Pak Imam menatap kedua tamunya yang kini sudah berpindah duduk di ruang tamu. Ratri dan Mahesa tampak canggung dengan tatapan tajam Pak Imam yang seolah sedang menguliti mereka.“Langsung saja, apa maksud kalian datang kemari?” Tanya Pak Imam tanpa basa basi.“Kami hanya ingin menjenguk Arunika, Yah.” Mahesa menjawab.“Saya kira kamu sudah tak punya muka lagi untuk menemui anak saya.” Ucap Pak Imam sinis. “Ternyata kamu masih tak punya malu.”Arunika menyentuh tangan Ayahnya. Mahesa menunduk sedangkan Ratri tampak salah tingkah.“Semuanya kan sudah berlalu, Pak Imam. Tidak baik mengungkit yang sudah-sudah.”“Membiarkan kalian berbuat sesuka hati begitu?” sindir Pak Imam.“Yah,” Arunika kembali menyentuh lengan Ayahnya.Ratri terlihat merengut mendengar penuturan Pak Imam, sementara Mahesa hanya diam di sebelah Ibunya.“Bukankah kamu sudah menikah lagi, Mahesa?”Mahesa mengangguk, “Betul, Yah. Tapi rumah tangga kamu sedang tidak baik-baik saja.”“Sepertinya memang kamu yang bermasalah.
Pagi ini, Arunika sudah mulai kembali ke rutinitas seperti biasanya. Orang tuanya akan bertolak kembali ke Yogya sore nanti. Kakinya pun sudah terasa lebih baik dari sebelumnya, sehingga hari ini ia kembali bekerja.“Dok, banyak yang gosip berseliweran tentang Dokter Runi dan Dokter Kala.” Ucap Gina. Tangannya sibuk membereskan beberapa berkas milik pasien.“Gosip apa?” Tanya Arunika.“Banyak yang menanyakan hubungan Dokter dengan Dokter Kala.”Arunika melepas kacamatanya, menatap Gina yang terlalu berbasa-basi.“Memang apa yang mereka tanyakan?”Gina menjatuhkan bokongnya di kursi yang berseberangan dengan Arunika. Tangan kirinya menopang dagunya.“Dokter Kala dan Dokter Runi ada hubungan spesial?” tanya Gina, tangannya membentuk tanda kutip dua.“Spesial yang seperti apa yang kamu maksud? Itu kan hanya gosip.”“Gosip itu kan fakta yang tertunda, Dok.” Gina kembali menegakkan tubuhnya. “Apalagi soal kemarin Dokter Kala yang bertengkar dengan mantan suami Dokter. Heboh satu rumah saki
"Kamu mengejekku?” Arunika menaikkan sebelah alisnya.“Aku hanya sedang mencoba menyadarkanmu.” Ucap Arunika. “Hiduplah sesuai porsimu, jangan memaksakan apa yang bukan menjadi kehendakmu.”“Kamu mencoba mengguruiku?”“Tidak. Seperti yang ku bilang tadi, aku hanya menyadarkanmu.” Arunika hanya menatap lawan bicaranya sendu. Dania hanya terlalu buta untuk melihat dunia luar, sementara hidupnya terlalu tergantung pada Mahesa. Bukankah ia juga menjalin hubungan dengan Rama? Lalu mengapa ia masih mengemis seperti sekarang?Arunika menggeleng. Bukan urusannya untuk mengetahui hubungan Dania dengan Rama. Walaupun ia ingin tahu, tapi Arunika cukup paham akan posisinya.“Kamu dan Mahesa memang berjodoh. Bukankah jodoh adalah cerminan dari diri kita?” tanya Arunika. “Kamu dan dia sama-sama seperti pengemis. Mengemis untuk suatu hal yang kalian paksakan.”“Jaga bicaramu, Run.”“Lalu apa yang harus ku katakan? Kamu tahu, aku sudah sangat lelah dengan kalian yang selalu menyeretku ke dalam masa
“Arunika memang berharga untukku. Sangat berharga.”Arunika membeliakkan matanya. Tak menyangka jika Kalandra akan membelanya sedemikian rupa, atau hanya untuk menggertak Devina. Devina tak kalah terkejut. Ditatapnya mata Kalandra yang menatapnya tajam. Tak ada kebohongan di sana. Apakah artinya dia telah patah hati?“Mas Kala hanya bercanda.” Ujar Arunika tak ingin Devina lebih kecewa. “Iya kan, Mas?” Arunika menatap manik Kalandra, lalu kembali menatap Devina.Sungguh, Arunika takut jika hubungan keduanya yang ia pikir ada ‘sesuatu’ akan rusak karenanya. “Mas?” Arunika menanti jawaban Kalandra yang hanya diam.“Aku tak pernah bercanda dengan apa yang aku ucapkan, Run.”Kalandra menatap Arunika yang masih terpaku dengan ucapannya. Arunika melirik sebentar ke arah Devina yang wajahnya sudah memerah, semakin membuatnya tak enak hati.“Mas,”Devina tertawa sinis, lalu meninggalkan Arunika dan Kalandra. Jendra menyusul di belakangnya Devina, mencoba mengejar wanita itu. Sebenarnya, ad
“Tama ingin bertemu dengan neneknya,” ucap Kalandra dari sambungan telepon.Arunika melirik sebentar ke arah Bu Harti yang masih terbaring dengan beberapa alat yang menunjang organ vitalnya, lalu mengembuskan napas. “Apa tidak lebih baik Tama di rumah saja, Mas?” Tanya Arunika. “Bunda...”Arunika hampir menangis mendengar suara Tama. Rupanya ponsel Kalandra sudah berada di tangan bocah kecil itu.“Iya, Sayang,” lirih Arunika.“Tama mau lihat nenek.”Arunika menarik napas dalam. “Baiklah. Nanti ikut Om dokter, ya.”Arunika mematikan sambungan teleponnya ketika di seberang telepon Tama mengucapkan salam dengan riang. Anak itu belum paham, jika Neneknya sedang berjuang untuk tetap hidup.Dokter yang menangani Bu Harti menyuruh agar Bu Harti tetap di ajak komunikasi, namun tubuh Bu Harti tetap tak merespons apa pun.“Bu, Tama akan datang menjenguk,” ucap Arunika. Tangannya mengelus jemari Bu Harti yang sudah keriput termakan usia.“Bangun, Bu. Kasihan Tama.”Arunika menarik napas dalam.
Kalandra memarkirkan mobil Arunika di halaman rumah wanita itu. Arunika turun lebih dahulu untuk mengangkat Tama, namun Kalandra yang sudah berdiri di belakang Arunika menyela. Arunika diam saja ketika Kalandra menggendong Tama masuk ke dalam rumah. Menatap punggung Kalandra yang mulai hilang dibalik pintu rumah.“Aku serius tentang calon istriku yang tadi kamu lihat.” Bisiknya sebelum melenggang masuk ke dalam rumah.Astaga. Kalandra pasti akan menertawakan wajahnya yang terlihat semerah tomat. Arunika memegang dadanya yang berdetak lebih kencang dari sebelumnya, dan senyum yang terbit dari bibirnya.“Kamu mau berdiri di sana terus?” tanya Kalandra dari pintu.Sadar masih berdiri di samping mobil yang masih terbuka pintunya, Arunika buru-buru menutup pintu dan menyusul Kalandra masuk ke dalam rumah. Kalandra yang menyadari kelakuan Arunika hanya menggeleng, senyum geli terbit dari bibirnya.“Mas Kala akan kembali ke rumah sakit?” tanya Arunika.Kalandra mengangguk. “Tentu.”“Bawa ini
“Mas, ini bukan waktunya bercanda!” Ucap Arunika menatap Kalandra kesal “Apa kamu melihat ada kebohongan dimataku, Run?”Arunika menatap mata lelaki itu, tak lama ia menunduk. Arunika hanya tak percaya yang di katakan lelaki itu. Jika benar Kalandra ingin menikahinya, itu karena Tama, bukan karena mencintainya. Dada Arunika berdenyut. “Kita... Masih bisa merawat Tama bersama tanpa menikah. Mas Kala tak menyukaiku.”Kalandra mengembuskan napas pelan. “Selalu dengan asumsimu sendiri.”“Mas Kala mau menikahiku karena Tama, bukan?”Kalandra menggeleng. “Tidak.”“Lalu?”“Karena kamu.” Kalandra memajukan wajahnya ke arah Arunika, membuat Arunika menahan napasnya.Melihat Arunika yang salah tingkah, Kalandra kembali memundurkan wajahnya, laku terkekeh geli.“Setelah halal nanti, aku akan ungkapkan semuanya tentang kita. Tentang rasaku padamu. Tenang saja Ayahmu sudah setuju.” Kalandra memamerkan deretan giginya yang rapi.Padahal Kalandra belum mengatakan apa pun pada Pak Imam—Ayah Arunika
"Kamu yakin dengan apa yang kamu ucapkan?” tanya Pak Imam.Arunika mengangguk.“Kamu tahu kan, Run. Jika kelak Tama dewasa, ia tak akan jadi mahram untukmu.”“Runi paham, Yah.”“Lalu kenapa begitu cepat mengambil keputusan?”“Arunika hanya tak bisa melihat Tama sebatang kara. Dia masih terlalu kecil, Yah. Lulus SD nanti, Arunika berniat untuk memasukkan Tama ke pesantren, seperti Arunika dulu.”“Kalian nanti akan serumah, dan kalau kamu menikah nanti, apa suamimu akan menerimanya?” tanya Pak Imam.“Arunika paham akan batasan, Yah, dan Runi juga akan memberi pemahaman pada Tama nanti setelah dia baligh tentang batasan. Dia butuh wali.”“Lalu bagaimana jika kamu menikah nanti?” tanya Pak Imam.“Runi hanya perlu menjelaskan tentang Tama pada calon suami Runi kelak.”“Tak semua orang mau menerima kehadiran orang lain, Run.”“Kalau begitu, Runi akan menerima jodoh yang akan menerima kehadiran Tama juga.” Tegas Arunika.Pak Imam memijat pelipisnya, Kalandra hanya diam mendengarkan. Bukan ta