"Kamu pengen tahu rasanya senikmat apa bercinta yang sebenarnya?"
Julia seketika membelalak. "Begini, Julia." Kedua tangan Yudhistira lantas melingkar di pinggang Julia, lalu pria itu mulai mendekatkan wajahnya untuk melekatkan bibirnya di atas bibir perempuan itu. Julia sempat menahan napas selama beberapa detik. Dia berusaha untuk memberontak, namun kedua tangan Yudhistira yang melingkar di pinggangnya sudah lebih dulu menahannya agar tidak bisa mengelak. Jantungnya mendadak berdebar begitu kencang. Julia masih mencoba mencerna apa yang saat ini tengah terjadi, namun saat perempuan itu bisa merasakan desiran hebat yang memenuhi hatinya, Julia akhirnya memejamkan matanya. Dibiarkannya Yudhistira menyapu bibirnya dengan penuh kelembutan. Kedua tangannya mengusap punggung Julia dengan pelan, bersamaan dengan desahan pelan meluncur dari bibir perempuan itu. Yudhistira yang lebih dulu menarik diri. Dia sadar sepenuhnya dengan kegilaan macam apa yang baru saja dilakukannya. Sepasang matanya mendongak untuk mempertemukan tatapannya dengan Julia. “How do you feel, Julia?” bisik pria itu parau. Julia menunduk dalam-dalam dengan napasnya yang tidak beraturan. Jantungnya semakin berdebar kencang. Yudhistira tahu jika dia tidak akan mendapatkan jawaban dari perempuan itu. Tetapi tatapan Julia membenarkan dugaannya. Julia merasa baik-baik saja. “Begitu cara seseorang memperlakukan orang yang dicintainya, Julia. Bukan dengan menyakiti seperti yang dilakukan dia terhadap kamu,” bisiknya sekali lagi. “Apa yang barusan kita lakukan salah, Pak.” Bibir Julia mendadak bergetar hebat. Pandangannya menoleh ke samping, menghindari tatapan Yudhistira yang terasa mengintimidasi. "Jul…" Pria itu lantas meraih wajah Julia, lalu memaksanya agar menoleh ke depan. Yudhistira menggeleng cepat. “Kalau kamu pikir dengan mencuri hatimu dari dia adalah sebuah kesalahan, saya nggak masalah kalau tidak jadi benar.” “Pak…” “Trust me, Julia. Kamu nggak perlu melakukan apapun, biar semuanya menjadi urusan saya setelah ini.” Julia baru saja ingin menjawab perkataan Yudhistira, tetapi suara perutnya yang berbunyi nyaring seketika menghancurkan segalanya. Julia ingin sekali menahan diri untuk tidak tertawa, tapi gagal. Pun begitu dengan Yudhistira. Pria itu tersenyum. “Kamu pasti belum makan malam, ya?” Julia tak langsung menjawab. Perempuan itu lantas beringsut turun dari pangkuan Yudhistira, lalu duduk di samping pria itu bersamaan dengan hujan deras yang mendadak mengguyur Jakarta. Keduanya menoleh ke samping. Pintu itu masih terbuka, dan Yudhistira langsung berjalan ke arah pintu tersebut untuk menutupnya. “Kamu ada bahan makanan apa di dapur?” “Cuma mie instan, Pak. Bapak juga belum makan, ya? Saya pesankan makanan saja—” “Saya di sini bukan sebagai atasan kamu, Julia. Jadi jangan memperlakukan saya seperti saat kamu memperlakukan saya di kantor. Saya makan apa saja, kok. Kalau kamu punya mie, ya udah makan mie nggak apa-apa.” “Beneran?" Yudhistira mengangguk. "Ya udah, Pak. Kalau begitu saya buatkan mie dulu.” Perempuan itu lantas bangkit dari duduknya dan langsung berjalan menuju ke dapur. Lalu Yudhistira yang masih merasa canggung, tidak tahu harus melakukan apa. Pikirannya mendadak kacau, tetapi setelah apa yang tadi dilakukannya dengan Julia, seolah ada getaran asing yang mendadak hadir di hatinya. Yudhistira sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Tidak berbeda jauh dengan sahabat-sahabatnya, dia juga pernah dekat dengan banyak perempuan. Tetapi anehnya, dia tidak pernah merasakan hal seperti yang baru saja dirasakannya dengan Julia. Terlebih saat Yudhistira menyentuhnya. “Jul.” Julia yang tengah sibuk memasak mie di dapur, lantas menoleh. “Ya, Pak?” “Maaf, ya. Soal yang tadi… saya benar-benar nggak bermaksud untuk mengambil kesempatan dari kamu.” “Nggak apa-apa, Pak.” Julia tersenyum. “Lagipula… saya sudah lama sekali tidak pernah merasakan nikmatnya berciuman dengan seseorang, entah itu dengan Aditya.” “Dia nggak pernah mencium kamu?” Julia menggeleng. “Ketika dia butuh pelampiasan, mungkin keadaan saya lebih mirip seperti seorang perempuan yang diperkosa. Dia memukul wajah saya, mengingat tangan saya, bahkan menggigit hingga meninggalkan bekas di tubuh saya. Saya nggak tahu gimana rasanya foreplay,” ujarnya dengan gamblang. Julia tersenyum getir mengingat apa yang selama ini dilakukan Aditya kepadanya. “Jadi terima kasih karena Bapak sudah mencium saya tadi,” ujarnya menambahkan. Untuk selama beberapa saat, Yudhistira tertegun. Tidak menyangka jika perempuan yang selama ini dia sangka kuat, ternyata hatinya rapuh. Pria itu lantas mengayunkan langkahnya mendekati Julia. “Saya—” Pergerakan Yudhistira yang tiba-tiba seketika membuat Julia terkejut. Pria itu lantas mendorong Julia hingga tubuh bagian belakangnya menubruk pinggiran kabinet dapur. Satu tangannya lantas menyentuh tengkuk leher Julia, sementara satu tangan lainnya melingkar di pinggangnya. Lalu sedetik kemudian, Yudhistira kembali memagut bibir perempuan itu dengan penuh kelembutan. Lelah memberontak, Julia memilih untuk pasrah. Tangannya yang masih memegang kemasan mie instan yang belum dibuka itu, refleks jatuh ke lantai. Lalu kedua tangan itu melingkar ke belakang leher Yudhistira, merasai sentuhan pria itu sekali lagi. Seolah mendapatkan aksesnya dengan leluasa, Yudhistira semakin memperdalam ciumannya. Memagut lembut bibir kemerahan perempuan itu yang sensasinya terasa mendebarkan. Napas keduanya terengah-engah. Mereka terpaksa saling melepaskan diri, lantaran air yang dipanasi Julia di sana telah menggurak. Keduanya tersenyum malu-malu, membuat Yudhistira lantas mendaratkan kecupan di kening Julia, lalu dia kembali bersuara. “Saya akan sering-sering mencium kamu kalau gitu.” “Modus banget, sih Pak. Bapak lupa kalau saya udah ada pacar.” “Selama janur kuning belum melengkung, kamu masih bisa saya tikung, Julia. Lagipula lebih hebat ciuman saya, kan daripada ciuman dia?” Seketika wajah Julia memanas. Cepat-cepat perempuan itu membalikkan badan, wajahnya pasti sudah merona sekarang. “Bapak nunggu di sana aja. Bisa-bisa mie-nya nggak matang-matang kalau Bapak gangguin saya terus.” “Tapi suka, kan digangguin sama saya?” “Apaan, sih Pak.” Yudhistira lantas terkekeh, kemudian pria itu kembali menuju sofa sembari menunggu Julia selesai memasak mie instan di sana. Tak berselang lama, Julia sudah datang dengan membawa sebuah nampan yang berisikan dua mangkuk mie instan yang mengepulkan asapnya. “Bapak nggak suka pedas, kan?” “Kok tahu?” Julia kemudian mengangsurkan semangkuk mie instan yang tidak pedas ke arah Yudhistira, lalu satunya untuk dirinya sendiri. “Saya kerja bertahun-tahun untuk melayani lima bos besar, Pak. Saya sudah khatam betul makanan kalian semua.” Yudhistira terkekeh. Memiliki sekretaris seperti Julia di tempat kerjanya terasa menyenangkan. “Makasih, Julia.” “Makasih untuk?” “Makasih karena kamu nggak menolak saya,” ujar Yudhistira ambigu. Untuk selama beberapa saat, keduanya memilih menikmati mie instan masing-masing. Hujan di luar sana semakin deras, lantaran akhir-akhir ini memang sering turun hujan. “Pak…” “Hm-mm?” “Saya nggak terlalu dekat sama Bapak, saya juga nggak begitu kenal kehidupan pribadi Bapak selama ini. Boleh saya tanya sesuatu?” “Mau tanya apa?” “Maaf sebelumnya, ya Pak. Tadi Bapak bilang saya mengingatkan Bapak dengan ibunya Bapak. Ibunya Bapak masih ada, kan?” “Masih, Julia. Mama saya masih ada.” Julia manggut-manggut, tak lagi ingin bertanya. Dia memilih untuk melanjutkan makannya. “Besok kamu ada acara, nggak?” Julia menggeleng. “Nggak, Pak. Kenapa?” “Saya mau ngajak kamu ke suatu tempat.” Satu alis Julia tertarik ke atas. “Ke mana?” “Besok kamu juga tahu,” jawab Yudhistira sembari kembali menghabiskan mie instannya. Setelah menghabiskan mie instannya, Julia lantas membereskan mangkuk mereka yang kosong. Julia menaruhnya ke dalam wastafel, lalu membersihkan sisa-sisa sampah yang masih tersisa di sana. Baru setelahnya dia kembali menuju ruang tamu, dan Julia melihat Yudhistira tampak termenung. “Pak?” Yudhistira menoleh. “Hm-mm?” “Ada apa?” “Nggak ada apa-apa, Jul. Sini,” kata Yudhistira sembari menepuk sisi di sebelahnya. Julia menurutinya. Perempuan itu lantas duduk di sebelah Yudhistira tanpa mengatakan sepatah kata apapun. “Luka kamu belum diobati. Obat yang dari rumah sakit masih ada, kan?” ujar Yudhistira tiba-tiba. “Masih, Pak. Nanti saja.” “No. Kamu obati dulu sana, gih.” "Saya nggak tahu kalau Bapak bisa bicara sebanyak malam ini." "Kenapa? Kamu nggak suka?" Julia lantas menggeleng. Alih-alih menjawab pertanyaan Yudhistira, perempuan itu kemudian bangkit. “Saya obati luka saya dulu, ya Pak.” Julia berjalan menuju kamarnya untuk mengobati luka-luka gigitan di sekujur tubuhnya. Di depan layar kaca sana Julia bergidik ngeri. Tubuhnya terlalu banyak luka lebam dan bekas gigitan, dan itu mengerikan. Perempuan itu lantas menurunkan piyama tidurnya hingga bahunya terekspos. Julia mengoleskan obat itu di jari telunjuknya, lalu dengan susah payah perempuan itu berusaha menggapai punggung belakangnya. “Aw…” rintihnya pelan. Ada banyak bekas luka gigitan di sekujur tubuhnya di bagian belakang. Harus dengan tenaga ekstra, Julia menggapai bagian belakang tubuhnya saat bersamaan perempuan itu merasakan sentuhan tangan lain di sana. Julia mengangkat wajahnya, hingga tatapannya bertumbukan dengan tatapan Yudhistira di belakangnya melalui pantulan kaca. “Bapak?” Julia cepat-cepat menaikkan piyama yang dikenakannya, tetapi Yudhistira sudah lebih dulu menahannya. Perlahan pria itu menurunkan piyama itu hingga jatuh ke lantai dan kini tubuh Julia terekspos sempurna. “Bapak mau ngapain?” tanya Julia sembari menyilangkan tangannya di dada perempuan itu. Masih dengan tidak mengatakan apa-apa, Yudhistira lantas meraih obat yang ada di tangan Julia, lalu dia mulai mengoleskan obat itu di punggung perempuan itu yang sulit dijangkaunya. Selama beberapa saat, Julia tampak terdiam. Sesekali dia merintih kesakitan, tapi tak jarang tubuhnya menegang, terlebih saat dia merasakan sentuhan lembut jari-jari Yudhistira yang menyentuh permukaan kulitnya. Pikirannya mendadak kacau. “Andaikata kamu meminta saya untuk membunuh pria itu, saya akan melakukannya Julia,” bisik Yudhistira lirih. “Saya nggak bisa membiarkan Bajingan itu menyakitimu lebih banyak dari ini.” “Pak…” “Please, kamu pikirkan baik-baik ucapan saya,” tandas Yudhistira dengan lugas. Sisa waktu yang ada, Julia tak lagi bersuara. Perempuan itu membiarkan Yudhistira membantunya mengoleskan obat di sekujur tubuhnya yang penuh luka. Barangkali pria itu tidak tahu jika jantung Julia kini mendadak bergemuruh hebat. *** Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya![Yudhistira Ghautama: Saya sudah di depan.]Melihat ponselnya bergetar, Julia yang tadinya sibuk memoleskan concealer di lehernya, seketika melebarkan matanya. Cepat-cepat perempuan itu mengetikkan pesan balasan di sana.[Sebentar, ya Pak. Saya ganti pakaian dulu.][Yudhistira Ghautama: Santai saja, Syg.][Yudhistira Ghautama: Eh, apa terlalu cepat saya memanggil kamu dengan sebutan ‘sayang’ ya?]Alih-alih membalas pesan itu, Julia diam-diam tersenyum melihat tingkah Yudhistira. Terus terang dia tidak menyangka jika Yudhistira akan… semanis itu. Selama ini dia mengenal banyak pria di kantornya, hanya saja, dia tidak pernah mengira akan sedekat ini dengan Yudhistira.“OMG! Kamu pasti gila, Jul. Semalam kamu ngapain, coba?”Julia ingin sekali mengutuk dalam hatinya. Entah mengapa bersama pria itu, Julia merasa berbeda. Lebih ke… Julia merasa benar-benar dihargai olehnya sekaligus dia merasa nyaman.“Ingat Julia, kamu nggak boleh kebablasan. Kamu sudah punya Aditya,” cegahnya pada diriny
Julia tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat tiba-tiba Marsya memeluknya. Terlebih saat dia diperkenalkan sebagai calon istri Yudhistira. Apakah pria-pria yang ada di sekitarnya akan segila ini pada waktunya? Julia memaksakan dirinya untuk tersenyum.“Saya Marsya, Mamanya Yudhis.” Marsya yang pertama kali menarik diri, lalu menggenggam kedua tangan Julia dengan hangat.“Saya Julia, Tante.”“Julia ini sekretarisnya Yudhis di kantor, Ma.”Marsya menoleh ke arah Yudhistira dan Julia secara bergantian. “Oh, ya? Jangan bilang kamu di kantor genit-genit, ya? Sampai-sampai bilang Julia ini calon istri kamu.”Yudhistira tertawa. “Nggak, Ma. Yudhis memang maunya sama dia, kok.”“Tapi dia mau, nggak sama kamu? Jangan-jangan kamu paksa lagi, Dhis?”Lagi-lagi Yudhistira hanya tertawa. Marsya lantas mengusap lengan Julia, yang sepertinya tampak kesal mendengar penuturan Yudhistira yang terlalu percaya diri.“Maafin anak Tante, ya Julia. Yudhis memang nggak pandai berbasa-basi, tapi anaknya bai
"Mbak Julia?"Suara vokal seorang perempuan, sejenak membuat Julia dan Yudhistira lantas menoleh."Karina?"Perempuan yang dipanggil Karina itu lantas menghampiri Julia, lalu mendaratkan kecupan di wajah perempuan itu. Julia tidak menyangka jika akan dipertemukan dengan adik sang kekasih di tempat seperti ini."Aku pikir, Mbak Julia jalan sama Mas Adit. Mbak Julia sama siapa?" tanya Karina penasaran.Julia lantas menoleh ke belakang. Dia tampak sedikit gelagapan. "Oh, ya Rin. Kenalkan ini atasan saya di kantor.""Yudhistira.""Saya Karina, calon adik iparnya Mbak Julia." Karina lantas menoleh ke arah Julia. "Mbak kenapa nggak bilang, sih kalau bos Mbak ganteng begini? Beda, ya sama yang Pak Mahesa itu? Mbak udah pindah divisi?""Beliau salah satu petinggi di kantor juga, Rin. Satu tim dengan Pak Mahesa juga, kok."Karina manggut-manggut, tatapannya tak lepas dari menatap Yudhistira."Single, kan Mbak?" bisik Karina lirih."Rin…" Lalu Karina terkekeh."Mbak duduk bentar, deh. Ada yang
"MBAK JULIAAAAAA!" Suara teriakan Rayya seketika menarik perhatian banyak orang yang ada di sekitarnya. Perempuan itu lantas melotot tajam ke arah Rayya, Julia benar-benar sibuk sekarang dan dia malas menanggapi ocehan Rayya dan teman-temannya."Nggak mau pakai toa sekalian teriaknya, Ray?"Rayya meringis, bersamaan dengan satu temannya di belakang menyusulnya. Bergelayut manja seperti biasa, dengan satu tujuan yang sama.“Dih, Mbak Julia sensitif amat kayak pantat bayi. Lagi PMS, ya?”“Saya kalau berhadapan sama kamu bawaannya mens terus, Ray. Udah buruan to the point saja, ada apa?” sungut Julia tak terima."Pak Mahesa sakit, ya Mbak?" tanya Rayya dengan lembut. "Sakit apa, sih? Apa ini ada hubungannya dengan kekacauan yang terjadi antara Pak Mahesa dan Pak Daniel?""Nggak ada, Ray. Bahkan saya saja belum jenguk beliau. Mana saya tahu dia sakit apa?”"Aduh, Mbak Julia. Emang mau jenguk kapan? Aku ikut, ya Mbak? Ramean gitu? Pak Mahesa suka apa? Buah? Cake? Atau—""Jangan mimpi kamu,
“Wah, kita kedatangan tamu istimewa kayaknya, nih?” Anggun kemudian bangkit menghampiri Karina dan sosok pria yang ada di sampingnya. Perempuan itu memeluk putri bungsunya, lalu beralih menatap Yudhistira. “Siapa ini, Rin?”“Teman, Ma.” Karina lantas menoleh ke arah Yudhistira. “Kenalin, Ma, Pa, Mbak Alexa, Mas Aditya, ini Mas Yudhistira.”“Selamat malam Om, Tante, dan semuanya. Maaf kalau saya jadi mengganggu acara makan malamnya.”“Eh, nggak kok.” Anggun lantas menggandeng Yudhistira, dan mengajak pria itu untuk duduk di salah satu kursi yang kosong. “Gabung aja, nggak apa-apa. Nak Yudhistira sekalian makan malam, ya?”Sementara Yudhistira tersenyum sungkan, tetapi dia tetap menuruti Anggun saat dia diajak untuk bergabung bersama mereka. Bahkan disambut hangat oleh mereka.“Kami lagi ngadain makan malam, membicarakan soal rencana pernikahannya Aditya dan Julia. Aditya ini anak kedua Tante, Nak Yudhis.”“Oh, ya Tante. Kebetulan saya kenal dengan Julia.”“Oh, ya?” Anggun menatap Julia
“Sayang…”Julia lantas mengangkat wajahnya, lalu menoleh ke belakang dan mendapati Aditya berdiri di sana. Perempuan itu sedang menunggu Yudhistira mengambil mobilnya lantaran masih turun hujan, pria itu meminta Julia untuk menunggu di sini.“Hei,” sahut Julia agak terkejut dengan sikap Aditya, pria itu lantas memeluk Julia dari belakang.“Aku padahal kangen banget sama kamu, Sayang. Kenapa, sih saat aku pengen berduaan sama kamu, ada aja gangguannya?”Entah Julia harus bersyukur atau sebaliknya.“Masih ada hari lain, Dit. Lagipula kamu harus nganterin Mbak Alexa, kan? Kasihan kalau dia nyetir sendirian.”“Kamu tahu, kan aku gampang cemburu?”Julia tersenyum kecut. Tahu ke mana arah pembicaraan Adit sekarang. “Aku sama Pak Yudhistira nggak ada apa-apa, Dit. Dia memang seperti itu wataknya.”“Saya jadi khawatir kalau dia deketin Karina. Dia sama kamu aja sok dekat gini. Apa nggak menutup kemungkinan dia dekat sama cewek lain juga?”“Nggak, Dit.” Nggak tahu lebih tepatnya.Mobil yang di
“Julie…”Suara Yudhistira yang terdengar berat menyapa indera pendengaran perempuan itu. Terlebih saat dress yang dikenakan Julia sudah merosot ke lantai dan kini hanya menyisakan pakaian dalam hitamnya. Dan detik itu juga Yudhistira hampir menggila.Seolah tidak mengacuhkan peringatan yang meluncur dari bibir pria itu, Julia lantas melingkarkan tangannya ke belakang tengkuk leher Yudhistira, kemudian dia berjinjit, dan selanjutnya perempuan itu mencium bibirnya lebih dulu.Barangkali ini adalah pertama—atau lebih tepatnya, kedua kalinya Julia berciuman dengan pria asing. Gerakan bibirnya yang terasa lembut seketika membuat Yudhistira luluh lantak.Dibalasnya ciuman itu dengan sedikit menuntut. Kedua tangan Yudhistira sudah melingkar di pinggang Julia. Lidahnya saling berkelit satu sama lain, seolah tengah berlomba-lomba ingin menunjukkan bahwa dialah yang lebih lihai dalam hal ini.Yudhistira jadi yang pertama menarik diri. Napas keduanya terengah-engah, keningnya saling beradu sambi
Tidak ada yang bisa menjabarkan seperti apa yang saat ini tengah dirasakan Julia. Jantungnya berdebar kencang, sensasi mendebarkan di dalam dadanya seolah hampir meledak sekarang.Bibirnya yang saling bertautan, membimbing langkah mereka menuju pada sebuah ruang yang gelap. Mereka membiarkan pintu itu tetap terbuka, agar lampu dari dapur sana sedikit membias di ruangan itu.Di sana, Yudhistira meninggalkan bibir Julia. Lalu dia merebahkan tubuh ringkih perempuan itu dengan tatapannya tak lepas darinya. Napas keduanya masih terengah-engah, dalam kebingungannya kali ini Yudhistira sudah mulai kehilangan kendali.“Kenapa?” tanya Julia menyentak lamunan pria itu.Yudhistira terlihat gamang, seolah ragu untuk melanjutkan apa yang akan dilakukannya setelah ini.Meskipun tubuhnya justru berkata lain. Yudhistira begitu menginginkan Julia sekarang. Dia ingin merasakan bercumbu dengannya, ingin sekali memujanya, dan juga mendambanya.Pria itu tidak pernah merasa setersiksa ini saat menginginkan