Share

Kenangan

Dulu, Arunika sempat berpikir jika pernikahan itu adalah sebuah kehidupan yang baru di mana di dalamnya akan ada laki-laki dan perempuan yang hidup bersama dengan bahagia. Karena menikah adalah menyempurnakan separuh agama. Menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal. Bukankah sangat indah?

Nyatanya, semua yang Arunika bayangkan sirna begitu saja. Pernikahan yang ia jalani tak seindah bayangannya selama ini. Apa mungkin, karena ia menikah tanpa melabuhkan cinta pada suaminya? Tapi, bukankah cinta akan datang seiring dengan kebersamaan? Katanya, cinta akan datang terbiasa.

Arunika menerima Mahesa sebagai suaminya karena melihat tekat laki-laki itu ketika hendak meminangnya. Arunika yang saat itu masih menjadi mahasiswa semester 3, sementara Mahesa sedang menyelesaikan sidang skripsinya.

Mahesa yang melihat Arunika sebagai gadis yang berbeda dari lainnya merasa jatuh cinta yang akhirnya benar-benar menjatuhkannya.

“Aku suka sama kamu.” Ucap Mahesa siang itu saat Arunika sedang berjalan menuju halte kampus.

Arunika menatap Mahesa aneh. Mahesa sering mengajaknya bicara saat di kantin, di lorong, bahkan di tangga, tapi tak sekalipun Arunika pedulikan. Tapi lihatlah beratap beraninya dia menyatakan cinta kepada Arunika di depan banyak mahasiswa yang berlalu lalang.

Arunika mengambil kertas dan bolpoin, menuliskan sesuatu disana, lalu menyerahkan kepada Mahesa.

“Itu alamat rumahku, jika kamu ingin mengajakku pacaran, maka datangilah kedua orang tuaku.”

Setelah menyerahkan kertas itu, Arunika menarik tangan Husna yang sejak tadi memang sedang berjalan bersamanya.

Mahesa melongo. Hei! Dia hanya ingin mengajak pacaran, bukan melamar. Astaga. Gadis macam apa yang di sukainya. Mahesa memandang teman-temannya yang menahan tawa. Setelah dirasa Arunika cukup jauh, barulah tawa mereka menggelegar membuat orang-orang di sekitar memandang mereka penuh tanya.

“Salah target kamu, Mahes!”

“Dia ingin kamu nikahi, tuh!”

“Senjata makan tuan! Semangat Mahes. Kalau lamaranmu di terima, jangan lupa traktir kita-kita, ya,”

“Sial.” Umpat Mahesa yang merasa kesal di kerjai teman-temannya.

Pada akhirnya, satu Minggu setelah Arunika memberikan alamat rumahnya, Mahesa benar-benar datang. Berkali-kali ia menarik napas lalu mengembuskannya sebelum mengetuk pintu di depannya. Setelah mengetuk pintu, Mahesa memastikan kembali penampilannya.

Mahesa menahan napas ketika pintu terbuka. Disana, berdiri seorang pria paruh baya dengan badan cukup tegap dan rambut mulai memutih. Tatapan pria yang Mahesa tebak Arunika itu menatapnya penuh teliti, dari atas hingga ke bawah.

“Assalamualaikum, Om,” Mahesa menyalami tangan pria di depannya.

“Wa’alaykumussalam.”

Mahesa sempat bergetar, sepertinya Ayah Arunika orang yang tegas.

“Silakan masuk,”

Mahesa mengikuti Ayah Arunika masuk ke dalam rumah. Tidak ada kursi di ruang tamu, hanya ada karpet permadani yang di gelar memenuhi ruangan. Di tengah karpet tersedia air mineral yang disusun di atas rak besi berbentuk kupu-kupu dan ada beberapa wadan makanan ringan.

Imam, Ayah Arunika terlebih dahulu duduk di atas karpet, lalu mempersilahkan Mahesa untuk duduk. Mahesa mengangguk patuh. Sungguh, dia merasa seperti kerbau yang di cucuk hidungnya.

“Ada perlu apa sampai datang kemari?” tanya Imam tanpa basa-basi.

“Sebelumnya, perkenalkan Om, nama saya Mahesa. Saya kakak tingkat Arunika di Kampus.”

“Ada perlu apa?”

Sebenarnya Imam merasa heran, putrinya tak pernah dekat dengan laki-laki mana pun kecuali yang menjadi mahramnya. Arunika sudah dari usia balig menjaga pergaulannya dengan lawan jenis. Imam memasukkan Arunika ke pondok pesantren khusus Puteri untuk menjaga pergaulan anaknya. Tentu saja Imam merasa heran ketika ada laki-laki dewasa yang mengaku teman anaknya datang menyambangi rumahnya.

“Sebetulnya saya ada perlu dengan Arunika, Om,” ujar Mahesa takut-takut.

“Anak saya tidak pernah saya biarkan berbicara berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Jadi, bilang saja pada saya, biar saya yang sampaikan kepada Arunika.”

Mahesa masih berusaha tetap tenang, tapi yakinlah bahwa dia sedang merasa ketar ketir.

Mahesa berdehem, “saya ingin meminta izin kepada Om, saya mau mengajak Arunika pacaran.”

Imam menegakkan punggungnya, laku tertawa mengejek.

“Pacaran?”

Mahesa mengangguk dengan kikuk.

“Apa itu pacaran?”

“I .. itu, Om,”

“Bingung kan kamu? Mau mengajak anak saya zina kamu?”

Mata Mahesa melotot. Buru-buru menggelengkan kepala, “tidak, Om!”

“Lalu?”

Diam. Mahesa hanya ingin berpacaran dengan Arunika, seperti yang ia lakukan dengan mantannya. Hanya itu. Lalu kenapa jadi ribet ketika dengan Arunika?!

“Runi!” Imam memanggil Arunika yang dari tadi tak kelihatan batang hidungnya.

“Iya?” Arunika muncul dari dalam. Masih seperti biasa, wajah itu menenangkan bagi Mahesa.

“Ambilkan Al Qur’an.”

Aruna mengangguk, kembali masuk ke dalam. Tak lama gadis yang memakai gamis sederhana dan kerudung pink itu kembali dengan sebuah Al Qur’an besar yang berada di tangan kanannya. Imam menerima Al Qur’an yang di berikan oleh Arunika lalu menyerahkannya kepada Mahesa.

Mahesa menatap bingung Imam dan Al Qur’an itu secara bergantian.

“Buka surat Al Isro ayat 32 dan bacalah.”

Mahesa menelan ludahnya, “saya tidak bisa baca Al Qur’an, Om.”

“Ambillah wudu di depan, lalu bacakan saja artinya.”

Mahesa mengangguk patuh. Kembali dengan wajah basah, Mahesa mengambil Al Qur’an dari tangan Imam.

“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” Mahesa membaca dengan suara cukup keras. Lalu kembali menyerahkan Al Qur’an kepada Imam setelah selesai membaca.

“Kamu tahu, pacaran itu menjerumuskan kepada zina. Setelah pacaran, pegang-pegangan, jalan berduaan, lalu apa lagi? Banyak bayi di buang di jalanan karena hasil pacaran. Masih mau ajak pacaran Aruna kamu?”

Mahesa bergeming. Matilah dia, niat ingin memacari Aruna, malah mendapat siraman rohani dari Ayahnya.

“Aruna anak perempuan saya satu-satunya. Saya jaga dia seperti menjaga permata. Lalu kamu akan merusaknya begitu saja?!” lanjut Imam.

Aksara dan Arunika adalah kehormatannya. Imam memang mengajarkan kedua anaknya dengan pendidikan sesuai aturan agama. Tidak pernah sekalipun menjuruskan kepada hal batil. Sebagai mana Imam menjaga Arunika, begitu juga ia terapkan pada Aksara, kakak laki-laki Arunika.

“Jadi, kamu paham maksud pembicaraan saya?”

Mahesa mengangguk, “paham, Om. Om tidak memberi izin saya untuk pacaran dengan Arunika.”

Mahesa tersentak deringan ponselnya berbunyi nyaring. Ah, berapa lama dirinya melamun? Mengingat masa itu merupakan hal yang menyenangkan untuk Mahesa.

Layar di ponsel tertera nama Dania.

“Ya?” Mahesa menjawab malas.

“Aruna jatuh, tolong segera jemput kami di taman.” Tanpa menunggu jawaban Mahesa, Dania menutup sambungan.

Gegas Mahesa menuju Taman yang Dania dan Aruna biasa tandangi. Lokasinya tak jauh dari perumahan mereka. Mahesa mengendarai mobil dengan sedikit tergesa-gesa karena mengkhawatirkan putri semata wayangnya.

Sampai di taman, pandangan Mahesa menyusuri setiap sudut taman. Matanya menemukan sosok Dania yang sedang mendiamkan Aruna dalam gendongannya. Mahesa menghampiri mereka dengan sedikit berlari. Hingga jarak mereka mulai menipis, Mahesa menghentikan langkah kakinya. Disana. Sebelah Dania ada wanita yang begitu ia rindukan. Wanita yang tak sengaja bertemu dengannya tadi di kafe. Pandangan Mahesa tertuju pada anak laki-laki di sebelah Arunika. Usianya sekitar 5 tahun.

Dengan hati-hati, Mahesa mendekat ke arah mereka. Semangat tatapannya tak lepas dari bocah kecil di samping mantan istrinya itu. Pikirannya kalut. Berbagai macam dugaan muncul dalam benaknya.

“Papa!” tatapan Mahesa beralih pada Aruna. Wajah gadis itu memerah dan basah dengan air mata.

Dania dan Arunika menatap laki-laki itu bersamaan. Sadar tatapan matanya bertabrakan dengan mata Mahesa, Arunika buru-buru memalingkan wajahnya, lalu menggandeng Tama untuk pergi dari sana.

“Tunggu!” seru Mahesa mencegah Arunika pergi.

“Apakah dia anak kamu, Run?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status