Share

BAB 7

"Kamu pengen tahu rasanya senikmat apa bercinta yang sebenarnya?"

Julia seketika membelalak.

"Begini, Julia."

Kedua tangan Yudhistira lantas melingkar di pinggang Julia, lalu pria itu mulai mendekatkan wajahnya untuk melekatkan bibirnya di atas bibir perempuan itu.

Julia sempat menahan napas selama beberapa detik. Dia berusaha untuk memberontak, namun kedua tangan Yudhistira yang melingkar di pinggangnya sudah lebih dulu menahannya agar tidak bisa mengelak.

Jantungnya mendadak berdebar begitu kencang. Julia masih mencoba mencerna apa yang saat ini tengah terjadi, namun saat perempuan itu bisa merasakan desiran hebat yang memenuhi hatinya, Julia akhirnya memejamkan matanya.

Dibiarkannya Yudhistira menyapu bibirnya dengan penuh kelembutan. Kedua tangannya mengusap punggung Julia dengan pelan, bersamaan dengan desahan pelan meluncur dari bibir perempuan itu.

Yudhistira yang lebih dulu menarik diri. Dia sadar sepenuhnya dengan kegilaan macam apa yang baru saja dilakukannya. Sepasang matanya mendongak untuk mempertemukan tatapannya dengan Julia.

“How do you feel, Julia?” bisik pria itu parau.

Julia menunduk dalam-dalam dengan napasnya yang tidak beraturan. Jantungnya semakin berdebar kencang. Yudhistira tahu jika dia tidak akan mendapatkan jawaban dari perempuan itu. Tetapi tatapan Julia membenarkan dugaannya. Julia merasa baik-baik saja.

“Begitu cara seseorang memperlakukan orang yang dicintainya, Julia. Bukan dengan menyakiti seperti yang dilakukan dia terhadap kamu,” bisiknya sekali lagi.

“Apa yang barusan kita lakukan salah, Pak.”

Bibir Julia mendadak bergetar hebat. Pandangannya menoleh ke samping, menghindari tatapan Yudhistira yang terasa mengintimidasi.

"Jul…"

Pria itu lantas meraih wajah Julia, lalu memaksanya agar menoleh ke depan. Yudhistira menggeleng cepat.

“Kalau kamu pikir dengan mencuri hatimu dari dia adalah sebuah kesalahan, saya nggak masalah kalau tidak jadi benar.”

“Pak…”

“Trust me, Julia. Kamu nggak perlu melakukan apapun, biar semuanya menjadi urusan saya setelah ini.”

Julia baru saja ingin menjawab perkataan Yudhistira, tetapi suara perutnya yang berbunyi nyaring seketika menghancurkan segalanya.

Julia ingin sekali menahan diri untuk tidak tertawa, tapi gagal. Pun begitu dengan Yudhistira.

Pria itu tersenyum. “Kamu pasti belum makan malam, ya?”

Julia tak langsung menjawab. Perempuan itu lantas beringsut turun dari pangkuan Yudhistira, lalu duduk di samping pria itu bersamaan dengan hujan deras yang mendadak mengguyur Jakarta.

Keduanya menoleh ke samping. Pintu itu masih terbuka, dan Yudhistira langsung berjalan ke arah pintu tersebut untuk menutupnya.

“Kamu ada bahan makanan apa di dapur?”

“Cuma mie instan, Pak. Bapak juga belum makan, ya? Saya pesankan makanan saja—”

“Saya di sini bukan sebagai atasan kamu, Julia. Jadi jangan memperlakukan saya seperti saat kamu memperlakukan saya di kantor. Saya makan apa saja, kok. Kalau kamu punya mie, ya udah makan mie nggak apa-apa.”

“Beneran?" Yudhistira mengangguk. "Ya udah, Pak. Kalau begitu saya buatkan mie dulu.”

Perempuan itu lantas bangkit dari duduknya dan langsung berjalan menuju ke dapur. Lalu Yudhistira yang masih merasa canggung, tidak tahu harus melakukan apa. Pikirannya mendadak kacau, tetapi setelah apa yang tadi dilakukannya dengan Julia, seolah ada getaran asing yang mendadak hadir di hatinya.

Yudhistira sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Tidak berbeda jauh dengan sahabat-sahabatnya, dia juga pernah dekat dengan banyak perempuan. Tetapi anehnya, dia tidak pernah merasakan hal seperti yang baru saja dirasakannya dengan Julia. Terlebih saat Yudhistira menyentuhnya.

“Jul.”

Julia yang tengah sibuk memasak mie di dapur, lantas menoleh. “Ya, Pak?”

“Maaf, ya. Soal yang tadi… saya benar-benar nggak bermaksud untuk mengambil kesempatan dari kamu.”

“Nggak apa-apa, Pak.” Julia tersenyum. “Lagipula… saya sudah lama sekali tidak pernah merasakan nikmatnya berciuman dengan seseorang, entah itu dengan Aditya.”

“Dia nggak pernah mencium kamu?”

Julia menggeleng. “Ketika dia butuh pelampiasan, mungkin keadaan saya lebih mirip seperti seorang perempuan yang diperkosa. Dia memukul wajah saya, mengingat tangan saya, bahkan menggigit hingga meninggalkan bekas di tubuh saya. Saya nggak tahu gimana rasanya foreplay,” ujarnya dengan gamblang.

Julia tersenyum getir mengingat apa yang selama ini dilakukan Aditya kepadanya. “Jadi terima kasih karena Bapak sudah mencium saya tadi,” ujarnya menambahkan.

Untuk selama beberapa saat, Yudhistira tertegun. Tidak menyangka jika perempuan yang selama ini dia sangka kuat, ternyata hatinya rapuh.

Pria itu lantas mengayunkan langkahnya mendekati Julia.

“Saya—”

Pergerakan Yudhistira yang tiba-tiba seketika membuat Julia terkejut. Pria itu lantas mendorong Julia hingga tubuh bagian belakangnya menubruk pinggiran kabinet dapur.

Satu tangannya lantas menyentuh tengkuk leher Julia, sementara satu tangan lainnya melingkar di pinggangnya. Lalu sedetik kemudian, Yudhistira kembali memagut bibir perempuan itu dengan penuh kelembutan.

Lelah memberontak, Julia memilih untuk pasrah. Tangannya yang masih memegang kemasan mie instan yang belum dibuka itu, refleks jatuh ke lantai. Lalu kedua tangan itu melingkar ke belakang leher Yudhistira, merasai sentuhan pria itu sekali lagi.

Seolah mendapatkan aksesnya dengan leluasa, Yudhistira semakin memperdalam ciumannya. Memagut lembut bibir kemerahan perempuan itu yang sensasinya terasa mendebarkan.

Napas keduanya terengah-engah. Mereka terpaksa saling melepaskan diri, lantaran air yang dipanasi Julia di sana telah menggurak.

Keduanya tersenyum malu-malu, membuat Yudhistira lantas mendaratkan kecupan di kening Julia, lalu dia kembali bersuara.

“Saya akan sering-sering mencium kamu kalau gitu.”

“Modus banget, sih Pak. Bapak lupa kalau saya udah ada pacar.”

“Selama janur kuning belum melengkung, kamu masih bisa saya tikung, Julia. Lagipula lebih hebat ciuman saya, kan daripada ciuman dia?”

Seketika wajah Julia memanas. Cepat-cepat perempuan itu membalikkan badan, wajahnya pasti sudah merona sekarang.

“Bapak nunggu di sana aja. Bisa-bisa mie-nya nggak matang-matang kalau Bapak gangguin saya terus.”

“Tapi suka, kan digangguin sama saya?”

“Apaan, sih Pak.”

Yudhistira lantas terkekeh, kemudian pria itu kembali menuju sofa sembari menunggu Julia selesai memasak mie instan di sana.

Tak berselang lama, Julia sudah datang dengan membawa sebuah nampan yang berisikan dua mangkuk mie instan yang mengepulkan asapnya.

“Bapak nggak suka pedas, kan?”

“Kok tahu?”

Julia kemudian mengangsurkan semangkuk mie instan yang tidak pedas ke arah Yudhistira, lalu satunya untuk dirinya sendiri. “Saya kerja bertahun-tahun untuk melayani lima bos besar, Pak. Saya sudah khatam betul makanan kalian semua.”

Yudhistira terkekeh. Memiliki sekretaris seperti Julia di tempat kerjanya terasa menyenangkan.

“Makasih, Julia.”

“Makasih untuk?”

“Makasih karena kamu nggak menolak saya,” ujar Yudhistira ambigu.

Untuk selama beberapa saat, keduanya memilih menikmati mie instan masing-masing. Hujan di luar sana semakin deras, lantaran akhir-akhir ini memang sering turun hujan.

“Pak…”

“Hm-mm?”

“Saya nggak terlalu dekat sama Bapak, saya juga nggak begitu kenal kehidupan pribadi Bapak selama ini. Boleh saya tanya sesuatu?”

“Mau tanya apa?”

“Maaf sebelumnya, ya Pak. Tadi Bapak bilang saya mengingatkan Bapak dengan ibunya Bapak. Ibunya Bapak masih ada, kan?”

“Masih, Julia. Mama saya masih ada.”

Julia manggut-manggut, tak lagi ingin bertanya. Dia memilih untuk melanjutkan makannya.

“Besok kamu ada acara, nggak?”

Julia menggeleng. “Nggak, Pak. Kenapa?”

“Saya mau ngajak kamu ke suatu tempat.”

Satu alis Julia tertarik ke atas. “Ke mana?”

“Besok kamu juga tahu,” jawab Yudhistira sembari kembali menghabiskan mie instannya.

Setelah menghabiskan mie instannya, Julia lantas membereskan mangkuk mereka yang kosong. Julia menaruhnya ke dalam wastafel, lalu membersihkan sisa-sisa sampah yang masih tersisa di sana. Baru setelahnya dia kembali menuju ruang tamu, dan Julia melihat Yudhistira tampak termenung.

“Pak?”

Yudhistira menoleh. “Hm-mm?”

“Ada apa?”

“Nggak ada apa-apa, Jul. Sini,” kata Yudhistira sembari menepuk sisi di sebelahnya.

Julia menurutinya. Perempuan itu lantas duduk di sebelah Yudhistira tanpa mengatakan sepatah kata apapun.

“Luka kamu belum diobati. Obat yang dari rumah sakit masih ada, kan?” ujar Yudhistira tiba-tiba.

“Masih, Pak. Nanti saja.”

“No. Kamu obati dulu sana, gih.”

"Saya nggak tahu kalau Bapak bisa bicara sebanyak malam ini."

"Kenapa? Kamu nggak suka?"

Julia lantas menggeleng. Alih-alih menjawab pertanyaan Yudhistira, perempuan itu kemudian bangkit.

“Saya obati luka saya dulu, ya Pak.”

Julia berjalan menuju kamarnya untuk mengobati luka-luka gigitan di sekujur tubuhnya. Di depan layar kaca sana Julia bergidik ngeri. Tubuhnya terlalu banyak luka lebam dan bekas gigitan, dan itu mengerikan.

Perempuan itu lantas menurunkan piyama tidurnya hingga bahunya terekspos. Julia mengoleskan obat itu di jari telunjuknya, lalu dengan susah payah perempuan itu berusaha menggapai punggung belakangnya.

“Aw…” rintihnya pelan.

Ada banyak bekas luka gigitan di sekujur tubuhnya di bagian belakang. Harus dengan tenaga ekstra, Julia menggapai bagian belakang tubuhnya saat bersamaan perempuan itu merasakan sentuhan tangan lain di sana.

Julia mengangkat wajahnya, hingga tatapannya bertumbukan dengan tatapan Yudhistira di belakangnya melalui pantulan kaca.

“Bapak?”

Julia cepat-cepat menaikkan piyama yang dikenakannya, tetapi Yudhistira sudah lebih dulu menahannya. Perlahan pria itu menurunkan piyama itu hingga jatuh ke lantai dan kini tubuh Julia terekspos sempurna.

“Bapak mau ngapain?” tanya Julia sembari menyilangkan tangannya di dada perempuan itu.

Masih dengan tidak mengatakan apa-apa, Yudhistira lantas meraih obat yang ada di tangan Julia, lalu dia mulai mengoleskan obat itu di punggung perempuan itu yang sulit dijangkaunya.

Selama beberapa saat, Julia tampak terdiam. Sesekali dia merintih kesakitan, tapi tak jarang tubuhnya menegang, terlebih saat dia merasakan sentuhan lembut jari-jari Yudhistira yang menyentuh permukaan kulitnya. Pikirannya mendadak kacau.

“Andaikata kamu meminta saya untuk membunuh pria itu, saya akan melakukannya Julia,” bisik Yudhistira lirih. “Saya nggak bisa membiarkan Bajingan itu menyakitimu lebih banyak dari ini.”

“Pak…”

“Please, kamu pikirkan baik-baik ucapan saya,” tandas Yudhistira dengan lugas.

Sisa waktu yang ada, Julia tak lagi bersuara. Perempuan itu membiarkan Yudhistira membantunya mengoleskan obat di sekujur tubuhnya yang penuh luka. Barangkali pria itu tidak tahu jika jantung Julia kini mendadak bergemuruh hebat.

***

Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status