknya kemudian.“Hah?”“Sadar, nggak sih kalau Mas Yudhistira tadi sempat pengen ngelamar Mbak Julia, pas ngobrol rame-rame tadi?”“Astaga, Mbak. Pak Yudhistira pasti lagi bercanda. Masa cuma gara-gara itu, Mbak Mawa
Lima belas menit sudah mobil melaju meninggalkan Wijaya Hospital. Baik Aditya maupun Julia, tidak ada yang bersuara. Sesekali terdengar helaan napas panjang dari Julia, entah mengapa dia benar-benar merasa lelah sekarang.“Capek, ya Sayang?”Julia yang tadinya melemparkan tatapannya ke samping jendela, lantas menoleh ke arah Aditya.“Lumayan, Dit. Hari ini kerjaan aku lumayan banyak. Terus tadi diajak buat jenguk Pak Mahesa.”“Bagaimana kondisinya Pak Mahesa, sudah membaik?” tanya Aditya tanpa memalingkan wajahnya dari depan.Julia menjawabnya dengan anggukan. “Iya, beliau sudah terlihat membaik tadi.”Mobil yang dikendarai mereka akhirnya berbelok di salah satu restoran ternama di bilangan Jakarta. Keduanya lantas turun dari mobil. Aditya berjalan mengitari mobilnya, lalu menjulurkan tangannya ke arah Julia. Meminta perempuan itu untuk menggandeng tangannya dan bergegas masuk ke dalam.Setibanya di dalam restoran, seora
[Yudhistira Ghautama: Saya nggak punya mie instan dan sekarang lapar. Boleh mampir buat minta makan, nggak?] [Bayar, ya?] [Yudhistira Ghautama: Dibayar sama seperangkat alat sholat, mau?] [Kalau itu, coba nanti saya tanya ke Papa saya dulu, ya Pak.] [Yudhistira Ghautama: Kalau mau kenalan sama Papa, boleh?] [Biar apa?] [Yudhistira Ghautama: Biar kenal dong, Syg. Nggak boleh, ya?] [Papa saya galak, Pak] [Yudhistira Ghautama: Terus kenapa?] [Bapak nggak takut?] [Yudhistira Ghautama: Ini kalau tawar-menawarnya dilanjut nanti saja, gimana? Bisa-bisa saya mati kelaparan gara-gara mie instan, Julie.] [Emang Bapak di mana sekarang? [Yudhistira Ghautama: Mau jawab di hati kamu tapi belum dikasih kepastian. Saya udah di depan sekarang.] Julia menerbitkan senyumannya. Setelah menyelesaikan ritual mand
[J💕: Bapak nggak usah jemput saya. Saya naik taksi saja, kita ketemu di bandara.] Pesan itu dikirimkan beberapa menit yang lalu saat Yudhistira masih berada dalam perjalanan menjemput Julia. Namun siapa sangka, pesan itu baru saja dibukanya begitu pria itu tiba. Yudhistira menghela napas. Pagi ini mereka akan berangkat ke Jogja dengan penerbangan komersial paling awal. Pria itu menyandar ke belakang mobil. Baru saja Yudhistira hendak menghubungi Julia, bersamaan dengan pintu rumah perempuan itu dibuka dari dalam. Yudhistira lantas menegakkan posisi berdirinya lalu menolehkan wajahnya. Tatapan keduanya bertemu selama beberapa saat. Baru kemudian Julia menuruni anak tangga dan menghampiri Yudhistira. “Bapak ngapain di sini? Saya sudah bilang, kan kalau kita ketemu di bandara saja?” “Haruskah saya pergi sekarang?” kata pria itu dengan tenang. Julia mencebikkan bibirnya. “Ya jangan!