Arunika menatap kedua tamunya dengan tatapan sendu. Tak pernah ia duga jika kedua orang tua yang pernah ia anggap seperti kedua orang tuanya itu akan mendatanginya seperti ini. Tatapan sendu tampak pula dari netra kedua orang di depannya. Ridwan dan Ratri, kedua orang tua Mahesa itu tengah duduk di ruang tamu rumahnya.“Maafkan kami ya, Run.” Ucap Ratri sembari menyeka ujung matanya. Rasa bersalah hinggap di dada kedua orang tua Mahesa terhadap apa yang di lakukan oleh anaknya di masa lalu.“Apa Mahesa mengganggu kamu sekarang, Nak?” tanya Ridwan hati-hati.Arunika menggeleng. Ia tak ingin menjadi beban pikiran untuk kedua orang tua Mahesa. Apalagi dia melihat tubuh Ridwan yang tak sebugar dulu. “Tidak, Pa.” “Mahesa sempat cerita kalau bertemu dengan kamu. Betul, Run?”Arunika mengangguk, “tak apa, Ma. Hanya sekedar ngobrol biasa.”“Mama hanya takut anak itu mengganggu kamu. Pernikahannya sedang tidak baik-baik saja. Mungkin ini karma buat Mahesa karena dulu telah menyakiti kamu.”
Arunika terdiam menatap Ratri. Jika kakaknya, Aksara masih berada di sini pasti akan naik darah. Untung saja Aksara dan Mahira telah kembali ke Yogya tadi pagi. Ada tatapan memohon di kedua mata Ridwan dan Ratri. Arunika menarik napas dalam, laku mengembuskannya perlahan.“Dulu, Arunika pernah membuat kesalahan dengan menilai seseorang hanya dari perjuangannya. Runi kira ketika orang itu berani berjuang dan berkorban untuk orang lain, maka ia akan serius dan konsisten dengan segala apa yang ia perjuangkan. Namun ternyata Runi terkecoh. Runi merasa di tipu. Setelah ia mendapatkan apa yang ia mau, ia tinggalkan. Maaf Ma, Runi bukan mainan.”“Tak adakah kesempatan kedua, Nak?” tanya Ratri sedikit memaksa. Jujur saja dia merasa kecewa dengan jawaban Arunika. Bukankah setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan kedua? Ridwan menyentuh lengan Ratri memperingati.“Runi mencari lelaki yang takut kepada Allah dan yang dapat menjaga ucapannya yang telah ia ikrarkan di hadapan Allah. Maafkan R
Mahesa menyesap ujung rokok di sela bibirnya. Asap mengepul keluar setelahnya. Menatap Dania yang sedang merapikan rambut sebahunya yang tertiup angin. Ada perasaan aneh yang menjalar. Bukan perasaan kagum, tapi Mahesa tak bisa mengungkapkannya.“Maaf,” ucapnya lirih. Dania memandangnya bingung. Tatapan Mahesa masih lurus ke arah mentari yang mulai kembali ke peraduannya.“Soal?” Dania tak paham. Mengapa setelah sekian lama mereka tak memadu kasih, Mahesa malah terlihat menyesal setelah melakukannya.“Maaf aku tak bisa mengontrolnya.”Dania paham. Sepertinya memang Mahesa telah menyesal telah tidur dengannya. Dania tersenyum sinis. Bukankah mereka masih sepasang suami istri? Lalu kenapa Mahesa merasa berdosa. Senista itukah dirinya?“Kamu menyesal karena apa? Tidur dengan ku atau menyebut nama wanita itu setelah pelepasan?” sinis Dania. Mahesa diam enggan membahas. Ia bahkan tak sadar jika yang ia sebut namanya malam itu adalah mantan istrinya, bukan istrinya. Ekspresi Dania seolah
Arunika menatap tajam sosok yang mencegatnya di lobi rumah sakit saat ia hendak pulang. Tatapan tak kalah tajam tercetak jelas di mata Mahesa. Beberapa orang yang tengah berlalu lalang memperhatikan mereka penuh tanya. Tak ingin ikut campur, mereka hanya melihat lalu pergi. Seolah lelah dengan kehadiran lelaki yang sudah menjadi mantan suaminya itu, Arunika berusaha bersikap netral, tak menampilkan emosi pada wajahnya.“Aku ingin bicara.” Gumam Mahesa dengan penekanan.“Bicaralah.” Ujar Arunika.Mahesa menatap sekeliling, “tidak di sini.”Arunika mengangguk. Lalu mendahului Mahesa menuju pintu keluar. Di sebelah kanan gedung rumah sakit ada sebuah kafe. Arunika menuju kafe itu yang memang terlihat lenggang. Sengaja mengambil meja dekat dengan pintu masuk, Arunika terlebih dahulu menjatuhkan bokongnya di atas kursi dan di susul Mahesa duduk di depannya.“Kamu mau pesan sesuatu?” tanya Arunika basa basi saat melihat ketegangan di raut wajah Mahesa. “Terserah.” Ucap Mahesa acuh.“Oke.”
“Mas!” seru Arunika sembari berlari kecil mengejar langkah panjang Kalandra.“Mas Kala!” Panggilnya lagi, namun Kalandra masih mengayunkan kakinya dan tak mengindahkan panggilannya.“Mas Kala!” Seru Arunika untuk ketiga kalinya, sembari mengejar lelaki itu.Arunika melepas sebelah kiri sepatu pantofelnya lalu melemparkannya pada Kalandra.“Aduh!” pekik Kalandra memegang bekalang kepalanya.Tepat sasaran. Sepatu itu mendarat dengan mulus di kepala bagian belakang lelaki itu dan membuat Arunika tersenyum puas. Tentu saja hanya pada Kalandra ia berani berbuat seperti itu. Kalandra menghentikan langkahnya. Mengambil sepatu sebelah kiri milik Arunika lalu menghadap perempuan yang sedari tadi mengejarnya, lalu menatap Arunika tajam.“Tidak sopan?!” gumamnya.“Apa fungsi pendengaran Mas Kala terganggu, sehingga aku panggil tak mendengar?” tanya Arunika dengan nada kesal. Arunika berjalan mendekat ke arah Kalandra, hendak mengambil sepatunya. Arunika meraih sepatu yang ada dalam genggaman
“Aku tidak tahu, kalau ternyata dia se egois itu.” Ucap Hasna sambil menyeruput lemon tea di depannya. “Dulu, kami satu SMA.”Arunika mengernyit, “oh ya? Kamu belum pernah cerita.”“Sejak melihatmu yang mulai penasaran dengan kegigihannya dulu, aku tak berani mengatakan apa pun soal Mahesa. Aku juga sudah lama tak mengikuti kisah cinta mereka, jadi aku tak tahu juga kalau mereka ternyata dulu belum putus. Tapi yang aku tahu, Dania agak introvert karena dulu orang tuanya bercerai.”Arunika sedikit terkejut dengan ucapan Dania. Mungkin itulah sebabnya ia tak mau berpisah dengan Mahesa. Dania mungkin saja takut jika nasib Aruna sama sepertinya dulu.Hari ini Arunika libur, sehingga bisa menemui Hasna untuk sekedar bercerita. Mereka bertemu di sebuah kafe bernuansa klasik. Dinding di lapisi dengan wallpaper kayu, ada beberapa hiasan bunga dan beberapa aksesoris vintage membuat yang kafe ini terlihat nyaman. Selain itu, kafe ini juga sangat cocok untuk di jadikan background foto aplikasi I
“Dok, saya dengar Dokter Kala akan menikah. Dokter tahu?” tanya Gina sambil merapikan berkas milik pasien.Tangan Arunika menggantung di udara dengan sebuah bolpoin di sela jarinya. Begitukah? Kalandra belum cerita apa-apa padanya. Sepertinya hatinya akan patah lagi kali ini. Arunika kembali menatap berkas dengan tak minat.Arunika menggeleng. “Perawat yang lain mengira jika Dokter Kala mungkin menikah dengan Dokter Devina. Mereka sering bersama saat jam istirahat.” Papar Gina.“Oh, ya?” Arunika menanggapi acuh. Cuaca di luar mendung, tapi mengapa ia merasa sangat kegerahan. Arunika mengambil remot AC lalu mengurangi suhu ruangan. “Dokter kegerahan?” tanya Gina heran, padahal dia merasa dingin.Lagi-lagi Arunika hanya mengangguk. Jari tangannya lincah di atas keyboard ponselnya. [Apa benar Mas Kala akan menikah?]Arunika menggeleng, lalu kembali menghapus pesannya. Diketuknya lagi sesuatu di sana.[Mas Kala mau menikah?]Jarinya masih menggantung di atas ponselnya, masih bimbang a
Bunyi gemuruh petir menyelimuti langit yang sudah terlihat gelap. Sepertinya hujan akan segera turun. Arunika mengeratkan jaket hitam yang ia kenakan. Cuaca akhir-akhir ini memang lebih ekstrem, membuat imunnya mulai menurun. “Kamu mau pulang?” Arunika mengangguk. Ia hanya ingin mengabaikan Kalandra. Arunika hanya merasa pria itu mempermainkannya, atau mungkin hanya perasaannya saja yang terlalu mudah percaya diri dengan setiap perhatian pria itu. Wajar saja, Arunika seorang wanita dewasa yang pernah merajut pernikahan walaupun gagal. Ia ingin benar-benar menemukan pria yang mau menerimanya apa adanya.“Sepertinya kamu sedang kurang sehat, minum ini.” Kalandra menyodorkan beberapa bungkus vitamin di dalam kantong plastik.Arunika menatap Mahesa dengan kening berkerut, tanpa menyambut bungkusan dari Kalandra.“Aku tidak mau membuat orang lain salah paham”“Apa maksudmu?” tanya Kalandra menarik kembali tangannya yang masih tergantung di udara. Ia sungguh tak paham dengan perkataan Aru