“Aku hamil.” Mahesa terkejut dengan kedatangan Dania yang masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. Dania menyodorkan benda pipih yang tampak dua garis merah di sana. Mahesa tercekat.“Hamil?” Tanya Mahesa tak percaya.“Iya. Anakmu.”Mahesa menyugar rambutnya frustrasi. Niat untuk menceraikan Dania kini terancam gagal. Bagaimana bisa? Ia tak mengharapkan lagi anak dari Dania dengan keadaan keluarganya yang di ambang perceraian. Bahkan dia sudah menyewa pengacara.“Kamu tidak senang?” Dania memicingkan matanya.“Aku hanya...” Mahesa mengurungkan kembali perkataannya. “Hanya apa? Ini anakmu, Sa.” Desak Dania. Berbeda dengan Mahesa yang tampak tak senang dengan berita yang di sampaikan oleh istrinya, Dania justru lebih senang dengan kehadiran benih dalam perutnya. Janin itu yang akan membuat Mahesa kembali padanya, dan tentu saja lelaki itu akan berpikir dua kali untuk menceraikannya.“Dan, posisi kita sedang sama-sama sulit. Astaga.” Mahesa mengacak rambutnya kesal.“Kamu tak menginginkan an
Mahesa berjalan tergesa di lorong rumah sakit. Dia tahu jika Dania pergi meninggalkan rumah, tapi tak tahu kalau ternyata Dania menemui Rama. Setelah menitipkan Aruna pada Mayra, ia bergegas datang ke rumah sakit tempat Dania di rawat. Rumah sakit yang sangat ia kenal, tempat dimana Arunika bertugas.“Dimana?” Tanya Mahesa pada Rama yang tengah duduk di kursi panjang depan ruang rawat inap.“Dia di dalam.” Rama menatap sengit pada Mahesa. Kebenciannya muncul begitu saja melihat sosok lelaki yang dulu pernah menjadi sahabatnya itu. Mahesa melangkahkan kakinya memasuki ruangan. Di tatapnya Dania yang terbaring lemah dengan infus ditangan kirinya. Ketika Mahesa mendekat, Dania membuka matanya menatap sendu pada lelaki yang menjadi penopang hidupnya beberapa tahun belakang ini.“Bagaimana keadaannya?” Mahesa menatap perut Dania yang masih rata. Ada perasaan khawatir yang sengaja ia sembunyikan. Ia tak mau Dania lebih bergantung padanya lagi dengan posisi yang tak lagi sama seperti dulu.
Arunika memejamkan matanya. Menikmati terpaan angin yang menyapu wajah ayunya. Kerudung navy ikut beterbangan mengikuti arah angin. Sang Surya telah meninggalkan singgasananya, dan telah berganti dengan rembulan yang tampak malu-malu di balik awan yang mulai mendung. Azan berkumandang sudah 15 menit yang lalu, tapi Arunika belum juga beranjak dari duduknya. Jadwal tamu bulanan, membuatnya tak bisa melaksanakan sholat. Ada perasaan nyaman saat ia tengah sendiri, senyaman ketika pelukan Ibu menghangatkannya dikala ia ditimpa kegusaran.Arunika merasa terganggu dengan suara bising ponsel yang terus berbunyi dari dalam saku jas putihnya. Ia mendengus, seharusnya ia letakkan saja ponsel itu di ruangannya. “Assalamualaikum,” sapa Arunika dengan nada malas setelah menggeser layar ponselnya.“Kamu dimana, Run?” tanya suara di seberang sana.“Ada apa?”“Aku lihat mobilmu masih terparkir di rumah sakit. Kamu masih ada jadwal?”“Tidak.” Jawab Arunika singkat. Matanya menerawang, mengingat obrol
“Apa yang sedang kalian berdua lakukan di sini?” suara itu berhasil mengagetkan Kalandra dan Arunika.Kalandra refleks menutupi kaki Arunika yang belum tertutup sempurna dengan jasnya. Arunika merasa haru melihat perlakuan Kalandra atasnya. Ia langsung memakai kaos kakinya dan sepatunya kembali. Jendra dan Devina menatap mereka curiga. Bagaimana bisa mereka berduaan di tempat yang sepi seperti ini.“Kalian sedang apa?” Tanya Devina memicingkan matanya.“Kaki Arunika terkilir.” Ucap Kalandra santai. Menatap Arunika yang sudah kembali memakai sepatunya, ia mengambil jas yang di gunakan untuk menutup kaki wanita itu, lalu memakaikan jas itu ke tubuhnya sendiri.“Kamu bisa berdiri?” Kalandra menatap Arunika gugup.Arunika mengangguk, setelah kakinya di pijat oleh Kalandra, nyerinya sedikit berkurang. Arunika mencoba berdiri dengan susah payah, hingga akhirnya Kalandra mengulurkan tangannya.“Pegangan.”Arunika menggeleng. “Pengang lengan. Ada baju sebagai perantara. Bukankah tadi kita su
“Tidak seharusnya kalian bertengkar seperti tadi, Mas.” Kalandra melirik Arunika sebentar, lalu kembali fokus pada objek di depannya.“Kamu masih mengkhawatirkannya?”Arunika berdecak, “tak semua yang aku ucapkan berarti aku mencemaskannya, Mas.”“Oh, ya? Kamu tak mencemaskanku?”Arunika mendesah, “tentu saja cemas. Justru karena itu aku tidak mau ada keributan.”“Mantan suamimu itu benar-benar lelaki brengsek, Run. Setidaknya, bersyukurlah kamu telah terlepas dengan lelaki seperti itu.” Papar Kalandra. Tatapan Arunika menerawang, mengamati lampu jalanan yang terlihat berkelip seperti bintang. Hatinya bergejolak, bukankah memang penyesalan selalu datang di akhir cerita?Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Arunika melirik ke arah Kalandra yang masih fokus menyetir. Ada perasaan lega ketika melihat lelaki itu baik-baik saja. Apalagi tadi sempat hampir dihantam oleh Mahesa, sungguh membuat Arunika tak enak hati. “Terima kasih.” Lirih Arunika.Kalandra meliriknya, “untuk?”“Sem
Mayra menatap adiknya tajam. Hari ini, Dania sudah pulang dari rumah sakit, namun sikap Mahesa tak ada perubahan. Tetap dingin.“Perlakukanlah istrimu dengan benar, Mahes!” Seru Mayra. “Dulu kamu yang memilihnya, jangan jadi laki-laki pengecut yang kemudian menelantarkannya.”“Jika aku tak peduli dengannya, aku tak akan datang ke rumah sakit, Kak.” Mahesa mulai tersulut emosi. “Bukankah Kak Mayra tak menyukainya? Kenapa sekarang begitu membelanya?”“Dengar, Mahes.” Mayra mendekat ke arah Mahesa. “Aku perempuan. Walaupun aku tak suka dengan Dania, tapi aku masih punya perasaan. Kamu akan melakukan hal yang sama pada Dania seperti apa yang kamu lakukan dulu pada Arunika?”Mahesa meninggalkan Mayra yang meneriakinya dari dapur, memilih menenangkan diri di balkon rumahnya. Rasanya kesal sekali ketika semua orang menyalahkannya. Apa salahnya? Dia hanya berusaha untuk memperjuangkan kembali apa yang dulu pernah ia sesali. Ya. Mahesa menyesal telah menduakan Arunika. Ia hanya ingin memperbai
Arunika hampir meneteskan air matanya ketika melihat dua sosok yang sangat dirindukannya itu. Ayah dan Ibunya datang mengunjunginya. Arunika memeluk kedua orang tuanya yang berdiri di ambang pintu dengan tertatih. Walaupun sudah dipijat, tapi kakinya masih butuh pemulihan. Arunika menatap sosok di belakang kedua orang tuanya dengan tajam, sementara Kalandra hanya terkekeh.“Ini pasti ulah Mas Kala.” Sungut Arunika sebari melepas pelukannya pada Ibunya. “Padahal sudah ku bilang aku baik-baik saja. Ada Bu Harti yang membantuku.”Bu Halimah—ibu Arunika tersenyum, lalu mengelus pundak putrinya.“Tak apa, Kala hanya mengkhawatirkanmu.”“Ayo Bu, Yah, Masuk. Arunika kenalkan pada Bu Harti yang selama ini membantu Arunika di sini.”“Aku tak disuruh masuk?” tanya Kalandra dengan mengangkat kedua alisnya.“Tak usah disuruh pun kamu akan masuk, Mas.”Pak Imam dan Bu Halimah saling bertukar pandangan melihat interaksi putrinya dengan Kalandra. Mereka bersua di ruang tamu yang ukurannya jauh lebih
Arunika menyandarkan tubuhnya di balik tembok ruang tamu. Ia mendengar percakapan dua lelaki dewasa yang sedang bersua disana. Hatinya seperti teriris tatkala Ayahnya seperti memohon kepada Kalandra agar menikah dengannya. Cairan bening dari matanya hendak lolos, namun sekuat tenaga ia menahannya. Ada rasa sesak yang begitu menekan dadanya, Arunika menarik napas dalam lalu membuangnya perlahan. Memberi pasokan udara pada paru-parunya yang seolah sedang terjepit. Rasanya sangat sesak. Benar kata Ayahnya, jika ia dulu masih terlalu muda dalam mengambil keputusan. Inilah yang ia takutkan ketika gagal, rasa sakit bukan pada dirinya, tapi juga orang tuanya."Astaghfirullah." gumamnya lirih.Setelah mendengar Kalandra berpamitan pada Ayahnya, Arunika memejamkan mata sebentar. Ditariknya kembali nafas dalam dan di keluarkan perlahan agar mendapat ketenangan. Rasanya tak sanggup menatap raut wajah Ayahnya. Begitu besar rasa sayang Pak Imam kepadanya sampai mencarikan pendamping yang sekirany