“Mbak Julia sama Mas Yudhistira nggak kenapa-napa, kan?”Pertanyaan Sasi itu tak membuat Julia langsung menjawab. Perempuan itu menoleh ke arah Sasi, lalu tersenyum. “Nggak ada apa-apa, kok Mbak. Emang kenapa?”“Nggak, sih. Saya lihat kalian berdua saling bersitegang gitu, kali aja ada masalah.” Keduanya saat ini tengah berjalan menyusuri koridor rumah sakit untuk menuju membeli kopi.Julia tersenyum sekaligus lega. Setidaknya Sasi tidak mencurigai apa yang ada di antara mereka. “Nggak, kok Mbak Mawar Eva. Ini cuma soal pekerjaan. Seperti yang tadi dibilang sama Pak Bayusuta, Pak Yudhistira kan, ngajak saya ke Jogja buat market survey, kan? Dia sempat ngebahas tadi sebentar.”Sasi manggut-manggut di sela langkahnya. “Saya pikir, Mas Yudhistira naksir sama Mbak Julia,” tembaknya kemudian.“Hah?”“Sadar, nggak sih kalau Mas Yudhistira tadi sempat pengen ngelamar Mbak Julia, pas ngobrol rame-rame tadi?”“Astaga, Mbak. Pak Yudhistira pasti lagi bercanda. Masa cuma gara-gara itu, Mbak Mawa
Lima belas menit sudah mobil melaju meninggalkan Wijaya Hospital. Baik Aditya maupun Julia, tidak ada yang bersuara. Sesekali terdengar helaan napas panjang dari Julia, entah mengapa dia benar-benar merasa lelah sekarang.“Capek, ya Sayang?”Julia yang tadinya melemparkan tatapannya ke samping jendela, lantas menoleh ke arah Aditya.“Lumayan, Dit. Hari ini kerjaan aku lumayan banyak. Terus tadi diajak buat jenguk Pak Mahesa.”“Bagaimana kondisinya Pak Mahesa, sudah membaik?” tanya Aditya tanpa memalingkan wajahnya dari depan.Julia menjawabnya dengan anggukan. “Iya, beliau sudah terlihat membaik tadi.”Mobil yang dikendarai mereka akhirnya berbelok di salah satu restoran ternama di bilangan Jakarta. Keduanya lantas turun dari mobil. Aditya berjalan mengitari mobilnya, lalu menjulurkan tangannya ke arah Julia. Meminta perempuan itu untuk menggandeng tangannya dan bergegas masuk ke dalam.Setibanya di dalam restoran, seora
[Yudhistira Ghautama: Saya nggak punya mie instan dan sekarang lapar. Boleh mampir buat minta makan, nggak?] [Bayar, ya?] [Yudhistira Ghautama: Dibayar sama seperangkat alat sholat, mau?] [Kalau itu, coba nanti saya tanya ke Papa saya dulu, ya Pak.] [Yudhistira Ghautama: Kalau mau kenalan sama Papa, boleh?] [Biar apa?] [Yudhistira Ghautama: Biar kenal dong, Syg. Nggak boleh, ya?] [Papa saya galak, Pak] [Yudhistira Ghautama: Terus kenapa?] [Bapak nggak takut?] [Yudhistira Ghautama: Ini kalau tawar-menawarnya dilanjut nanti saja, gimana? Bisa-bisa saya mati kelaparan gara-gara mie instan, Julie.] [Emang Bapak di mana sekarang? [Yudhistira Ghautama: Mau jawab di hati kamu tapi belum dikasih kepastian. Saya udah di depan sekarang.] Julia menerbitkan senyumannya. Setelah menyelesaikan ritual mand
[J💕: Bapak nggak usah jemput saya. Saya naik taksi saja, kita ketemu di bandara.] Pesan itu dikirimkan beberapa menit yang lalu saat Yudhistira masih berada dalam perjalanan menjemput Julia. Namun siapa sangka, pesan itu baru saja dibukanya begitu pria itu tiba. Yudhistira menghela napas. Pagi ini mereka akan berangkat ke Jogja dengan penerbangan komersial paling awal. Pria itu menyandar ke belakang mobil. Baru saja Yudhistira hendak menghubungi Julia, bersamaan dengan pintu rumah perempuan itu dibuka dari dalam. Yudhistira lantas menegakkan posisi berdirinya lalu menolehkan wajahnya. Tatapan keduanya bertemu selama beberapa saat. Baru kemudian Julia menuruni anak tangga dan menghampiri Yudhistira. “Bapak ngapain di sini? Saya sudah bilang, kan kalau kita ketemu di bandara saja?” “Haruskah saya pergi sekarang?” kata pria itu dengan tenang. Julia mencebikkan bibirnya. “Ya jangan!
[Arjuna Wisesa: Lo utang penjelasan sama gue, Nyet. Lo punya masalah apa sama perusahaan ini?]Yudhistira tersenyum kecil, lalu kembali menyimpan ponselnya. Mengabaikan berbagai pertanyaan yang dilontarkan Arjuna, dan memilih untuk fokus dengan meetingnya."Terima kasih banyak, Pak. Saya berharap kerjasama ini bisa berjalan dengan lancar. Barangkali ada masukan untuk kami, kami akan dengan senang hati mendengarkannya.""Masukan apa, sih Pak Yudhistira? Diamond Group sudah sehebat ini, tentu saja semua aman."Yudhistira tersenyum bangga. "Terima kasih banyak, Pak. Kami tunggu kedatangannya minggu depan di Jakarta untuk meeting selanjutnya.""Sama-sama, Pak Yudhistira. Sampai jumpa di Jakarta nanti.""Kalau begitu saya permisi dulu.""Terima kasih, Pak Anwar.""Terima kasih, Bu Julia."Yudhistira dan Julia kemudian bangkit dari duduknya usai bersalaman dengan Pak Anwar dan beberapa stafnya. Keduanya lantas melangkah keluar dari ruangan tersebut setelah mengakhiri pertemuan itu."Capek,
[Papa: Papa udah di restoran, Nduk. Papa tunggu di sini, ya.]Julia menerbitkan senyumannya begitu mendapatkan pesan itu dari ayahnya. Perempuan itu lantas bergegas mengganti pakaiannya, lalu segera turun ke restoran.Sejenak hatinya merasa lega, setidaknya pikirannya jadi teralihkan dan dia tak lagi memikirkan Yudhistira.Julia lantas mengedarkan matanya ke sekitar begitu tiba di restoran. Lalu melanjutkan langkahnya saat melihat ayahnya duduk termenung sendirian di salah satu meja yang kosong di area outdoor.Di bawah naungan pohon-pohon di sekitarnya. Meskipun panas menyengat tapi angin berembus kencang. Nicolas memilih untuk duduk di sana."Pa…"Nicolas sontak menoleh, dia lalu bangkit dari duduknya. Pria paruh baya itu berjalan menghampiri Julia, lalu sedetik kemudian berhambur memeluk putrinya dengan erat."Apa kabar, Nduk?" tanya Nicolas dengan suara beratnya."Baik, Pa. Papa sehat, kan?""Alhamdulillah, Nduk. Ayo duduk dulu. Kamu nggak lagi sibuk, kan?"Julia menuruti Nicolas.
Suasana mendadak hening saat Yudhistira dan Nicolas tengah duduk berhadapan. Sesekali kening Nicolas mengerut, terlihat tengah berpikir keras. Sementara Yudhistira terlihat jauh lebih tenang."Skak!" katanya dengan cepat, dan hal itu memancing senyuman di wajah Julia."Nak Yudhistira kenapa suka catur?" tanya Nicolas membuka suaranya."Karena Mama saya sering main catur saat saya masih kecil, saya jadi ikut-ikutan belajar main catur, Om. Ternyata nggak buruk juga. Dari catur saya belajar banyak hal," jawab Yudhistira tanpa memalingkan wajahnya dari papan persegi yang ada di hadapannya.Nicolas manggut-manggut lalu memindahkan salah satu pion yang ada di hadapannya."Pion-pion ini selalu mengingatkan saya dengan Julia.""Maksudnya, Om?""Sejak kecil, saya nggak pernah membiarkan Julia hidup nyaman dengan semua yang saya miliki. Pokoknya dia harus mulai segalanya dari bawah. And see, dengan pencapaian Julia sekarang, saya sebagai ayahnya bangga. Sama seperti halnya pion ini." Nicolas me
"Kita mau langsung balik ke hotel?" tanya Yudhistira dengan pelan."Iya."Yudhistira memilih untuk tidak bertanya lagi, dan memilih untuk fokus dengan kemudinya.Akhirnya market survey di Yogyakarta selesai hari ini. Keduanya baru saja sedang dalam perjalanan menuju kembali ke hotel.Suasana masih saja canggung. Meskipun Julia berusaha untuk tetap bersikap profesional selama bekerja, tapi setelah pekerjaan itu selesai, perempuan itu kembali ke mode diam.Yudhistira tahu jika Julia masih marah kepadanya, namun pria itu juga tidak tahu bagaimana harus memulai menjelaskan semuanya.Setibanya di hotel, Julia sudah lebih dulu turun dari mobil. Dia melangkah tergesa menuju kamarnya, pun dengan Yudhistira yang berusaha untuk mengimbanginya."Julie?""Ya, Pak?""Kamu masih marah sama saya?" tembak Yudhistira dengan cepat."Nggak, Pak. Saya capek sekali hari ini, boleh saya langsung istirahat?"Lagi-lagi Yudhistira tidak punya pilihan lain, selain mengangguk. Pria itu tersenyum kecil, membiark