Arunika memijat pelipisnya. Di depannya seorang ibu dengan anak balita yang masih berusia 2 tahun. Ibu itu mengeluh ketika anaknya sama sekali tidak mau makan, tetapi minum susu hingga enam botol Lebih.“Ibu, untuk anak usia 1 tahun, yang utama itu adalah makanan, bukan lagi susu.”“Tapi anak saya tidak mau makan, Dok.”“Itu karena anak Ibu terlalu kenyang dengan susu. Apalagi Ibu memberikan susu cokelat. Kandungannya tak lagi susu murni loh, Bu. Malah lebih banyak gula yang terkandung di dalamnya, itulah kenapa anak Ibu lebih cepat kenyang minum susu.”“Anak saya kalau tak di kasih mengamuk, Dok.”“Anak Ibu masih kecil, Loh. Masih bisa Ibu kontrol untuk makan, tidur dan lainnya. Anak yang harus mengikuti ibunya, bukan malah sebaliknya. Kuncinya itu ada pada Ibu sendiri, harus tegas dan konsisten memberi asupan makan yang baik untuk anak Ibu.”“Bagaimana ya, Dok. Anak saya selalu melepeh makanan, tidak mau mengunyah.”“Sedikit saya jelaskan ya, Bu. Anak itu mempunyai beberapa motorik.
Mahesa berkali-kali memukul setir mobilnya. Segala umpatan keluar dari mulutnya. Ia tak terima. Sungguh. Penyesalan itu hinggap di hatinya begitu dalam. Apa lagi tadi Aksa berbicara tentang jodoh Arunika? Hah! Dia benar-benar kesal. Seharusnya Arunika memberinya kesempatan kedua. Seharusnya ia lebih berhak untuk kembali pada wanita itu. Bukankah dulu mereka pernah satu ranjang, bahkan pernah bersama di bawah selimut. Egonya menolak Arunika dekat dengan lelaki mana pun. Mahesa membunyikan klakson berkali-kali. Berharap mobil di depannya segera melaju. Bukankah sudah lampu hijau? Lama sekali. Mahesa membunyikan klakson lagi dengan tak sabar. Umpatan demi umpatan keluar dari mulutnya. Nafasnya kembali lega ketika mobil di depannya mulai berjalan. Dengan tak sabar, Mahesa menginjak pedal melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. “Ada apa?” tanya Mayra melihat kedatangan adiknya dengan wajah memerah menahan amarah. “Kakak tahu kalau Arunika sudah punya penggantiku?” Mayra mengernyit,
Arunika menatap langit senja dari balik balkon ruang praktiknya. Ruang praktiknya tak terlalu besar, namun cukup nyaman untuk di jadikan tempat bersantai. Jadwal praktiknya sudah habis, namun ia masih ingin sekadar duduk disana menikmati senja yang sebentar lagi akan pergi. Ia tak menampik, bahwa segala sesuatu yang terjadi pada hidupnya sudah menjadi jalan takdir yang di tetapkan oleh Allah.Berkali-kali dia menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Tak bisa di ingkari, terkadang ia menyesal. Bagaimana tidak, hidupnya jadi serumit ini. “Astagfirullah,” lirih Arunika. Bukankah dia harus ikhlas menerima takdir? Walaupun terkadang seolah takdir itu mempermainkannya. Dulu, dia pernah memimpikan pernikahan yang indah seperti kedua orang tuanya. Kisah yang sama pula terjadi dengan kakaknya, Aksara. Hanya bedanya, Rinjani, istri Aksara meninggal. Sedangkan nasibnya tragis karena menjanda karena di selingkuhi. Arunika melirik jam yang melingkar di pergelangan ya tangannya. Sudah menjel
Arunika menatap kedua tamunya dengan tatapan sendu. Tak pernah ia duga jika kedua orang tua yang pernah ia anggap seperti kedua orang tuanya itu akan mendatanginya seperti ini. Tatapan sendu tampak pula dari netra kedua orang di depannya. Ridwan dan Ratri, kedua orang tua Mahesa itu tengah duduk di ruang tamu rumahnya.“Maafkan kami ya, Run.” Ucap Ratri sembari menyeka ujung matanya. Rasa bersalah hinggap di dada kedua orang tua Mahesa terhadap apa yang di lakukan oleh anaknya di masa lalu.“Apa Mahesa mengganggu kamu sekarang, Nak?” tanya Ridwan hati-hati.Arunika menggeleng. Ia tak ingin menjadi beban pikiran untuk kedua orang tua Mahesa. Apalagi dia melihat tubuh Ridwan yang tak sebugar dulu. “Tidak, Pa.” “Mahesa sempat cerita kalau bertemu dengan kamu. Betul, Run?”Arunika mengangguk, “tak apa, Ma. Hanya sekedar ngobrol biasa.”“Mama hanya takut anak itu mengganggu kamu. Pernikahannya sedang tidak baik-baik saja. Mungkin ini karma buat Mahesa karena dulu telah menyakiti kamu.”
Arunika terdiam menatap Ratri. Jika kakaknya, Aksara masih berada di sini pasti akan naik darah. Untung saja Aksara dan Mahira telah kembali ke Yogya tadi pagi. Ada tatapan memohon di kedua mata Ridwan dan Ratri. Arunika menarik napas dalam, laku mengembuskannya perlahan.“Dulu, Arunika pernah membuat kesalahan dengan menilai seseorang hanya dari perjuangannya. Runi kira ketika orang itu berani berjuang dan berkorban untuk orang lain, maka ia akan serius dan konsisten dengan segala apa yang ia perjuangkan. Namun ternyata Runi terkecoh. Runi merasa di tipu. Setelah ia mendapatkan apa yang ia mau, ia tinggalkan. Maaf Ma, Runi bukan mainan.”“Tak adakah kesempatan kedua, Nak?” tanya Ratri sedikit memaksa. Jujur saja dia merasa kecewa dengan jawaban Arunika. Bukankah setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan kedua? Ridwan menyentuh lengan Ratri memperingati.“Runi mencari lelaki yang takut kepada Allah dan yang dapat menjaga ucapannya yang telah ia ikrarkan di hadapan Allah. Maafkan R
Mahesa menyesap ujung rokok di sela bibirnya. Asap mengepul keluar setelahnya. Menatap Dania yang sedang merapikan rambut sebahunya yang tertiup angin. Ada perasaan aneh yang menjalar. Bukan perasaan kagum, tapi Mahesa tak bisa mengungkapkannya.“Maaf,” ucapnya lirih. Dania memandangnya bingung. Tatapan Mahesa masih lurus ke arah mentari yang mulai kembali ke peraduannya.“Soal?” Dania tak paham. Mengapa setelah sekian lama mereka tak memadu kasih, Mahesa malah terlihat menyesal setelah melakukannya.“Maaf aku tak bisa mengontrolnya.”Dania paham. Sepertinya memang Mahesa telah menyesal telah tidur dengannya. Dania tersenyum sinis. Bukankah mereka masih sepasang suami istri? Lalu kenapa Mahesa merasa berdosa. Senista itukah dirinya?“Kamu menyesal karena apa? Tidur dengan ku atau menyebut nama wanita itu setelah pelepasan?” sinis Dania. Mahesa diam enggan membahas. Ia bahkan tak sadar jika yang ia sebut namanya malam itu adalah mantan istrinya, bukan istrinya. Ekspresi Dania seolah
Arunika menatap tajam sosok yang mencegatnya di lobi rumah sakit saat ia hendak pulang. Tatapan tak kalah tajam tercetak jelas di mata Mahesa. Beberapa orang yang tengah berlalu lalang memperhatikan mereka penuh tanya. Tak ingin ikut campur, mereka hanya melihat lalu pergi. Seolah lelah dengan kehadiran lelaki yang sudah menjadi mantan suaminya itu, Arunika berusaha bersikap netral, tak menampilkan emosi pada wajahnya.“Aku ingin bicara.” Gumam Mahesa dengan penekanan.“Bicaralah.” Ujar Arunika.Mahesa menatap sekeliling, “tidak di sini.”Arunika mengangguk. Lalu mendahului Mahesa menuju pintu keluar. Di sebelah kanan gedung rumah sakit ada sebuah kafe. Arunika menuju kafe itu yang memang terlihat lenggang. Sengaja mengambil meja dekat dengan pintu masuk, Arunika terlebih dahulu menjatuhkan bokongnya di atas kursi dan di susul Mahesa duduk di depannya.“Kamu mau pesan sesuatu?” tanya Arunika basa basi saat melihat ketegangan di raut wajah Mahesa. “Terserah.” Ucap Mahesa acuh.“Oke.”
“Mas!” seru Arunika sembari berlari kecil mengejar langkah panjang Kalandra.“Mas Kala!” Panggilnya lagi, namun Kalandra masih mengayunkan kakinya dan tak mengindahkan panggilannya.“Mas Kala!” Seru Arunika untuk ketiga kalinya, sembari mengejar lelaki itu.Arunika melepas sebelah kiri sepatu pantofelnya lalu melemparkannya pada Kalandra.“Aduh!” pekik Kalandra memegang bekalang kepalanya.Tepat sasaran. Sepatu itu mendarat dengan mulus di kepala bagian belakang lelaki itu dan membuat Arunika tersenyum puas. Tentu saja hanya pada Kalandra ia berani berbuat seperti itu. Kalandra menghentikan langkahnya. Mengambil sepatu sebelah kiri milik Arunika lalu menghadap perempuan yang sedari tadi mengejarnya, lalu menatap Arunika tajam.“Tidak sopan?!” gumamnya.“Apa fungsi pendengaran Mas Kala terganggu, sehingga aku panggil tak mendengar?” tanya Arunika dengan nada kesal. Arunika berjalan mendekat ke arah Kalandra, hendak mengambil sepatunya. Arunika meraih sepatu yang ada dalam genggaman