Share

BAB 2

“Pak, ada apa?"

Julia yang sejak tadi tidak tenang bekerja setelah kekacauan yang terjadi, mendadak ikut panik begitu melihat Arjuna berlari menuju ruangan Yudhistira. Dan memintanya untuk ikut dengannya.

“Jul, ke sini sebentar.”

Julia menuruti Arjuna. Perempuan itu lantas mengekori Arjuna untuk menuju ruangan Yudhistira sekarang.

Baru saja Arjuna mendorong pintu ruangan Yudhistira, pria itu langsung bangkit dan berjalan mendekati Arjuna.

“Gimana?” tanya Yudhistira saat itu.

“Mahesa kritis sekarang, Dhis. Gue minta tolong lo sama Sena standby di kantor, sama Julia. Gue sama Bayu mau ke rumah sakit sekarang."

Tiba-tiba kepala Yudhistira berdengung. Pun begitu dengan Julia yang membuka mulutnya lebar-lebar seolah tidak percaya dengan ucapan Arjuna baru saja.

"Gimana kejadiannya, Pak?"

“Mahesa dikeroyok sama orang-orang suruhannya Bara, dan gue terlambat datang untuk menyelamatkannya. Sekarang dia sedang ditangani oleh dokter di rumah sakit, dan saya mau ke sana.”

“OMG! Pak Mahesa,” kata Julia yang seketika ikut lemas begitu mendengar ucapan Arjuna.

“Shit! Terus gimana kondisinya Sasi?" tanya Yudhistira dengan cepat.

"Untungnya dia nggak kenapa-napa, dan kondisi bayinya juga baik-baik saja. Hanya saja dia pasti terpukul dengan kondisi Mahesa sekarang."

"Bangsat!" umpat Yudhistira frustasi.

“Lo handle semua dan Jul—" Arjuna menoleh ke arah Julia, “Saya minta tolong jangan sampai berita ini tersebar di seluruh penjuru kantor. Gue bakalan berusaha mengendalikan media dari rumah sakit nanti. Pokoknya kekacauan hari ini, terutama di kantor, tolong dikendalikan.”

“Baik, Pak.”

“Gue cabut sekarang.” Arjuna menepuk bahu Yudhistira, setelah menyerahkan semua kendali kepadanya, Arjuna lantas bergegas meninggalkan Diamond Group detik itu juga.

“Ada apa?” Antasena yang baru saja melihat Arjuna berlari menuju lift, lantas menghampiri ruangan Yudhistira. Lalu mendapati Yudhistira dan Julia masih berada di sana.

“Mahesa kritis, Sen. Arjuna sama Bayu ke rumah sakit sekarang. Untuk sementara waktu kerjaan kita take over bertiga.”

“Sialan! Kenapa bisa kecolongan begini, sih? Dia sengaja mancing bedebah itu, tapi ternyata dia juga terluka?” Antasena hanya menggelengkan kepalanya. “Sasi gimana?”

“Katanya aman, Sen. Cuma lo tahu sendiri, Sasi pasti nggak akan baik-baik saja setelah semua ini.”

“Bangsat! Mana Sasi lagi hamil pula.”

“Nah itu makanya.”

Julia mengurut kepalanya yang terasa pening. Mendadak tubuhnya seperti melayang, rasa sakit yang dirasakan Julia saat ini semakin bertambah begitu mendengar kabar tentang atasannya yang kini sedang terbaring koma.

“Pak Mahesa pasti baik-baik saja, kan Pak?” tanya Julia seolah ingin memastikan.

“Dia pasti baik-baik saja, Jul. Kamu yang tenang, okay?”

Julia mencoba mengenyahkan pikiran buruknya, lalu mengangguk. “Iya, Pak. Kalau begitu saya kembali ke meja saya dulu, ya?”

“Oke.”

Yudhistira membiarkan Julia keluar dari ruangannya. Pun begitu dengan Antasena yang juga meninggalkan ruangannya. Kini tinggal Yudhistira seorang diri di ruangannya.

Pikirannya yang kacau, bahkan untuk sekadar membaca berkas laporannya saja, Yudhistira tidak bisa berkonsentrasi.

Pria itu lantas bangkit dari duduknya, dan bergegas menuju pantry untuk sekadar membuat kopi di sana. Tetapi, mendadak langkahnya terhenti begitu tatapannya kini tertuju pada Julia yang tengah…

“Jul?” Yudhistira seketika membelalak, dan cepat-cepat Julia mengenakan kembali syal di lehernya. Namun terlambat bagi perempuan itu untuk menutupi segalanya lantaran Yudhistira telah melihat semuanya.

“Pak, lepaskan,” pinta Julia seketika panik.

“Nggak akan. Saya nggak akan melepaskannya sebelum saya tahu apa yang terjadi sama kamu,” ujar Yudhistira dingin.

Julia menunduk dalam-dalam. Kepalanya mendadak terasa pening. Tubuhnya tiba-tiba saja terhuyung, bersamaan dengan segalanya berubah menjadi gelap. Yudhistira dengan sigap menangkap Julia ke dalam pelukannya, seketika panik kembali menyelimutinya.

“Shit!”

Yudhistira menggendong Julia, lalu membawa perempuan itu ke ruangannya. Beruntung suasana lantai ruangannya sepi, tidak ada yang melihatnya di sana.

Di ruangan Yudhistira terdapat sofa panjang yang biasanya digunakan untuk bersantai anggota Diamond Squad. Yudhistira lantas membaringkan Julia di sana, lalu dia bingung harus melakukan apa setelah ini.

Samar sekali Yudhistira melihat memar-memar di leher Julia. Hatinya seperti baru saja dicabik-cabik, binatang macam apa yang melakukan semua itu kepada Julia?

“Jul…” Yudhistira menepuk wajah Julia dengan lembut. Pria itu baru saja hendak bangkit untuk memanggil dokter yang bertugas di kantornya sore ini, tetapi Julia sudah lebih dulu bangun dan menahan pria itu untuk tidak pergi.

“Pak…”

Yudhistira lantas menoleh dengan cepat. Pria itu lantas berdiri dengan lututnya sembari menatap lekat ke arah Julia. Atau lebih tepatnya tengah mencemaskannya.

“Jul? Apa yang kamu rasakan sekarang? Saya panggilkan dokter dulu, okay?”

Julia lantas menggeleng. “Jangan, Pak. Saya baik-baik saja.”

“Baik-baik saja gimana? Wajah kamu pucat begini, Julia!”

Dengan susah payah Julia berusaha untuk mengubah posisinya menjadi duduk, lalu menggeleng sekali lagi. “Maaf, Pak. Saya nggak bisa menepati janji saya buat nggak sakit sama Bapak.”

Ingatan Yudhistira pada kejadian seminggu yang lalu, kini kembali terngiang di kepalanya. Mendadak kepalanya terasa berat, segala pikiran buruk yang selama ini bercokol di hatinya lantas kembali menyembul ke permukaan.

“Pak…”

“Kamu sakit, Julia. Kamu harus ke dokter,” kata pria itu dengan tatapan nanar.

“Saya nggak apa-apa, Pak. Saya—”

“Buka baju kamu sekarang!” pinta Yudhistira dengan suara tercekat.

Julia yang mendengar hal itu, lantas mengangkat wajahnya dengan cepat. “Pak, Bapak mau bertindak asusila sama saya? Saya—”

Yudhistira mulai kehilangan kesadarannya. Pria itu lantas bangkit berdiri, lalu berjalan mendekati pintu ruangannya, kemudian menguncinya sebanyak dua kali.

Julia seketika membelalak. Jantungnya mendadak berdebar kencang, dia mulai ketakutan begitu melihat Yudhistira terlihat berbeda dari biasanya.

“Saya bilang, buka baju kamu, Jul!”

“Pak…”

Yudhistira tidak mengindahkan peringatan Julia. Dengan cepat pria itu memaksa Julia untuk membuka blouse yang dikenakan perempuan itu. Awalnya Julia berusaha memberontak, tetapi apa daya yang dimilikinya tidak sebanding dengan Yudhistira.

“BAPAK!”

Julia terisak begitu blouse yang dikenakannya kini sudah tak lagi beraturan dan sebagian mengekspos leher dan bahu mulusnya.

Pun begitu dengan Yudhistira yang seketika tergamam di tempatnya. Melihat ada banyak luka lebam dan sayatan di sana, sejenak membuat hati pria itu mencelos oleh sebab tak jelas.

“Jawab, Jul. Siapa yang melakukan semua ini, hm?” tanya pria itu dengan tatapan nanar.

Julia semakin terisak dengan wajahnya yang menunduk. Kedua tangannya mencengkram blouse bagian depannya yang kini sudah terkoyak akibat ulah Yudhistira. Julia mulai kelimpungan.

“Saya baik-baik saja, Pak.”

“Baik-baik saja kamu bilang?” ujar Yudhistira tak terima. “Saya menahan diri setelah sekian lama untuk tidak melakukan apa yang baru saja saya lakukan, Jul. Tapi kamu lihat sekarang, hm? Kamu bahkan nggak baik-baik saja, Julia!”

Julia menggeleng di sela isakan tangisnya.

Yudhistira terduduk lesu di lantai ruangannya, tepat di hadapan Julia yang kini tengah menangis. Kedua tangannya mengepal dengan erat. Ingin sekali pria itu murka, namun dia tidak tahu harus murka kepada siapa.

“Dia yang melakukannya, kan?” desak Yudhistira dengan cepat. “Pacar kamu yang melakukan semua ini, kan Jul?”

Sementara Julia enggan menjawabnya.

“It’s okay, Jul, kalau kamu nggak mau menjawabnya. Saya akan mencari tahu jawaban sendiri.”

“Pak!” sengal Julia tidak habis pikir dengan sikap Yudhistira. “Tolong jangan ikut campur urusan saya, Pak. Saya nggak mau timbul masalah lain.”

“Ini sudah jadi masalah, Jul. Kamu gila atau bagaimana, hah?” bentak Yudhistira murka.

Julia yang terkejut dengan suara keras Yudhistira sudah lebih dulu kehilangan kata-kata. Mulutnya tertutup dengan rapat, mencoba menghalau rasa sesak yang kini mulai menjalar di tubuhnya.

“Ini masalah pribadi saya, Pak. Bapak nggak berhak untuk ikut campur masalah saya. Tolong jangan pernah melanggar batas personal yang ada di antara saya dengan Bapak!”

“Come on, Julie Lavanya. Hubungan yang seperti itu tidak baik buat kamu.”

“Tahu apa Bapak soal baik dan tidak baik buat saya?” Julia mencoba memberanikan diri untuk menatap Yudhistira. “Ini nggak ada hubungannya sama kerjaan, Pak. Tolong Bapak juga menghargai privasi saya.”

Julia membenarkan posisi pakaiannya, lalu dia bangkit dari duduknya dan langsung bergegas meninggalkan ruangan Yudhistira detik itu juga.

Selama beberapa saat, Yudhistira diam termenung. Beberapa kali dia meraup wajahnya dengan gusar, dia bahkan mulai kebingungan dengan sikapnya terhadap Julia.

Dia tidak pernah menyangka jika luka-luka Julia yang dilihatnya tadi akan seberpengaruh itu dalam diri seorang Yudhistira. Mengingatkannya pada luka di masa lalu.

“Lo pasti sudah gila, Dhis.”

***

Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya!

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status