"Sesuatu yang sudah retak tidak akan kembali utuh." Mahesa menatap nanar Arunika yang duduk di depannya dengan perasaan campur aduk. Setelah Lima tahun lamanya, inilah pertama kalinya mereka bertemu. Tanpa sengaja. Sementara Arunika duduk dengan jengah, perasaan tak nyaman mendera. Bagaimanapun keadaannya dengan Mahesa tak lagi sama. Lima menit berlalu tanpa patah kata yang terucap di bibir mereka. Mahesa yang masih dengan perasaan bersalahnya, dan Arunika dengan perasaan tak nyaman. Arunika mengembuskan nafas lelah. “Kalau tidak ada yang mau kamu katakan, lebih baik aku pergi.” Mahesa tersadar dari lamunannya tentang masa lalu yang kini masih menancap erat di pikirannya. Ada rasa yang selalu mengganggu tidurnya, mengganggu segala kegiatannya yang sekarang berpengaruh pada keutuhan rumah tangganya. Mahesa menarik nafas dalam, menghilangkan perasaan aneh yang sejak tadi ia rasakan sejak bertemu dengan Arunika. “Apa kabar?” Arunika menaikkan sebelah alisnya, “sepeti yang kamu liha
Arunika melepaskan jas putih dari tubuhnya, lalu menggantungnya di dalam lemari. Lelah menderanya. Lelah badan dan lelah batin. Apalagi setelah bertemu dengan mantannya. Arunika telah memaafkan mereka, tapi hati memang tidak bisa berbohong. Masih ada luka disana. Mungkin salahnya, ketika ia mengambil keputusan besar hanya melihat dari tekad laki-laki itu. Jujur saja, Arunika merasa tersentuh dengan usaha Mahesa ketika ingin memilikinya, sehingga membuat hatinya luluh. Walaupun akhirnya Arunika mengajukan persyaratan dalam hubungan mereka. Toh, Mahesa dan orang tuanya menerima persyaratan itu karena merasa sanggup. Namun, satu tahun menjalani bahtera , ternyata laki-laki itu berdusta. Ia mendua dengan teman kuliahnya. Arunika tak pernah merasa sekecewa ini sebelumnya. Walaupun ia merasa lega karena berpisah dari laki-laki itu. Arunika membanting tubuhnya di atas kasur miliknya. Ia menempati rumah dinas yang merupakan fasilitas dari rumah sakit tempatnya bekerja. Jika bukan karena di
Mahesa menerima tatapan tajam dari tiga orang di ruang makan. Sungguh benar-benar tidak tahu malu. Mungkin itu yang ada di pikiran mereka. Nyatanya, Mahesa tidak benar-benar bisa menghapus perasaannya kepada Arunika. Jauh di lubuk yang terdalam, nama wanita itu masih terpahat disana. Tentu saja dia juga mencintai Dania, istrinya. Mahesa tak peduli jika dikatakan dirinya begitu serakah, jika bisa pun Mahesa ingin memiliki keduanya.Bukankah dalam Islam di perbolehkan menikahi dua, tiga, atau empat istri?Tapi perjanjian yang di ajukan Arunika sungguh berat untuknya. Walaupun dulu ia menyanggupinya karena yakin akan setia padanya. Tapi, cinta masa lalu yang belum usai membuat hatinya terusik.Mayra memukul kepala Mahesa dengan cukup keras.“Belajarlah dari pengalaman. Kamu harusnya merasa malu dengan apa yang pernah kamu lakukan kepada Arunika. Setidaknya berpikirlah dewasa, kamu bukan lagi remaja puber yang dengan mudah berpindah dari hati ke hati.” Mayra menatap adiknya dengan tatapan
Dulu, Arunika sempat berpikir jika pernikahan itu adalah sebuah kehidupan yang baru di mana di dalamnya akan ada laki-laki dan perempuan yang hidup bersama dengan bahagia. Karena menikah adalah menyempurnakan separuh agama. Menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal. Bukankah sangat indah?Nyatanya, semua yang Arunika bayangkan sirna begitu saja. Pernikahan yang ia jalani tak seindah bayangannya selama ini. Apa mungkin, karena ia menikah tanpa melabuhkan cinta pada suaminya? Tapi, bukankah cinta akan datang seiring dengan kebersamaan? Katanya, cinta akan datang terbiasa.Arunika menerima Mahesa sebagai suaminya karena melihat tekat laki-laki itu ketika hendak meminangnya. Arunika yang saat itu masih menjadi mahasiswa semester 3, sementara Mahesa sedang menyelesaikan sidang skripsinya.Mahesa yang melihat Arunika sebagai gadis yang berbeda dari lainnya merasa jatuh cinta yang akhirnya benar-benar menjatuhkannya.“Aku suka sama kamu.” Ucap Mahesa siang itu saat Arunika sedang berjalan
“Dok, waktunya visit,” Arunika yang sedang menatap layar ponselnya langsung menatap Gina, asistennya.Melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, Arunika segera memasukkan ponselnya ke dalam jas yang ia gunakan. Mengambil beberapa susu kotak yang biasa dia simpan untuk pasien kecilnya sebelum keluar dari ruangan. Gina mengekori dokter spesialis anak itu menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang anak.Seperti kebanyakan rumah sakit, ruangan anak-anak adalah ruang yang paling ramai. Tentu saja, tangisan anak-anak lebih mendominasi di ruangan tersebut. Sampai di ruang Anggrek, suara tangis menyambutnya. Arunika tersenyum. Melirik ke arah papan nama yang terpasang di bagian depan ranjang, lalu menghampiri pasien yang tengah menangis.“Halo anak pintar, kenapa menangis?” sapa Arunika lembut pada pasien yang tengah di gendong Ibunya. “Minta pulang, Dok,”“Intan,” Gina membisikkan pada Arunika nama pasien itu.“Intan, kalau mau pulang, Intan harus sembuh dulu ya, sayang. Inta
Mahesa bergeming. Tatapannya kosong meski di depannya Aruna yang sedang berenang berteriak memanggilnya untuk bergabung. Ingatannya masih pada anak laki-laki yang bersama dengan Arunika beberapa hari lalu. Beribu pertanyaan dalam kepala terus berputar. Apakah Arunika mempunyai anak ketika bersamanya dulu? Bukankah dulu mereka bersepakat untuk menunda momongan hingga Arunika lulus kuliah? Persyaratan itu Arunika ajukan ketika dirinya melamar wanita itu.Seperti benang kusut, Mahesa sedang tak bisa berpikir jernih. Jika memang bocah kecil itu anaknya, bukankah akan menjadi lebih baik untuk mereka kembali berhubungan? Sayangnya, Arunika pergi begitu saja ketika ia melontarkan pertanyaan itu. Ketika hendak mengejar Arunika, dirinya mendapatkan tatapan tajam dari istrinya. Ya, dia masih mempunyai istri dan anak yang saat itu tengah terluka karena jatuh dari perosotan. Sebenarnya, luka yang Aruna alami tak terlalu parah, hanya lecet. Tapi, Dania begitu berlebihan menanggapinya.“Papa!” Aru
Bersikap tenang terhadap masalah, bukan berarti Arunika tak berbuat apa-apa. Sejak kedatangannya ke kota ini, seakan ingatannya dikembalikan kepada 5 tahun lalu. Bukan karena belum melupakan, Arunika bukan tipe orang yang berlarut dalam masalah, justru masalah yang membuatnya akan lebih bersikap dewasa. Arunika menghirup aroma kopi di depannya. Harum dan menenangkan. Entahlah, dia juga tak paham sejak kapan menjadi penyuka kopi. Dulu, ketika masih remaja, Arunika sering di minta tolong membuatkan kopi untuk Aksara dan Kalandra ketika berkumpul di rumahnya. Arunika tak suka rasa kopi yang pahit. “Aku masih tidak menyangka kamu banyak berubah, Na.” Ucap Arunika kepada Hasna, teman satu kampusnya dulu sebelum kepindahannya ke Yogya.“Kamu tidak pernah memberi kabar,” Hasna merengut. Arunika memegang tangan Hasna sambil tersenyum. “Alhamdulillah, bukankah sekarang kita sudah bertemu? Aku senang kamu sudah menikah.”Hasna tersenyum malu. Dulu, mereka begitu akrab. Bak anak kembar, merek
“Arunika?!”“Kak Mayra?”Keduanya sama-sama terkejut. Mayra menghambur ke pelukan mantan istri adiknya itu. Melepas rindu yang selama bertahun-tahun terpendam. Arunika terharu, ternyata mantan kakak iparnya itu masih begitu menyayanginya. Dulu, Mayra yang menjadi garda terdepan membelanya ketika Mahesa ketahuan mempunyai wanita lain di belakang Arunika. Menghiburnya dikala sedih, Mayra pula yang sempat membujur Arunika untuk tidak meninggalkan Mahesa dan meminta memaafkan adiknya itu. “Apa tidak bisa di perbaiki lagi hubungan kalian, Run?” tanya Mayra yang masih membujuk Arunika tak menggugat Mahesa kala itu.Arunika menggeleng, “maaf, Kak. Dari awal sebelum menikah, aku telah mengajukan syarat dan Mahesa telah menyetujuinya. Kami sudah tanda tangan di atas materai.”“Kak Mayra apa kabar?” Arunika melepaskan pelukannya. “Ini?” tatapannya tertuju pada Sandy, anak kedua Mayra.“Ini Sandy, anak kedua Kakak. Alhamdulillah kakak baik, Run.”Arunika mengangguk. “Silakan duduk, Kak.”Mayra