“Apa yang sedang kalian berdua lakukan di sini?” suara itu berhasil mengagetkan Kalandra dan Arunika.Kalandra refleks menutupi kaki Arunika yang belum tertutup sempurna dengan jasnya. Arunika merasa haru melihat perlakuan Kalandra atasnya. Ia langsung memakai kaos kakinya dan sepatunya kembali. Jendra dan Devina menatap mereka curiga. Bagaimana bisa mereka berduaan di tempat yang sepi seperti ini.“Kalian sedang apa?” Tanya Devina memicingkan matanya.“Kaki Arunika terkilir.” Ucap Kalandra santai. Menatap Arunika yang sudah kembali memakai sepatunya, ia mengambil jas yang di gunakan untuk menutup kaki wanita itu, lalu memakaikan jas itu ke tubuhnya sendiri.“Kamu bisa berdiri?” Kalandra menatap Arunika gugup.Arunika mengangguk, setelah kakinya di pijat oleh Kalandra, nyerinya sedikit berkurang. Arunika mencoba berdiri dengan susah payah, hingga akhirnya Kalandra mengulurkan tangannya.“Pegangan.”Arunika menggeleng. “Pengang lengan. Ada baju sebagai perantara. Bukankah tadi kita su
“Tidak seharusnya kalian bertengkar seperti tadi, Mas.” Kalandra melirik Arunika sebentar, lalu kembali fokus pada objek di depannya.“Kamu masih mengkhawatirkannya?”Arunika berdecak, “tak semua yang aku ucapkan berarti aku mencemaskannya, Mas.”“Oh, ya? Kamu tak mencemaskanku?”Arunika mendesah, “tentu saja cemas. Justru karena itu aku tidak mau ada keributan.”“Mantan suamimu itu benar-benar lelaki brengsek, Run. Setidaknya, bersyukurlah kamu telah terlepas dengan lelaki seperti itu.” Papar Kalandra. Tatapan Arunika menerawang, mengamati lampu jalanan yang terlihat berkelip seperti bintang. Hatinya bergejolak, bukankah memang penyesalan selalu datang di akhir cerita?Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Arunika melirik ke arah Kalandra yang masih fokus menyetir. Ada perasaan lega ketika melihat lelaki itu baik-baik saja. Apalagi tadi sempat hampir dihantam oleh Mahesa, sungguh membuat Arunika tak enak hati. “Terima kasih.” Lirih Arunika.Kalandra meliriknya, “untuk?”“Sem
Mayra menatap adiknya tajam. Hari ini, Dania sudah pulang dari rumah sakit, namun sikap Mahesa tak ada perubahan. Tetap dingin.“Perlakukanlah istrimu dengan benar, Mahes!” Seru Mayra. “Dulu kamu yang memilihnya, jangan jadi laki-laki pengecut yang kemudian menelantarkannya.”“Jika aku tak peduli dengannya, aku tak akan datang ke rumah sakit, Kak.” Mahesa mulai tersulut emosi. “Bukankah Kak Mayra tak menyukainya? Kenapa sekarang begitu membelanya?”“Dengar, Mahes.” Mayra mendekat ke arah Mahesa. “Aku perempuan. Walaupun aku tak suka dengan Dania, tapi aku masih punya perasaan. Kamu akan melakukan hal yang sama pada Dania seperti apa yang kamu lakukan dulu pada Arunika?”Mahesa meninggalkan Mayra yang meneriakinya dari dapur, memilih menenangkan diri di balkon rumahnya. Rasanya kesal sekali ketika semua orang menyalahkannya. Apa salahnya? Dia hanya berusaha untuk memperjuangkan kembali apa yang dulu pernah ia sesali. Ya. Mahesa menyesal telah menduakan Arunika. Ia hanya ingin memperbai
Arunika hampir meneteskan air matanya ketika melihat dua sosok yang sangat dirindukannya itu. Ayah dan Ibunya datang mengunjunginya. Arunika memeluk kedua orang tuanya yang berdiri di ambang pintu dengan tertatih. Walaupun sudah dipijat, tapi kakinya masih butuh pemulihan. Arunika menatap sosok di belakang kedua orang tuanya dengan tajam, sementara Kalandra hanya terkekeh.“Ini pasti ulah Mas Kala.” Sungut Arunika sebari melepas pelukannya pada Ibunya. “Padahal sudah ku bilang aku baik-baik saja. Ada Bu Harti yang membantuku.”Bu Halimah—ibu Arunika tersenyum, lalu mengelus pundak putrinya.“Tak apa, Kala hanya mengkhawatirkanmu.”“Ayo Bu, Yah, Masuk. Arunika kenalkan pada Bu Harti yang selama ini membantu Arunika di sini.”“Aku tak disuruh masuk?” tanya Kalandra dengan mengangkat kedua alisnya.“Tak usah disuruh pun kamu akan masuk, Mas.”Pak Imam dan Bu Halimah saling bertukar pandangan melihat interaksi putrinya dengan Kalandra. Mereka bersua di ruang tamu yang ukurannya jauh lebih
Arunika menyandarkan tubuhnya di balik tembok ruang tamu. Ia mendengar percakapan dua lelaki dewasa yang sedang bersua disana. Hatinya seperti teriris tatkala Ayahnya seperti memohon kepada Kalandra agar menikah dengannya. Cairan bening dari matanya hendak lolos, namun sekuat tenaga ia menahannya. Ada rasa sesak yang begitu menekan dadanya, Arunika menarik napas dalam lalu membuangnya perlahan. Memberi pasokan udara pada paru-parunya yang seolah sedang terjepit. Rasanya sangat sesak. Benar kata Ayahnya, jika ia dulu masih terlalu muda dalam mengambil keputusan. Inilah yang ia takutkan ketika gagal, rasa sakit bukan pada dirinya, tapi juga orang tuanya."Astaghfirullah." gumamnya lirih.Setelah mendengar Kalandra berpamitan pada Ayahnya, Arunika memejamkan mata sebentar. Ditariknya kembali nafas dalam dan di keluarkan perlahan agar mendapat ketenangan. Rasanya tak sanggup menatap raut wajah Ayahnya. Begitu besar rasa sayang Pak Imam kepadanya sampai mencarikan pendamping yang sekirany
Pak Imam menatap kedua tamunya yang kini sudah berpindah duduk di ruang tamu. Ratri dan Mahesa tampak canggung dengan tatapan tajam Pak Imam yang seolah sedang menguliti mereka.“Langsung saja, apa maksud kalian datang kemari?” Tanya Pak Imam tanpa basa basi.“Kami hanya ingin menjenguk Arunika, Yah.” Mahesa menjawab.“Saya kira kamu sudah tak punya muka lagi untuk menemui anak saya.” Ucap Pak Imam sinis. “Ternyata kamu masih tak punya malu.”Arunika menyentuh tangan Ayahnya. Mahesa menunduk sedangkan Ratri tampak salah tingkah.“Semuanya kan sudah berlalu, Pak Imam. Tidak baik mengungkit yang sudah-sudah.”“Membiarkan kalian berbuat sesuka hati begitu?” sindir Pak Imam.“Yah,” Arunika kembali menyentuh lengan Ayahnya.Ratri terlihat merengut mendengar penuturan Pak Imam, sementara Mahesa hanya diam di sebelah Ibunya.“Bukankah kamu sudah menikah lagi, Mahesa?”Mahesa mengangguk, “Betul, Yah. Tapi rumah tangga kamu sedang tidak baik-baik saja.”“Sepertinya memang kamu yang bermasalah.
Pagi ini, Arunika sudah mulai kembali ke rutinitas seperti biasanya. Orang tuanya akan bertolak kembali ke Yogya sore nanti. Kakinya pun sudah terasa lebih baik dari sebelumnya, sehingga hari ini ia kembali bekerja.“Dok, banyak yang gosip berseliweran tentang Dokter Runi dan Dokter Kala.” Ucap Gina. Tangannya sibuk membereskan beberapa berkas milik pasien.“Gosip apa?” Tanya Arunika.“Banyak yang menanyakan hubungan Dokter dengan Dokter Kala.”Arunika melepas kacamatanya, menatap Gina yang terlalu berbasa-basi.“Memang apa yang mereka tanyakan?”Gina menjatuhkan bokongnya di kursi yang berseberangan dengan Arunika. Tangan kirinya menopang dagunya.“Dokter Kala dan Dokter Runi ada hubungan spesial?” tanya Gina, tangannya membentuk tanda kutip dua.“Spesial yang seperti apa yang kamu maksud? Itu kan hanya gosip.”“Gosip itu kan fakta yang tertunda, Dok.” Gina kembali menegakkan tubuhnya. “Apalagi soal kemarin Dokter Kala yang bertengkar dengan mantan suami Dokter. Heboh satu rumah saki
"Kamu mengejekku?” Arunika menaikkan sebelah alisnya.“Aku hanya sedang mencoba menyadarkanmu.” Ucap Arunika. “Hiduplah sesuai porsimu, jangan memaksakan apa yang bukan menjadi kehendakmu.”“Kamu mencoba mengguruiku?”“Tidak. Seperti yang ku bilang tadi, aku hanya menyadarkanmu.” Arunika hanya menatap lawan bicaranya sendu. Dania hanya terlalu buta untuk melihat dunia luar, sementara hidupnya terlalu tergantung pada Mahesa. Bukankah ia juga menjalin hubungan dengan Rama? Lalu mengapa ia masih mengemis seperti sekarang?Arunika menggeleng. Bukan urusannya untuk mengetahui hubungan Dania dengan Rama. Walaupun ia ingin tahu, tapi Arunika cukup paham akan posisinya.“Kamu dan Mahesa memang berjodoh. Bukankah jodoh adalah cerminan dari diri kita?” tanya Arunika. “Kamu dan dia sama-sama seperti pengemis. Mengemis untuk suatu hal yang kalian paksakan.”“Jaga bicaramu, Run.”“Lalu apa yang harus ku katakan? Kamu tahu, aku sudah sangat lelah dengan kalian yang selalu menyeretku ke dalam masa
"Polisi! Tolong panggil polisi!" Teriak Ratri.Rama menatap Ratri tajam. "Laporkan saja!" Tantang Rama. "Dan saya saya laporkan kalian yang sudah membunuh Dania dan bayinya!"Ratri membeliakkan mata. Rama memeluk jenazah Dania dengan terus memanggil nama wanita itu. Suaranya sangat pilu hingga membuat beberapa orang disana merasa iba. Ada juga beberapa yang berbisik-bisik seakan menanyakan hubungan keduanya.Arunika dan Kalandra memilih mundur dan tak ikut campur urusan mereka. Lagi pula, Arunika sudah tak ada hubungan apa pun dengan mereka, jadi biarlah mereka mengurus sendiri keributan itu.Arunika dapat melihat cinta yang besar dari mata Rama untuk Dania. Sayang sekali, Dania malah memilih cinta yang salah, dan harus berakhir dengan seperti ini. Arunika berharap pernikahannya dengan Kalandra tak akan seperti pernikahannya yang terdahulu.Arunika juga berharap dengan kejadian ini Mahesa akan sadar bahwa yang dilakukannya adalah salah, dan akan memperbaiki kelakuannya. Arunika meliri
"Mas," panggil Arunika kepada suaminya. "Dania meninggal," imbuhnya membuat Kalandra sedikit terkejut."Bayinya?"Arunika menggeleng lemah."Innalillahi wainna ilahi rooji'un.""Kita takziah kesana, ya, Mas?"Kalandra mengangguk mengiyakan ajakan wanita yang sudah menjadi istrinya itu. Mereka bersiap untuk menuju rumah Mahesa, sebelumnya menitipkan Tama terlebih dahulu kepada kedua orang tua Kalandra. "Tangan kamu dingin," ucap Kalandra ketika mereka dalam perjalanan menuju rumah duka.Arunika menatap Kalandra, "Aku hanya merasa sangat bersalah, Mas. Aku sudah mendengar dari Dania kalau kandungannya kali ini memang tak baik-baik saja. Dia sangat tertekan dengan pernikahannya."Arunika menunduk sedih. Dapat ia rasakan bagaimana rasanya menjadi Dania. Bedanya, ia tidak dalam keadaan hamil, tentu saja itu yang disyukurinya.Dania mengalami stres berat dan itu sangat bahaya untuk kandungannya, buktinya sekarang dia tak bisa bertahan. Hati Arunika mencelos mengingat anak mereka--Aruna yan
"Tolong selamatkan anakku," rintih Dania dengan peluh sudah memenuhi wajahnya.Sial. Mahesa makin panik melihat wajah Dania yang semakin memucat.Kalau saja Mahesa tahu jika sedari tadi Dania menahan nyeri diperutnya. Usia kandungannya memasuki usia delapan bulan, tapi memang kondisinya tak baik-baik saja karena ada pre-emklasia yang disebabkan stres.Harusnya Dania tak usah datang menemui Mahesa jika malah membuat janinnya dalam bahaya. Tapi, Dania masih berharap Mahesa akan meminta maaf padanya, tapi malah lelaki itu meminta kembali dengan sangat angkuh.Dania merasa terhina. Biarpun separuh hatinya masih milik Mahesa, tapi dia tak mau menjatuhkan harga dirinya berulang kali demi mendapat perhatian Mahesa. Pandangan Dania mulai mengabur, ia berusaha menarik napas dalam seperti yang dokter katakan padanya ketika kontraksi datang. Dania sering mengalami kontraksi palsu, dan dokter menyarankan agar dia tak terlalu banyak aktivitas dan banyak pikiran. "Dan, bertahanlah. Sebentar lagi
"Kamu tak datang di pernikahan mereka?" Mahesa menggeleng lemas. Dia telah kalah, untuk apa menampakkan muka lagi di depan Arunika dan keluarganya. "Aku akan kesana," ucap Dania.Mahesa menatap Dania tak percaya. "Kamu yakin?"Dania mengangguk yakin. Dia tak ada masalah sama sekali dengan Arunika. Kesalahpahaman mereka sudah selesai, jadi tak ada alasan bagi Dania untuk tak pergi ke pernikahan Arunika dan Kalandra. "Ayo, kita rujuk."Dania bergeming."Kamu dengar? Ayo, rujuk."Dania tertawa mengejek. "Setelah kamu buang, memangnya aku akan sudi kembali sama kamu?" Mahesa membeliakkan mata tak percaya dengan respon Dania. "Maaf, silakan cari wanita lain. Aku tahu kamu menjadikanku sebagai pelarian karena telah patah hati atas pernikahan Arunika.""Aku akan bertanggung jawab dengan anak itu.""Anak yang mana? Aruna anakmu, tentu saja kamu harus bertanggung jawab menafkahinya," tegas Dania.Masih saja Mahesa seenaknya sendiri. Dania pikir, Mahesa akan berubah setelah mendapat pering
Kalandra menghampiri Arunika yang tengah membaca buku di balkon kamar yang langsung berhadapan dengan laut luas. Penginapan yang mereka sewa memang terletak di atas pantai. Seperti penginapan terapung. Ada jalan terbuat dari kayu jati yang menghubungkan penginapan ini dengan daratan. “Sibuk?” tanya Kalandra membuat Arunika mengalihkan pandangannya. Menutup buku yang sedang ia baca, pandangan Arunika mengarah pada dua cangkir ditangan lelaki itu.“Kopi?”Kalandra mengangguk, lalu duduk di sebelah Arunika.“Sudah jam 9 kamu mau minum kopi, Mas?”“Sepertinya aku akan bergadang malam ini.”Arunika menatap Kalandra tak paham. “Mungkin kamu juga,” lanjutnya.Arunika menaikkan sebelah alisnya.“Bukankah tamu bulananmu sudah selesai?” Arunika tertegun. Seperti sadar apa yang dimaksud Kalandra, wanita itu segera memalingkan wajahnya dari tatapan lapar Kalandra.“Jadi ... bukankah kita butuh kopi?”Arunika tak menjawab. Jantungnya berdebar kencang.“Kenapa?” tanya Kalandra lirih membuat Aru
“Kamu tahu,” bisik Kalandra saat mereka—dirinya dan Arunika duduk di sebuah pantai. “Aku mencintaimu sejak kita tumbuh dewasa bersama,” lanjutnya sembari menatap Arunika yang juga tengah menatapnya. Wajah Arunika memerah, bukan karena malu, tapi karena cahaya matahari sore yang menyorot ke arahnya. Senja mulai kembali ke peraduannya dan mereka masih duduk di sana untuk menikmati pemandangan sore.“Aku simpan rasa itu hingga nanti datang waktu yang tepat, saat aku meminangmu dan kita menjadi halal untuk mengungkapkan perasaan satu sama lain.” Kalandra mengembuskan napas pelan. Menatap nanar pada matahari yang benar-benar mulai tenggelam di ufuk barat.“Kamu tahu,” lirihnya. “rasanya sangat menyakitkan melihatmu bersanding dengan orang lain. Aku patah hati untuk pertama kalinya.”“Kenapa kamu tak melarangku, Mas?” tanya Arunika.“Aku tak punya hak untuk itu. Memangnya siapa aku? Bahkan selama beberapa tahun kita tak saling menyapa.”“Aku berharap kamu menahanku waktu itu, Mas,” ucap A
Kalandra memegang kepala Arunika selagi Arunika masih mencium telapak tangannya. Ia berdoa dengan memegang ubun-ubun Arunika.“Allaahumma innii as-aluka khoirohaa, wa khoiro maa jabaltahaa 'alaihi, wa a'uudzu bika min syarrihaa, wa syarri maa jabaltahaa’alaihi.” (Ya Allah, sungguh aku mohon kepada-Mu kebaikan perempuan ini dan apa yang telah Engkau berikan dalam wataknya. Dan aku mohon perlindungan kepada-Mu dari kejelekan perempuan ini dan apa yang telah Engkau ciptakan dalam wataknya.)Setelah mengucapkan doa, Arunika mengangkat kepalanya. Ditatapnya Kalandra yang juga tengah menatapnya. Ada perasaan hangat di dadanya, rasa haru yang membuat ia ingin meneteskan air mata, tapi ia tahan mati-matian. “Jangan nangis, nanti make up-nya luntur.” Arunika mengingat kata Hasna yang melarangnya untuk menangis di hari bahagia ini.“Kamu terlihat sangat cantik,” ucap Kalandra membuat Arunika tertunduk malu. Seulas senyum terbit dari bibir tipis Arunika. “Sudah boleh memujimu, kan?”Arunika
Kalandra mematut dirinya di depan cermin. Jas abu dengan kemeja putih di dalamnya membuat penampilannya tampak gagah. Jendra berdiri di belakangnya dengan raut tak kalah semringah dengan Kalandra. “Akhirnya kamu yang pemenangnya.” Jendra menepung punggung Kalandra.Lelaki yang tingginya tak jauh lebih tinggi dari Kalandra itu tersenyum bangga. Setelah perjuangan Kalandra selama beberapa tahun, akhirnya lelaki itu mendapatkan buah kesabarannya.“Kamu akan menyusul segera,” hibur Kalandra.“Carikan yang seperti Arunika.”“Tidak ada lagi yang seperti dia.”Jendra mencebik. Entah, perasaannya menguap begitu saja pada Devina sejak wanita itu melakukan hal diluar batas. Jendra mengembuskan napas berat. Deviana. Bagaimana kabarnya? Terakhir bertemu beberapa hari lalu.“Kamu mengkhawatirkan Devina?” tanya Kalandra.“Sedikit.” Jendra menghempaskan bokongnya diatas kasur milik Kalandra.Ketukan pintu membuat Kalandra mengalihkan pandangannya pada kaca di depannya. “Sudah siap?” tanya wanita
Arunika mengangguk. Tak tampak keraguan sedikit pun dimatanya. Sementara Ratri merasa sedih, menantu yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri akan menjadi milik orang lain.“Kak,” Arunika memanggil Mayra. “Mohon doanya,” lanjutnya.Mayra tersenyum. Walaupun ia juga merasa sedih, Mayra lebih bisa menutupinya. Arunika berhak bahagia atas pilihannya. “Kakak mendoakan yang terbaik untukmu, Run,” ucap Mayra lirih.“Terima kasih.”____________Arunika menatap cermin di depannya. Wajah ayu dengan polesan riasan tipis, membuatnya tampak lebih cantik dari biasanya. Kebaya berbentuk gamis yang ia kenakan tampak indah membungkus tubuhnya. Persiapan yang sangat singkat.Beberapa kali Arunika mengambil napas lalu mengembuskannya. Hari yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, akhirnya ada di depan matanya. Setelah ini, ia berharap tak akan ada lagi masalah yang menderanya. Walaupun ia paham, satu hari setelah hari ini, kehidupannya akan berubah.“Bun.”Arunika mengalihkan pandangannya pada Tama