Mahesa bergeming. Tatapannya kosong meski di depannya Aruna yang sedang berenang berteriak memanggilnya untuk bergabung. Ingatannya masih pada anak laki-laki yang bersama dengan Arunika beberapa hari lalu. Beribu pertanyaan dalam kepala terus berputar. Apakah Arunika mempunyai anak ketika bersamanya dulu? Bukankah dulu mereka bersepakat untuk menunda momongan hingga Arunika lulus kuliah? Persyaratan itu Arunika ajukan ketika dirinya melamar wanita itu.
Seperti benang kusut, Mahesa sedang tak bisa berpikir jernih. Jika memang bocah kecil itu anaknya, bukankah akan menjadi lebih baik untuk mereka kembali berhubungan?Sayangnya, Arunika pergi begitu saja ketika ia melontarkan pertanyaan itu. Ketika hendak mengejar Arunika, dirinya mendapatkan tatapan tajam dari istrinya. Ya, dia masih mempunyai istri dan anak yang saat itu tengah terluka karena jatuh dari perosotan. Sebenarnya, luka yang Aruna alami tak terlalu parah, hanya lecet. Tapi, Dania begitu berlebihan menanggapinya.“Papa!” Aruna kembali berteriak.Mahesa masih bergeming hingga Dania yang mendengar Aruna berteriak, datang menghampiri. Tadinya, dia sedang menyiapkan makan siang untuk mereka bertiga, tapi setelah mendengar anaknya yang berteriak-teriak, segera menunda masakkannya.“Kenapa, Sayang?” Dania bertanya pada Aruna yang masih asik dengan pelampung bebeknya.“Aruna panggil Papa, Ma,” anak itu mulai merengek. Dania menatap suaminya yang masih diam saja. Mengembuskan nafas berat, Dania menghampiri Mahesa. Ditepuknya punggung lelaki itu cukup keras, membuat Mahesa melonjak kaget.“Kamu tidak dengar, kalau Aruna dari tadi memanggil?”Mahesa mencebik menatap Dania kesal, lalu beralih menatap putrinya.“Papa, ayo main.” Pinta Aruna lagi. Kali ini Mahesa merespons anak. Membuka kaos yang melekat pada tubuhnya lalu menceburkan diri ke kolam. Sepertinya berenang membuat pikirannya sedikit mendingin.Dania masih memperhatikan dua orang yang sedang bergurau di kolam. Hatinya nyeri menerima sikap Mahesa yang seolah menganggapnya tak ada. Mereka masih tinggal bersama, hanya tak lagi tidur di kamar yang sama. Mahesa memilih tidur di kamar tamu, sementara dirinya terkadang tidur sendiri atau tidur bersama dengan Aruna di kamar gadis kecilnya.Sebetulnya, beberapa hari yang lalu ketika Aruna terjatuh, bisa saja dia mendiamkan Aruna sendiri. Namun egonya ingin melihat bagaimana reaksi suaminya ketika bertemu dengan mantan istrinya itu. Ternyata terlihat nyata di mata Mahesa kalah laki-laki itu masih menyimpan rindu. Tatapan saat melihat Arunika tak dapat berbohong. Apalagi ketika melihat anak lelaki yang bersama Arunika, jelas terlihat Mahesa masih mengharapkan wanita itu.Dania tak terima. Dulu, ia begitu bangga mendapatkan kembali cinta yang telah lama terjalin. Ia masih mencintai Mahesa saat ia pergi berobat keluar negeri karena sakit yang ia derita. Ia tak mau membuat Mahesa khawatir tentang keadaannya dulu. Berharap Mahesa masih menunggunya, tapi pernyataan lelaki itu sungguh bak petir yang menyambar di siang hari yang cerah.Laki-laki itu telah mendapatkan penggantinya. Tadinya, Dania sempat berhenti berharap kepada Mahesa, namun lelaki itu datang dengan membawa segudang harapan. Perhatiannya, perlakuannya kepada dirinya masih sama. Tak pernah Dania berpikir kalau ternyata Mahesa telat menikah dengan perempuan lain. Lebih baik dia tak bertemu dengan Mahesa setelah kembali, daripada ia mengalami sakit hati kedua kalinya.“Dulu, aku terpaksa meninggalkan kamu karena aku sakit. Aku berjuang dengan sakitku sendiri tanpa ingin membuatmu khawatir. Memang salahku yang tak pernah memberi tahu tentang kondisiku saat itu, tapi kali ini kamu datang dengan menawarkan cinta yang baru, lalu kamu akan meninggalkanku begitu saja? Apa kamu sengaja membalas perbuatanku dulu, Esa?”Dania ingat percakapan terakhir mereka hingga Mahesa memutuskan kembali pada istrinya. Dania meratap. Seolah di permainkan oleh Mahesa. Sungguh, jika tahu akhirnya akan begini, Dania memilih tidak menyambut perasaan lelaki itu lagi.Akan tetapi, siapa yang menduga jika Arunika mengetahui rahasia antara dirinya dan Mahesa. Tanpa mereka sadari, Arunika beberapa kali melihat dan menemukan chat mesra di ponsel Mahesa. Bahkan Arunika melihat dengan kepala mata sendiri Dania dan Mahesa yang tengah berduaan menuju apartemen Dania.“Dia tahu,” ucap Mahesa putus asa saat datang ke apartemen Dania.Keadaannya saat itu sungguh menyedihkan. Lelaki itu datang dengan basah kuyup. Dania kembali menyambut lelaki itu, dan menampung kembali Mahesa yang tengah patah hati. Dania mengobati hati lelaki itu seperti ia mengobati hatinya. Hubungan itu kembali terjalin hingga lelaki itu telah resmi bercerai dengan Arunika.Dania mengembuskan nafas berat. Ia mengira bahwa lelaki itu tetap menyayangi seperti dulu saat pertama kali berpacaran. Nyatanya, setelah menikah sebulan setelah Mahesa bercerai, lelaki itu masih belum bisa melupakan mantan istrinya. Beberapa kali Dania mendengar Mahesa menyebut nama Arunika di dalam tidurnya.“Kamu masih belum melupakannya?” Dania bertanya dengan nada mengintimidasi ketika Mahesa baru saja naik dari kolam renang.Mahesa diam. Tubuhnya yang basah, membuatnya agak menggigil. Dania lelah, sungguh. 5 tahun bukanlah waktu yang singkat dalam suatu pernikahan. Apalagi pernah bersama beberapa tahun sebelum menikah.“Dan..”“Kami yang selama lima tahun ini bersama kamu, Sa. Lupakah kamu dengan sehidup semati yang dulu pernah kita ucapkan? Wanita itu datang hanya sebentar saja, kenapa begitu memorak-porandakan hati kamu. Padahal, aku yang pertama kali datang, bukan dia.” Dania tergugu. Punggungnya bergetar menahan pilu.Mahesa memang baru setahun menjalani pernikahan dengan Arunika, namun wanita itu sudah menguasai hampir seluruh hatinya.“Tidak pernahkah sekalipun kamu menghargai perjuanganku, Sa?” Dania menatap iba.“Dan, kita pernah membicarakan ini. Keretakan hubungan kita bukan karena Arunika.”“Oh, ya?” sinis Dania. “Lalu? Kamu yang hampir setiap malam menyebut namanya dalam tidurmu. Kamu yang selalu diam-diam menghampiri rumah bekas mantan kamu itu, apa itu namanya?”Mahesa mengacak rambutnya frustrasi. Dania terlalu banyak menuntut darinya, berbeda sekali dengan Arunika yang selalu terlihat dewasa, walaupun usianya lebih muda.“Biarkan aku mengganti pakaianku, lalu kita kembali bicara.” Ucap Mahesa dingin. “Uruslah Aruna. Sudah terlalu lama dia berenang.”Dania menatap punggung Mahesa yang mulai menghilang di balik pintu. Menarik nafas banyak, memasokkan udara ke dalam dadanya yang terasa sesak. Dania menghapus sisa air matanya, kembali bersikap biasa saja di depan anaknya. Tak ingin Aruna mengalami hal yang sama sepertinya dulu, Dania berusaha semaksimal mungkin mempertahankan rumah tangganya kembali utuh meskipun hatinya sudah lelah.“Aruna, ayo naik.”“Aku masih mau main, Ma.”“Sudah terlalu lama, Sayang. Ayo.”Aruna akhirnya menuruti perintahnya walaupun dengan wajah di tekuk dan bibir sedikit manyun. Dania tersenyum gemas mengekori Aruna masuk ke dalam bilik kamar mandi.“Mama akan perjuangkan hak kamu, Sayang. Mama tak ingin kamu mengalami hal sama seperti Mama dulu. Hidup di dalam keluarga yang rusak. Kamu berhak bahagia. Kamu penguat Mama. Dan kamu yang akan membuat Mama dan Papa kembali seperti dulu.”Bersikap tenang terhadap masalah, bukan berarti Arunika tak berbuat apa-apa. Sejak kedatangannya ke kota ini, seakan ingatannya dikembalikan kepada 5 tahun lalu. Bukan karena belum melupakan, Arunika bukan tipe orang yang berlarut dalam masalah, justru masalah yang membuatnya akan lebih bersikap dewasa. Arunika menghirup aroma kopi di depannya. Harum dan menenangkan. Entahlah, dia juga tak paham sejak kapan menjadi penyuka kopi. Dulu, ketika masih remaja, Arunika sering di minta tolong membuatkan kopi untuk Aksara dan Kalandra ketika berkumpul di rumahnya. Arunika tak suka rasa kopi yang pahit. “Aku masih tidak menyangka kamu banyak berubah, Na.” Ucap Arunika kepada Hasna, teman satu kampusnya dulu sebelum kepindahannya ke Yogya.“Kamu tidak pernah memberi kabar,” Hasna merengut. Arunika memegang tangan Hasna sambil tersenyum. “Alhamdulillah, bukankah sekarang kita sudah bertemu? Aku senang kamu sudah menikah.”Hasna tersenyum malu. Dulu, mereka begitu akrab. Bak anak kembar, merek
“Arunika?!”“Kak Mayra?”Keduanya sama-sama terkejut. Mayra menghambur ke pelukan mantan istri adiknya itu. Melepas rindu yang selama bertahun-tahun terpendam. Arunika terharu, ternyata mantan kakak iparnya itu masih begitu menyayanginya. Dulu, Mayra yang menjadi garda terdepan membelanya ketika Mahesa ketahuan mempunyai wanita lain di belakang Arunika. Menghiburnya dikala sedih, Mayra pula yang sempat membujur Arunika untuk tidak meninggalkan Mahesa dan meminta memaafkan adiknya itu. “Apa tidak bisa di perbaiki lagi hubungan kalian, Run?” tanya Mayra yang masih membujuk Arunika tak menggugat Mahesa kala itu.Arunika menggeleng, “maaf, Kak. Dari awal sebelum menikah, aku telah mengajukan syarat dan Mahesa telah menyetujuinya. Kami sudah tanda tangan di atas materai.”“Kak Mayra apa kabar?” Arunika melepaskan pelukannya. “Ini?” tatapannya tertuju pada Sandy, anak kedua Mayra.“Ini Sandy, anak kedua Kakak. Alhamdulillah kakak baik, Run.”Arunika mengangguk. “Silakan duduk, Kak.”Mayra
Mahesa tertegun melihat postingan instagram milik Mayra. Foto Mayra dengan Arunika berlatar sebuah kafe yang ia lumayan hafal tempatnya. Ternyata Mayra telah bertemu dengan mantan istrinya. Mahesa menekan tombol love pada postingan, lalu melihat foto yang ternyata sudah di tandai dengan akun Instagram Arunika. Ia menekan profil wanita itu, ternyata di privasi. Tangan itu menekan menu “Follow” yang tertera disana. Mahesa mengingat ketika dulu datang mengajak pacaran Arunika, dia di tolak mentah-mentah oleh ayah wanita itu. Malah ia mendapat siraman rohani dan di ajak bertobat. Besoknya, ia di tertawakan oleh teman-temannya. Tak sampai di sana, tekad Mahesa untuk memiliki Arunika masih sangat menggebu. Satu Minggu setelah penolakan dia datang kembali ke rumah Arunika. “Ada apa lagi datang kemari?” tanya Imam kala itu ketika Mahesa datang lagi ke kediamannya. “Jika memang saya tak di perbolehkan pacaran dengan Arunika, saya sekarang datang berniat untuk melamar, Om.”Imam mengembuskan
Arunika membuka media sosialnya. Banyak notifikasi yang masuk, perizinan untuk mengikuti akunnya dan juga beberapa DM yang masuk. Giandara Mahesa ingin mengikuti Anda.Arunika memilih mengabaikannya. Ia tak mau perasaannya terganggu gara-gara lelaki itu. Lalu jarinya dengan cekatan melihat DM yang masuk, lalu menekan satu nama tertera disana.Dania. Apakah kalian telah bersekongkol untuk merebut Mahesa dari kami? Ingat Arunika, kalian telah lama bercerai, tak ada sedikit pun celah untuk masuk ke dalam rumah tanggaku.Senyum sinis tersungging dari bibirnya. Tak ada niat sedikit pun, Arunika keluar dari aplikasi itu. Tak ada untung baginya berhubungan dengan orang-orang yang telah menyakitinya dulu. Baginya, yang terpenting sekarang adalah bagaimana ia tetap bersikap tenang. Setelah ini ia yakin, Dania akan sering mengirimnya pesan lewat aplikasi itu. Begitu takutkah ia? Tak ingatkah dia dulu yang mengambil Mahesa dari sisinya? Ah, bukan. Lebih tepatnya mereka sama. Sampah memang coco
Arunika memijat pelipisnya. Di depannya seorang ibu dengan anak balita yang masih berusia 2 tahun. Ibu itu mengeluh ketika anaknya sama sekali tidak mau makan, tetapi minum susu hingga enam botol Lebih.“Ibu, untuk anak usia 1 tahun, yang utama itu adalah makanan, bukan lagi susu.”“Tapi anak saya tidak mau makan, Dok.”“Itu karena anak Ibu terlalu kenyang dengan susu. Apalagi Ibu memberikan susu cokelat. Kandungannya tak lagi susu murni loh, Bu. Malah lebih banyak gula yang terkandung di dalamnya, itulah kenapa anak Ibu lebih cepat kenyang minum susu.”“Anak saya kalau tak di kasih mengamuk, Dok.”“Anak Ibu masih kecil, Loh. Masih bisa Ibu kontrol untuk makan, tidur dan lainnya. Anak yang harus mengikuti ibunya, bukan malah sebaliknya. Kuncinya itu ada pada Ibu sendiri, harus tegas dan konsisten memberi asupan makan yang baik untuk anak Ibu.”“Bagaimana ya, Dok. Anak saya selalu melepeh makanan, tidak mau mengunyah.”“Sedikit saya jelaskan ya, Bu. Anak itu mempunyai beberapa motorik.
Mahesa berkali-kali memukul setir mobilnya. Segala umpatan keluar dari mulutnya. Ia tak terima. Sungguh. Penyesalan itu hinggap di hatinya begitu dalam. Apa lagi tadi Aksa berbicara tentang jodoh Arunika? Hah! Dia benar-benar kesal. Seharusnya Arunika memberinya kesempatan kedua. Seharusnya ia lebih berhak untuk kembali pada wanita itu. Bukankah dulu mereka pernah satu ranjang, bahkan pernah bersama di bawah selimut. Egonya menolak Arunika dekat dengan lelaki mana pun. Mahesa membunyikan klakson berkali-kali. Berharap mobil di depannya segera melaju. Bukankah sudah lampu hijau? Lama sekali. Mahesa membunyikan klakson lagi dengan tak sabar. Umpatan demi umpatan keluar dari mulutnya. Nafasnya kembali lega ketika mobil di depannya mulai berjalan. Dengan tak sabar, Mahesa menginjak pedal melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. “Ada apa?” tanya Mayra melihat kedatangan adiknya dengan wajah memerah menahan amarah. “Kakak tahu kalau Arunika sudah punya penggantiku?” Mayra mengernyit,
Arunika menatap langit senja dari balik balkon ruang praktiknya. Ruang praktiknya tak terlalu besar, namun cukup nyaman untuk di jadikan tempat bersantai. Jadwal praktiknya sudah habis, namun ia masih ingin sekadar duduk disana menikmati senja yang sebentar lagi akan pergi. Ia tak menampik, bahwa segala sesuatu yang terjadi pada hidupnya sudah menjadi jalan takdir yang di tetapkan oleh Allah.Berkali-kali dia menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Tak bisa di ingkari, terkadang ia menyesal. Bagaimana tidak, hidupnya jadi serumit ini. “Astagfirullah,” lirih Arunika. Bukankah dia harus ikhlas menerima takdir? Walaupun terkadang seolah takdir itu mempermainkannya. Dulu, dia pernah memimpikan pernikahan yang indah seperti kedua orang tuanya. Kisah yang sama pula terjadi dengan kakaknya, Aksara. Hanya bedanya, Rinjani, istri Aksara meninggal. Sedangkan nasibnya tragis karena menjanda karena di selingkuhi. Arunika melirik jam yang melingkar di pergelangan ya tangannya. Sudah menjel
Arunika menatap kedua tamunya dengan tatapan sendu. Tak pernah ia duga jika kedua orang tua yang pernah ia anggap seperti kedua orang tuanya itu akan mendatanginya seperti ini. Tatapan sendu tampak pula dari netra kedua orang di depannya. Ridwan dan Ratri, kedua orang tua Mahesa itu tengah duduk di ruang tamu rumahnya.“Maafkan kami ya, Run.” Ucap Ratri sembari menyeka ujung matanya. Rasa bersalah hinggap di dada kedua orang tua Mahesa terhadap apa yang di lakukan oleh anaknya di masa lalu.“Apa Mahesa mengganggu kamu sekarang, Nak?” tanya Ridwan hati-hati.Arunika menggeleng. Ia tak ingin menjadi beban pikiran untuk kedua orang tua Mahesa. Apalagi dia melihat tubuh Ridwan yang tak sebugar dulu. “Tidak, Pa.” “Mahesa sempat cerita kalau bertemu dengan kamu. Betul, Run?”Arunika mengangguk, “tak apa, Ma. Hanya sekedar ngobrol biasa.”“Mama hanya takut anak itu mengganggu kamu. Pernikahannya sedang tidak baik-baik saja. Mungkin ini karma buat Mahesa karena dulu telah menyakiti kamu.”